NovelToon NovelToon

Lima Kisah Cinta

Ada Surga di Wajahmu

Uap kebencianmu masih tercium dari sini. Ketika matamu berbalik arah dari tempatku bicara sekarang, hatiku meranggas dan meradang. Dadaku rasanya hendak meletup-letup. Apa kau justru malah terbakar rasanya? Melihatku bicara, sedang kau tidak mau mendengarnya?

"Nona Sekar, katakan dengan sejujur-jujurnya. Ada apa dengan sikapmu?"

"Dengarkan ini, Wahid! Aku tidak akan bicara apa-apa. Jangan meminta apa pun dariku." Dia mengucapkan itu dengan kesungguhan hati. Raut wajahnya murka. Keindahan wajahnya pun lenyap.

"Nona, kautahu, kan, bagaimana maksudku?"

Bibir manisnya terkatup rapat seperti kuncup bunga.

"Wahid, kauingin aku memanggil Ayahku? Sudahlah, Wahid. Pergi saja kau!"

"Tidak, Nona. Tapi, aku..." Kalimatku terpangkas.

"Jangan mencicit!" Nadanya melesat tinggi. Langsung merasuk ke dalam kapas telingaku.

Baru sekali ini aku mendengar sabdanya sanggup mengiris hati. Mengoyak sisa kekuatanku.

"Maafkan aku, Nona." Aku mengakhiri kata. Aku menatap tubuhnya masih berdiri di tengah hamparan rumput hijau di sekelilingnya.

"Aku membersamaimu dengan kata semoga," kataku membatin.

Satu, dua langkahku mulai menjauh. Namun, hatiku tergerak untuk mengutarakan sepatah kata lagi. Saat itulah aku melihat separuh wajahnya terbungkus sinar matahari.

"Aku mengaguminya meskipun sikapnya tidak pernah manis padaku. Engkau ciptakan dia dari apa, Ya Allah?"

Sorot matanya berpijar-pijar. Dan, dia membeku di sana. Alisnya menyatu. Pandangannya jatuh. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin dia hanya menyembunyikan sesuatu dan ingin tetap terlihat seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Dia bersandiwara. Seakan – akan dia mengatakan itu dengan kesungguhan hati.

Saat dia mendongak, aku bicara lagi, "Seharusnya kau tidak menenggalamkan wajahmu dalam kegelisahan. Kau wanita tangguh, Nona."

Sekali lagi dia menyuruhku pergi dengan tatapannya.

Matahari telah menyingsing ke arah barat.

Saat aku sedang menggiling padi yang dipanen emak kemarin, puing wajah murungnya hadir membayangi.

"Kenapa dia? Dia tidak mungkin menangis.”

Bapak memanggil sebelum meletakkan segelas teh jahe beruap di meja, "Le?"

"Iya, Pak." Aku pergi menghadapnya.

"Apa, ya, mungkin bocah ayu, pinter, bisa tresno padamu?"

Aku mencipta senyum. Begitu saja aku merasa bangga bapak menyanjungnya. Lebih-lebih jika aku menghadiahkan menantu seperti nona.

"Tak kasih tahu yo, Hid. Gadis pujaanmu itu sudah banyak menolak lamaran para lajang. Padahal, mereka keturunan orang berada. Emak khawatir kamu bernasib sama. Malang benar hidupmu, Wahid. Putra satu-satunya Emak ditolak gadis pujaan." Emak terlihat kesal mengandaikan semua perkataannya. Emak pun ikut duduk di sebelah bapak sambil memegang tampah berisi kopi yang sudah dikupasi.

"Kalau gadis itu sampai menolak laki-laki lagi, Emak pikir dia bisa melajang seumur hidupnya."

"Hushh. Bicara yang elok-elok. Itu sama saja dengan nyumpahi," kata bapak membela.

"Pak, Mak, Wahid tidak memaksa. Apalagi berharap lebih. Tidak perlulah mengkhawatirkan apapun. Wahid mau meneruskan kerjaan." Aku pun bangkit.

Pikirku menyertai langkah, "Apakah nanti aku akan sakit hati kalau dia menolak pinanganku? Lagipula atas dasar apa aku berani menghadap ayahnya. Entah," batinku menyudahi. Tidak ada buah dari hanya menyandang angan.

"Lihat anakmu, Mak!" Bapak menunjuk dengan dagunya sesudah menyeruput.

"Anakmu itu gagah. Persis seperti waktu bapak muda dulu. Iya to? Bukan urusan tampan tidak tampan yang nanti bisa menaklukkan cintanya."

"Heleh Bapak ini ngelantur. Disiki kersone Pengeran." Emak mencebik, memperlihatkan gaya yang khas ketika mengejek kesahajaan bapak.

Bapak terbahak.

Keesokan harinya.

Buruh pemetik kopi sudah bergumul sejak fajar bercahaya di ufuk Timur. Nona membaur di antara mereka. Dia tidak segan ikut membantu para pekerja ayahnya. Dari gerak gerik tangannya saja sudah kelihatan lihai. Kulihat dia malah mengajari seseorang di sampingnya cara memetik buah kopi yang benar.

Angin pun mengayun kan ujung rambut bergelombangnya. Selendangnya hampir berkibar melucuti rambutnya yang hitam legam dan berkilau apabila tersentuh cahaya. Dua pun segera menarik, mengembalikan selendang ke bentuk semula.

"Aku memang belum melihatnya bertudung. Tapi, begitu saja dia sudah anggun. Jika diizinkan, aku ingin membawamu mengenal agama lebih jauh lagi." Lagi-lagi aku terbawa angan. Orang disampingku menatap heran.

"Ndomblong nyawang anaknya juragan kopi pasti."

Tangan ini spontan memukul. Yang kupukul mengaduh.

"Dia itu gadis yang tidak pernah bisa bersikap manis dengan laki-laki."

"Siapa bilang, Ndul?" Kutertawakan dia.

"Ya aku lah yang bilang. Piye to? Kamu hebat, Hid, kalau bisa menaklukkan dia."

Aku seperti mendengar tantangan yang tiba-tiba harus kuhadapi. Dari perkataannya, Gundul beranggapan bahwa aku juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki yang tertolak lamarannya.

Dia memegang pundakku, berkata, "Nanti aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu."

Sekali lagi aku menertawakannya, "Jangan bernadzar kau. Sudah pergilah! Aku hendak memetik kopi di seberang." Kuberi isyarat dengan dagu ke mana arah yang hendak kutuju.

Sebelum Gundul beringsut, Nona memperhatikan kami. Dia tidak berekspresi, tapi wajahnya seperti orang yang sedang mengancam. Dia layak mendapat sebutan perempuan kendali mata.

"Nah kau lihat, kan, bagaimana dia menatap kita? Sinis. Aku yakin. Sekalipun dia bukan anak juragan, dia akan tetap terlahir seperti itu. Wataknya berbeda dengan gadis-gadis desa ini. Bener, kan, kataku?" Di akhir kata dia setengah berbisik.

Aku beringsut pergi mendahului Gundul yang masih mengoceh.

"Oik, ke mana kau, Hid?" Setengah berteriak.

"Cari duit." Kujawab sekenanya.

Kepala pekerja mendongak. Bagi mereka yang tahu kedatangan juragan, ayah Nona. Buruh terpaksa patuh berdasarkan tingkatan kasta yang berbeda. Yang sangat menghormati, akan langsung menemui untuk menyapa juragan lebih dekat. Aku melakukan hal yang sama meskipun aku bukan buruhnya. Aku bertandang di lahan sendiri.

"Juragan ada perlu?" tanya Pakde Karso. Pakdeku salah satunya. Dia tidak mau menerima warisan dari mendiang keluarga sehingga harus tetap menjadi buruh harian. Untungnya pakde termasuk buruh kepercayaan juragan.

"Sekar suruh ke sini!"

Pakde berbisik kepada orang di sebelah ya supaya memanggilkan Nona di tengah ladang.

Nona menoleh. Derap langkahnya pelan menghadap. "Ada apa, Ayah?" Hanya kepada ayahnya lah dia akan mengucap dengan kelembutan. Di sisi itulah, aku melihat sikap ketidakberdayaannya.

"Ada perlu. Kita pulang sekarang!" Juragan langsung menarik lengan Nona.

Hebatnya Nona Sekar selalu menampilkan kepatuhan dirinya di depan orang-orang. Hampir semua buruh dan warga kampung ini tahu sikap itu. Dia sosok yang masyhur dengan kepiwaiannya mengendalikan diri.

"Ada yang datang melamarmu, Sekar. Temui dia di ruang tamu."

"Ayah ke mana?"

"Sudah temui saja dia dulu!"

Sekar mengangguk dengan setengah membungkuk.

Ada dua pasang sandal. Dia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud ayahandanya. Dia tidak canggung dalam hal apapun. Dia berani datang menemui sendirian. Lantas dia masuk tanpa permisi, apalagi salam. Kemudian, duduk serupa putri raja yang datang menebar pesona dan citra keanggunan hingga yang menatap berseri-seri.

"Pantas saja bila Sekar ini banyak mengambil hati para lelaki. Kenalkan aku mahasiswa Universitas Gajah Mada yang sengaja datang untuk mengenalmu secara langsung. Apa Sekar berkenan?"

Mata Sekar tidak pergi dari wajah lelaki di hadapannya. Dia hanya diam beberapa detik dan tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya. Wajarlah. Dia bukan gadis yang pertama kali dilamar, apalagi kalau hanya perkenalan.

" Jika yang datang sudah tahu nama saya, itu artinya dia sudah mengenal saya." Tidak ada lemah gemulai dalam suara itu. Justru mantap dan kadang penuh duri.

Lelaki itu menggelar senyuman. "Oh, iya betul, Sekar. Ini kedatangan yang kedua kalinya."

Nona Sekar mengangguk sekali. Matanya tetap berpusara di tempat semula.

"Sekar, aku serius. Kalau kau mau, aku ingin menjadi suamimu. Hanya dengan cara itulah aku bisa mengenalmu lebih jauh. Tidak ada sekat dan jarak. Dan, agama pun akan lebih menghendakinya. Kesucianmu pun tidak akan ternoda."

"Bicaralah pada Ayah! Ayah yang akan memutuskan semuanya. "

"Tapi, Ayahmu memberikan hak itu padamu. Kau layak memperjuangkan esensi kewanitaanmu. Kau berhak memilih itu sendiri."

"Diamlah!" Nadanya tertahan.

Nona Sekar tidak akan menghabiskan tenaga untuk berceloteh lama dengan mahasiswa itu. Dia sudah hampir hafal dengan gaya bicara mahasiswa. Tiga orang yang datang sebelumnya pernah mengatakan hal sama.

"Sekar, mungkin kau sudah muak dengan lamaran pria. Tapi, barangkali aku akan mendapatkan kesempatan yang lain. Aku bisa pulang membawakan kabar gembira. Keluargaku pun menginginkan ini."

"Pergilah atau kau memilih menemui ayahku? Terserah."

Pria itu melenguh. Putus asa.

"Aku akan datang lagi di lain waktu. Terima kasih sudah berkenan menemuiku dan adikku. Assalamu'alaikum."

Nona Sekar menjawab lirih setelah lelaki itu menjauhkan diri beberapa langkah, "Wa'alaikumussalam."

***

Lanjutan Part 1..

"Hushh. Bicara yang elok-elok. Itu sama saja dengan nyumpahi," kata bapak membela.

"Pak, Mak, Wahid tidak memaksa. Apalagi berharap lebih.lebih. Wahid mau meneruskan kerjaan." Aku pun bangkit.

Pikirku menyertai langkah, "Apakah nanti aku akan sakit hati kalau dia menolak pinanganku?" batinku menyudahi. Tidak ada buah dari hanya menyandang angan.

"Lihat anakmu, Mak!" Bapak menunjuk dengan dagunya sesudah menyeruput.

"Anakmu itu gagah. Persis seperti waktu bapak muda dulu. Iya to? Bukan urusan tampan tidak tampan yang nanti bisa menaklukkan cintanya."

"Heleh Bapak ini ngelantur. Disiki kersone Pengeran." Emak mencebik, memperlihatkan gaya yang khas ketika mengejek kesahajaan bapak.

Bapak terbahak.

Keesokan harinya.

Buruh pemetik kopi sudah bergumul sejak fajar bercahaya di ufuk Timur. Nona membaur di antara mereka. Dia tidak segan ikut membantu para pekerja ayahnya. Dari gerak gerik tangannya saja sudah kelihatan lihai. Kulihat dia malah mengajari seseorang di sampingnya cara memetik buah kopi yang benar.

Angin pun mengayun kan ujung rambut bergelombangnya. Selendangnya hampir berkibar melucuti rambutnya yang hitam legam dan berkilau apabila tersentuh cahaya. Dua pun segera menarik, mengembalikan selendang ke bentuk semula.

"Aku memang belum melihatnya bertudung. Tapi, begitu saja dia sudah anggun. Jika diizinkan, aku ingin membawamu mengenal agama lebih jauh lagi." Orang disampingku menatap heran.

"Ndomblong nyawang anaknya juragan kopi pasti."

Tangan ini spontan memukul. Yang kupukul mengaduh.

"Dia itu gadis yang tidak pernah bisa bersikap manis dengan laki-laki."

"Siapa bilang, Ndul?" Kutertawakan dia.

"Ya aku lah yang bilang. Piye to? Kamu hebat, Hid, kalau bisa menaklukkan dia."

Berani mencintai Nona Sekar? Itu artinya dia sedang dihadapkan tantangan. Bila benar-benar mencintai, maka dia harus berani melangkahkan kaki lebih jauh. Bertemu dengan juragan. Gundul nenganggap bahwa semua lelaki, termasuk diriku, berhak mengutarakan perasaan itu dengan konsekuensi ditolak.

Dia memegang pundakku, berkata, "Nanti aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu."

Sekali lagi aku menertawakannya, "Jangan bernazar kau. Sudah pergilah! Aku akan memetik kopi di seberang." Kuberi isyarat dengan dagu ke mana arah yang hendak kutuju.

Sebelum Gundul beringsut, Nona memperhatikan kami. Dia tidak berekspresi, tapi wajahnya seperti orang yang sedang mengancam. Dia layak mendapat sebutan perempuan kendali mata.

"Nah kau lihat, kan, bagaimana dia menatap kita? Sinis. Aku yakin. Sekalipun dia bukan anak juragan, dia akan tetap terlahir seperti itu. Wataknya berbeda dengan gadis-gadis desa ini. Bener, kan, kataku?" Di akhir kata dia setengah berbisik.

Aku beringsut pergi mendahului Gundul yang masih mengoceh.

"Oik, ke mana kau, Hid?" Setengah berteriak.

"Cari duit." Kujawab sekenanya.

Kepala pekerja mendongak. Bagi mereka yang tahu kedatangan juragan, ayah Nona. Buruh terpaksa patuh berdasarkan tingkatan kasta yang berbeda. Yang sangat menghormati, akan langsung menemui untuk menyapa juragan lebih dekat. Aku melakukan hal yang sama meskipun aku bukan buruhnya. Aku bertandang di lahan sendiri.

"Juragan ada perlu?" tanya Pakde Karso. Pakdeku salah satunya. Dia tidak mau menerima warisan dari mendiang keluarga sehingga harus tetap menjadi buruh harian. Untungnya pakde termasuk buruh kepercayaan juragan.

"Sekar suruh ke sini!"

Pakde berbisik kepada orang di sebelahnya supaya memanggilkan Nona di tengah ladang. Nona menoleh. Derap langkahnya pelan menghadap. "Ada apa, Ayah?" Hanya kepada ayahnya lah dia akan mengucap dengan kelembutan. Di sisi itulah, aku melihat sikap ketidakberdayaannya.

"Ada perlu. Kita pulang sekarang!" Juragan langsung menarik lengan Nona.

Hebatnya Nona Sekar selalu menampilkan kepatuhan dirinya di depan orang-orang. Hampir semua buruh dan warga kampung ini tahu sikap itu. Dia sosok yang masyhur dengan kepiwaiannya mengendalikan diri.

"Ada yang datang melamarmu, Sekar. Temui dia di ruang tamu!"

"Ayah ke mana?"

"Sudah temui saja dia dulu!"

Sekar mengangguk dengan setengah membungkuk.

Ada dua pasang sandal. Dia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud ayahnya. Dia tidak canggung menghadapi lelaki asing itu. Dia berani datang menemui sendirian. Lantas dia masuk tanpa permisi, apalagi salam. Kemudian, duduk serupa putri raja yang datang menebar pesona dan citra keanggunan hingga yang menatap berseri-seri.

"Pantas saja bila Sekar ini banyak mengambil hati para lelaki. Kau cantik. Kenalkan aku mahasiswa Universitas Gajah Mada yang sengaja datang untuk mengenalmu secara langsung. Apa kaumau, Sekar?"

Mata Sekar tidak pergi dari wajah lelaki di hadapannya. Dia hanya diam beberapa detik dan tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya. Wajarlah. Dia bukan gadis yang pertama kali dilamar, apalagi kalau hanya perkenalan.

"Jika kamu sudah tahu namaku, itu artinya dia sudah mengenalku. Apalagi?” Tidak ada lemah gemulai dalam suara itu. Justru mantap dan kadang penuh duri.

Lelaki itu menggelar senyuman. "Oh, iya betul, Sekar. Ini kedatangan yang kedua kalinya."

Nona Sekar mengangguk sekali. Matanya tetap berpusara di tempat semula.

"Sekar, aku serius. Kalau kaumau, aku ingin menjadi suamimu. Hanya dengan cara itulah aku bisa mengenalmu lebih jauh. Tidak ada sekat dan jarak. Dan, agama pun akan lebih menghendakinya. Kesucianmu pun tidak akan ternoda."

"Bicaralah pada Ayah! Ayah yang akan memutuskan semuanya. "

"Tapi, Ayahmu memberikan hak itu padamu. Kau layak memperjuangkan esensi kewanitaanmu. Kau berhak memilih itu sendiri."

"Diamlah!" Nadanya tertahan.

Nona Sekar tidak akan menghabiskan tenaga untuk berceloteh lama dengan mahasiswa itu. Dia sudah hampir hafal dengan gaya bicara mahasiswa. Tiga orang yang datang sebelumnya pernah mengatakan hal sama.

"Sekar, mungkin kau sudah muak dengan lamaran pria. Tapi, barangkali aku akan mendapatkan kesempatan yang lain. Aku bisa pulang membawakan kabar gembira. Keluargaku menginginkan ini."

"Pergilah! Atau kau memilih menemui Ayahku? Terserah."

Pria itu melenguh. Putus asa.

"Aku akan datang lagi di lain waktu. Terima kasih sudah berkenan menemuiku dan adikku. “Assalamu'alaikum."

Nona Sekar menjawab lirih setelah lelaki itu menjauhkan diri beberapa langkah, "Wa'alaikumussalam."

Adikku

Ayahanda menyuruh agar diperhatikan bila dia sedang berbicara. Sebab, Nona Sekar tengah melamun seorang diri di tangkai pohon akasia roboh.

"Apa yang kamu lamunkan, Sekar? Ayah bicara."

"Tidak ada. Ulangi lagi, maka akan aku dengarkan, Yah."

"Kuliahlah agar kamu tidak lagi merenungkan lamaran-lamaran tidak bermutu itu. Atau, ke luar kota untuk belajar berbisnis?"

"Zura kapan pulang?"

"Mungkin setelah selesai wisuda. Ayah belum bertanya lagi."

"Oh." Cukup mengangguk sekali.

"Yah?"

"Kenapa?"

"Bagaimana kalau Zura pulang membawa calon menantu untuk Ayah dan Ibu?"

Ayah terbahak lantang. "Tidak mungkin Zura pacaran. Adikmu itu masih baru lulus SMA."

"Sekolah Zura di sekolah itu terkenal bergengsi. Ayah seperti tidak mengenal bagaimana lingkungan kota bisa membawa dampak untuk anak-anak sepolos apapun."

Ekspresi ayahanda berubah. Mencoba merekam ulang ucapanku baru saja.

"Iya, kan, Yah?" Aku meminta jawaban.

Ayahanda malah berlalu tanpa ekspresi.

"Permisi, Nona?"

Aku berbalik arah. Mengerutkan dahi. Lalu, menarik selendang motif etnik sampai ke garis poni.

"Siapa?"

Perempuan di depanku masih berdiri senyum-senyum. Dia memakai celana jeans hingga separuh betis. Atasannya menjuntai hampir sepanjang itu. Memakai sepatu boots berwarna navy. Selaras dengan warna biru muda garis-garis pada pakaiannya. Rambutnya pendek sebahu dengan sedikit lengkungan, tapi terpangkas rapi dan rata. Juga sedikit berwarna merah di ujung-ujungnya. Jepit berwarna gold menghias di pelipis sebelah kiri. Ada benda etnik yang mengalung cantik di leher ngolan-olannya.

Ketika aku berhenti menatap sampai di wajah perempuan itu, dia buru-buru memeluk.

"Apa kabar?"

"Aku baik. Seperti inilah adanya. Seperti yang kamu lihat saat ini, Teh."

Aku sekali lagi memperhatikan wajah Zura. Ada goresan make-up di sana. Rona merah pipi dengan blush on dan contour efek tirus di pipi. Lipstik finishing glossy. Dan, lengkungan buku mata yang lebih menawan.

"Panggil kak seperti biasanya." Aku menarik tangannya agar duduk di sebelahku.

Kusentuh pipinya. "Kamu hitam, ya, sekarang?" Aku menggerakkannya ke kanan kiri.

"Aku rutin ikut olahraga dengan komunitas pecinta alam yang aku ikuti di sana." Dia mengangkat bahu dan tangannya. "Ya wajarlah kalau aku hitam," lanjutnya.

"Baru saja Kak Sekar berbincang dengan Ayah menanyakan kapan kamu pulang. Secepat ini?"

"Wisudaku diundur, sedangkan aku sudah rindu rumah. Ngapain di sana lama-lama. Beberapa barangku ada yang sudah kucicil tak bawa pulang."

"Mana? Cuma itu?" Aku menengok koper di sampingnya.

"Ada di mobil." Dia menunjuk arah selatan tempat parkir mobil grand avanza yang disebut.

"Kamu dengan?" Sembari aku mengulang perkataanku pada ayahanda tadi.

"Ehmm, dengan teman dari kota."

"Pacar?"

Dia berbisik, "Calon suami, Kak."

Aku memang tidak terlalu kaget mendengarnya, karena aku sudah was-was sebelumnya. Tapi, bagaimana dengan ayahanda?

"Ayah sudah tahu?"

"Belum. Nanti biar Mas Nanda yang bilang. Minimal kenalan dengan Ayah dan Ibu dulu."

"Ya sudah ajak dia ke sini! Kita ke dalam menemui Ayah dan Ibu."

Zura menarik ponselnya dari saku tas selempang kecil.

"Mas, ke sini. Mobil biar parkir di situ enggak apa-apa."

Sepertinya langsung diiyakan. Zura langsung menutup, mengembalikan ke dalam saku.

"Kalau aku nikah kamu harus nikah juga, Kak," ujarnya sambil berusaha menyeret koper.

"Tadi Ayahanda bicara sama Kakak. Menyuruh Kak Sekar kuliah."

"Kamu terima?"

"Ii..hh." Roda kopernya nyangkut di rerumputan yang hidup liar di halaman rumah.

Zura kembali menatapku.

"Tidak, Zu."

"Bener. Di rumah saja, Kak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!