Langit menggelap dengan semburat jingga di ufuk barat. Angin bertiup pelan dan burung-burung kembali ke sarang. Jauh di timur, di kaki Gunung Lembah Kabut Putih dan dikelilingi oleh bukit serta pepohonan yang rimbun berdiri sebuah rumah dipenuhi berbagai macam alat untuk latihan pedang serta bela diri.
Tamu-tamu penting berlalu dari rumah tersebut sejak pagi hingga petang, dari semua tamu itu salah seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan yang ramah baru saja datang setelah sekian lama tak berkunjung.
Lan An, sosok pendekar Kekaisaran Shang kedua yang paling ditakuti itu datang bukan untuk urusan yang terbilang penting. Lebih tepatnya dia hanya ingin menemui Xin Xia, gadis manis yang kecantikannya tak diragukan lagi.
Sudah terlalu banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Namun dari sekitar seratus orang itu hanya Lan An yang terlalu niat untuk memilikinya.
Lan An mengalihkan pandangannya sebentar usai menemui Xin Xia di depan rumah, dia mencari sang pemilik rumah yang entah ke mana perginya itu. Memang orang yang sedang dicarinya susah sekali untuk ditemui.
Terlalu banyak urusan yang harus diurusnya membuat teman lamanya itu jarang sekali pulang, hingga suatu waktu Lan An pernah mendengar Ren Yuan mengeluh tentang hal tersebut.
Xin Xia menceritakan pada Lan An betapa rindu kakak iparnya itu siang malam jadi wajar saja dia tahu banyak persoalan mereka.
Sementara itu Lan An mendengar suara dari halaman belakang rumah, seperti suara kayu yang saling bertumbuk. Dia segera mendekati arah suara dan dapat menebak siapa yang tengah berlatih pedang hingga sore gelap seperti ini.
"Ah, anak itu... Dia sama keras kepalanya seperti Ayahnya," gumam Lan An.
Tiba di halaman belakang rumah hal yang pertama dijumpainya adalah satu keluarga tengah berkumpul di sana penuh kehangatan. Cahaya api unggun di tengah-tengah menerangi halaman pada sore itu. Bola matanya menatap lama sang sahabat lama sembari tersenyum.
"Akhirnya kau mendengarkan apa kataku! Xin Fai, kapan kau kembali ke sini? Kurasa sudah lima bulan kau tidak kembali-kembali?" seru Lan An sembari mendudukkan dirinya di atas bangku yang terbuat dari pahatan batu.
Ren Yuan menoleh sekilas dengan senyum kecil, dia masih terus menyandarkan kepalanya di bahu Xin Fai. Enggan melepaskannya. Takut suaminya itu pergi berbulan-bulan dan meninggalkannya lagi.
"Aku sudah menyelesaikan tugasku, lagipula aku juga rindu dengan keluarga kecilku."
"Baguslah kalau kau masih mengingat mereka, paling tidak Ren Yuan tidak akan mengganas seperti kemarin padaku."
"Maksudmu?"
"Apa kau bilang?" Ren Yuan menyahut, merasa dirinya sedang disinggung diikuti dengan rona pipinya yang mulai memerah.
Meskipun sudah berlalu sebelas tahun sejak pernikahannya dengan Xin Fai yang diadakan sangat dadakan, namun paras cantiknya tetap terlihat indah. Tak heran lelaki manapun akan mencuri-curi pandangan saat melihatnya lewat.
Lan An terbatuk-batuk kecil, dia mengalihkan tatapan mata di halaman rumah yang sangat luas. Tempat Xin Fai dan dua anak kembarnya biasa berlatih pedang. Dua anak laki-laki dengan wajah hampir mirip dan berumur sepuluh tahun itu sedang sibuk bertarung di sana.
Xin Fai ikut menonton pertarungan dua anak kecilnya itu, meskipun dari tadi dia juga merasa tidak tega dengan salah satu dari mereka. Xin Chen, anaknya yang paling kecil jatuh tertelungkup di tanah akibat serangan dadakan yang digencarkan Xin Zhan. Anak tertuanya itu melibaskan pedang kayu usai itu. Memalingkan mukanya dengan muak.
"Pertarungan ke-307 kau masih tetap kalah dariku, kau benar-benar lemah," komentar Xin Zhan dengan sesuka hati. Ren Yuan lantas membantu Xin Chen bangun dari tanah bersama tangannya yang mengusap wajah anaknya itu. Penuh dengan luka lebam dan goresan luka.
"Hm... Kukira kau cukup pandai menilai situasi." Xin Chen berupaya bangkit dengan menopang tubuhnya menggunakan pedang kayu, dibantu Ren Yuan dia akhirnya bisa berdiri tegap seperti semula.
Meskipun tubuhnya masih terbilang sangat muda namun Xin Chen memiliki tubuh yang terbilang tangguh. Hanya saja, ada satu kekurangan besar dalam dirinya. Kemampuan bela dirinya tergolong rendah.
"Aku tidak kalah darimu, asalkan kau tahu. Aku hanya menemukan 307 cara untuk kalah darimu!"
"Hahaha! Sangat keren! Anakmu si Chen itu sangat keren gayanya!" seru Lan An bersemangat. Xin Chen mengusap pangkal hidungnya dengan bangga, memang Lan An selalu berada di pihaknya.
Namun belum menghabiskan waktunya untuk sekedar bergaya, Xin Zhan sudah mengambil langkah. Dalam sekejap saja pedang kayu mereka kembali bertemu, membuat Xin Chen kehilangan keseimbangan.
Tangannya terasa bergetar saat serangan tersebut menyerang. Dan tanpa dia sadari, tubuhnya kembali terpental ke tanah. Kakaknya itu tidak segan-segan menyerang.
"Jangan menganggap kelemahanmu itu sebagai suatu kebanggaan, kau memang takkan berkembang. Wajar saja orang-orang meremehkanmu, bahkan saat murid sekte Lembah Kabut Putih menyerang kau hanya bisa menyengir seperti orang bodoh!"
"Zhan'er, sudah cukup. Masuklah ke dalam rumah." Xin Fai menengahi, sebelum dirinya sempat memisahkan mereka Xin Zhan sudah lebih dulu berucap pedas lagi. Entah darimana sifat kejam sekaligus dingin itu menurun.
Xin Zhan, meskipun umurnya masih 10 tahun akan tetapi kekuatannya tak bisa diremehkan. Dia telah memasuki tahap pendekar menengah di umur semuda itu. Membuatnya dianggap sangat jenius.
Ditambah lagi sikapnya yang disiplin, teliti dan sangat hebat dalam menalar situasi. Dia telah berhasil menewaskan banyak siluman yang mengganggu ketentraman desa. Belum lagi membatalkan rencana para pembunuh bayaran dalam penyerangan kediaman klan Ren. Sekiranya, jika dihitung-hitung kekuatan Xin Zhan mampu mengimbangi pendekar yang telah berumur sekitar 20 tahun.
Berbeda halnya dengan Xin Chen, mendengar namanya saja Ren Yuan sudah menarik napas dalam-dalam. Dibandingkan dengan Xin Zhan, Xin Chen memiliki karakter ramah dan mudah membaur di manapun.
Sikapnya tidak pernah menyerah walaupun dirinya dihina serendah mungkin. Karena hal itulah, Xin Zhan marah padanya. Akan tetapi dalam pertarungan dia selalu tak bisa diandalkan, bahkan untuk menangkap kelinci hutan saja dia sudah kesusahan. Hal inilah yang memicu orang-orang menilainya dengan sebelah mata.
"Kau sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertarung. Hanya membuat Ayah malu di depan teman-temannya. Ingat ini baik-baik, Chen. Nama Pilar Kekaisaran pertama akan menjadi milikku. Jangan pernah berpikir kau bisa mendapatkannya dengan kekuatanmu itu."
Xin Chen terdiam diiringi dengan tangannya yang meremas tanah. Wajah anak itu tertunduk dalam seperti ingin memberontak. Tapi pada akhirnya dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan Xin Zhan. Bahwa dirinyalah yang terlalu payah. Benar-benar payah hingga tak bisa diandalkan.
Xin Chen tidak terlalu dikenal meskipun dia adalah anak sang pendekar legenda, sang Pedang Iblis. Sejak insiden beberapa tahun yang lalu, yang membuat neneknya terluka parah sehingga harus lumpuh karena kecerobohannya membuat pandangan orang-orang berubah. Bahwa dia hanyalah beban keluarga.
Xin Chen, di hari penyerangan klan Ren beberapa tahun lalu justru membuat neneknya berkorban agar dirinya tak terkena racun mematikan
Neneknya telah berkorban banyak untuk dirinya. Sebab itu, beberapa anggota klan Ren mencibirnya.
Di waktu bersamaan beberapa orang murid Lembah Kabut Putih melewati kediaman mereka dan tak sengaja melihat Xin Chen telah jatuh ke tanah. Sudah pasti mereka dapat menebak apa yang telah terjadi.
"Dia sama sekali tidak berguna. Kau lihat, saat latihan pedang dia selalu dimarahi. Penguasaan teknik pedang dan tenaga dalamnya juga sangat buruk. Aku heran apa dia benar-benar anaknya si Pedang Iblis itu?"
Lagi-lagi cibiran dan cemoohan dilayangkan kepadanya, membuat Xin Chen merasa semakin tertekan.
***
Note author: (curhat mksdnya wkwk)
Halo teman2 😃 akhirnya Pendekar Pedang Iblis S2 terpublis, dengan ini author berharap dukungan kalian semua dgn bantu jaga rate-nya agar tidak turun, dgn mengklik bintang 5 (jujur klo turun rate rasanya semangat ku anjlok seketika😥)
Sertakan like, comment, vote, tips (jika ada) dan favorit spy gk ketinggalan updatenya yaa. gak lama kok ngelakuinnya, yg lama itu ngetik ceritanya 😭
Di buku kedua ini author harap klian gk berekspektasi tinggi, krn ya gitu takutnya jelek nnti malah kena hujat, ampoon mas/mbak saya minta maaf deh wkkwkw.
Beda dgn dulu, klo dulu masih luang pas mau ngetik, sdgkan skrg harus kuliah jd harus pandai2 bagi otak, waktu&tenaga. maka dri itu author harap pembaca sekalian mau mengerti situasi author kalau terkendala sewaktu-waktu 🙆
Ngomong-ngomong, Hero kecil kita udh bisa nebak siapa? yg paling lemah lah, alias Xin Chen. krn author lebih suka cerita dari yg bukan siapa2 jd legenda. From Zero to Hero, klo dia lemah salahkan saja bapaknya yak😂
Selamat Membaca~
"Jangan keras-keras, kalau sampai Ayahnya dengar kau akan dibunuh!"
Empat orang pemuda itu berlalu begitu saja, Xin Chen menatapi punggung mereka masih sedikit melamun. Namun sesaat sebuah uluran tangan tersodor padanya, sontak saja Xin Chen mengangkat wajah.
"Ayah? Itu... Maafkan aku, padahal sudah berjanji akan menunjukkan perkembanganku padamu. Justru sekarang hanya mempertontonkan kekalahanku lagi dan lagi."
"Kau sudah sedikit berkembang, hanya perlu latihan saja." Xin Fai menenangkan putranya itu, dia tahu Xin Chen mengalami banyak tekanan.
Baik dari mulut orang-orang yang menggunjingnya ataupun dari Xin Zhan. Kakaknya itu telah berdiri seratus langkah lebih maju darinya. Meskipun di dalam hati Xin Chen masih memiliki keinginan kuat untuk melampaui Xin Zhan dan membuktikan pada orang-orang bahwa dirinya tidak selemah yang mereka pikirkan. Akan tetapi melihat kekuatannya yang sekarang ini rasanya sudah mustahil.
Xin Chen memerhatikan telapak tangannya yang penuh dengan luka goresan serta darah. "Ayah, apa menurutmu aku bisa melampaui Zhan Gege?"
Angin lalu lewat begitu saja. Xin Zhan telah memasuki rumah bersama Ren Yuan dan Xin Xia. Sedangkan Lan An sendiri pamit kembali karena ada beberapa hal yang harus diurusnya terlebih dahulu. Tentu saja dia pergi setelah sedikit menggoda Xin Xia.
Xin Fai menjawab tenang. "Kau berpikir untuk melampaui kakakmu?"
"Apakah terdengar mustahil?"
"Kau tidak berpikir untuk melampauiku?" Xin Fai berhasil membuat putranya itu terdiam beribu bahasa. Bola matanya dapat menangkap kegelisahan di sana. Xin Chen masih takut untuk mengakui dirinya sendiri.
"Kau ingin diakui orang-orang, sedangkan kau sendiri tidak mengakui dirimu sendiri. Omongan orang-orang bukan menjadi tolak ukur kau hebat atau tidak, bukan?"
Namun Xin Chen membantah dengan sedikit meninggikan suaranya, "Aku sudah berlatih sebisa mungkin, tapi lihatlah, semakin hari hanya semakin tertinggal darinya. Aku sama sekali tidak memiliki bakat untuk bertarung. Ah, sudahlah lupakan saja, Ayah."
Xin Chen membereskan senjatanya dari tanah dengan kecewa. Sejak dulu dia selalu percaya omongan Ayahnya bahwa dirinya tidak lemah namun hanya kurang berlatih saja.
Tapi hari ini dia mengerti, kata-kata itu hanya sekedar untuk menghiburnya. Xin Zhan akan selamanya dipuja-puja dan dia disebut tak berguna. Mungkin sudah takdirnya menerima kenyataan pahit seperti itu.
"Kalau kau tidak melatih pedangmu itu, siapa yang kelak akan melindungi kami? Andai saja, suatu saat nanti musuh menyerang dan akan membunuhku dan juga ibumu sedangkan kau sendiri tidak pandai menggunakan pedang, apa kau hanya akan menonton kematian orangtuamu saja?"
Saat mengatakannya Xin Fai jadi teringat akan dirinya di masa lalu, saat Ayahnya dipenggal dan dirinya hanya bisa melihat ketakutan lalu pergi menyelamatkan nyawa sendiri. Hari itu adalah hari terberat yang pernah dilaluinya.
Kata-katanya tadi berhasil membuat Xin Chen berhenti berjalan.
"Ilmu pedang diciptakan bukan untuk diakui menjadi orang terhebat, tapi untuk melindungi orang-orang yang kau anggap berharga. Aku tidak melihat hasil latihanmu sama sekali, tapi bagaimana kau terus berlatih sampai sore ini. Kurasa aku cukup bangga memiliki anak sepertimu."
Terasa air mata mulai menggenangi pelupuk mata Xin Chen, anak kecil itu berlari kecil dan memeluk Ayahnya erat.
Lama tak berjumpa dengan Xin Fai dan mendapatkan kata-kata hiburan darinya setelah sekian lama dicemooh oleh orang-orang membuat Xin Chen dapat merasakan menarik napas tenang.
Kehangatan Xin Fai pada kedua anaknya membuat mereka selalu menurut padanya, meski senakal apapun Xin Chen di mata orang-orang atau sekejam apapun Xin Zhan dalam berbicara.
"Aku akan menjadi sehebat dirimu, Ayah! Melampaui Xin Zhan dan Paman Lan An! Sampai kau melihatnya, kau harus tetap hidup. Aku berjanji akan melindungimu." Xin Chen mengatakannya dengan pasti, seakan dirinya telah melewati ratusan pertarungan antara hidup dan mati.
Tentu saja Xin Fai menanggapi hal itu dengan antusias juga. Di sisi lain dia mengingat perkataan Ren Yuan tentang Xin Chen, membuatnya menggelengkan kepala sebentar. Memilih untuk tidak memikirkannya.
Xin Zhan diam-diam mengintip mereka, merasa cemburu pada Xin Chen. Tangan kecilnya terkepal erat. Meskipun dia telah diakui oleh semua orang akan tetapi dirinya masih belum merasa puas. Karena perhatian Ayahnya lebih banyak tertuju pada Xin Chen.
Awan kian menggelap bersama hilangnya pendar matahari di ufuk barat. Xin Zhan melewati jembatan-jembatan batu yang dihiasi oleh sungai mengalir di bawahnya, mengawasi langit yang mulai malam sendirian.
Meskipun umurnya masih terbilang muda namun pemikirannya lebih dewasa dari anak-anak seumurnya. Dia telah banyak belajar dari Ayahnya sendiri dan kelak ingin menjadi sepertinya.
Dari banyaknya pendekar baru yang muncul di Kekaisaran Shang dalam sepuluh tahun terakhir, yang diyakini sebagai periode jaya Kekaisaran ini tidak ada satupun dari mereka yang mampu membuat Xin Zhan kagum. Hanya Ayahnya yang terus maju berani dalam setiap pertarungan, pijakannya tak pernah mundur sekalipun ribuan sayatan telah merobek tubuhnya.
"Ah, aku ingin menjadi sepertinya..." Xin Zhan mengangkat tangannya ke atas, hendak menyentuh bulan di atas dengan tangannya. "Tapi Ayah masih terlalu jauh dari genggaman tanganku."
"Kalau kau berpikir begitu, maka aku yang akan lebih dulu mengambil posisi itu. Aku akan menjadi Pilar Kekaisaran berikutnya, kau mundur saja dan merengek sana pada Ibu!"
"Kau-" Xin Zhan berkata gemas. "Seharusnya kau sana yang menangis pada paman Lan! Setiap kalah bertarung pasti dia akan memanjakanmu. Dan Ayah... Ayah pasti membelamu," omel Xin Zhan.
Xin Chen menyinggungkan senyum hambar. "Mereka hanya menghiburku karena aku lemah, hanya sebatas itu. Kau tidak perlu merasa tersaingi."
Segera tanpa memberi jeda Xin Zhan menyahut, "Benar! Tanpa kau jelaskan kau memang lemah. Bahkan untuk membuka sepuluh lingkaran tenaga dalam saja sudah kesusahan. Kau memang tidak berguna." Xin Zhan membalikkan badannya kesal, tak berniat memperpanjang percakapan dengan adiknya yang bodoh itu
Lagi-lagi seperti biasa Xin Chen hanya bisa menerima mentah-mentah kata yang menusuk itu. Dia sadar tidak memiliki pembelaan apapun. Nyatanya apa yang dikatakan Xin Zhan benar sekali.
Dia masih payah dalam menggunakan tenaga dalam, bahkan walaupun Xin Fai telah mengeluarkan banyak uangnya untuk membeli sumber daya termahal demi mengembangkan tenaga dalamnya.
Karena alasan itu pula, Kitab Tujuh Kunci diberikan kepada Xin Zhan. Di umur 9 tahun saja, Xin Zhan dapat mengendalikan roh sesuka hatinya. Dia menggunakan kekuatan itu dalam pertarungan. Membuat Xin Chen yang berdiri di belakangnya merasa semakin tertinggal.
Sedangkan itu, Xin Chen tidak bisa menggunakan Kitab Langkah Petir yang diberikan Ayahnya. Dia mempelajari kitab tersebut siang, malam, petang hingga pagi buta untuk berlatih berjalan cepat di atas air. Alih-alih bisa berlari seperti kuda justru yang dia dapatkan hanyalah dirinya tak sadarkan diri dan tenggelam di dasar air. Untung saja hari itu Ren Yuan segera menyelamatkannya.
Dari semua yang telah dilaluinya wajar saja Xin Chen merasa takkan mampu melampaui Xin Zhan maupun Ayahnya. Kata-kata hendak menjadi Pilar Kekaisaran sendiri digunakannya untuk menghibur dirinya sendiri.
"Suatu saat nanti, aku ingin menjadi orang lemah yang melindungi semuanya. Tidak perlu kuat untuk bisa melindungi orang-orang, ibu yang bilang sendiri padaku." Pembelaan Xin Chen tidak didengar oleh siapapun, Xin Zhan telah meninggalkannya sendirian di jembatan tersebut.
Mendadak burung-burung yang bersembunyi di dalam hutan berterbangan secara bersamaan diiringi suara teriakan Xin Zhan. Seketika Xin Chen panik bukan main dibuatnya, dia menoleh kiri kanan dan mengingat dari mana arah Xin Zhan pergi kemudian mengikutinya secepat mungkin.
***
Xin Chen mengamati sekitarnya dengan hati-hati, takut sekaligus cemas akan suara-suara di balik semak yang membuat lututnya terasa bergetar. Anak itu menyingkirkan dedaunan yang menutup pandangan sembari berjalan mengendap-endap.
Tak disangka tiba-tiba saja kakinya terlilit oleh sebuah perangkap, membuat tubuhnya tertarik dan menggantung terbalik di dahan pohon.
"Lepaskan aku! Sial, malah jadi begini! Ayaaah!"
"Sssttt! Jangan berisik, bodoh! Diam sebentar aku akan menyelamatkanmu."
Sebuah suara yang hampir mirip dengannya terdengar, ternyata itu adalah Xin Zhan.
"Kakak? Apa yang terjadi? Kenapa tanganmu berdarah dan-"
"Berisik, dasar cerewet!"
"Kakak!"
"Diam sebentar!" Xin Zhan hendak maju lebih dekat lagi. Namun adiknya kembali berseru padanya, membuat kuping anak itu mulai panas terbakar.
"Kakak, dengarkan aku! Kau mundur saja dan beritahu ini pada Ayah! Lari! Aku akan menunggu di sini!"
"Apa maksudmu?"
"Di belakangmu ada seseorang! Cepat lari!"
Belum sempat menengok ke belakangnya, Xin Zhan merasakan sebuah tangan membungkam mulutnya. Anak itu menggigit tulang jari orang tersebut dan dengan cepat melindungi dirinya dengan perisai roh.
Xin Zhan berupaya menyeimbangkan dirinya sambil melihat sosok yang sedang mengincar keduanya, bola mata terangnya tak dapat berkedip selama beberapa detik. Dia terkejut sehingga tak mampu bergerak dalam beberapa saat.
"Bukan saatnya melihat pertunjukan! Kakak, lari! Dia bukan manusia lagi!"
Xin Zhan tersadar dari lamunannya, dia segera mengejar Xin Chen dengan langkah yang lebih cepat. Keduanya saling berlarian tak tentu arah untuk kembali ke rumah yang sedikit jauh jaraknya jika ditempuh dengan kaki.
Sebenarnya jembatan ini adalah penghubung Kota Renwu dan desa kecil di seberangnya. Xin Fai mengenalkan tempat ini pada keduanya saat mereka berumur 7 tahun. Sehingga baik Xin Chen maupun Xin Zhan selalu mendatangi tempat ini saat sore tiba. Sekedar untuk melepas penat usai latihan pedang.
Aksi kejar-kejaran menjadi sangat mengerikan karena Xin Chen tak dapat melihat dengan jelas jalan yang dilaluinya. Tubuhnya mulai berdarah akibat goresan daun tajam dari pepohonan dan batang tumbuhan. Dia tak dapat melihat kakaknya lari ke mana dengan jelas.
Xin Zhan berlarian menjauhi arah adiknya pergi, demi memastikan sosok misterius itu tak mengejar adiknya. Dia paham betul, Xin Chen terlalu lemah untuk menghadapi musuh ini. Meskipun dia sendiri belum memiliki cara untuk selamat selain menunggu Xin Chen kembali bersama Ayahnya.
Namun hanya sampai di sana saja rencananya hingga tiba di tepi jurang yang buntu. Xin Zhan hendak memutar arah akan tetapi di hadapannya telah berdiri sosok misterius berkekuatan dahsyat, energi yang asing meletup-letup di telapak tangannya.
Selama ini Xin Zhan tidak pernah percaya akan cerita yang turun temurun diceritakan para pendahulunya bahwa di masa dulu manusia pernah hidup berdampingan dengan mahluk-mahkluk asing.
Termasuk pertarungan Ayahnya dengan Naga Es, siluman tingkat dewa yang tak pernah dia lihat. Xin Zhan tak percaya pada itu semua. Dan juga kebenaran bahwa di dunia ini sesungguhnya masih ada kekuatan yang mampu menandingi Ayahnya.
Beberapa tahun terakhir justru hal itulah yang Xin Fai khawatirkan, dia mulai menyadari adanya kekuatan tak biasa bermunculan.
Bersama murid-murid Yong Tao mereka bersama-sama menelusuri kemunculan pembantaian berapi yang tidak pernah diketahui siapa dalangnya serta di saat bersamaan pula terdengar kabar bahwa sebuah desa hancur menjadi abu es dalam satu jam saja.
Tidak ada pelaku, tidak ada jejak dan tidak ada darah. Semua berjalan seperti hantu yang melakukannya.
"Kau percaya akan kematian?"
Xin Zhan mulai merasakan pundaknya ditimpa batu besar, pelipisnya pun turut mengeluarkan keringat dingin saat merasakan hawa membunuh yang amat menusuk.
"Kau pernah merasakan keputusasaan? Kekecewaan? Atau rasa seperti ingin membabi buta, ketika dunia ini bukan lagi menjadi tempat untukmu tinggal?"
"Apa yang kau bicarakan?" Xin Zhan mengangkat kepalanya dengan berat sekali, dia mulai mengerti mengapa orang-orang yang seumuran dengan Ayahnya sangat takut saat membicarakan musuh-musuh lama mereka dulu.
"Aku akan katakan padamu, sebelum kepada Ayahmu... Akan tercipta sebuah dunia di mana mayat-mayat menari dalam penderitaan. Kalian akan sama tersiksanya denganku dan hingga hari itu tiba..."
Krakk
Bunyi ranting terdengar dari arah belakang, sontak saja mereka menoleh ke arah Xin Chen yang mulai panik. Lebih ketakutan lagi saat melihat wujud mengerikan di depannya, dia merasa seperti ingin pingsan saja.
"Le-lepaskan kakakku!"
"Bocah kecil yang keras kepala. Kau datang di saat yang tepat."
Xin Chen menyanggah cepat-cepat. "Apa salah kami?! Kurasa aku tidak membuat masalah apapun denganmu!"
"Salahmu?" Mahkluk itu memiringkan wajahnya, mendekati Xin Chen perlahan tapi menakutkan. Bunyi derap kakinya terdengar berat terseret-seret. Xin Chen mencuri pandang ke belakang di mana Xin Zhan tengah mencari celah untuk melarikan diri.
Selagi itu dia akan terus mengalihkan perhatian musuh. Xin Chen mengangkat kepalanya saat menyadari cuaca malam mulai berubah mencekam. Bisik-bisik angin bercampur dengan suara aneh. Di waktu itu pula sebuah topan besar muncul di tengah-tengah hutan. Menghancurkan segalanya yang dilewatinya.
Xin Zhan bergerak cepat menjauhi monster tersebut, perlahan demi perlahan suara menggema terdengar di seisi penjuru angin.
Dengan jelas terdengar bunyi jeritan naga dari langit, Xin Chen membuka matanya lebar-lebar saat melihat dengan nyata seekor naga dengan garis-garis biru api tengah merangkak naik ke atas dari dalam angin topan.
"Ini... Ini sama seperti yang ibu ceritakan... Mahkluk seperti mereka benar-benar ada..." Xin Chen tak mampu menutupi keterkejutannya, tak menunggu waktu lama kakaknya segera datang dan menyeretnya pergi.
Tetapi sosok musuh masih terus mengawasi, libasan cakram es mulai menyerbu mereka berdua. Saat melewati kepala Xin Chen, dia dapat merasakan panas api yang luar biasa.
"Sedikit saja terkena Api Es Abadi ini, tulangmu pun akan lenyap tak bersisa dibuatnya." Dia tertawa puas melihat dua bocah itu mulai takut terhadapnya. "Aku yakin kalian anak baik-baik, sekarang ikuti apa kataku. Datanglah kemari. Kuhitung sampai tiga."
Xin Chen dan Xin Zhan saling menatap sebentar, keduanya jelas tidak ingin menurut tapi menghadapi musuh pun tak mungkin. Mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk hidup jika membangkang.
"Kalau menurutmu melawan dan menurut pun salah, apa yang seharusnya kita lakukan?"
"Dua..." sosok di belakang mereka masih terus menghitung.
Xin Zhan berpikir keras, dia mulai berpikir untuk saling berpecah dengan Xin Chen hingga nanti Ayahnya datang. Sebelumnya Xin Zhan sudah mengeluarkan petasan sebagai peringatan bahaya, hanya menunggu waktu beberapa saat hingga bala bantuan datang.
"Satu-satunya jawabannya adalah LARI!!! Selamatkan nyawamu kalau masih ingin memakan sup buatan Ibu!" teriakan Xin Chen terdengar lebih besar dari naga di belakang mereka.
"Malah memikirkan makanan di saat-saat seperti ini!" gerutu Xin Zhan mengikuti langkah Xin Chen dari belakang.
"Dasar bocah nakal!!" geraman di belakang terdengar amat murka, mereka berdua memilih tak menengok ke belakang. Naga biru api mulai bereaksi, membuat angin kencang di sekitarnya hingga pohon-pohon bergerak tak karuan. Angin-angin tersebut berhembus ke arah belakang mereka, menarik Xin Chen dan Xin Zhan agar kembali ke tempat semula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!