Duniaku terasa runtuh.
Air mataku bahkan sudah mengering dan tak mampu menetes lagi.
Di depan sana, keluarga dan teman-temanku bergantian mengetuk pintu kamarku sejak kemarin.
Mereka mencoba menyemangatiku dan memeluk dukaku. Beberapa diantara mereka datang dengan makanan kesukaanku, buah-buahan bahkan santunan uang.
Aku tetap bergeming di atas tempat tidurku. Tidak ingin diganggu.
Aku ingin sendiri.
Aku ingin lenyap saja.
Aku ingin menyusulmu, Dio.
Aku sungguh tidak kuat lagi.
Kring..kring..
Telfonku berdering. Entah untuk keberapa ratus kalinya. Aku bahkan tidak mengeceknya sama sekali sejak kemarin.
Aku hanya ingin diam.
Diam tenggelam dalam imajinasiku.
Menemukan Dio disana, memeluknya erat. Tidak mau melepaskannya.
Dio yang selama ini selalu melindungiku.
Dio yang sangat hebat dan rela berkorban untukku.
Dio, lelaki yang kupacari delapan tahun lamanya dan seharusnya kunikahi besok.
Dio, yang kini sudah tergeletak di dalam kubur akibat kecelakaan mobil yang dialaminya kemarin.
Dio yang tidak meninggalkan pesan apa-apa, kecuali satu pesan singkat yang dia kirimkan kepadaku sesaat sebelum nyawanya terenggut.
"Tunggu aku Selena."
Aku sungguh hancur.
Aku sudah menunggumu, Dio. Bertahun-tahun aku disampingmu. Maukah kamu membawaku sekarang ke duniamu?
Tok..tok..tok..
Pintu kamarku kembali diketuk. Aku masih bergeming. Pandanganku masih tak beralih dari kolase foto di dinding kamarku yang rajin kuhiasi.
Semuanya berisikan potret aku dan Dio.
Saat pertama kali kami mengenal saat kuliah.
Saat kami merayakan hari jadi setiap tahun.
Saat kami lulus kuliah bersama.
Saat aku harus mengantar Dio melanjutkan kuliah di luar negeri.
Saat Dio melamarku, hingga saat kami melangsungkan pre-wedding.
Ya, kolase foto dinding ini adalah sejarah cinta kami.
Tentu saja cinta kami tidak berjalan mulus. Banyak halangan yang kami lalui, khususnya dari status keluargaku yang tidak bisa disandingkan dengan keluarganya.
Awalnya, keluarganya dengan tegas menolakku. Ayah hanyalah pensiunan guru, sedangkan ibu adalah guru bimbingan belajar (bimbel) panggilan.
Aku sendiri berusaha keras mengejar ketertinggalan keluarga kami. Aku belajar siang dan malam untuk mendapatkan beasiswa berkuliah di institusi terbaik di negeri ini. Aku berupaya membangun jaringan kerja hingga akhirnya aku bisa menduduki posisi dokter muda di salah satu rumah sakit swasta di ibu kota saat ini.
Sementara itu, Dio berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah politisi yang sukses. Ibunya adalah sosialita sedangkan Dio sendiri adalah calon diplomat yang mendapatkan penugasan untuk bekerja di Kedutaan Besar Polandia selama tiga tahun ke depan.
Seharusnya, setelah menikah nanti aku akan menemani dia membangun karirnya disana. Aku seharusnya disana untuk melihatnya menggapai mimpi menjadi duta besar dalam beberapa tahun ke depan. Sementara aku, sudah berencana untuk mengejar gelar spesialisasi di Polandia sebagai psikiater.
Kini, semuanya tak berbekas lagi.
"Nak."
Suara ibu terdengar lirih di balik pintu. Aku tahu tidak baik mendiamkan mereka yang sangat peduli padaku. Namun, aku benar-benar tidak punya keberanian untuk menghadapi dunia saat ini.
Aku tidak sanggup menerima belas kasihan semua orang bila aku membuka pintu. Aku sudah cukup hancur dan melihat mereka mengasihaniku akan membuatku semakin jatuh.
"Nak, ayah dan ibu Dio datang. Mereka..." suara ibu bergetar tidak sanggup menyelesaikan perkataannya.
Mataku terbelalak. Firasat buruk seketika menyelimutiku mendengar kalimat ibu yang menggantung.
Oh tidak, tolong jangan perburuk keadaan ini.
Aku bergegas berlari menuju pintu. Masih berharap semua ini adalah mimpi.
Aku membuka pintu perlahan.
Beberapa pasang mata spontan menatapku tajam, seakan aku sedang dituduh melakukan pembunuhan keji dalam suatu sidang.
Meskipun, aku yakin kedatangan keluarga Dio di hari berkabung ini memang ingin menyalahkanku atas kematian Dio.
Ya, jika bukan karena ingin menjemputku, Dio tidak akan mati.
Ini adalah kenyataan yang begitu pahit dan sangat menyiksaku. Penyebab kematiannya adalah aku.
Jika saja, Dio tidak menjemputku saat itu.
Jika saja aku tidak mengiyakan tawarannya.
Jika saja aku tidak pergi hari itu.
Dio tidak perlu menjemputku.
Dio tidak perlu mati.
Maafkan aku, Dio.
Aku sungguh tidak ingin berpisah denganmu.
Tapi, Tuhan sudah berkehendak lain dan kita umatnya hanya bisa menjalankan takdir yang sudah dia tentukan
Aku harus tegar dan bangkit. Aku yakin Dio tidak akan suka melihat aku menyalahkan diri sendiri. Aku juga yakin dia tidak mau melihatku terus menyiksa diri.
Selama ini, Dio selalu menjadi pasangan yang sangat supportif dan sangat mendukung mimpi-mimpiku.
Benar begitu kan, Dio?
Lalu disinilah aku. Mencoba menghadapi dunia setelah ditinggal kekasih hidupku itu.
Harus menghadapi keluarganya yang sudah pasti tidak rela kehilangan satu-satunya anak laki-laki kebanggaan mereka.
Aku tidak memperdulikan penampilanku untuk tampil di depan keluarga Dio saat ini.
Rambutku acak-acakan, wajah sembab dan hanya mengenakan baju daster yang cuma cocok untuk dipakai tidur, bukan untuk menemui tamu.
Biarlah. Sekarang semuanya sudah tidak penting lagi bagiku.
Mereka semua sudah menungguku di ruang tamu.
Di depanku sudah ada Bapak Ferdi, pemimpin komisi V DPR yang juga ayah Dio. Disebelahnya ada istrinya, yang menggunakan pakaian hitam yang sangat elegan. Di sebelahnya, ada Becca, adik kembar Dio yang juga adalah temanku sejak SMA.
Ketiganya melihatku tajam, khususnya ibu Dio yang keliatan sekali ingin memakanku hidup-hidup. Matanya terlihat bengkak, namun riasan di wajahnya tetap sempurna. Sementara Becca masih terlihat terisak-isak disebelahnya.
"Seandainya kamu saja yang mati," ibu Dio memulai pembicaraan.
"Ma!" potong Becca. Meskipun sangat terpukul, Becca tau hal tersebut tidak pantas diucapkan kepadaku. Dia menggengam tangan mamanya.
"Aku sudah bersabar bertahun-tahun. Aku selalu menentang hubungan kalian. Dan sekarang lihat! Kamu menyebabkan kematian anakku!"
Kini ibu Dio sudah kehilangan kontrol. Dia berteriak sambil menangis hebat.
Di sampingku, ibuku mencoba memelukku. Namun aku melepaskan tangannya, dan memberikan isyarat bahwa aku baik-baik saja. Aku harus menghadapi ini dengan kepala tegak.
"Tante, Om dan Becca, aku juga sangat kehilangan Dio. Aku minta maaf, malam itu, aku juga tidak tahu kalau Dio akan menjemputku," aku berusaha menahan tangis.
"Semua ini salahmu! Kamu si pembawa sial! Sejak ada kamu, Dio sudah bukan jadi anak yang penurut lagi. Kamu tidak tahu diri dan sekarang kamu malah bunuh dia!"
"Ibu Ferdi! Tolong kata-kata Ibu dijaga. Kami memang tidak kaya tapi kami punya tata krama yang sangat kami jaga," sahut ayahku yang kini sudah bersisian denganku. Kini ayah dan ibuku menggengam tanganku untuk menghadapi serangan silat lidah ini.
"Kami juga sangat kehilangan Nak Dio, dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Saya memang bukan yang melahirkan Nak Dio, tapi saya yakin dia akan sedih bila melihat kita bersitegang seperti ini," lanjut ibu.
Bapak Ferdi terlihat paling tegar diantara mereka. Dia mencoba menenangkan istrinya dan maju berbicara kepada kami.
"Dio adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Anak yang paling kami banggakan. Suatu hari, kami yakin dia akan jadi pemimpin negeri ini. Jika saja dia masih disini," ucapnya bergetar.
"Kami sangat hancur saat ini. Semua undangan sudah kami sebar, seluruh biaya sudah kami tanggung untuk pernikahan besar-besaran ini," lanjutnya.
"Jadi, kami harap kalian bisa mengembalikan semua uang pernikahan yang telah dikeluarkan kepada kami," tutup Bapak Ferdi.
Apa?
Kami semua tahu keluarga Dio tidak pernah kekurangan uang. Tidak akan pernah. Biaya pernikahan ini pun seluruhnya sudah dibayar oleh keluarga Dio tanpa melibatkan keluargaku.
Lalu mengapa? Apakah ini hanya ajang pembalasan dendam padaku? Agar aku bertanggung jawab terhadap kematian Dio dengan ditukar dengan uang?
Dio, kamu sungguh tidak pantas diperlakukan begini.
Nyawamu tidak bisa dihargai dengan jumlah uang berapapun itu!
Keluarga Dio tahu kami akan sangat kesulitan mendapatkan uang sebanyak itu. Dia ingin menyusahkan kami sekaligus mendapatkan keuntungan dari kematian anaknya.
Dio, di hatiku kamu sangat berharga dan tidak pantas ditukar dengan berapapun jumlah uang.
Keluargamu sudah sangat keterlaluan.
"Pa, itu tidak adil untuk Selena!" Becca mencoba membelaku.
Aku sangat tersentuh disaat seperti ini Becca masih menggunakan hati dan pikirannya untuk menjernihkan masalah ini.
"Om, saya harap diatas sana Dio tidak sedih mendengar kata-kata Om barusan tadi," kataku pedas.
"Apa maksudmu?" balasnya meninggi, kini Bapak Ferdy telah mengeluarkan identitas aslinya yang congkak.
"Om ingin menukar kematian Dio dengan uang. Hati anak mana yang tidak sedih mendengar itu?" aku menantangnya.
"Kamu!"
"Seperti kata Becca, ini tidak adil untuk saya. Keluarga saya yang mengusulkan agar pernikahan dilakukan secara sederhana namun kalian tidak mendengarkan dan malah meminta dibuat besar-besaran," aku mencoba mengingatkan mereka kembali kronologinya.
"Jadi kamu ingin pergi saja dari tanggung jawab ini? Kamu tidak ingin menebus rasa bersalah karena mencelakakan anak kami?" sindir Bapak Ferdi.
"Apakah kalian segitu bencinya dengan kami dan ingin terus menginjak kami sampai jadi tanah?" belaku.
"Memang! kalau bisa kamu gantikan anakku didalam kubur sana!" teriak Ibu Dio sambil membanting vas bunga dan guci koleksi kesayangan ayahku di sampingnya.
"Ibu Ferdi! Anda berada di rumah saya saat ini jika Ibu terus merusak barang saya tidak segan untuk panggil polisi!" ayahku kini sudah berteriak.
"Memangnya polisi akan mendengarkan kalian?" sinis Ibu Ferdi.
"STOP!" aku meringis.
"Selena, jangan lupa saya bisa membolak-balikan kehidupan kamu jika saya mau. Kamu punya karir yang bagus. Kamu tidak takut saya ikut campur dan membuat karirmu selesai?"
"Inikah perkataan wakil rakyat yang terhormat?" aku mengejeknya.
"Saya tidak tahu kenapa anak saya bisa bodoh sekali mengejar-ngejar kamu yang tidak punya sopan santun seperti ini. Saya ingatkan kamu sekali lagi..."
"Bisakah Om berkaca siapa yang kurang santun hari ini? Mengancam saya, menukarkan anaknya demi uang, menghancurkan barang-barang ayah saya."
Ibu Dio tidak bisa menahan kesabarannya. Kini dia sudah didepanku dan menampar keras wajahku. Aku terlambat dan tidak bisa menghindar.
Rasanya sakit sekali.
Ibu sigap menahan berat badanku untuk tidak jatuh ke tanah.
"Wanita sundal! Kamu menguras harta kami dan berani menghina kami! Kamu betul-betul tidak tahu rumah sakit yang memperkerjakan kamu saat ini mayoritas sahamnya dimiliki suami saya?"
Kegilaan apa lagi ini?
"Kamu pikir kamu bisa dapat posisi saat ini di rumah sakit karena kamu hebat? Kalau saja Dio tidak memohon kepada kami dan mengancam untuk kawin lari denganmu, kami tidak setuju kamu bekerja disana!" Ibu Dio meledak-ledak.
Betulkah begitu? Dio juga membantuku mendapatkan karirku saat ini?
"Bukannya kamu sangat membanggakan karirmu itu? Kamu mau besok tiba-tiba jadi pengangguran dan tidak ada satu rumah sakitpun di negara ini mau memungutmu? Kami sangat bisa melakukan itu."
Kuatkan aku ya Tuhan.
Dio, bantu aku. Pinjamkan aku kekuatan hatimu untuk bertahan dari hinaan orang tuamu.
Keluarga ini hanya ingin melihatku sengsara.
Keluarga ini ingin aku mati perlahan-lahan.
Dan aku tidak akan semudah itu jatuh ke permainan mereka.
"Baiklah, saya tidak akan lari," kataku pada akhirnya.
Ayah dan Ibu Dio terlihat sinis memandangku. Sedangkan Becca menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan keputusanku.
"Setuju, bayar ke kami satu bulan dari sekarang. Harap diingat kami tidak menerima cicilan," cela Ibu Dio kepadaku.
"Hanya dengan satu syarat," ucapku.
"Pernikahan ini seharusnya menjadi pernikahan saya dengan anak kalian, jadi saya hanya perlu membayar setengahnya. Sisanya kalian yang tanggung," ucapku.
Ibu Dio terlihat kurang setuju pada awalnya, namun Bapak Ferdi terlihat malas untuk kembali bersilat lidah denganku dan dia menyetujuinya.
Ibu dan ayahku terlihat hampir pingsan.
"Suamiku, ayo kita pergi dari gubuk ini. Aku tidak betah seatap dengan pembunuh," hina Ibu Dio bertubi-tubi kepadaku.
Becca tampak ingin tinggal namun Ibu Dio menggamit lengannya untuk pergi. Dengan bahasa isyarat dia mengatakan akan meneleponku sambil lalu bersama ayah dan ibunya.
"Satu lagi, jangan pernah kamu menginjakkan kaki di nisan Dio. Jika kamu melanggar ini, kamu akan tau akibatnya," ucap Ibu Dio sambil membanting pintu rumahku.
Dari seluruh hinaan yang dia lontarkan padaku, dilarang mengunjungi tempat peristirahatan Dio lah yang paling mencabik hatiku. Bahkan aku tidak pantas untuk meminta maaf dan berterima kasih atas delapan tahun berharga dengan kekasihku itu.
Setelahnya, yang aku tahu pandanganku menjadi gelap dan aku sudah tidak ingat apapun setelahnya lagi.
Kepalaku pusing sekali.
Yang aku ingat sepertinya aku baru saja terlelap.
Sepertinya ada yang salah dengan penglihatanku pada awalnya. Pertama-tama sangat buram, kemudian kini menjadi sangat silau.
Lalu aku mendengar suara nyaring berteriak di sampingku.
"Selena sudah bangun!"
Teriakan laki-laki itu menggema di tempat yang kutebak adalah kamar rumah sakit. Seluruh tempat ini bercat putih, dengan bau rumah sakit yang khas. Aku masih menyesuaikan silaunya cahaya setelah membuka mata.
Ternyata suara Gery.
"Hai Gery," aku menyapa sahabatku sambil meringkuk di atas kasur.
"Sel kalau belum sehat gausah bergerak dulu," balasnya.
Tak butuh waktu lama, beberapa wajah sudah mengerubungiku. Aku melihat wajah Ibuku, Ayahku, Gery dan Anna.
Gery adalah teman sejak kecilku. Kami tinggal di lingkungan perumahan yang sama. Sejak SD hingga kuliah, kami selalu bersekolah di tempat yang sama.
Gery lah yang mengenalkanku dengan Dio, teman satu band dia dulu waktu di SMA. Dia bahkan menjodohkan kami menjadi pasangan sejoli yang tidak terpisahkan sejak saat itu.
Sementara Anna adalah dokter muda, sama sepertiku, yang juga satu-satunya teman dekatku saat bekerja di rumah sakit.
Kami bekerja di rumah sakit swasta terbaik di Ibukota, yang aku sedang aku inapi saat ini. Kami bahkan pernah tinggal bersama saat melakukan koas (co-assistant) di rumah sakit ini tahun lalu. Sejak itulah kami dekat.
"Aku pingsan berapa lama?" tanyaku kepada mereka.
"Tiga hari," sahut Gery. "Dan kamu belum mandi," candanya ingin menghiburku.
Namun yang kurasakan hanyalah hati yang masih sangat sakit.
Berarti sudah empat hari Dio meninggalkan dunia ini. Dan seharusnya kemarin adalah acara pernikahan kami.
Dio melewatkan pernikahan kami dengan pergi selama-lamanya, sedangkan aku kehilangan kesadaranku karena tak sanggup menghadapi ini semua.
Aku merindukanmu, Dio.
Anna memecah kebuntuan, "Sel, aku sudah minta izin sama Dokter Bernard, dia bilang kamu tidak perlu masuk sampai seminggu kedepan."
"Thanks, Na,"
"Gimana kalau kita pergi ke villa ku di Bandung, Sel? Aku bisa ambil cutiku dan kamu bisa istirahat disana. Om dan Tante juga ikut aja gapapa yuk?" ajak Anna.
Terima kasih Tuhan, meskipun orang yang paling kukasihi sudah kau panggil, aku masih tidak kekurangan kasih sayang dari keluarga dan teman-temanku saat ini.
"Na, makasih ya. Tapi aku harus cari uang tambahan," getirku.
Aku lalu menjelaskan kepada mereka berdua di depan ayah dan ibuku mengenai apa yang kami sedang alami sambil bicara sesenggukan.
Ibu memapahku dan ayah memegang tanganku membisiki aku bahwa mereka akan selalu disampingku.
"Nak, tadi Ibu dapat info katanya total biaya pernikahan kalian sekitar satu miliar," kata Ibuku berhati-hati.
Aku tidak pernah tau detail biaya pernikahan kami karena dulu Dio tidak mau merepotkan keluargaku. Semuanya Dio lah yang membayarnya.
Kemarin, keluarga Dio sudah setuju bahwa kita akan sama-sama menanggung biaya pernikahan ini. Artinya, aku hanya perlu melunasi setengah biaya ini atau lima ratus juta dalam waktu sebulan kedepan.
Masalahnya, lima ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit.
Aku tidak punya uang sebanyak itu.
"Aku punya tabungan, namun tetap tidak cukup. Aku harus cari kerja tambahan dalam waktu sebulan ini," jawabku.
Kerja apa yang bisa membuatku mendapatkan lima ratus juta dalam sebulan?
Aku juga masih belum tahu, namun aku akan berusaha mencarinya setelah aku pulih hari ini.
"Anakku, Ayah dan Ibu sudah berdiskusi mengenai ini. Ayah akan mencari pembeli untuk rumah kita. Memang rumah kita tidak besar, namun ini cukup strategis di Ibu Kota. Hasilnya bisa untuk bayar dan kita pakai untuk mengontrak."
"Ayah! itu rumah peninggalan nenek buyut yah dan seharusnya kalian hidup sampai tua nanti disana! aku tidak setuju," aku memotongnya.
"Tapi Nak..."
"Sel, kamu bisa pakai uang tabunganku kalau kamu butuh cepat," tawar Anna.
Gery disebelahku juga mengangguk sama.
"Aku tidak keberatan meminjamkan dulu tabunganku, yang penting keluarga Dio tidak menginjakmu lagi seperti ini," tawar Gery.
Air mataku sudah tak sanggup kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya mengetahui masih banyak yang peduli padaku di saat suram seperti ini.
Ibu mengusap kepalaku, ayah bahkan ikutan menangis. Anna dan Gery menggengam tanganku dan memintaku untuk kuat. Dan aku yakin, Dio di atas sana juga mengharapkanku untuk tidak kalah dengan situasi ini.
"Terima kasih semuanya," aku masih sesenggukan. "Namun ini adalah masalahku, aku tidak mau kalian ikut repot. Aku yang harus menyelesaikan ini sendiri."
"Nak, coba kamu pertimbangkan dulu ya," pinta ibuku. Wajahnya terlihat sangat kalut dan sangat sembab.
Hanya untuk membuat ibuku tenang, aku mengangguk. Tapi aku tidak boleh merepotkan siapapun. Ini masalahku, tidak seharusnya orang-orang ikut menderita karena diriku.
"Boleh aku bicara sendiri dengan Anna?" pintaku kepada Ayah, Ibu dan Gery.
Semuanya mengangguk dan pergi satu persatu dari kamarku. Gery memaksa untuk tetap tinggal. Katanya, kalau ada sesuatu yang aku rahasiakan darinya dia akan ngambek satu bulan padaku.
"Oke Ger, kamu boleh tinggal," kataku sambil menahan tawa. Gery tidak memaksudkannya, dia memang suka bertindak lucu untuk membuat semua orang senang.
Kedua pasang mata itu menatapku kini. Gery di sebelah kiriku dan Anna di sebelah kananku.
"Terima kasih, kalian benar-benar sahabat terbaik," aku mengucapkannnya dengan sungguh-sungguh. Namun, aku benar-benar kehilangan kepercayaan diriku sekarang dan butuh diyakinkan oleh mereka.
Aku lalu menceritakan apa yang dikatakan Ibu Ferdi kepadaku. Bahwa aku bisa diterima kerja di institusi kedokteran terbaik di negeri ini karena bantuan Dio. Bahwa jika bukan karena Dio, aku bukanlah siapa-siapa saat ini.
Aku semakin merasa tidak bisa apa-apa bila tidak ada mantan kekasihku itu.
"Sel, aku rasa tidak seperti itu. Dua tahun kita ngekos bareng dan menjadi pasangan magangmu, aku bisa katakan kamu betul-betul layak ada disini," kata Anna.
Gery menimbrung, "Aku rasa Ibu Ferdi hanya ingin semakin membuatmu sengsara dengan mengatakan ini. Dio mungkin memang meminta ayahnya untuk mempekerjakan kamu disini, tapi bukan karena kamu tidak mampu. Karena dia tahu kamu sangat memiliki kualitas dan dia tidak mau kamu berada di institusi yang salah."
Bertahun-tahun, aku mencoba membuktikan kepada keluarga Dio bahwa aku bisa berhasil dengan kemampuanku sendiri walaupun aku bukan berasal dari keluarga kaya.
Siapa yang menyangka bahwa karirku saat ini juga ditopang oleh mereka dari belakang? Siapa yang menyangka bahwa aku tidak bisa masuk ke institusi ini karena kemampuanku sendiri?
Untuk pertama kalinya, aku tidak sependapat dengan apa yang Dio lakukan untukku.
"Dio hanya mau membantu mewujudkan mimpimu," Anna menyemangatiku. "Ingat kata Dokter Bernard? Kamu adalah murid yang paling bisa diandalkan. Menurutmu Dokter Bernard berbohong saat mengatakan itu?"
Itu betul, Dokter Bernard bahkan menganugerahiku penghargaan sebagai dokter residen terbaik di awal-awal masa kerja dulu.
"Aku harap Dio tidak membisikan sesuatu kepada Dokter Bernard," kataku yang langsung dipotong Anna.
"Sel, kamu meragukan kejujuran dan dedikasi Dokter Bernard? Dia adalah orang paling objektif dan adil sedunia yang pernah aku kenal," Anna masih berusaha menguatkan hatiku.
"Selena, apa aku harus menyebutkan apa saja prestasimu sejak SD dulu? juara cerdas cermat, juara debat, juara olimpiade kimia, juara catur juga tingkat kelurahan pas di tingkat kecamatan tapi kalah sama Gery Mahabrata," cerocos Gery.
Aku dan Anna tak bisa menahan tawa.
Aku sungguh beruntung masih memiliki Gery dan Anna di saat-saat terbawahku saat ini.
Dan inilah cobaan berat pertamaku tanpa Dio.
Mungkin, Tuhan memang menginginkanku untuk mandiri dengan tidak selalu menggantungkan nasibku pada mantan kekasihku yang kini telah tidur lebih dahulu itu.
Dio, doakan aku kuat disini sebelum kita bertemu lagi disana ya.
Aku akan selalu mencintaimu. Betapapun bodohnya kamu untuk selalu mencoba membahagiakanku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!