Bel tanda istirahat disebuah SMA swasta tepatnya SMA NUSA BANGSA telah berbunyi, semua para siswa berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk mengisi perutnya yang mulai kosong.
Perjalanan seorang pemuda saat akan menuju kantin terhenti, karena deringan ponsel yang berada di saku celananya. Tak butuh waktu lama dia pun langsung mengambil ponsel tersebut dan menjawab telfon itu.
"Hal...." sebelum dia melanjutkan bicaranya orang di seberang sana sudah memotong ucapannya dulu.
"Mama kamu masuk rumah sakit, nanti setelah pulang sekolah langsung saja kesini, nanti papa kirim alamatnya, papa ada meeting penting nanti jam 2, jadi kamu harus segera kesini,"
"Sekarang aku ke sana ya pa," tanpa menunggu jawaban orang diseberang sana pemuda itu sudah mematikan ponselnya. Lalu ia lari menuju parkiran meninggalkan tasnya yang berada didalam kelas.
Saat ia lari, tiba-tiba ada seorang gadis cantik yang menghadang jalannya.
"Mau kemana sayang, kok buru-buru? Kita ke kantin aja yuk, aku kangen sama kamu," ucap gadis itu dengan manja.
"Aku harus ke rumah sakit, mama sakit, kamu ke kantin aja sana sama yang lain, aku tinggal dulu." Ucap pemuda itu sambil melanjutkan larinya.
Gadis tersebut mendengus kesal, lalu ia melanjutkan perjalanannya ke kantin yang tertunda.
Pemuda tersebut, menaiki motor kesayangannya dengan kecepatan penuh, setelah tadi melihat pesan dari papanya, dimana letak rumah sakit yang akan ia tuju.
Sesampainya rumah sakit, dia memarkirkan motornya kemudian berlari, tanpa menghiraukan orang-orang yang ia tabrak sepanjang koridor rumah sakit. Dia melihat papanya duduk di depan ruang IGD, lalu dia menghampirinya.
"Mama kenapa pa? Sakit apa? Kok sampai masuk rumah sakit segala, padahal tadi pagi masih sehat keliatannya," berbagai pertanyaan ia lontarkan pada papanya.
"Gak tau Al, tadi papa di telfon sama Bik Um kalau Mamamu pingsan, terus Papa pulang langsung bawa Mama kesini," ucap Papanya dengan sendu.
"Semoga Mama gak kenapa-kenapa," pemuda itu pun tak kalah sendu dari sang Papa.
Lalu keluarlah dokter yang memeriksa sang Mama, dan menghampiri keduanya.
"Pak Davit, ikut keruangan saya ada yang harus kita bicarakan," ucap sang dokter
"Baik Dok," Davit pun mengikuti dokter itu.
Sedangkan pemuda tadi yang tak lain adalah Vicky Al Ghifari, masih duduk didepan ruang IGD dengan wajah menunduk.
Setelah sampai di ruangan dokter tersebut, keduanya pun duduk di sofa yang berada di ruangan itu.
"Begini Pak, apakah Istri Bapak sering mimisan, sakit kepala, mual-mual?" Tanya Dokter tersebut.
"Kalau mimisan saya kurang tau Dok, dia juga gak pernah cerita, yang saya tau dia memang sering muntah, tapi dia bilang cuma masuk angin, dan gak mau kalau saya mau panggil dokter untuk memeriksa," jelas Davit pada Dokter itu.
"Semoga tidak seperti dugaan saya Pak, akan saya cek laborat dulu untuk memastikan kalau Istri Bapak tidak mengidap penyakit seperti dugaan saya," ucap Dokter yang terasa ambigu bagi Davit.
"Memang dugaan Dokter Istri saya sakit apa?" Tanya Davit penasaran.
"Nanti saja kalau hasil laboratnya sudah keluar ya Pak, saya gak mau salah menduga, semoga dugaan saya juga salah," ucap Dokter
"Baiklah Dok, semoga dugaan Dokter salah, semoga Istri saya gak kenapa-kenapa,"
" Aamiin, semoga saja Pak. Istri anda mungkin sekarang sudah dipindah di ruangan rawat, semoga lekas sembuh buat Istri anda Pak," Dokter tersebut tersenyum pada Davit.
"Yasudah saya permisi Dok," pamit Davit pada Dokter.
Kemudian ia keluar ruangan Dokter dan berpapasan dengan putranya saat berjalan di koridor.
"Pa, Mama sakit apa kata Dokter?" tanya Al penasaran.
"Belum tau Al, semoga Mama gak kenapa-kenapa doakan saja ya. Ohya Mama dipindah dimana?"
"Di lantai 3 ruang VIP no 2 Pa, ayo Pah aku juga mau ke sana, tadi dari kantin sebentar." Jawab Al sambil menunjukkan kantong kresek yang dia tenteng.
Keduanya pun menuju ruang rawat inap Mamanya.
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
Dua hari berlalu, hasil laborat pun sudah keluar dan saat ini Davit sedang berada diruang Dokter Iwan menunggu sang Dokter membacakan hasil laborat tersebut. Muka Dokter terlihat ada sedikit kegundahan saat mengetahui hasil laborat itu.
"Ternyata benar dugaan saya Pak, Istri anda mengidap kanker darah atau Leukimia stadium dua," ucap Dokter Iwan tanpa basa-basi.
Davit terkejut dengan apa yang diucapkan sang Dokter, dia pun mengambil hasil laborat itu, dan syok saat benar adanya yang dikatakan Dokter dihadapannya, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
"Ya Allah, kok sampai saya gak tau Istri saya mengidap penyakit seperti ini," ucap Davit frustasi.
"Insyaallah masih bisa disembuhkan Dav, bawalah Istrimu berobat ke Singapur disana fasilitasnya lebih lengkap, semoga Istrimu sembuh, kamu harus sabar ya," Dokter menenagkan Davit, dia berperan sebagai sahabat.
"Akan aku lakukan yang terbaik buat Istriku Wan, kamu bantu ya," Davit memohon pada Dokter Iwan.
"Pasti akan aku bantu, yang sabar ya Istrimu pasti sembuh." Ucap Dokter Iwan sambil menepuk pundak Davit.
Setelah itu, Davit pun kembali keruangan rawat Istrinya disana ada dua orang yang tak lain adalah sahabat Davit.
"Dina sakit apa Dav? Kok mukamu kelihatan kusut banget?" tanya Bagus
Davit menghela nafas panjang dan menatap wajah pucat Istrinya yang juga menatapnya karena penasaran dia sakit apa.
"Ma, kita berobat ke Singapur ya, biar Mama cepat sembuh," bukannya menjawab pertanyaan Bayu, Davit, malah berkata lain yang membuay semuanya jadi penasaran.
"Mama sakit apa emangnya Pa? Kok harus dibawa ke Singapur segala?" tanya Dina penasaran.
"Hasil lab menunjukan kalu Mama...." Davit menggantung kalimatnya.
"Apa Pa? Ayo katakan jangan buat Mama penasaran," Dina sudah tak sabar ingin tau penyakitnya.
Davit menghela nafas panjang lalu berkata, "Mama divonis terkena Leukimia, stadium dua," ucap Davit sambil menunduk.
Tiga orang yang mendengarnya merasa terkejut dengan penuturan Davit.
Istrinya pun mau dibawa berobat ke Singapur dengan satu syarat dan mereka dengan berat hati memenuhi syarat yang diminta oleh Dina.
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
Tiba saatnya pulang sekolah, Icha berjalan menuju gerbang sekolah bersama sahabatnya Nayla.
"Tumben kamu dijemput Cha?" Ucap Nayla sambil menunjuk sebuah mobil didepan gerbang sekolah.
Icha melihat arah telunjuk Nayla dan melihat Papanya keluar dari mobil.
"Iya, tumben banget Papa jemput, ayo bareng sama aku aja Nay," ucap Icha merasa heran karena selama ini Papanya tak pernah datang kesekolahnya, hanya Mamanya yang kadang menjemputnya selain sopir. Karena biasanya Icha naik angkutan umum saat kesekolah ataupun pulang sekolah.
"Gak ah Cha, siapa tau ada urusan penting sampai Papamu yang jemput, aku naik bis aja, duluan ya," ucap Nayla lalu meninggalkan Icha.
Icha pun menghampiri Papanya lalu menyalami sang Papa dan mencium punggung tangan papanya. Kemudian dia masuk dalam mobil tanpa banyak tanya.
Saat sudah berada didalam mobil, dia heran kenapa tidak pulang kearah rumahnya.
"Lho kita mau kemana Pa? Kan jalan pulang bukan kesini?" tanya Icha.
"Kerumah sakit, Istri Om Davit sedang sakit dan ada yang mau dia sampaikan ke kamu, jadi sekarang kita kesana dulu," jawab Bayu tanpa menoleh putrinya, karena fokus dengan jalan.
Icha hanya menurut saja tanpa banyak komentar, karena memang dia bukan anak yang sering mebantah. Icha adalah anak kedua dari pasangan Bayu dan Sinta, dia anak perempuan satu-satunya karena kedua saudara Icha laki-laki semua. Sebenarnya bukan satu-satunya anak perempuan Bayu, karena dulu Icha mempunyai seorang Kakak yang usianya beda dua tahun, tapi sudah meninggal saat Icha masih kelas tiga SMP.
Tak lama kemudian mereka pun sampai diruang rawat Dina, mereka disambut dengan senyuman oleh Dina.
"Icha sayang, kamu cantik banget," ucap Dina
"Makasih Tan. Tante semoga cepat sembuh ya, Icha doakan, biar Tante bisa kumpul dengan keluarga lagi," ucap Icha dengan senyum yang terlihat sejak pertama masuk ruangan.
Dina tersenyum melihat keramahan Icha. Sebelum Dina berkata lagi, terdengar pintu dibuka oleh seseorang dan Dina mengurungkan niatnya untuk berkata.
Pemuda yang baru saja masuk terlihat bingung melihat ada seseorang yang berseragam SMA sama dengannya, tetapi memakai jilbab itu. Dia sudah bisa menebak siapa gadis itu, walaupun membelakanginya. Karena gadis yang mengenakan jilbab disekolahnya hanya dia seorang.
Bersambung....
"Al kamu udah datang? Ayo sini nak, Mama mau bicara sama kamu dan Icha," ucap Dina ketika melihat putranya masuk kedalam ruang rawat tersebut.
Icha pun menoleh melihat siapa yang dipanggil Al oleh Dina. Saat Icha melihat ke belakang tatapannya bertemu dengan Al, mereka saling pandang dalam beberapa detik kemudian secara bersamaan memalingkan wajahnya.
Al berjalan mendekati Mamanya dan Icha berniat pindah dari tempatnya duduk. Sebelum Icha berdiri tangannya sudah pegang oleh Dina, menandakan Icha tak boleh beranjak. Karena Icha tidak jadi pergi, Al pun menghentikan langkahnya.
"Kok malah berhenti disitu Nak, ayo sini, Mama mau bicara sama kalian berdua," ucap Dina saat melihat putranya berhenti.
"Mau bicara apa Ma? Kenapa harus sama dia?" Al menunjuk Icha dengan dagunya.
"Mama punya satu permintaan buat kalian," Dina memandang mereka berdua.
"Kalian sudah tau kan kalau dijodohkan sejak bayi?" Tanya Dina
Mereka berdua hanya mengangguk secara bersamaan tapi belum mengerti apa maksud ucapan Dina tersebut.
"Al dan Icha sudah kita jodohkan sejak bayi, jadi Mama minta kalian untuk nikah, karena Mama mau melihat anak semata wayang Mama menikah. Mama tidak tahu sampai kapan umur Mama, makanya sebelum Mama pergi kalian harus menikah dulu. Memang dulu kita sepakat menjodohkan kalian saat nanti kalian sudah lulus kuliah, tapi karena penyakit yang Mama derita, Mama takut enggak bisa lihat kalian berdua menikah, jadi Mama harap kalian turuti permintaan Mama kali ini," ucap Dina panjang lebar.
Mereka berdua terlihat syok. Seperti tak bisa menerima kenyataan yang ada.
"Kenapa harus dia sih Ma yang di jodohkan sama aku? Gak ada cewek lain yang lebih baik dari dia apa?" ucap Al frustasi.
Karena Icha sama sekali bukan tipenya, dia pendiam, penampilan culun dengan kacama tebalnya, lalu cara berpakaian pun tidak modern sama sekali.
"Sttt... kamu gak boleh ngomong gitu, Icha gadis yang baik, cantik juga," Dina membela Icha.
Davit mendekat dan menghampiri mereka bertiga.
"Al, ini permintaan Mamamu, tolong dipenuhi ya, karena Mama harus berobat ke luar negri, dan mengajukan syarat tersebut. Kami para orang tua sudah menyepakati persyaratan Mamamu," jelas Davit pada anaknya.
"Emang Mama sakit apa Pa? Sampai harus dibawa ke luar negri segala?" karena syok dengan permintaan Mamanya, Al sampai lupa menanyakan penyakit sang Mama.
Davit menyerahkan hasil laborat pada Al. Lalu dengan gesit Al membuka amplop tersebut, setelah mengetahui isi amplop itu, seketika tubuh Al terasa lemas dan tak kuasa menahan tubuhnya. Dia pun terduduk di lantai, tanpa ijin air matanya pun menetes.
"Ini pasti bohong, enggak mungkin Mama sakit kanker darah," lirih Al dengan sendu.
Icha dan keluarga hanya diam menyaksikan tanpa bisa berkomentar apa-apa. Sebenarnya isi kepala Icha memikirkan permintaan Dina, dia membayangkan harus hidup dengan cowok playboy seperti Al. Dia suka gonta-ganti pacar ketika sudah bosan.
Al mencoba menguatkan dirinya, lalu ia berdiri dan mendekat ke Mamanya.
"Mama harus sembuh, apapun syaratnya Al akan penuhi, asal Mama mau berobat ke luar negri," putus Al akhirnya, meskipun dia berat jika harus menikah saat masih SMA seperti sekarang ini, apalagi nikahnya dengan orang yang tak dia harapkan.
"Makasih Nak, kamu mau turutin permintaan Mama, doakan Mama semoga cepat sembuh ya, dan kita bisa kumpul lagi," ucap Dina lalu mengelus punggung putranya.
"Icha, kamu mau kan turutin permintaan Tente? Kamu mau kan nikah sama Al saat ini?" Dina menatap Icha.
Icha yang di tatap seperti itu, dia menundukkan pandangannya, lalu beralih menoleh kedua orang tuanya yang entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya.
"Papa harap kamu turutin permintaan Tante Dina," ucap Bayu pada putrinya itu.
Lalu Icha mengangguk, "Insyaallah aku mau, jika memang ini yang terbaik," putus Icha pada akhirnya.
"Alhamdulilah," ucap para orang tua bersamaan.
"Karena Mama harus segera dibawa ke Singapur, jadi kalian akan menikah tiga hari lagi, sebelum Mama pergi. Semua akan kami persiapkan, kalian tidak usah bingung," terang Davit.
Al dan Icha terkejut mendengar penuturan Davit.
"Harus secepat itu?" tanya mereka bersamaan.
Davit tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban.
Icha dan Al hanya bisa pasrah, mereka berdua terlihat lesu setelah mendengar penuturan Davit.
"Sekarang kalian berdua ikut Mama, untuk fitting baju, karena waktunya sudah mepet," ajak Sinta mama Icha, pada Al dan Icha.
"Mama tadi sudah hubungin butik langganan Mama," tambah Sinta.
"Aku disini aja ya Tan, Tante sama Icha aja," Al berusaha menolak ajakan Sinta.
"Gak boleh gitu dong Nak, yang akan nikah kalian berdua, kamu harus ikut ya," bujuk Dina pada putranya.
"Baiklah, biar aku naik motor aja, nanti aku ikutin tante," putus Al pada akhirnya.
Mereka bertiga pun berpamitan untuk ke sebuah butik yang sudah ditentukan oleh Sinta. Tak lama Bayu pun pamit untuk kembali ke kantornya lagi.
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
Setelah perjalanan kurang lebih setengah jam, karena jalanan macet. Mereka pun sampai disebuah butik yang dituju.
"Selamat siang Bu Sinta, Ibu sudah ditunggu oleh Bu Mita, tunggu sebentar ya Bu, saya panggilkan Bu Mita dulu," ucap penjaga butik tersebut, karena memang sudah hafal dengan Sinta.
"Iya silahkan, saya akan tunggu di sini," penjaga butik itupun meninggalkan mereka menuju ruang Bosnya.
Tak berapa lama pun Mita datang dan langsung menghampiri Sinta.
"Icha yang mau nikah? Aku kira Farhan kakaknya," ucap Mita karena memang sudah mengenal mereka.
"Iya mereka yang akan nikah, ini permintaan Dina supaya pernikahan mereka dilakukan sekarang," terang Sinta, karena mereka bertiga memang beteman.
"Oh gitu. Sekarang Icha coba yang ini ya." Ucap Mita sambil menyodorkan sebuah kebaya berwarna putih yang masih terlipat pada Icha.
"Ini anaknya Dina? Ganteng banget, aku enggak pernah melihat, Dina sih gak pernah ajak dia kesini," ucap Mita lagi.
"Kamu coba yang ini." Mita menyodorkan paper bag pada Al. Dan Al menerimanya.
Karena ruang ganti di butik tersebut tidak hanya satu, mereka berdua masuk kedalam ruang ganti secara bersamaan. Beberapa menit kemudian Al lebih dulu keluar ruangan, kemudian disusul oleh Icha.
Icha terlihat cantik dengan kebayanya, meskipun jilbab yang ia kenakan masih memakai jilbab SMA nya, tapi kebaya tersebut pas ditubuhnya yang tinggi dan ramping. Begitu juga dengan Al, tuxedo yang dia kenakan juga pas dan tidak terlihat kebesaran.
"Perfect," ucap Mita saat melihat keduanya.
Sinta pun tersenyum dan mengaggukan kepala tanda setuju dengan Mita.
Setelah acara fitting baju, mereka pun kembali.
"Al Tante minta tolong antar Icha ya, soalnya Tante ada urusan sebentar, gak apa-apa kan?" tanya Sinta pada Al.
"Aku pulang naik taksi aja Ma," bukan Al yang menjawab, tapi Icha.
"Udah biar dianter Al, sebentar lagi kalian kan akan nikah, biar saling mengenal, kamu mau kan Al?" tanya wanita berhijab maroon yang tak lain adalah Sinta.
"Iya Tan, enggak apa-apa biar Icha aku yang antar pulang," jawab Al.
Sinta memasuki mobilnya, kemudian bergantian dengan Al menaiki motornya. Tetapi Icha diam tak berniat untuk naik motor Al.
"Lo mau pulang enggak sih? Kok malah diem?" tanya Al
"Aku pulang naik taksi aja," Icha berniat meninggalkan Al, tetapi ia urungkan karena ucapan Al.
"Keras kepala banget sih lo, gue juga ogah sebenarnya nganter lo pulang, tapi kalo sampe Tante Sinta tau gue yang bakal disalahin, dikira ninggalin lo sendiri," ucap Al sedikit emosi.
"Urusan Mama biar aku yang tanggung," Icha masih bersikukuh tidak mau diantar pulang oleh Al.
"Ikut gue cepetan!" Seru Al lalu menarik tangan Icha dengan paksa.
"Lepas Al!" Seru Icha dan berusaha melepas tangannya dari cengkraman Al, tapi nihil, tak terlepas juga, sampai mereka berada disamping motor Al.
"Aku risih naik motor sama cowok," ucap Icha kemudian.
"Gue juga risih naik motor sama cewek kaya lo, kalo enggak terpaksa ogah gue," ucap Al dengan sinis. "Cepetan naik!" perintan Al.
Dengan terpaksa Icha naik ke atas motor, dengan penghalang ransel Al yang ditaruh di punggung. Sepanjang perjalanan Icha hanya berpegangan dengan tas Al, sebenarnya tak ingin berpegangan, tetapi karena Al melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, terpaksa Icha berpegangan.
Setelah dua puluh menit, mereka pun sampai di rumah Icha, lalu Icha turun dan masuk rumah tanpa mengucapkan terimakasih pada Al. Begitu pun Al, setelah menurunkan Icha dia langsung tancap gas tanpa peduli dengan Icha.
Bersambung.....
Yuk mampir di karya temenku,
"Al ayo cepetan sudah siang ini," ucap Davit didepan pintu kamar Al.
"Iya ini udah Pa," Al keluar dari kamar disambut senyuman oleh Papa dan Mamanya.
Ya, mereka sekarang akan kerumah Icha untuk melaksanakan ijab qobul di sana. Hari ini adalah hari pernikahan mereka, dengan ogah-ogahan Al mengikuti Papa dan Mamanya, di ruang tamu ada saudara dekat mereka.
Dina memaksakan untuk pulang dari rumah sakit, dengan catatan dia tidak boleh terlalu lelah. Karena Dina tak mau meninggalkan acara penting putra semata wayangnya.
Rombongan Al sekeluarga berjalan menuju rumah Icha, terlihat ada lima mobil secara beriringan menuju rumah keluarga Icha.
Satu jam perjalanan, mereka baru sampai di rumah keluarga Icha, karena ini adalah hari libur atau tepatnya tanggal merah jadi jalanan macet, banyak pengendara yang berlibur memanfaatkan hari libur mereka di akhir pekan yang panjang, yang harusnya libur dua hari menjadi tiga hari karena hari Jumat ini adalah tanggal merah, momen yang pas pula untuk kedua calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan saat ini.
Rombongan keluarga Al terlihat memasuki rumah Icha secara bersamaan. Karena pernikahan ini hanya disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak mengingat status Al dan Icha yang masih sekolah.
Di sisi lain, Icha sedang duduk termenung di depan meja rias kamarnya, karena dia sudah selesai di rias. Dia akan turun setelah acara ijab qobul selesai.
Ya Allah, rasanya seperti mimpi saja. Aku belum percaya semua ini, harus nikah dengan dia cowok playboy itu. Lirih Icha dalam hatinya.
Dia merasa tidak tenang, was-was dan banyak perasaan tidak enak didalam hatinya. Sampai-sampai dia tidak memperhatikan wajah ayunya yang semakin cantik karena riasan natural yang di ciptakan oleh perias.
Karena tenggelam dalam lamunan, Icha sampai tak mendengar kalau ijab qobul telah diucapkan. Dan tersadar saat semua yang hadir mengucapkan kata sah.
Sah
Sah
Sah
Deg
Hati Icha berdetak tak karuan, bukan karena bahagia tapi karena pikirannya semakin kacau, dengan keadaan ini.
Tok
Tok
Tok
"Cha, Mama masuk ya," ucap sang Mama setelah mengetuk pintu.
Tanpa menunggu jawaban putrinya, Sinta pun masuk dan menghampiri Icha.
"Sayang sekarang kamu sudah sah jadi Istrinya Al. Ayo sekarang kita turun temui suamimu," ucap Sinta dengan senyum yang tak pernah memudar dari bibirnya.
Tanpa banyak kata, Icha pun mengikuti Mamanya yang akan membawanya turun menemui suaminya. Tetapi langkah mereka terhenti didepan pintu kamar Icha, saat seorang pemuda berdiri didepan pintu.
"Lho Kak, kok kamu berdiri disini kenapa?" Tanya Sinta pada putra sulungnya.
"Kaka mau antar adik kesayanganku menemui suaminya," jawab Farhan dengan senyum menghiasi bibirnya.
"Ayo, kamu sebelah kiri Icha, biar Mama yang sebelah kanan," ucap Sinta dan diangguki oleh Farhan.
Ketiga orang tersebut menuruni anak tangga, dan semua yang hadir memandang ke arah datangnya pengantin wanita, tak terkecuali Al. Dia tadinya acuh tak acuh, tetapi setelah melihat kecantikan Icha, pandangannya tak lepas dari Icha.
Si culun cantik juga ternyata kalo gini, beda banget sama disekolah. Batin Al saat memandang wajah cantik Icha yang sudah sah menjadi istrinya.
Icha duduk bersebelahan dengan Al.
"Sekarang pasang cincinya!" Perintah sang penghulu.
Al pun memasangkan cicin ke jari manis Icha, lalu bergantian dengan Icha memasang cincin di jari Al. Selanjutnya, Icha mencium punggung tangan Al dan Al menicium kening Icha. Meskipun sebenarnya Al tidak mau, tapi dia harus melakukannya demi kelancaran acara tersebut.
Serangkaian acara pun telah usai dan kini saatnya makan bersama. Menikmati makanan yang sudah disajikan oleh keluarga Icha, mereka saling mengobrol santai saat acara makan bersama.
"Al, Papa pulang dulu ya, kasian Mamamu nanti kelelahan," ucap Davit pada putranya.
"Aku ikut pulang Pa," pinta Al.
"Kamu boleh pulang tapi enggak sekarang, ini acara pernikahan kamu, nanti malam kamu nginep disini baru besok kamu kerumah bersama Icha," cegah Davit.
"Baik lah, hati-hati Papa pulangnya," ucap Al dengan lesu.
Setelah kepergian Papa dan Mamanya, Al merasa gerah ingin berganti pakaian tapi tidak tahu dimana kamarnya dan dimana juga koper yang tadi dibawa oleh saudaranya. Dia pun memutuskan untuk mencari seseorang yang menurutnya bisa ditanyai.
"Mas, aku mau ganti baju dimana ya?" tanya Al saat mendekati Farhan.
"Ayo gue antar, panggil gue Kak Farhan aja, serasa gimana gitu kalo dipanggil Mas, ha-ha-ha," tawa Farhan pecah, lalu ia berjalan dan diikuti oleh Al.
"Gue gak biasa dipanggil Mas, Icha dan Raffa biasa manggil gue Kakak," tambah Farhan setelah berhenti dari gelak tawanya.
"Baiklah Kak Farhan," ucap Al.
Setelah menaiki anak tangga, sampailah mereka di depan sebuah kamar. Farhan pun menyuruh Al masuk kedalam kamar itu, lalu dia meninggalkan Al setelah Al masuk kamar.
Saat memasuki kamar Al dibuat terkejut dengan seseorang yang berdiri dihadapannya. Seorang gadis yang berdiri didepan lemari pakaian hanya memakai handuk yang menutupi tubuhnya.
"Aaaa... kenapa kamu kesini!" sontak gadis itupun berteriak, lalu dia lari kedalam kamar mandi.
Al hanya mengernyitkan dahinya, heran melihat tingakah gadis itu yang tak lain adalah Icha. Al mendekati kopernya lalu mencari baju ganti untuknya.
Sedangkan Icha didalam kamar mandi bingung harus berbuat apa, karena dia belum sempat mengambil pakaian gantinya, yang ia bawa hanya jilbab saja, karena dia tadi asal ambil tanpa melihat apa yang dia ambil. Icha tak biasa memperlihatkan auratnya pada laki-laki kecuali Papa, Kakak dan Adiknya. Dia malu saat Al memasuki kamar dan melihat dirinya hanya memakai handuk selutut.
"Al kamu keluar sebentar ya, aku mau ganti baju dulu, nanti kalau aku dah selesai baru kamu masuk lagi!" teriak Icha dari dalam kamar mandi.
Al yang mendengar hanya berdecak malas, tapi dia pun menuruti kata Icha. Dia keluar kamar menuju balkon. Karena jika harus menunggu diluar kamar dia merasa tidak enak dengan saudara-saudara yang masih berada disana.
Setelah dirasa Al sudah keluar, Icha pun keluar kamar mandi lalau menuju lemari mencari pakain gantinya. Setelah menemukan dia pun masuk kekamar mandi lagi dan berganti pakaian di sana.
Beberapa menit berlalu, Icha sudah keluar kamar mandi dengan pakain rapi, tentunya sudah menggunakan jilbab juga. Saat dia akan keluar memanggil Al, tak sengaja melihat pintu kamarnya menuju balkon terbuka, dan mendapati Al berdiri di sisi pembatas balkon.
"Al aku udah selesai, sana kalau kamu mau mandi, aku mau turun gabung sama yang lain," ucap Icha pada Al.
Al berjalan melewati Icha tanpa sepatah katapun. Icha yang melihat Al seperti itu tampak biasa saja, meskipun dalam hati kecilnya sedikit kecewa. Kemudian dia memutuskan untuk keluar kamar dan bergabung dengan yang lain.
Setelah ritual mandinya selesai, Al keluar kamar dan berganti pakaian, saat dia akan berganti pakaian tiba-tiba pintu terbuka.
"Aaa... Al kenapa enggak pakai baju sih!" teriak Icha sambil menutup matanya dengan tangan.
"Bisa gak sih kalo enggak teriak," ucap Al dengan nada sinis.
"Maaf," ucap Icha meminta maaf.
"Kalau udah selesai ganti bajunya, turunlah, diajak Papa sama Mama makan siang, aku turun dulu," ucap Icha tanpa menoleh kearah Al, lalu dia melenggang pergi dari kamar tersebut.
Tak butuh waktu lama Al pun sudah rapi, menggunakan celana jeans panjang dan kemeja kotak-kotak lengan pendek. Dia terlihat tampan.
Lalu dia turun kebawah bergabung bersama yang lainnya untuk makan siang, karena memang perutnya pun sudah merasa lapar.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!