Kala itu matahari tampak bersinar begitu cerah. Panasnya yang menusuk berhasil membuat semua orang mengeluarkan keringat berlebih. Tak terkecuali Fadli, seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk di depan setir mobilnya. Ayah yang memiliki dua anak tersebut, terus mengusap keringat yang menetes di pelipis.
Bip! Bip! Bip!
Suara klakson mobil saling bersahutan, karena sedari tadi tidak ada yang berhasil memajukan kendaraan mereka masing-masing. Entah kejadian apa yang telah membuat seluruh jalanan di penuhi dengan kemacetan.
"Aduh Ayah, Sofi bosan," keluh Sofi anaknya Fadli.
"Sabar ya Sofi, kamu main boneka aja dulu ya!" Rahma, istrinya Fadli mencoba menenangkannya.
"Mah, aku lapar." Juni sang kakak, ikut-ikutan mengeluh seperti sang adik. Anak berperawakan gemuk itu terlihat memegangi perutnya. Hal itu sontak membuat Fadli semakin pusing, dan mendengus kencang.
"Akak mau mamam lagi? ukannya tadi udah mamam ya di rumah?" tanya Sofi dengan wajah polosnya, bertanya pada sang kakak. Usianya yang baru menginjak tiga tahun, membuat ucapan yang keluar dari mulutnya belum begitu sempurna.
"Mah! mau itu!" ucap Juni lagi tanpa menghiraukan keluhan dari adiknya. Anak lelaki itu menelan salivanya beberapakali. Atensinya sedari tadi teralihkan pada warung makan yang ada di pinggir jalan.
Lama-kelamaan, baik Sofi dan Juni menimbulkan kecerewetan yang semakin menjadi-jadi. Alhasil Rahma terpaksa membawa mereka keluar dari mobil, meskipun untuk sekedar mencari udara segar. Namun sepertinya hal itu tidak akan terjadi, sebab rengekan Juni yang terus memaksa membuat Rahma akhirnya membawa keduanya ke warung makan.
"Asyiikk!" baik Juni maupun Sofi tampak kegirangan dengan keputusan akhir ibunya.
Ketiganya langsung melangkahkan kaki mereka, memasuki warung makan yang terkenal dengan kelezatan ayam gorengnya tersebut.
"Sofi mau ayam goreng juga?" tawar Rahma dengan lembut pada sang anak.
"Sofi mau es kyim aja!" sahut Sofi sembari memanyunkan bibirnya.
"Juni kamu ma--"
"Juni mau ayam goreng sama es krimnya juga Mah!" Juni menyambar perkataan ibunya, anak yang baru berusia lima tahun itu, seakan sudah mengetahui pertanyaan yang akan dilontarkan sang ibu.
"Ya sudah, kalian pesan es krimnya ke sana ya, biar Mamah yang tunggu di sini!" kata Rahma seraya menunjuk tempat pemesanan es krim, yang jaraknya tidak begitu jauh dengan dirinya berada.
Juni dan Sofi berjalan bersama sambil berpegangan tangan satu sama lain. "Om, beli es krimnya dua, satu rasa cokelat dan satunya lagi rasa stroberi ya," ucap Juni pelan, dia terlihat celingak-celingukan melihat beraneka ragam es krim yang terpampang di dalam kaca.
"Om, aku pesan es krim vanila dan cokelat!" tiba-tiba seorang anak perempuan yang tampak seumuran dengan Juni muncul dari belakang. Dahi Juni langsung mengernyit ketika melihatnya.
"Hei! Aku Marisa, kamu bisa panggil aku Risa," ujar anak perempuan itu seraya mengangkat tangan untuk mengajak Juni bersalaman. Dia bertingkah sok akrab pada Juni.
"Juni," sahut Juni sambil membalas salaman Risa, wajahnya tampak malu-malu. Risa pun langsung tersenyum lebar.
"Terus, dia adikmu ya?" tanya Risa lagi. Juni pun meresponnya dengan satu anggukan kepala.
"Ini es krimnya Dik!" si pembuat es krim menyodorkan es krimnya kepada Juni dan Sofi.
"Makasih Om," ujar Juni sembari mencoba melangkahkan kakinya untuk pergi.
"Tunggu!" Risa memegangi lengan baju Juni. Alhasil Juni pun segera memalingkan wajahnya untuk menatap Risa dengan penuh tanya.
"Bisa temani aku?" ucap Risa, yang hanya direspon Juni dengan kernyitan dahinya.
"Kumohon Juni! aku sendirian." Raut wajah Risa tampak sedih. Karena merasa tak tega, Juni pun tetap berdiri di samping anak perempuan yang mengepang rambutnya dengan gaya ekor kuda itu. Toh lagi pula Risa memang tengah sendirian, tanpa ibu atau pun ayah yang menemaninya.
"Aka, aku mau ama mama!" pinta Sofi sembari menarik-narik baju sang kakak.
"Tunggu dulu ya dik, siapa namamu?" Risa menyahut sebelum Juni sempat berucap. Namun Sofi hanya membalas dengan tatapan sinisnya.
"Dia Sofi, adikku," sahut Juni singkat.
"Kak aku pergi ke tempat mama ya!" dahi Sofi tampak mengernyit, lalu segera berlari ke arah sang ibu. Juni pun membiarkan adiknya berlari sesuka hati.
"Nggak papa tuh adikmu dibiarkan begitu saja?" tanya Risa.
"Nggak, udah biasa," balas Juni sembari menampakkan gelagat canggung.
"Om! Cepetan! Kok es krim aku lama banget!" desak Risa dengan dahi yang mengerut.
"Bentar ya Dik, tadi kami kehabisan es krim cokelat, itu lagi diambil sama mbaknya," jawab pria pembuat es krim ramah.
"Kamu mau punyaku?" tawar Juni, sembari menyodorkan es krim cokelatnya yang sudah dimakan setengah. Hal itu pun sontak membuat Risa mengukir senyuman di wajahnya.
"Nggak usah, es krimku sebentar lagi jadi, makasih ya Jun!" Risa melebarkan senyumannya hingga giginya yang ompong dapat terlihat jelas.
"Pfffft. . ." Juni berusaha menahan tawa. Bukannya kesal, Risa malah ikut tertawa bersama Juni.
Keduanya pun saling tertawa bersama. Sungguh masa kanak-kanak yang membahagiakan.
"Ini es krimnya dik!" melihat es krimnya telah siap. Anak perempuan itu pun langsung mengambil es krimnya dengan cekatan.
"Yes! Makasih Om! Juni, ikut aku dulu yuk!" ucapnya.
"Kemana?"
"Ayo ikut saja! aku akan tunjukkan banyak mainan. . ." bisik Risa ke telinga Juni.
Tanpa pikir panjang, Juni pun melangkahkan kakinya mengikuti Risa. Anak itu sepertinya sangat tergiur dengan mainan yang dimiliki Risa. Keduanya berjalan lewat pintu samping warung makan tersebut.
"Nih yang cokelat buat kamu saja!" ujar Risa menyodorkan es krimnya pada Juni.
"Benarkah?" raut wajah Juni tampak semringah.
"Aku beli dua, karena satunya memang ingin kuberikan pada teman baru kok!" ujar Risa sembari menarik lengan Juni pelan, lalu menyeretnya untuk ikut bersamanya. Hal itu sontak membuat Juni otomatis mengikutinya.
***
"Kita sampai! Gimana? Banyak mainan kan?" Risa terlihat melompat kegirangan ketika tiba di sebuah taman bermain kanak-kanak. Juni yang melihatnya juga merasa ikut senang. Keduanya langsung berlari menuju mainan yang ingin mereka naiki. Risa terlihat menduduki ayunan, sedangkan Juni menaiki tangga perosotan. Mereka bermain lumayan lama, hingga sampai lupa waktu.
"Ris, lihat! ada yang jual layangan!" ujar Juni seraya menunjuk tukang jual layangan yang sedang kebetulan lewat. Kedua anak itu pun langsung berteriak histeris. "Om! Om! Om!"
"Kamu bisa nggak nerbanginnya, sok-sokan mau beli," kata Risa menatap Juni dengan ujung matanya.
"Bisa dong! nih! kamu yang pegangin ya, biar aku yang ulur talinya." Juni memberikan layangan berwarna merah itu pada Risa.
Tak! Tak! Tak!
Juni berlari sebisa mungkin agar bisa membuat layangannya terbang. Namun sepertinya angin sedang tidak mendukung saat itu.
"Ayo coba lagi!" usul Risa seraya kembali memegangi layangan. Tetapi sekali lagi, layangan itu tidak berhasil diterbangkan. Kedua anak itu sudah mencoba puluhankali, hingga akhirnya mereka duduk untuk beristirahat.
"Ris, lelaki itu siapa ya? dari tadi ngeliatin kita terus!" ucap Juni sembari terus menilik ke arah pria yang sedang duduk di seberang jalan. Saat melihatnya, mata Risa langsung membola.
"Juni, ayo kita pergi!" ajak Risa yang langsung berlari kembali ke arah warung makan. Juni pun terpaksa mengikuti teman barunya itu dari belakang. Keduanya terus berlari, hingga akhirnya tiba di depan warung makan. Juni berusaha mengatur nafasnya yang sudah ngos-ngosan.
"Ris, siapa lelaki tadi?" tanya Juni dengan nafas yang naik turun.
"Dia.."
"Juni!"
"Risa!"
Dua suara yang tidak asing bagi Juni dan Risa, langsung membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Rahma dan ibunya Risa yang bernama Anggun, terlihat berlarian untuk menghampiri anaknya masing-masing. Raut kedua wajah wanita paruh baya tersebut tampak begitu khawatir.
Ternyata sedari tadi, baik Rahma maupun Anggun dibuat bingung dengan hilangnya anak-anak mereka. Hal itu sontak membuat keduanya merasa lega ketika melihat Juni dan Risa sudah bisa ditemukan.
"Risa kamu kemana saja? Mamah mencarimu kemana-mana tau!" Anggun mengerutkan dahinya, lalu langsung memeluk sang anak dengan erat.
"Juni! Kamu ya, ih! Bikin khawatir saja, lain kali jangan begitu kamu!" Berbeda dengan Anggun, Rahma malah mengungkapkan kekhawatirannya dengan omelan. Juni hanya bisa tertunduk takut, ketika mendengar omelan sang ibu.
"Syukurlah mereka bisa ditemukan, kedua-duanya lagi," ucap Anggun yang merasa lega.
"Iya, kayaknya mereka lagi main-main, terus lupa waktu," balas Rahma lembut.
Rahma dan Anggun semakin sering bertemu secara pribadi. Membuat hubungan yang ada di antara keduanya menjadi lebih akrab.
Terkadang mereka juga membawa anak-anaknya untuk ikut bergabung.
Di suatu hari Anggun mengundang semua keluarga Rahma untuk makan malam bersama di rumahnya. Rahma yang selalu penasaran dengan Bayu suaminya Anggun, akhirnya bisa melihatnya secara langsung. Suami yang selalu dibangga-banggakan Anggun itu memang tampak gagah dan sangat ramah. 'Pantas Anggun selalu membanggakan belahan jiwanya itu' pikir Rahma.
Rahma menatap suaminya Fadli yang berperawakan gemuk. Perutnya terlihat buncit dengan kumis yang sudah mulai memutih. Rahma tersenyum tipis melihatnya, 'Meskipun tidak segagah Bayu setidaknya dia adalah suami yang baik,' ucap batinnya.
Sama halnya dengan Rahma dan Anggun. Fadli dan Bayu menjadi teman dekat setelah acara makan malam tersebut. Kedua keluarga itu menjadi satu keluarga yang tidak terpisahkan dalam beberapa tahun. Hingga suatu hari keluarga Bayu mulai menjauh, lebih tepatnya ketika mereka mulai menjalankan bisnis yang berkembang sangat baik.
Lama kelamaan bisnis mereka semakin maju dan sukses, membuat Bayu maupun Anggun tidak punya waktu lagi untuk bersantai. Keluarga Fadli pun berusaha memakluminya, dan akhirnya hubungan kedua keluarga itu semakin merenggang.
Meskipun begitu salah satu anggota dari kedua keluarga tersebut ada yang tetap saling bertemu. Mereka adalah Juni dan Risa. Keduanya tidak bisa disebut teman dekat lagi tapi sudah menjadi sahabat sejati.
Tempat bermain favorit mereka adalah di tanah lapang, di dekat hutan yang tersisa di kota itu. Juni dan Risa sangat suka bermain layang-layang, karena hampir setiap hari mereka menerbangkannya di tanah lapang. Mereka juga suka mengambil buah-buahan yang jatuh di tanah untuk mengganjal perut saat bermain.
Delapan tahun berlalu, Risa tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik. Dia sangat suka melukis dan menulis puisi, tidak heran jika buku pelajaran miliknya selalu penuh dengan coretan.
Berbeda dengan Risa, Juni masih memiliki tubuh gemuknya, kebiasaannya yang sangat menyukai makanan sepertinya masih melekat dalam dirinya. Juni juga memiliki suara yang merdu, dia sering bernyanyi di rumah sambil memainkan gitar yang dibelikan ayahnya.
Sejak SD kedua sahabat tersebut tidak pernah satu sekolah, hal itu karena orang tua Risa yang selalu ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang berstandar internasional. Sedangkan orang tua Juni sama sekali tidak peduli akan hal itu, yang penting bagi mereka adalah anaknya bisa rajin pergi sekolah.
Bayu dan Anggun selalu sibuk, membuat Risa selalu merasa bosan kala di tinggal sendirian di rumah. Dia sering mengisi kebosanannya itu untuk berteman dengan Juni. Risa hampir tidak pernah absen berkunjung ke rumah sang sahabat yang jaraknya hanya seratus meter dari rumahnya.
***
"Ugh jelek! memang jelek!" Juni bergumam sendiri di depan cermin kamar mandi, sembari mengelus perutnya yang agak buncit. Beberapakali dia mengeluhkan bentuk tubuhnya, Juni bahkan menyeringai melihat dirinya sendiri.
Sekali-kali dia berpose dengan gaya kerennya, "Mmm, lumayan! kalau dari samping," ungkap Juni sambil melenggak lenggokkan tubuhnya ke samping.
Ceklek!
Pintu tiba-tiba terbuka, mengejutkan Juni yang tengah berpose keren saat itu.
"Cermin terus, pantesan lama! Kak Juuuniiii!" Sofi mengeluhkan kakaknya yang berperawakan berisi itu, karena terlalu lama berada di dalam kamar mandi.
Tak peduli Juni langsung keluar dengan santai melewati sofi yang berada di depan pintu. "Hufhh!!" Sofi menghela nafasnya dengan panjang seraya menutup pintu kamar mandi.
***
Suara pintu depan tiba-tiba terbuka dengan perlahan. "Selamat pagi. . ." gadis berambut pendek sebahu itu perlahan muncul dari balik pintu, untuk menyapa orang yang ada di rumah.
"Eh Risa sudah datang, Juni baru saja mandi tuh!" sapa Rahma lembut.
"Tante, nggak masuk kerja hari ini?" tanya Risa pelan.
"Nggak, hari ini ada rapat orang tua di sekolah Sofi, jadi nggak masuk dulu." Rahma terdiam sesaat. "Ris, kalau boleh tahu nih, kenapa kamu pindah ke sekolah Juni?... padahal sekolahmu dulu itu bagus loh!" sambungnya sembari meletakkan makanan di meja.
"Bagus sih tante, tapi aku kesepian di sana nggak ada teman, jadi nggak menikmati masa-masa sekolah! kemana-mana sendiri, ke kantin sendiri, ke perpus sendiri bahkan pulang sendiri!" Risa memasang wajah menyedihkannya.
"Wualah, mana orangnya yang nggak mau jadi temen kamu hmm? sini biar tante jewer kupingnya!" balas Rahma dengan kernyitan di dahinya. Risa yang melihat hanya bisa tertawa kecil dan menatap Rahma kagum. Dia berharap suatu hari nanti bisa memiliki ibu yang selalu perhatian dengannya, tepat seperti wanita paruh baya yang saat ini sedang berdiri di depannya.
Juni yang rapi dengan seragam sekolahnya keluar dari kamar. Dia dibuat sedikit kaget melihat kedatangan Risa yang sudah duduk menunggunya.
"Ris? kamu benar-benar pindah sekolah?" tanya Juni penasaran. Risa terdiam dan hanya tersenyum kecut karena tidak ingin menjawab.
"Troublemaker!" ejek Juni. Risa langsung melotot ke arah Juni sambil mengarahkan tinjunya yang dia sembunyikan di bawah meja. Hal tersebut dia lakukan agar tidak ketahuan oleh Rahma.
"Truble, truble, cepat makan!" tegur Rahma pada anak sulungnya itu. "Kebalik kau Jun, seharusnya laki yang jemput perempuan ke sekolah, iyakan Ris?" lanjutnya, seraya menuangkan air ke dalam gelas.
"Betul!" Risa mengiyakan sambil menatap tajam sang sahabat. Juni pun merengut, membalas menatap tajam Risa.
Sofi keluar dengan seragam berwarnakan putih birunya. Dia terlihat sudah siap untuk segera berangkat.
"Ayo Bu, aku sudah siap!" desak Sofi pada ibunya.
"Sofi nggak sarapan?" sapa Risa ramah.
"Wualah, dia nggak terbiasa sarapan katanya," sahut Juni sinis. Sofi langsung memasang wajah cemberut dan segera memukul pundak kakaknya.
"Aku diet Kak!" ucap Sofi santai. Juni pun langsung mengejek Sofi dengan memajukan bibir bawahnya.
"Hah diet? kamu sudah kurus ngapain diet?" sahut Risa kaget, mendengar celotehan gadis yang baru duduk di kelas dua SMP tersebut.
"Nah, bener kan kata Ibu," sahut Rahma sembari bersiap-siap dengan tasnya.
"Nggak kok, nih liat lemakku banyak!" Sofi memperlihatkan lengan yang menurutnya penuh akan lemak itu.
"Nggak ada lemaknya kok!" sahut Risa yakin.
"Ada Kak!" ucap Sofi gusar.
"Udah Ris biarin aja, dia mau sekurus sapu lidi kali," celetuk Juni.
"Kakak!" ucap Sofi kesal.
"Jun!" tegur Risa pada Juni.
"Memangnya kenapa kalau banyak lemak?" ucap Juni sinis.
Risa langsung mencubit lengan Juni. "Aduh! sakit tau!" Juni memekik kesakitan. Sofi terlihat memasang wajah cemberut sembari menatap tajam kakak lelakinya, dan berkata, "Iya emang, kalau banyak lemak aku nggak cantik lagi. Coba Kakak diet pasti jadi ganteng!"
Risa hanya menggelengkan kepala melihat keadaan di depan matanya. Karena usahanya untuk menghentikan perdebataan adik kakak tersebut tidak berhasil.
"Sudah, sudah! ayo berangkat!" ajak Rahma pada Sofi yang saat itu masih berdebat.
"Ya sudah Kak, aku duluan!" ujar Sofi pada Risa.
"Ya sudah cepetan sana!" Juni menyahut. Karena kesal, Sofi langsung menjambak rambut sang kakak dari belakang. Setelah puas, dia punsegera berusaha kabur sebelum Juni melakukan pembalasan.
"Aduh! kenapa sih cewek suka banget narik rambut cowok!" keluh Juni seraya mengelus kepalanya yang kesakitan.
"Nggak tau! aku nggak punya alasan untuk itu," jawab Risa yang menggidikkan bahunya.
"Ris, kamu mau susu juga?" tawar Juni sembari mengeluarkan kotak kemasan yang berisi susu dari kulkas. Risa pun menggelengkan kepala untuk merespon.
"Jun, itu gitarmu yang dulu ya?" Risa menunjuk gitar Juni yang berada di samping sofa.
"Iya dong! tapi senarnya copot satu!" jawab Juni.
"Sudah lama nggak denger kamu nyanyi." Sekarang Risa menopangkan dagunya dengan tangan. Dia tahu betul sahabatnya itu pintar bernyanyi dan bermain gitar.
"Sering kok aku nyanyi, tapi pas situ nggak ada," sahut Juni terkekeh.
Risa memasang raut wajah cemberut, "Sengaja ya?"
Juni menganggukkan kepala untuk mengiyakan. Hal itu pun sontak membuat Risa melempari Juni dengan kentang goreng. "Ris! Ris! jangan lempar pakai makanan, mubazir tau," Juni memasukkan kentang goreng yang dilemparkan Risa ke dalam mulutnya.
"Ih! jijik!" Risa meringis. Namun Juni tetap mengunyah kentang goreng itu di mulutnya.
"Oh iya, aku punya banyak puisi di buku catatan tuh, bisa dibikin lagu kan?" imbuh Risa sembari tersenyum lebar pada Juni.
"Beneran? ya udah nanti kita harus rapat dong!" sahut Juni santai.
"Oke!" balas Risa singkat.
***
Juni mengambil sepedanya yang masih diletakkan di dalam gudang, dia keluar dan keheranan kala dirinya melihat Risa. "Ngomong-ngomong, hanya kamu manusia di Indonesia ini yang pergi dan pulang sekolah pakai sepatu roda," tegur Juni sambil terkekeh.
"Ih! sinis banget sih! terserah aku dong!" balas Risa seraya beranjak pergi dengan sepatu rodanya.
"Ya sudah deh, terserah!" Juni mengalah.
"Jun, sudah lama ya kita nggak main di tanah lapang," ucap Risa tiba-tiba, dia menatap tanah lapang yang sering menjadi tempatnya bermain layang-layang bersama Juni dulu. Risa sangat ingat kala itu mereka seringkali kesusahan menerbangkannya.
"Kan kita udah gede, mainnya nggak di tanah lapang lagi lah!" Juni terkekeh sembari menginjak pedal sepedanya perlahan.
Syut. . .
Juni menghentikan sepedanya dengan pelan. Sedangkan Risa sudah terlihat melepas sepatu rodanya.
"Syukurlah tidak terlambat!" celetuk Juni pelan sembari mengelus bagian dadanya.
Risa berdiri menatap gedung sekolah barunya, dan sama sekali tidak merespon keluhan sahabatnya. Dia tersenyum, memikirkan sesuatu di dalam benaknya. Juni yang menyaksikan berpura-pura tidak melihat, karena dia sudah sangat mengenal sahabat dekatnya itu. Juni tahu betul bagaimana emosionalnya Risa, meskipun gayanya terlihat tomboy.
"Juni!" pekik Irfan dari belakang, lalu berlari mendekat dan langsung merangkul Juni. Alhasil Risa pun menoleh ke pemilik sumber suara itu.
"Siapa?" Irfan melirik Risa yang sedang berada di samping Juni.
"Nanti juga kamu tahu! duluan saja gih ke kelas!" balas Juni sembari melepas rangkulan temannya yang berambut kribo itu. Irfan pun memasang wajah cemberut seraya menatap tajam Juni dan Risa. Kemudian dia segera beranjak pergi menuju kelas.
"Ayo!" ajak Juni yang memimpin jalan ke arah kantor guru.
"Ris kok jadi pendiam gitu, jadi aneh lihatnya! gugup ya?" tegur Juni, pada Risa yang saat itu tengah meremas-remas jarinya karena gugup.
Risa berdecak kesal dan segera mencubit lengan Juni yang penuh akan lemak. Dia berusaha memberikan sinyal pada sang sahabat agar segera menutup mulut. Juni pun terdiam, dan memasang wajah merengut. Membuat Risa sedikit terkekeh kala melihatnya.
Teng! Teng! Teng!
Suara bel tanda masuk kelas berbunyi.
“Kamu bisa sendiri kan bicara ke guru? apa perlu aku temani terus?" sindir Juni.
Risa memasang wajah percaya dirinya dan mendorong Juni dengan pelan, “Sana gih! aku bisa kok!” ujar Risa yakin.
“Oke, aku duluan ya!” Juni melambaikan tangannya dan segera berlari menuju kelas.
Seorang guru keluar dari kantor dan menegur Risa yang saat itu bersiap masuk ke kantor guru, "Hei! kamu kenapa nggak masuk kelas?"
"Anu Pak, mmm . . . saya murid pindahan," balas Risa gugup.
"Oh pantesan, rasanya Bapak belum pernah lihat kamu di sini," jawab guru yang sering di sapa Pak Diwan itu.
"Ya sudah ayo masuk dulu!" perintah Pak Diwan.
"Ada apa Pak?" seorang wanita menyapa Pak Diwan yang membawa Risa masuk ke kantor guru.
"Ini kita punya murid pindahan!" balas Pak Diwan pada wanita tersebut.
"Oh iya ya? kamu duduk di sini ya!" suruh wanita itu ramah.
"Oh iya Bapak lupa nanya nama kamu?" Pak Diwan menunjukkan tangannya ke arah Risa.
"Marisa Indriyani Pak," Jawab Risa dengan ukiran senyumnya.
"Oh Marisa. Kamu konsul sama Bu Tiwi dulu ya biar dipilihkan kelasnya!" kata Pak Diwan, Risa pun langsung mengangguk untuk mengiyakan. Setelah itu Pak Diwan tampak beranjak pergi membawa beberapa buku ditangannya.
***
Bu Tiwi menyuruh Risa mengeluarkan berkas-berkas untuk mengisi biodata keanggotaan sekolah. Dia juga menanyakan beberapa pertanyaan penting untuk Risa.
"Kenapa kamu pindah sekolah ke sini? padahal sekolah kamu yang dulu itu adalah sekolah ternama loh, dan pastinya lebih bagus dari sekolah ini," Bu Tiwi penasaran.
Risa terdiam mendengar pertanyaan tersebut, otaknya mencoba mencari-cari jawaban yang cocok untuk pertanyaan itu. “Karena . . . lebih dekat?” jawab Risa enggan.
Bu Tiwi mengangguk pelan, ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal itu. Sesekali dia memperbaiki kacamata yang hampir terjatuh, karena dirinya memiliki hidung yang tidak cukup mancung untuk menyangganya.
Hening terjadi beberapa saat. Risa hanya bisa menonton Bu Tiwi yang membolak-balikkan kertas-kertasnya.
Kala itu Bu Tiwi dibuat kaget dengan nilai sempurna yang tertulis di rapor milik Risa. Padahal tadinya dia ingin menanyakan alasan yang lebih tepat pada Risa tentang kepindahannya ke sekolah ini, tapi segera dia urungkan. Bahkan nilai kesopanannya sebagai murid juga tertulis sangat bagus. 'Guru di sekolah mana mau menolak seorang murid yang pintar seperti Risa!' pikir Bu Tiwi.
"Bu bukankah sudah telat, saya nggak mau telat di hari pertama," bujuk Risa sembari memberikan senyumannya yang manis, merunyamkan pikiran Bu Tiwi seketika.
"Ya sudah ayo ikut Ibu!" Risa langsung berdiri mengikuti Bu Tiwi untuk segera memasuki kelas barunya.
***
"Selamat pagi, Pak Diwan?" sapa Bu Tiwi seraya memanjangkan leher untuk menengok ke dalam kelas. Setelah itu Bu Tiwi langsung memberikan sinyal pada Risa agar segera masuk ke dalam kelas.
"Sini Marisa!" suruh Pak Diwan yang saat itu kebetulan mengajar di kelas yang Risa masuki.
Juni tertegun kala melihat Risa, dia menatap tajam sahabatnya. Berharap Risa menyadari keberadaan dirinya di kelas tersebut. Namun sepertinya Risa masih tidak sadar akan keberadaan Juni, karena posisi lelaki bertubuh berisi itu berada di bangku yang paling belakang.
"Nggak usah perkenalan ya, kalian tanyakan langsung ke orangnya saja kalau penasaran!" ucap Pak Diwan malas.
"Yah Bapak, perkenalan dong!" imbuh Agus sang ketua kelas dengan suara yang lantang. Alhasil semua murid pun ikut-ikutan memohon agar Risa segera memperkenalkan dirinya. Pak Diwan segera menatap Risa, untuk memberi sinyal pada gadis berambut pendek sebahu itu.
"Perkenalkan namaku Marisa Indriyani, bisa dipanggil Risa!" kata Risa singkat sembari memberikan sedikit senyuman.
"Sudah punya pacar?"
"Ini Deni Katanya suka kamu Hihihi"
"Nomor hp nya dong!"
Berbagai respon dari siswa-siswi di kelas itu, hanya membuat Risa sedikit menyeringai. Sedangkan Juni hanya bisa tertawa kecil kala melihat teman-teman sekelasnya itu ribut seperti biasa.
Akhirnya mata Juni dan Risa tidak sengaja bertemu, mereka pun saling tersenyum bangga. Menandakan keduanya merasa bahagia saat saling bertemu.
"Sudah, sudah! nanti kalian tanyakan sendiri. Kamu duduk di bangku kosong itu ya Ris!" Pak Diwan mencoba menenangkan kelas yang dipimpinnya. Hal itu sontak menghentikan interaksi antara Juni dan Risa.
Risa duduk di bangku kosong yang diberikan Pak Diwan untuknya. Sekali-kali dia tersenyum menyapa siswa-siswi yang memang berniat menyapanya. Gadis itu duduk satu baris di depan dari Juni, dan terhelat dua baris yang memisah keduanya. Dia menengok ke belakang untuk melihat sang sahabat.
Saat berbalik, Juni sudah menatapnya dengan senyuman lebar. Risa langsung menyeringai ketika menyaksikan senyuman yang menurutnya begitu menjengkelkan. Alhasil dia pun kembali memalingkan wajah dari Juni.
Plak!
Irfan menepuk pundak Juni. "Gila ya!" bisik Irfan dengan kekeh menjengkelkannya. Dia menegur Juni yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Hal itu sontak membuat Juni langsung berhenti tersenyum.
"Eh anak baru itu pacarnya Juni." Irfan menyebarkan gosip pada temannya yang lain dengan berbisik.
Plak!
Juni memukul bahu kiri Irfan dan memelototinya. Setidaknya dia berusaha menghentikan kabar burung yang disebarkan oleh temannya tersebut.
"Bener?" Agus yang tidak sengaja mendengar bisikan Irfan pun penasaran. Juni langsung menggeleng dengan kerutan di dahinya, yang sontak membuat Irfan tertawa geli. Lelaki berambut kribo itu seakan sangat puas dengan kejahilannya.
"Ah terlalu cantik dia buatmu!" sambung Agus lagi dengan seringainya. Irfan tiba-tiba merengut, Juni yang melihat ekspresi itu, berharap temannya tersebut mau membelanya.
"Memang orang cantik nggak bisa pacaran sama orang jelek?" bukannya membela, Irfan malah membuat Juni semakin geram.
Brak!
Juni pun melemparkan buku catatannya ke meja Irfan. Hingga menimbulkan suara yang lumayan keras, dan berhasil menarik atensi Pak Diwan yang saat itu sedang menulis di depan kelas.
"Siapa itu?!!" Pak Diwan memasang wajah masamnya.
Juni dan kawan-kawan hanya terdiam, dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kala itu Irfan mengamati Agus dan Juni yang terdiam dan menundukkan kepala.
"Itu tadi saya Pak, ada lalat di meja saya!" celetuk Irfan mencoba memecah kesunyian.
"Haahaaha!" semua orang di kelas tertawa mendengar alasan yang tidak masuk akal itu.
"Sudah! sudah! kalau mau nangkap lalat di situ di tempat sampah! jangan di kelas!" Pak Diwan mencoba menahan tawanya dengan bersikap tegas. Semua siswa di kelas pun terdiam dan melanjutkan belajarnya.
Dalam waktu yang singkat Risa sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik. Kepintarannya membuat sebagian murid semakin tertarik padanya. Meskipun begitu Risa masih merasa keinginan orang-orang yang ingin berteman dengannya adalah ilusi belaka. Sebab gadis itu tidak ingin mempercayai orang lain dengan mudah.
***
Teng! Teng! Teng!
Suara bel tanda istirahat berbunyi, Pak Diwan bergegas beranjak pergi dari kelas.
Risa berlari dan langsung duduk di samping Juni, yang saat itu sedang duduk di kursi panjang depan kelasnya. Juni dan kedua temannya pun berhasil dibuat kaget dengan kedatangan Risa.
"Ris, kamu nggak jadi ke kantin?" tanya Juni.
"Iya kok nggak jadi?" Irfan ikut bertanya.
"Nanti saja!" ungkap Risa.
"Cewek-cewek itu, sepertinya nggak seru!" bisik Risa ke telinga Juni, membicarakan teman-teman sekelasnya.
"Hah?" Juni langsung menyenggol Risa dengan sikunya, takut kalau Irfan dan Agus juga mendengar.
"Apanya yang 'HAH'?" Agus bertanya dengan wajah polosnya.
"Nggak kenapa-kenapa kok!" sahut Risa tersenyum.
“Kalau ketua kelas denger bisa kacau balau!” bisik Juni pada Risa. Namun gadis itu hanya bisa tersenyum kecut ketika mendengar bisikan sahabatnya.
Irfan yang sudah tahu cerita persahabatan Juni dan Risa tiba-tiba tersenyum jahat dan berkata, "Ris, kamu mau tahu Juni duduk di sini dan nggak jadi ke kantin?" Irfan mengangkat kedua alisnya. Hal itu pun sontak membuat Risa penasaran dan segera membulatkan matanya.
"Ameliaaaa. . . ooohh! Amell. . ." Juni segera menutup mulut Irfan yang bersenandung untuk mengejeknya. Agus yang paham dengan ejekan itu langsung tertawa geli.
"Apaan sih? Amelia?" Risa masih bingung, dia mengernyitkan dahi.
"Itu Amelia!" Agus menunjuk seorang perempuan berambut keriting yang tengah bermain voli.
Risa pun menilik lapangan voli untuk mencari gadis yang disebutkan oleh Agus. Hingga atensinya berhenti pada gadis cantik yang memakai kaos olahraga berwarna abu-abu. Risa menyeringai namun masih belum mengerti.
"Eh kalian apaan sih!" Juni mencoba mengelak dengan pipi mulai memerah.
Risa yang masih kebingungan, terus berusaha mencari jawaban di kepalanya. Raut wajahnya menampakkan dirinya sedang berpikir.
"Aduh Risa masa nggak paham sih!" keluh Irfan seraya menghentakkan sebelah kakinya. Perlahan Risa pun membelalakkan matanya. Dia menatap Irfan dan Agus sambil menganggukkan kepala dengan pelan.
"Eh jangan berpikiran yang macam-macam ya!" Juni menunjukkan jari telunjuknya ke arah Risa.
Risa, Irfan, dan Agus saling tertawa. Sedangkan Juni hanya bisa tersenyum kecut. Kepalanya tertunduk dengan pipi yang merah merona.
"Oh jadi seperti itu ya tipe cewekmu!" Risa menyenggol Juni dengan sikunya.
"Udah ah!" Juni yang sedikit jengkel, langsung berdiri dan pergi ke arah kantin.
***
Risa menggesekkan sepatu rodanya pelan sembari berpegangan erat di sepeda Juni. Hari itu panasnya sinar matahari begitu menusuk. Membuat Juni maupun Risa mengeluarkan keringat yang berlebih di tubuh mereka.
"Ris, jangan dekat-dekat Juni, dia bauu!" pekik Irfan yang lewat, dengan diboncengi oleh ayahnya menggunakan motor.
"HAIISS!!" Juni tampak geram.
"Hahahahahaaa!" Risa tertawa geli dengan memegangi perutnya.
"Wualah! kaya nggak pernah bau aja, semua manusia itu bau tahu!" gerutu Juni dengan nada yang tinggi.
"Aaaaaaa!" Risa memekik karena Juni tiba-tiba mencubit tangannya. Namun sepertinya usaha Juni gagal untuk membuat Risa menjauh.
"Seru ya!" celetuk Risa, dia berbicara dengan menatap ke depan.
"Bicara sama siapa?" tegur Juni, yang membuat Risa langsung menatapnya tajam.
"Sekolahnya yang seru, ah!" balas Risa dengan kerutan dahinya.
"Lebih seru dari sekolahmu dulu?" tebak Juni, yang segera dijawab Risa dengan satu anggukan.
"Kita ke minimarket yuk! aku mau beli camilan," ajak Juni, yang membuat Risa seketika membulatkan matanya.
"Jun, kalau nyokapmu tahu sudah berapa banyak uang yang kamu habisin hanya untuk makan, dia pasti. . ." ungkap Risa yang dilanjutkan dengan menggeleng tak percaya.
"Biarin, paling dia ngomel!" balas Juni santai.
"Idih! dasar pembangkang!" Risa menggertakkan giginya.
"Jadi bagaimana? ikut nggak ke minimarket?" Juni memastikan.
"Ikutlah!" sahut Risa tanpa berpikir lama.
Juni mendorong pintu kaca minimarket dengan pelan, yang di ikuti Risa dari belakang. Keduanya melihat-lihat beberapa camilan untuk di beli. Risa mengambil salah satu camilan rasa balado kesukaan Juni.
"Inikan?" tanya Risa yakin.
"Bosan ah!" respon Juni tak acuh. Hal itu sontak membuat Risa memasang kembali pelototannya pada sang sahabat. Juni yang melihatnya menyeringai, dia lagi-lagi kena cubitan dari Risa.
"Ris, kamu bisa kan nggak gitu lagi!" Juni memegangi lengan bekas cubitan Risa.
"Nggak!" bentak Risa yang membuat kasir minimarket seketika memusatkan perhatiannya kepada mereka. Juni dan Risa pun langsung tersenyum kecut dan sedikit menunduk untuk menyapa. Kasir berkumis tipis tersebut membalas senyuman dua sahabat itu sembari menggelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!