NovelToon NovelToon

Dari Cekcok Jadi Cinlok

Namaku Fafa.

Namaku Fafa. Cewek manis dan imut, menurutku sendiri pastinya, hehehe.

Tapi memang bener kok, semua temanku bilang kalau aku ini manis, semanis gula batu.

Ya, semua ku syukuri. Wajahku tak pernah di hinggapi laler, eh jerawat, maksudnya, walaupun aku tak pernah ikut perawatan kulit dengan dokter-dokter ternama.

Kulitku putih, badanku tinggi dan ramping. Mungkin sangat pantas untuk jadi seorang model. Hahaha.. tentu saja itu adalah pendapatku sendiri.

Yang sebenarnya, aku ini hanya seorang gadis biasa dari keluarga sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil di Klaten.

Dan sekarang, setelah aku lulus SMU, aku langsung melamar kerja di sebuah perusahaan garment dan Alhamdulillah aku di terima bekerja sebagai Salles Promotion Girl atau yang biasa di sebut SPG dan di tempatkan di Jogja. Tepatnya di sebuah mall yang ada di tengah kota Jogja.

Jujur, aku sedikit enggan untuk meninggalkan kedua orang tua ku di desa. Mereka sudah sangat tua untuk hidup berdua saja tanpa ada aku yang merawat. Tapi mau bagaimana lagi, di desa, aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan, sedangkan di sini aku bisa bekerja. Dan paling tidak, setiap bulan aku bisa menyisihkan beberapa untuk di kirimkan pada mereka.

Sebenarnya aku sangat ingin melanjutkan sekolah. Aku ingin kuliah, bertemu banyak orang pintar dan belajar dari mereka.

Siapa tahu aku bisa tertular menjadi pintar dan sukses. Tapi apa mau di kata, bekerja sebagai SPG hanya berpenghasilan secukupnya. Untuk makan sehari-hari, untuk biaya kost dan mengirim ke desa. Itupun kadang-kadang aku puasa untuk mengirit biaya makan. Duh jadi malu, tujuan puasa itu bukan untuk mengirit biaya makan loh ya! Jangan salah paham. Hehe..

Tapi biarpun orang lain memandang diriku dengan tatapan mengasihani, aku tetap merasa bahagia. Karena aku bukan pengemis yang meminta belas kasihan orang dan tidak melakukan apa-apa alias bermalas-malasan.

Aku merasa beruntung bisa bekerja.

Tak di pungkiri juga, wajahku inilah yang membuat aku bisa di terima bekerja dan tinggi badanku yang semampai juga salah satu penunjang utama. Di mall ini saja, tinggi minimum agar bisa di terima bekerja itu 158cm. Dan tinggiku adalah 165cm, aku cukup bangga dan selalu bersyukur pada Tuhan atas anugerah Nya Bagaimanapun, semua hal yang ada pada diriku itu sangat sempurna. Hidup ini benar-benar indah.

Aku tinggal di sebuah rumah tua yang mempunyai banyak kamar. Sepertinya rumah ini memang sengaja di bangun dengan tujuan untuk di sewakan.

Rumah tua ini bersebelahan dengan rumah yang agak modern, dan disanalah si pemilik rumah tinggal Pemilik rumah kost ku adalah seorang Ibu tua, lebih tepatnya nenek-nenek. Umurnya mungkin sekitar 70 tahun.

Rumah kost ku sebenarnya jauh dari nyaman. Dengan ranjang yang kecil dan kasur yang atos, aku harus berbagi dengan teman satu kamarku.

Tidak ada kemari dalam kamar. Karena aku belum mampu membeli lemari, aku mengambil kardus bekas mie instant lalu ku bungkus dengan kertas kado, kemudian aku lubangi serupa pintu. Lumayan untuk tempat baju, hahaha.. Orang tidak punya kan harus aktif dan kreatif. Kembali ke masalah kamar kost ku yang sangat sederhana. Di dalam kamar, hanya di sediakan satu ranjang kecil, satu meja dan satu kursi kayu. Listrik pun mati dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, kata Ibu kost 'listrik mahal!'

Luar biasa ya, tahun milenium masih aja kayak jaman penjajahan Belanda.

Dan masih banyak ketidak nyamanan lainnya, tapi sebaliknya, teman-teman kost ku adalah orang-orang yang sangat baik. Mungkin karena itulah aku enggan meninggalkan tempat kost ini.

Sstt... sebenarnya sih karena hanya tempat kost ini lah yang paling murah di antara yang lain, aku kan harus ngirit karena aku hidup sendiri di sini, tanpa sanak saudara, hanya ada teman kost yang sangat aku andalkan.

Tuhan benar-benar baik, karena sudah mempertemukan aku dengan mereka, yang selalu menolongku saat aku kesusahan. Ini lah yang namanya rezeki.

Kesibukanku tiap harinya adalah bekerja, bekerja dan bekerja. Habis mau bagaimana lagi, di umurku yang sudah menginjak 20 tahun, aku sama sekali belum pernah berpacaran, aku tak punya teman lelaki, kenalanku juga sedikit sekali.

Aku ingin punya pacar, dan merasakan bagaimana di perhatikan dan di sayangi oleh pasangan. Heuh.. jomblo ngenes banget aku tuh!

Dulu, dulu sekali.. long time ago -kalau kata orang Amerika-, waktu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMU, aku pernah dekat dengan seorang teman lelaki. Aku mulai menyukainya karena dia baik dan perhatian padaku. Tapi suatu hari, ketika dia mengantarku pulang dengan motor bebeknya dan melihat keadaan rumahku yang amat sangat sederhana, tiba-tiba dia langsung menghindari ku. Di sekolah tak pernah menyapaku lagi.

Aku tak pernah malu dengan kondisi ekonomi keluargaku, aku tidak pernah menyalahkan orang tuaku yang hanya mampu membangun rumah yang terbuat dari bilik bambu.

Tapi jalan pemikiran orang kan berbeda-beda, aku tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai orang miskin seperti diriku. Sejak saat itu, tanpa aku sadari aku berubah menjadi gadis yang minder jika di dekati lelaki.

Tapi itu cerita dulu ya, setelah bekerja dan menghasilkan uang dengan tanganku sendiri, aku merasa lebih percaya diri. Akhir-akhir ini pun aku sedang dekat dengan seorang lelaki bernama Adnan. Dia adalah security di mall tempatku bekerja. Orangnya tinggi dan gagah. Aku menyukainya diam-diam dan sangat senang karena dia juga sangat baik padaku.

Adnan tidak pernah menyatakan menyukaiku, tapi kami dekat lebih dari sekedar teman.

Setiap hari dia mengirim chat yang berisi puisi alih-alih menanyakan kabarku, membuat hatiku berbunga-bunga.

"Hai." Tiba-tiba Adnan berdiri di belakangku dan berbisik. Membuatku terkejut, tapi aku tetap tersenyum padanya.

"Nanti pulang bareng ya." Ajaknya.

Aku mengangguk mengiyakan. Setelah itu dia pergi berkeliling, melanjutkan tugasnya.

Hanya seperti ini saja aku sudah bahagia. Sedikit berharap jika nanti, saat dia mengantarku pulang, dia akan mengungkapkan perasaannya padaku.

Aku nyengir sendiri, persis kuda.

Malamnya, setelah toko tutup. Aku melihat Adnan sudah menungguku di atas motor bebeknya. Setelah itu dia mengantarku pulang ke rumah kost ku dan langsung berpamitan pulang.

Aku menghela napas kecewa, padahal aku mengharapkan dia untuk mampir dan ngobrol sebentar. Tapi dia malah langsung pergi, yah.. mungkin dia merasa lelah sudah bekerja seharian. Sudahlah mungkin sekarang bukan waktu yang tepat, pikirku mencoba menghibur diri sendiri.

"Hayoo! kae mau sopo?" Teman kost ku yang bernama Winarsih menggodaku.

"Bukan siapa-siapa kok Mbak." Jawabku malu-malu.

"Siapa-siapa juga nggak papa." Ucapnya sambil menyenggol lenganku.

"Nggak tahu lah Mbak, nggak jelas." Keluhku.

"Ya kamu lah yang aktif! Kalau dia nya nggak jelas, kamu harus bikin jadi jelas! deketin dia! lebih agresif! Kalau nggak, nanti kamu nggak bisa dapetin dia!" Ucap Winarsih menggebu-gebu.

"Malu to Mbak, masa cewek lebih agresif?"

"Perbandingan cowok dan cewek itu, banyakan cewek loh! Kalau kamu santai terus, pasti di duluin cewek lain!"

...*...

Semalaman aku nggak bisa tidur karena terus kepikiran sama ucapan Mbak Winarsih. Emang bener sih, kalau komunitas cewek lebih banyak dari pada cowok, belum lagi cowok-cowok yang berubah jadi cewek.

Apa iya aku harus jadi cewek agresif demi mendapatkan Adnan? Apa nanti malah dia nggak ketakutan dan pergi meninggalkan aku? Akhh!!! Memalukan sekali!!

Aku berhenti dari lari pagi ku dan menatap awan putih yang ada di langit biru nan cerah. Aku menghirup udara segar pagi ini hingga merasakannya masuk ke dalam paru-paru ku.

"Segarnya...." ucapku sambil merentangkan kedua tanganku ke atas.

Setiap 2 hari sekali, aku selalu lari pagi di sekitar kompleks rumah kost ku. Hari ini karena masuk sift siang, aku agak santai dan menambah rute lariku sedikit jauh. Dan sampailah aku pada sebuah rumah yang sangat megah hingga membuatku terpana.

Rumah besar itu di kelilingi dengan pagar besi yang cukup tinggi. Walaupun demikian, aku masih bisa melihat pohon-pohon rindang yang ada di halamannya. Dari balik pintu pagar yang terbuat dari besi, aku bisa melihat sebuah jalan setapak yang sengaja di buat untuk jalur mobil.

Rumahnya sangat besar, mungkin ada tiga lantai.

Tanpa sadar aku menggelengkan kepala sambil berdecak kagum.

Saat sedang asyik bengong di depan pagar, tiba-tiba saja sudah ada sebuah mobil mewah tepat di belakangku dan membunyikan klakson hingga membuatku sedikit melonjak karena terkejut.

Aku langsung menepi ke sisi jalan dan membiarkan mobil itu melewatiku. Mungkin dia si pemilik rumah mewah ini. Luar biasa, 'uang' mungkin bukan masalah untuk kehidupan mereka. Betapa irinya diriku.

Setelah mobil mewah itu berhenti tepat di depan pintu pagar, tiba-tiba pintu pagar tadi terbuka dengan sendirinya. Sangat menakjubkan! Mungkin kalau orang-orang di desaku melihat ini, mereka pasti langsung bertepuk tangan dengan riuh seakan-akan melihat tontonan yang menakjubkan.

Aku harus kerja berapa puluh tahun untuk bisa memiliki rumah sebagus ini? Mungkin 50 tahun, dengan gaji utuh yang tak pernah di pakai. Dan saat aku bisa memilikinya, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini karena kelaparan.

Hahaha... Aku menertawai hidupku sendiri dalam hati.

Dengan enggan, aku berlari kembali menuju rumah Kost ku.

Radio.

"Haah!! Ya ampun!" Aku langsung menutup mulutku.

"Stt!! jangan berisik!" Winarsih menyembunyikan radio yang baru di belinya. Di tempat kost kami, radio adalah barang terlarang layaknya narkoba atau mariyuana.

Alasannya hanya satu, karena radio memakai listrik, dan kata Ibu kost, 'listrik mahal!'

"Kita nyalain tapi pelan-pelan saja." Bisik Winarsih.

Aku mengangguk senang. Aku ingin dengar musik. Di rumah kost yang besar ini, TV hanya ada satu, itupun kami harus ke rumah Ibu kost yang ada di sebelah. Kadang malas juga, tapi di kamar juga mau apa? sepi. Kalau merasa bingung dan bosan, pada akhirnya aku lebih memilih untuk tidur atau membuka laman Facebook ku sampai bosan.

Tapi sekarang ada radio, pasti lebih menyenangkan.

Aku bisa mengulang hoby ku saat masih SMU, yaitu berkirim salam lewat radio dan request lagu-lagu favorit ku.

Winarsih mulai memutar tombol tuning dan akhirnya menemukan saluran radio yang memutar musik. Kami pun bersorak riang. Tak pernah terbayangkan olehku, mendengarkan radio bisa se-happy ini.

Padahal sekarang teknologi begitu canggih, handphone menyebar di seantero jagad raya, internet pun merajalela dan jejaring sosial menjamur di mana-mana. Tapi aku di sini, sudah menjerit kesenangan karena mendengarkan siaran radio. Kampungan sekali aku ini.

"Suara apa itu!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan Ibu kost.

"Cepat kunci pintunya!" Bisik Winarsih. Aku pun langsung melompat dari tempat tidur dan mengunci pintu.

Tok! Tok! Tok!

Ibu kost mulai tak sabar ingin masuk dan terus mengetuk pintu.

"Ambil batu baterai! cepat!" Teriakku lirih. Winarsih mengambil batu baterai lalu memasangnya di radio, kemudian mencabut kabel radio yang menyambung ke stopkontak listrik dan menyembunyikannya di bawah bantal.

Winarsih mengangguk, tanda semua telah aman.

Dengan jantung berdebar kencang, aku membuka pintu kamar dan muncullah Ibu kost dengan muka sangarnya.

"Kenapa bawa radio?! di sini nggak boleh pake listrik!" Ucapnya tegas.

"Nggak pake listrik kok Bu, ini pake batu baterai." Ucap Winarsih semanis mungkin sambil menunjukkan batu baterai yang menempel di dalam radio.

Ibu kost terdiam, tapi wajahnya masih terlihat kesal. Dia pun berbalik. Aku dan Winarsih tersenyum penuh kemenangan.

"Dasar lont*!" Ucap Ibu kost dari kejauhan.

Mataku membulat sempurna dan mulutku menganga, orang setua itu ternyata masih bisa bicara kasar.

"Ya, kamu ger*o nya, kan setiap bulan di setorin duit sama kita." Ucap Winarsih lirih, lalu diikuti tawa kami berdua.

Ibu kost kami memang menakutkan, kata-katanya juga kadang sangat tidak enak di dengar dan menyakiti hati. Jadi maafkan kami ya bu, kadang-kadang suka bandel.

Tapi karena ke-galakkan Ibu kost, kami semua menjadi teman yang sangat dekat bahkan seperti saudara. Mungkin itu semua karena keinginan yang muncul untuk saling melindungi satu sama lain, sebagai anak kost yang teraniaya, wallah.. lebay nya diriku.

"Oh ya Fa, hampir lupa." Winarsih mendekati lemari dan mengambil sebuah amplop putih. "Tadi pagi ada surat buat mu." Dia menyerahkan surat itu dan ku terima.

"Dari Bapak," ucapku sambil membuka surat dan mulai membaca isinya.

Aku menghela napas kemudian melipat kembali surat tadi.

"Kenapa?" tanya Winarsih sambil menatapku.

"Biasa..." aku tersenyum.

"Biasa? apa?"

"Duit. Bapak minta di kirimi duit." Ucapku sambil tersenyum.

"Ada?" tanya nya lagi.

"Nanti lah, gajian baru aku kirim. Sekarang kan tanggal tua bangka." Selorohku sambil tertawa.

"Mungkin lagi butuh banget, Fa. Kalau mau pakai uangku dulu." Winarsih menawarkan bantuan.

"Ck!" Aku mengibaskan tangan, "nggak terburu-buru kok. Santai aja Mbak."

"Wes wengi! Ribut ae! bocah wedok ra ngerti aturan!"

"Ups!" Aku langsung menutup mulutku.

...*...

Hari ini aku sift siang, dan seperti biasa, pagi-pagi aku pergi untuk berolah raga. Aku berlari kecil sambil terus memikirkan Bapak dan Ibu di desa.

Kapan ya, aku bisa mengumpulkan uang? agar Bapak dan Ibu hidup dengan lebih baik, tanpa kekurangan. Mereka berdua sudah tua, kasihan sekali kalau harus pergi ke sawah, berpanas-panasan demi sekarung beras.

Aku menghela napas, kalau memikirkan kedua orang tuaku, hatiku jadi sedih. Air mata bahkan sudah menggenang tanpa kusadari.

Buru-buru aku menghapusnya. Aku nggak boleh begini! Aku harus kuat!

"Semangat!!!" Teriakku lantang.

"Mbak, lagi ngapain!"

Wajahku langsung memerah, ada seorang Bapak berbaju satpam mendekatiku.

"Ah, e.. nggak ada apa-apa, Pak." Ucapku, malu. Ternyata Pak Satpam ini adalah penjaga rumah besar yang selalu ku lewati. Tanpa ku sadari, aku sudah berada di depan rumah mewah berlantai tiga itu.

"Ru.. rumahnya.. gede banget ya Pak?" Ucapku basa basi.

"Iya Mbak, tapi nggak ada penghuninya " Jawab si Bapak satpam.

"Masa? rumah sebesar itu nggak ada penghuninya? padahal orang satu kampungku bisa muat semua tuh! Ck ck ck.." Aku menggeleng heran.

Aku loh, umpel-umpelan di rumah kost, berbagi di kasur kecil dengan Mbak Winarsih. Eh, di sini malah rumah segede itu di biarkan kosong. Hidup sungguh tak adil.

Bapak Satpam tadi tertawa mendengarkan celotehanku, "penghuninya memang cuma dua, tapi pembantunya ada sepuluh."

"Sepuluh?!" Ulangku tak percaya. "Pembantu punya sepuluh? ya ampun, kaya banget itu pemiliknya. Punya pabrik pencetak uang ya Pak? Perasaan aku kerja siang malam di bela-belain lembur juga gini-gini aja." Ucapku sambil bercanda hingga Pak Satpam tertawa lagi.

"Memangnya si Mbak kerja di mana?"

"Saya kerja di mall Pak, jadi SPG."

"Syukuri Mbak, anak saya ngelamar kerja kesana kesini belum ada panggilan. Kalau ada lowongan, mbok saya di kasih tau. Siapa tahu anak saya bisa di terima."

"Oh ya, inshaAlloh saya kabari Pak. Nanti kalau ada info lowongan kerja, saya ke sini kasih kabar. Saya permisi ya Pak." Ucapku sambil berpamitan.

Ku sapu kan pandanganku sekejap ke balik pagar rumah besar itu, dan aku melihat seorang lelaki tampan duduk di atas kursi roda sedang memandang tajam ke arahku.

Bulu kudukku merinding. Jangan-jangan orang itu hantu, kulitnya putih banget.

Aku langsung melengos dan melanjutkan lari pagiku.

"Ganteng tapi kok menakutkan ya.. hiii..." Aku bergumam sendiri.

...*...

"Kita jalan yuk."

Aku terdiam tanpa kata (D'Masiv banget ya!).

Antara bingung dan bahagia. Ini bukan mimpi kan? tanpa ba bi bu, Adnan ngajakin jalan? Oh my God!

Apa yang harus ku lakukan? pura-pura jual mahal? menolak? mengulur-ulur? atau langsung mengangguk girang tanpa malu-malu? Aku harus bagaimana???

Ah! peduli amat! Ini kan kesempatan yang sudah kutunggu-tunggu sekian lama, masa aku biarkan berlalu begitu saja!

"Memangnya... kamu mau ajak aku ke mana?" Tanyaku, malu-malu.

"Ya jalan aja, muter-muter kemana gitu. Yang penting berdua."

Aku mencoba sekuat tenaga menahan senyum di bibirku, alhasil hidungku jadi kembang kempis karenanya.

"Boleh, kapan?"

"Nanti aku kabari lewat chat, besok kamu libur kan?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Setelah itu, Adnan pun pergi untuk melanjutkan tugasnya.

Setelah Adnan sudah tak tampak, aku langsung melonjak kegirangan.

"Yes! yes! yes!" teriakku riang.

Akhirnya, setelah 20 tahun lamanya, aku bisa merasakan yang namanya kencan.

.

#Enjoy reading ❤️❤️

Ikutin terus kisah Fafa ya gaes..🤗

Terima kasih🙏🙏

Sebuah Misi.

Sepulang kerja, aku langsung berlari menuju kamar kost dan mengambil HP jadul ku, aku pelototi layar nya dan langsung merasa kecewa. Tak ada chat dari Adnan -sama sekali-

"Mungkin besok pagi, ya. Pasti besok pagi dia kirim chat." Ujarku menenangkan diri.

Dan ternyata sampai besok hari nya pun, HP ku terus membisu. Tak ada chat ataupun panggilan telpon yang masuk.

Padahal aku sudah membuang waktu seharian melototin layar HP dan menunda semua kegiatan yang sudah ku jadwalkan sebelumnya demi menunggu kepastian dari Adnan. Tapi hasilnya nihil!

Sampai malam tiba pun, aku tak kunjung menerima kabar. Bahkan permintaan maaf pun tak ada.

Kesal nya luar biasa!!

...*...

Saat menuruni tangga di ruang istirahat, aku bertemu Adnan. Tapi dia diam saja, seolah tak ada apa-apa.

Apa menurutnya, ucapannya kemarin hanya basa-basi? maksudnya bagaimana sih? apa menurutnya, aku ini nggak penting?

Aku mendengus kesal. Ingin rasanya ku tanyakan alasan kenapa kemarin dia tak memberi kabar. Tapi aku langsung urungkan niatku, 'tengsin amat!' batinku.

Yang ku lakukan hanya mendiamkannya, walaupun kami bolak-balik berpapasan di ruang istirahat dan lorong toko.

"Fa!"

Aku menoleh dan melihat Mira, salah satu SPG yang ku kenal.

"Hey, ada apa?"

Aku mau pamitan, mulai besok aku sudah nggak bekerja di sini."

"Loh, kenapa?" Aku menyambut uluran tangannya dan berjabatan.

"Nggak kenapa-kenapa, aku dapat pekerjaan yang lebih bagus." Ucapnya sambil tersenyum.

"Beneran? Syukur deh. Tambah sukses ya. oh ya, sudah ada yang gantiin kamu belum?"

"Belum nih, kamu ada kenalan?"

"Ada." Ucapku cepat. "Minta alamat kantor kamu dong."

"Oke deh, nanti aku kasih alamatnya."

"Sip lah, thank you ya.."

Besok lagi saat lari pagi, aku akan menyerahkan alamat ini ke Pak Satpam di rumah besar itu. Siapa tahu anaknya bisa di terima bekerja.

Aku jadi teringat diriku sendiri, bagaimana susahnya mencari pekerjaan. Dan saat ada seseorang memberi tahu info lowongan kerja, betapa bahagianya aku saat itu. Aku benar-benar terharu.

Orang-orang baik seperti itu pasti di berkahi Tuhan kan? dan aku ingin menjadi salah satu diantaranya.

Aku lari pagi di hari berikutnya, hari ini nggak seperti biasanya. Hari ini aku membawa sebuah misi.

Karena kesal selalu bertemu Adnan di toko, aku memutuskan mengambil cuti. Jadi hari ini aku off lagi. Enaknya jadi SPG itu begitu, bisa libur sesuai keinginan hati, asal bukan hari minggu atau hari libur nasional. Karena di hari-hari tersebut, haram hukumnya untuk SPG mengambil cuti. Karena dapat di pastikan Mall akan ramai dari pada hari biasa.

Setelah berlari cukup jauh, akhirnya sampailah aku di rumah gedong yang super besar.

Membayangkan wajah Pak Satpam yang gembira saat ku beri tahu tentang lowongan pekerjaan ini, hatiku langsung terasa hangat.

Aku mendekati pagar rumah besar itu dan melirik pos satpam yang kosong.

"Kemana perginya si Bapak?" gumamku.

'Tin! Tin!

Aku melonjak kaget dan menoleh. Ternyata ada mobil sedan warna hitam mengkilat, di belakang ku.

"Ada apa Mbak?" Seorang wanita setengah baya, dengan rambut yang separuhnya berwarna putih dan rapih karena di sanggul ke belakang, keluar dari dalam mobil.

Wanita itu sangat cantik dan anggun dengan setelan baju yang sangat elegan. Aku adalah SPG fashion, jadi aku tahu kalau baju yang di kenakan Ibu ini bukan sembarang merk. Harganya mahal. Ya, namanya juga orang kaya.

"Mbak?"

Aku terkesiap dan bangun dari lamunan, "mm.. saya cari Pak Satpam." Ucapku sedikit ragu, karena aku tak mengingat namanya.

"Ada apa cari Pak Satpam?"

"Ah, ini.." Aku menyerahkan secarik kertas.

Wanita itu menerima kemudian membacanya.

"Ini apa?" Tanyanya lembut.

"Itu alamat kantor yang sedang membutuhkan SPG. Kemarin Pak satpam bilang, katanya putrinya sedang mencari pekerjaan."

Ibu itu tersenyum, "Ayo masuk." Ajaknya.

Waduh? kok aku malah di suruh masuk? ngobrol di luar gerbang aja sudah grogi setengah mati, apalagi harus masuk ke dalam rumah megah bak istana itu.

"Ehm, tidak usah Bu. Saya menunggu di sini saja." Balasku, sungkan.

"Ayo, nggak apa. Masuk saja." Si Ibu menarik tanganku dan mengajak masuk ke dalam mobil mewahnya.

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan mobil ini pun meluncur masuk melewati jalan setapak yang di sisi kanan kiri nya di tumbuhi pohon-pohon rindang.

Aku berdecak kagum dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala mengagumi kemegahan taman yang ku lewati. Dari pintu gerbang menuju rumahnya saja, bisa untuk membangun beberapa petak rumah. Luasnya luar biasa, MashaAlloh..

Akhirnya kami sampai di rumah megah yang selalu ku pandangi dari balik gerbang, mobil ini berhenti tepat di depan pintu megah yang super tinggi dan di apit oleh dua pilar yang besar dan menjulang.

Si Ibu keluar dari mobil dan mengajakku masuk ke dalam rumah nya.

Mulutku menganga lebar, terlalu lebar hingga mungkin lalat bisa dengan sengaja memasukinya.

Rumah ini sungguh luar biasa! Dari luar sudah terlihat megah dan tak kalah menakjubkan dari dalam. Interiornya begitu istimewa, dan perabotan yang ada di dalamnya juga tak sembarangan. Aku tak berani bergerak dari tempatku berdiri, aku takut merusak semua benda mewah ini jika menyentuhnya. Kaki ku gemetar.

Sepertinya aku harus mengoreksi khayalan ku waktu itu. Kerja keras tanpa makan selama 50 tahun, belum tentu bisa untuk membeli rumah yang sangat menakjubkan ini.

Aku menghela napas pelan.

"Silahkan duduk," Ucap Ibu itu sopan.

"I.. iya, terima kasih." Aku menempelkan pantatku di sofa yang berwarna keemasan, empuk sekali.

Wanita itu sungguh orang kaya yang anggun. Aku pernah bertemu dengan customer di mall dengan penampilan yang hampir sama, tapi sikap dan cara bicara yang sangat berbeda.

'Krompyang!!!'

Hampir saja jantungku meloncat.

"Pergi dari sini! aku nggak butuh kalian!!!"

Aku menoleh, suara tadi berasal dari lantai dua. Dan tak lama kemudian, ada seorang wanita muda -sepertinya seumuran denganku-, memakai baju putih layaknya seorang perawat, keluar dari salah satu kamar sambil menangis.

"Jangan berani muncul lagi dan menampakkan muka jelekmu!!!"

Siapa sih laki-laki kasar itu! Pengen banget ta uwel-uwel mukanya! Nggak punya sopan santun, menghina orang seenaknya!

Belum lihat wajahnya, tapi aku tahu kalau dia pasti lelaki paling jelek sejagad raya! Benci aku sama orang yang suka menginjak-injak orang lain.

Si Wanita anggun tadi hanya menggelengkan kepala lalu mendekati perawat yang menangis tersedu-sedu.

"Maaf ya, mungkin Vian sedang kesal. Jangan di ambil hati."

"Iya Nyonya, saya maklum. Tapi maaf, saya mau mengundurkan diri saja. Maafkan saya."

Si Nyonya rumah menatap perawat itu dengan penuh penyesalan. "Baiklah kalau begitu, nanti gaji kamu saya transfer ya."

Lalu si perawat itu pergi dan Nyonya pemilik rumah mendekati ku. "Maaf ya, kamu jadi lihat kejadian yang kurang enak."

Aku tersenyum, "saya yang nggak enak sudah bertamu di waktu yang kurang tepat."

Si Nyonya tersenyum lagi, "Oh ya, sebentar saya panggilkan Pak Satpam. Mungkin dia sedang sarapan di dapur."

"Terima kasih." Ucapku sambil mengangguk.

Tak lama kemudian, Satpam yang waktu itu bertemu denganku di depan rumah, menghampiriku.

Aku pun tersenyum sambil bangun dari dudukku

"Masih ingat saya, Pak?" tanyaku.

"Oh... ya..." Jawab si Satpam agak bingung.

Aku yakin 100% kalau si Bapak nggak inget padaku. Tapi ya sudah, tak apa. Aku beri alamat ini terus langsung ngacir ah! lumayan malu juga nih!

"Dulu kan Bapak pernah minta di kabari kalau ada info lowongan kerja. Nah, kebetulan teman saya ada yang resign, dan belum ada penggantinya. Siapa tau putri Bapak mau melamar jadi SPG, ini alamat kantornya." Ucapku sambil menyerahkan secarik kertas yang sudah kumal karena ku remas dari tadi.

"Oh iya!"

Nah, kalau ekspresi ini, aku yakin dia sudah ingat kejadian waktu itu.

"Aduh, saya bikin repot ya? terima kasih sekali ya Mbak." Ucap si Bapak Satpam.

"Nggak repot kok, kan kebetulan sambil lari pagi. Kalau begitu saya permisi."

"Eh, kok buru-buru. Temenin saya ngobrol dulu yuk."

Si Nyonya rumah yang dari tadi berdiri di sampingku, menarik tanganku. Berusaha mencegah kepergianku.

"Tapi, saya..."

"Mau berangkat kerja?"

"Kebetulan saya sedang cuti."

"Nah kan, kita bisa ngobrol sekalian sarapan. Gimana?"

Wah... sarapan? jam tujuh pagi?

Aku jadi teringat masa-masa sewaktu aku masih tinggal di desa bersama Bapak dan Ibu. Aku selalu sarapan jam tujuh pagi, pakai nasi anget, tempe goreng dan sambel terasi tak lupa lalapan daun singkong. Air liurku hampir menetes. Itu adalah masa-masa terindah dalam hidupku.

Sekarang, setelah hidup sendiri di Jogja, aku sudah tak mengenal sarapan jam tujuh pagi.

Aku selalu menggabungkan sarapan dan makan siang di jam 11. Sudah tentu alasannya adalah untuk menekan pengeluaran, haha... Betapa kasihan diriku, hixs.

Orang tua bilang, 'pamali nolak rejeki'. Dosa! Aku harus menuruti petuah orang tua. Hehe.

Lagi pula cacing di perutku langsung bernyanyi begitu mendengar kata 'sarapan'.

Untung suaranya tak terlalu nyaring, malu aku.

Tapi, kenapa si Nyonya rumah begitu baik padaku ya? Aku jadi penasaran.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!