Lelaki tua berpakaian compang-camping itu terus tertawa terkekeh. Rantai besi yang melilit tubuh, tangan dan kakinya, tidak membuatnya sengsara sedikit pun. Terlihat rambut panjangnya yang putih kusut tidak beraturan. Tawanya yang berkesinambungan seolah menunjukkan bahwa ia tidak sadar sedang digiring menuju ke gerbang kematian.
Lelaki tua itu dikawal oleh serombongan lelaki bersenjata yang dipimpin oleh Sujibak Lugang, seorang lelaki separuh baya yang membawa sebilah pedang tanpa sarung. Lelaki berkumis itu mengenakan pakaian warna biru. Dialah tangan kanan penguasa daerah itu, Demang Rubagaya. Kehebatannya yang seperti seekor kucing, membuatnya dijuluki Pendekar Kucing Demang.
Berbeda dengan Sujibak Lugang yang bersenjata pedang, para anak buahnya justru bersenjata pisau-pisau terbang. Mereka terus bersiaga menjaga keadaan dan menyeret si lelaki tua yang tertawa terus tanpa ada insiden lucu.
Sementara para penduduk yang berbaris menyaksikan iring-iringan itu, tidak henti-hentinya berbisik heboh. Sesekali teriakan dari penduduk terdengar kasar. Sebagian menunjukkan wajah kegembiraan melihat si kakek dekil kotor itu telah ditangkap dan akan dieksekusi di alun-alun.
“Bunuh saja, biar kapok!” teriak seorang warga pria tua sambil melempar daun sirih yang dipegangnya. Daun sirih itu hanya terlempar setengah jarak dari si kakek terantai.
“Kalau mati mana bisa kapok toh, Pak,” kata istrinya sambil menepuk bahu suaminya.
“Oh, iyaya.”
“Lebih baik dijadikan boneka di alun-alun!” teriak yang lain.
“Enaknya dipanggang saja untuk santap malam!” teriak lelaki yang berbadan gemuk, seolah tubuhnya itu menandakan bahwa ia doyan makan.
“Mana enak, Gendut!” timpal warga yang bertubuh kurus.
“Hehehe!” sementara si kakek kumal masih saja terkekeh, seolah senang diperlakukan demikian.
“Bagaimana perasaanmu mau mati hari ini, Kek?” tanya pengawal yang berjalan di sisi kanan kakek kumal.
“Siapa takut, hehehe!” jawab si kakek kumal.
Tak berapa lama, mereka pun tiba di alun-alun. Warga yang tadi dilewati, turut mengiringi sampai ke alun-alun. Semua pekerjaan mereka tinggalkan. Mereka ingin melihat akhir dari episode kakek kumal di hari itu. Mereka masing-masing mengambil tempat di pinggiran alun-alun agar bisa melihat dengan leluasa si kakek kumal.
Si kakek kumal diseret ke sebuah tiang kayu besar yang menancap gagah di tengah-tengah lahan kosong itu.
“Salahnya apa toh, sampai mau dihukum mati seperti itu?” tanya seorang wanita kepada wanita tetangganya yang lebih tua beberapa hari saja. Namanya Mak Lujias.
“Seperti ini ceritanya,” kata wanita yang lebih tua, lalu diam.
“Oh.” Mak Lujias manggut-manggut tanda mengerti, ia diam mendengarkan dengan kusyuk, seolah tetangganya sedang bercerita panjang lebar. Ia lalu geleng-geleng. “Sungguh kejam itu si Demang.”
Melihat Mak Lujias geleng-geleng, tetangganya juga jadi heran, lalu bertanya pula, “Kenapa kejam, Mak Lujias?”
“Ah, kau ini!” sentak Mak Lujias sambil menepuk tetangganya. “Sekejam itu Demang menggagahi ayahnya sendiri kau sebut terpuji? Ke mana pikiran manusiamu, Tuminah?”
“Dasar Mak Lujias, telinga tidak pernah diobati. Aku bertanya ini, dia dengar yang itu!” gerutuh Tuminah sambil meninggalkan Mak Lujias yang memang memiliki masalah pendengaran.
Wanita yang lain hanya tertawa-tawa melihat Tuminah pergi ke sisi lain alun-alun seraya tersungut-sungut.
“Dasar Tuminah, diluruskan malah katanya cinta mati sama orang kumal itu. Ih geli!” rutuk Mak Lujias pula.
Di tengah alun-alun, si kakek kumal sudah disatukan bersama tiang kayu dengan rantai.
“Apa permintaan terakhirmu, Orang Tua?” tanya Sujibak Lugang.
“Aku minta dilepaskan hidup-hidup, hehehe,” jawab si kakek kumal.
“Simpan saja permintaanmu itu!” bentak Sujibak.
“Katakan kepada Demang, Pengemis Maling tidak akan mudah dibunuh seperti ini, hehehe!” kata si kakek kumal.
Mendengar nama Pengemis Maling disebut, Sujibak jadi agak terkejut. Namun, kemudian ia meludah ke tanah dengan marah.
“Jangan coba-coba mengaku-aku sebagai orang yang sudah mati. Pengemis Maling sudah mati beberapa tahun yang lalu. Aku menyaksikan sendiri Pengemis Maling mati!” tandas Sujibak di depan wajah si kakek kumal.
“Hehehe, buktinya aku masih menikmati hidupku,” kata si kakek kumal.
“Diam kau, Tua!” bentak Sujibak. Ia lalu melangkah menjauhi si kakek.
Empat tombak di depan si kakek ternyata sudah berdiri lima orang anak buah Sujibak Lugang yang sudah siap dengan pisau-pisau terbangnya. Mereka akan membidik tubuh si kakek. Kondisi itu membuat suara riuh penduduk desa seketika lenyap, mereka berubah tegang. Terlebih ketika Sujibak Lugang mulai meneriakkan aba-aba.
“Tarik napas!” teriak Sujibak lalu diam.
Kelima anak buah Sujibak lalu menarik napas dalam-dalam sehingga terlihat jelas dada-dada mereka mengembang terisi oksigen.
“Tahaaan!” teriak Sujibak lagi yang dituruti oleh kelima anak buahnya dengan menahan napas yang sudah tersedot banyak.
Suasana kian tegang, karena semua tahu, setelah aba-aba “tahan” adalah aba-aba perintah eksekusi. Sujibak juga ikut-ikutan tegang. Pandangannya untuk sementara memandang wajah-wajah penduduk dengan memutar, seolah mencari tanda-tanda keberadaan seseorang. Sementara itu, kelima wajah anak buahnya mulai memerah karena agak lama menahan napas.
“Bidik!” teriak Sujibak Lugang akhirnya.
Seseset...!
Seiring leganya kelima anak buah Sujibak Lugang karena bisa bernapas lagi, mereka juga melesatkan pisau-pisau terbangnya yang sudah terpasang di jari-jari tangan. Bukan hanya satu pisau yang mereka lesatkan, tapi satu lemparan sekaligus tiga pisau terbang. Lima belas pisau terbang melesat berjemaah ke arah tubuh tua kakek kumal yang mengaku sebagai Pengemis Maling.
Dak!
Seiring itu, dari luar alun-alun berkelebat sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Satu kakinya sempat menginjak satu kepala warga sebagai tolakan sambil melesatkan sebuah perisai yang dibawanya.
“Anak kurang ajar!” maki wanita tua yang kepalanya disalahgunakan oleh orang tertiba-tiba itu.
Trantang! Tatang!
Perisai yang terbuat dari logam berbentuk seperti penggorengan tanpa kuping itu, melesat cepat menghalau semua pisau terbang di tengah jalan.
Sujibak Lugang terkejut, anak-anak buahnya terkejut, dan para warga pun terkejut dengan kemunculan sosok hitam bertopeng kain hitam. Sementara perisai terus melesat menyasar Sujibak Lugang. Buru-buru Pendekar Kucing Demang itu melompat bersalto di udara mengelaki serangan perisai. Anehnya, perisai itu bisa berbelok arah, kali ini mengarah langsung kepada sosok Pengemis Maling.
“Wah! Mati dia!” teriak seorang warga dengan histeris.
Ctrak!
Hebatnya lagi, sisi tipis perisai itu hanya menggesek rantai yang melilit tubuh si Pengemis Maling tanpa melukai baju atau kulit tuanya. Sosok berpakaian hitam kembali berkelebat di udara menyambut perisainya.
“Hehehe!” kekeh Pengemis Maling melihat kemunculan sosok serba hitam itu.
Sosok berpakaian serba hitam itu kini berdiri di tengah alun-alun, tidak jauh dari Pengemis Maling yang sedang melucuti lilitan rantai yang tersisa. Hanya sepasang mata saja yang tampak dari orang berpakaian hitam. Pakaiannya yang tebal dan longgar, membuatnya sulit ditebak apakah dia laki-laki atau perempuan.
“Kau lagi, Tikus Langit!” hardik Sujibak murka. “Apa hubunganmu dengan orang tua itu sehingga kau turun tangan menolongnya?”
“Hehehe, apakah seorang cucu tidak boleh menolong kakeknya sendiri? Hehehe!” Yang berkata justru Pengemis Maling.
“Kau bisa lolos beberapa kali, Tikus Langit. Namun kali ini, tidak akan aku biarkan kau lolos lagi, juga kakek gila itu!” teriak Sujibak Lugang, tampaknya ia serius dengan perkataannya.
“Kau dan para anak buahmu tidak akan mampu mencegahku datang pergi begitu saja,” kata orang bertopeng itu dengan suara berjenis perempuan.
“Seraaang!” teriak Sujibak Lugang berkomando.
Blass!
Beberapa anak buah Sujibak Lugang yang hendak menyerang Pengemis Maling, jadi urungkan niat. Sebab, kakek kumal itu tiba-tiba lenyap dengan hanya meninggalkan kepulan asap tebal.
Tring!
Sementara itu, dengan menggunakan perisainya, wanita misterius yang berjuluk Pendekar Tikus Langit mementahkan sekelompok pisau terbang yang menyerangnya.
Selanjutnya, pengeroyokan terjadi. Semua serangan tangan kosong dan pisau diarahkan kepada Pendekar Tikus Langit. Namun, terlihat bahwa serangan-serangan itu begitu mudah bagi Tikus Langit. Meski tidak memilih menyerang balik terhadap para pengeroyoknya, tapi keberadaan perisai yang cukup besar membuat anak-anak buah Sujibak kerepotan.
Pada satu kesempatan, wanita bertopeng itu melesat ke udara untuk pergi. Sujibak yang sejak tadi mengamati untuk mencari celah, segera melompat menyerang dengan pedangnya.
Wuss!
Namun, sebelum serangan sampai, Pendekar Tikus Langit lebih dulu mengibaskan perisainya yang menciptakan serangkum angin keras menderu. Sujibak tidak dapat menghindar, sehingga tubuhnya terhempas menjauh, tapi ia masih bisa mendarat di tanah dengan baik.
Selanjutnya, tubuh Pendekar Tikus Langit telah melesat di udara laksana lesatan anak panah meninggalkan alun-alun. Sejumlah lesatan pisau terbang pun tidak sanggup mengejar tubuhnya.
“Kejaaar!” teriak Sujibak Lugang panjang.
Para anak buah Sujibak segera berkelebatan untuk mengejar ke arah pelarian Pendekar Tikus Langit. Namun, secepat apa pun orang-orang itu mengejar, mereka tidak akan mampu bisa mengejar Tikus Langit yang memiliki kelihaian di udara. Pada akhirnya, Sujibak dan anak buahnya kehilangan buruan.
Sudah beberapa kali Pendekar Tikus Langit bermasalah dengan penguasa daerah itu, tapi ia seperti hantu yang datang semaunya dan pergi tanpa hambatan berarti. (RH)
Pemuda tampan ini asik duduk bertengger di dahan besar bernaung rindangnya dedaunan pohon dari sengatan sang surya. Ketampanannya yang level tinggi membuatnya seolah tidak pantas berada di atas pohon. Uniknya, pemuda setampan dewa itu memiliki bibir yang merah alami, seolah merah bergincu. Jika wajah tampan tanpa noda jerawat itu ditatap lamat-lamat, bisa-bisa akan bingung menyebutnya yang pantas, tampan atau cantik. “Kecantikan” itu justru di perkuat oleh gaya rambut gondrongnya yang lurus terurai. Namun, sebutan “cantik” tetap tidak pantas jika melihat perawakan tubuhnya yang tegap dan gagah. Meski tubuhnya berbaju biru yang dilapisi rompi merah bagus, tapi tidak bisa menutupi dadanya yang agak terbuka menunjukkan kebidangannya. Baju birunya yang agak ketat membuat otot kedua lengannya jelas tergambar bergelombang keras. Ia mengipasi wajah tampannya itu dengan caping besar dari anyaman bambu yang diwarnai cat merah.
Namun, keasikan si pemuda agak terusik oleh suara percakapan dua orang manusia. Didengar dari jenis suaranya, kedua orang itu adalah seorang pria dan wanita. Tak berapa lama, kedua orang yang berbincang itu sudah terlihat oleh pemuda di atas pohon. Keduanya berjalan dan akan lewat di bawah pohon besar itu. Keduanya terdiri dari seorang pemuda dan seorang wanita muda pula.
Si pemuda mengenakan baju merah bercelana hitam. Wajahnya tampan dengan rambut gondrong yang sebagian diikat memakai pita putih panjang. Sabuk di pinggangnya terbuat dari bahan aneh yang transparan. Di pinggang kirinya ada sebuah pedang pendek yang nyaman di warangka birunya yang berukir indah.
Sementara wanita yang berjalan di sebelahnya berusia lebih mudah dengan kecantikan yang pasti akan memukau lelaki mata jelalatan. Wajahnya halus, serasi dengan tangannya yang juga putih halus, seolah tidak pantas membawa pedang yang kini dipegangnya. Rambutnya dikepang sebagian dan sebagian lainnya dibiarkan terurai. Gadis bertubuh langsing itu mengenakan pakaian serba putih mirip gaun.
“Sudah cukup jauh kita berjalan, Kang. Lebih baik kita berteduh sejenak di bawah pohon itu. Kediaman Ranggasewa sudah tidak begitu jauh lagi,” kata gadis cantik sambil menunjuk bawah pohon di depan mereka.
“Baiklah,” kata si pemuda setuju.
Keduanya pun singgah di bawah pohon besar yang memang adalah terbesar dari pohon lainnya di area itu. Mereka duduk di akar besarnya. Terik siang itu memang membuat bayangan pohon menjadi tempat yang demikian nyaman untuk beristirahat, terlebih di sisi utara jalan itu adalah tanah rendah yang curam, membuat angin bebas menerpa ke area berpohon tempat mereka berteduh.
“Kembang, bagaimana hubunganmu dengan Dirgajaya?” tanya si pemuda tanpa memandang wajah si gadis, khawatir pertanyaannya terlalu bersifat pribadi.
“Tidak ada kemajuan, Kang,” jawab si gadis seraya tersenyum, membuat lesung di pipinya muncul yang kian memperayu parasnya.
“Kenapa tidak ada kemajuan?” tanya si pemuda seraya memandang serius kepada wajah gadis yang tadi ia sebut dengan nama Kembang.
“Bagaimana mau ada kemajuan jika ia lebih menuruti larangan orangtuanya. Kakang Hujabayat bisa pikir sendiri, orang berdarah biru mana yang rela anaknya berhubungan intim dengan orang misterius yang tidak jelas siapa ibu dan ayahnya,” kata gadis yang bernama lengkap Kembang Buangi itu.
“Jadi Demang Rubagaya bukan ayahmu?” tanya pemuda yang tadi disebut bernama Hujabayat.
“Demang Rubagaya hanya ayah angkatku, itupun atas permintaan istrinya. Istrinya kasihan melihatku semasa bayi terbuang begitu saja di jalanan. Karena takut istrinya membencinya, Demang Rubagaya memungutku dan kemudian membuangku kembali setelah aku dirawat beberapa bulan. Semuanya aku tahu dari istri Demang Rubagaya sendiri.”
“Apakah gurumu juga tidak tahu siapa orangtuamu?”
“Tidak. Nama Kembang Buangi diberikan karena aku adalah anak yang dibuang tapi terlihat cantik,” kata Kembang Buangi lalu tertawa kecil, membuat Hujabayat juga turut tersenyum. “Tapi aku akan tetap berusaha mencari siapa orangtuaku sesuai petunjuk orang sakti yang pernah aku temui....”
“Siapa?” tanya Hujabayat memotong.
“Aku tidak tahu namanya, tapi dia tahu namaku, tahu sejarahku di masa lalu. Orang tua itu seakan-akan tahu semua hal, kecuali masa depan. Tapi untuk mengetahui apa yang akan terjadi kemudian, dia tahu tempat mencari petunjuknya,” jawab Kembang.
“Aku tidak pernah mendengar ada tokoh yang bisa mengetahui banyak hal yang ada pada diri seseorang begitu saja,” kata Hujabayat.
“Orang tua itu mengatakan, orang yang bernama Bugujula tahu banyak tentang kedua orangtuaku. Andai saja orang tua itu tidak cepat pergi, mungkin ia bisa langsung menyebut nama ibu ayahku. Mungkin Ranggasewa tahu siapa tokoh tua itu,” kata Kembang.
“Namanya Malaikat Serba Tahu!” kata satu suara lain yang tiba-tiba mencampuri obrolan muda-mudi itu.
Kalimat dari suara orang lain itu mengejutkan Hujabayat dan Kembang Buangi, sebab ternyata keberduaan mereka tidak sendiri. Keduanya cepat mendongak melihat ke atas pohon, karena jelas suara itu datang dari sisi atas mereka. Keduanya pun melihat keberadaan seorang pemuda yang sedang duduk santai dengan wajah yang tertutupi oleh besarnya caping.
“Siapa kau, Kisanak? Turunlah!” seru Hujabayat yang sudah berdiri bersama Kembang Buangi.
“Silakan lanjutkan obrolan kalian. Aku tetap di sini, anggap saja aku tidak ada,” kata pemuda di atas pohon. Caping besarnya hanya membuat dagu dan bibir merahnya yang tampak dari bawah.
“Kisanak, turunlah! Aku ada perlu denganmu!” kata Kembang Buangi pula. Lalu ia bertanya setengah berbisik kepada Hujabayat, “Orang itu lelaki atau perempuan?”
Meski berbisik, tapi pertanyaan itu sampai dengan jelas ke telinga pemuda di atas pohon.
“Aku lelaki perkasa!” sahut pemuda di atas pohon sebelum Hujabayat menjawab.
“Hihihi!” tertawalah Kembang Buangi mendengar kata “lelaki perkasa”. “Lelaki perkasa pesolek? Hihihi!”
Hujabayat yang juga bisa melihat bahwa pemuda di atas pohon berbibir merah, turut tertawa kecil.
“Kalian melecehkanku,” kata pemuda di atas pohon.
“Tidak, kami tidak bermaksud melecehkanmu,” kata Kembang Buangi, tapi masih tersenyum-senyum merasa lucu. “Maafkan kami. Tapi, turunlah!”
“Jika ada perlu, katakan saja,” kata pemuda bercaping.
“Jika begitu, aku yang naik!” kata Kembang Buangi lalu dengan ringannya melompat naik ke atas pohon. Dua kali tolakan, Kembang Buangi sudah berdiri di dekat pemuda bercaping.
“Wah!” pekik tertahan pemuda bercaping terkejut, ia tidak menyangka jika gadis di bawahnya itu benar-benar naik kepadanya.
Keterkejutan si pemuda membuat dirinya refleks bergerak menjauh, tapi menjauhnya justru ke tempat tanpa dahan. Akibatnya, tubuh pemuda itu jatuh meluncur ke bawah. Meski jatuhnya tidak teratur, tapi pemuda bercaping itu bisa mendarat di tanah dengan baik dan ringan tanpa suara. Hujabayat yang memperhatikan, dapat melihat bahwa tidak ada rumput yang bergerak, kecuali rumput yang terinjak oleh kaki si pemuda bercaping.
“Orang ini kesaktiannya tinggi juga,” membatin Hujabayat.
Kini Hujabayat dan pemuda bercaping saling berhadapan. Hujabayat tidak bisa melihat seluruh wajah pemuda bercaping, yang terlihat jelas hanyalah bibir dan dagunya. Dari jarak sedekat itu, barulah Hujabayat tahu bahwa merah bibir pemuda bercaping adalah alami, bukan polesan gincu.
Kembang Buangi kembali turun dan mendarat dua langkah di depan pemuda bercaping. Posisi si gadis membuat pemuda berompi merah langsung melompat mundur menjauh. Hal itu membuat Hujabayat dan Kembang Buangi merasa heran, tapi itu tidak lama mereka pikirkan.
“Hei, apakah kau maling sehingga melindungi wajahmu? Atau kau adalah buruan?” tanya Kembang Buangi.
“Aku hanya kepanasan,” kilah pemuda bercaping.
“Rupanya bibirmu merah alami ya, aku kira kau pesolek. Hihihi!” kata Kembang Buangi lalu tertawa lagi.
“Kisanak, siapa kau adanya?” tanya Hujabayat.
“Maaf, aku mengganggu kalian. Aku permisi,” kata pemuda itu lalu berbalik berlari kecil.
Hujabayat ternyata tidak ikhlas jika pemuda bercaping itu pergi, karenanya ia cepat melompat dan berlari di udara, lalu mendarat menghadang di depan si pemuda. Pemuda bercaping terpaksa berhenti lalu cepat berbalik. Namun, ternyata Kembang Buangi sudah bergerak dan mendarat satu jangkauan darinya.
“Aku masih punya urusan denganmu,” kata Kembang Buangi.
Berbeda ketika dihadang oleh Hujabayat, kedatangan Kembang Buangi justru membuat pemuda bercaping itu seolah panik, itu terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak tenang ketika didekati Kembang Buangi. Dengan gerakan terburu-buru, pemuda bercaping melesat ke samping menjauh.
Kembang Buangi sedikit mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk memburu pemuda bercaping. Tubuhnya melesat lebih cepat memburu lesatan tubuh si pemuda. Si pemuda terkejut, karena Kembang Buangi sudah melesat di depannya, terlebih tangan kiri Kembang Buangi bergerak cepat berusaha merampas caping di kepalanya. Namun, dengan gerakan lihai, pemuda bercaping meliuk-liukkan kepalanya menghindari serangan tangan Kembang. Ketika keduanya sudah mendarat di bumi, Kembang masih berusaha merampas caping di kepala si pemuda, tapi yang diserang kembali cepat melompat menjauh. Kembang Buangi tidak memburu lagi.
“Kenapa kalian mencoba menahanku?” tanya pemuda bercaping setelah merapikan posisi capingnya.
“Kami hanya ingin bertanya kepadamu, tidak susah, kan?” kata Kembang Buangi sambil melangkah mendekat ke arah pemuda bercaping.
Pemuda bercaping turut melangkah mundur ketika jarak Kembang Buangi semakin dekat. Tindakan pemuda bercaping membuat gadis ayu itu berhenti dengan menatap curiga. Pemuda bercaping pun turut berhenti. Selanjutnya Kembang Buangi mendekat lagi beberapa langkah, pemuda bercaping pun mundur menjauh pula beberapa langkah. Lalu Kembang Buangi melakukan gerakan maju beberapa langkah lalu berhenti, kemudian maju lagi beberapa langkah dan berhenti kembali. Ternyata gerakan itu diiringi oleh gerakan pemuda yang mundur beberapa langkah lalu turut berhenti, kemudian mundur lagi beberapa langkah lalu berhenti lagi.
Melihat gerakan Kembang Buangi dan pemuda bercaping yang seperti sedang bermain langkah, membuat Hujabayat tersenyum lebar. Sementara Kembang Buangi menahan tawanya.
Kembang Buangi menatap semakin curiga kepada pemuda bercaping. Hingga akhirnya, Kembang Buangi berlari tiba-tiba hendak menubruk tubuh pemuda bercaping. Pemuda bercaping sontak pula melesat mundur menjauh.
“Hahaha!”
Meledaklah tawa Kembang Buangi dan Hujabayat.
Ditertawai seperti itu, pemuda bercaping hanya mencibirkan bibirnya. Ia mengerti apa yang kedua orang itu tertawakan dari dirinya.
“Sudah, berhentilah tertawa,” kata pemuda bercaping. “Jika ada perlu, lekas katakan.”
“Kisanak, apakah kau melihat teman cantikku ini seperti hantu dari alam kuburan?” tanya Hujabayat yang masih tersisa tawanya.
“Aku tidak takut terhadap teman wanitamu yang secantik hantu laut itu, aku hanya tidak mau dekat dengannya. Jika tidak ada hal lagi, aku lebih baik pergi,” kata pemuda bercaping.
“Baik, kami tidak akan mempermasalahkan tingkah anehmu itu. Aku hanya ingin menanyakan keberadaan orang tua yang kau sebut Malaikat Serba Tahu itu,” ujar Kembang Buangi.
“Aku hanya pernah mendengar tentangnya dari cerita guruku. Aku pun tidak tahu keberadaannya dan aku pun belum pernah bertemu dengannya,” jawab pemuda bercaping.
“Huh, percuma saja,” gerutuh Kembang Buangi.
“Jika demikian aku boleh pergi,” kata pemuda bercaping sambil melangkah hendak pergi.
“Tunggu, Kisanak!” seru Hujabayat sambil berjalan mendekati pemuda bercaping. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Apakah kau akan memasukkan namaku ke kumpulan orang hitam? Namaku....” Pemuda bercaping memutuskan kata-katanya. Dia berpikir, “Jika aku memberi tahu namaku, pasti mereka menertawakanku lagi.”
“Hei, begitu mahalnya namamu, Kisanak!” sahut Kembang Buangi.
“Namaku Gimba,” jawab pemuda bercaping itu akhirnya.
“Julukanmu?” tanya Kembang Buangi.
“Maaf, tidak ada julukan. Permisi,” kata pemuda bercaping lalu melangkah pergi.
Kali ini Hujabayat dan Kembang Buangi membiarkan pemuda bercaping yang mengaku bernama Gimba itu pergi.
“Ayo kita lanjutkan perjalanan, Kakang,” ajak Kembang Buangi.
“Dia pemuda yang menarik,” kata Hujabayat sambil melangkah mengikuti si gadis. “Kemampuan Gimba saat mendarat tanpa menggerakkan sebatang rumput pun dan mampu mementahkan usahamu untuk merebut capingnya, menandakan ilmunya tidak rendah.”
“Aku juga memperhatikannya,” kata Kembang Buangi. (RH)
Gimba menghentikan langkahnya saat ia melihat seorang wanita muda berlari terhuyung-huyung. Gadis cantik berpakaian hijau kuning itu kemudian jatuh tersungkur, tapi ia cepat bangkit lagi dan berusaha untuk kembali berlari ke arah timur. Larinya sudah sangat lambat yang membuatnya sulit meninggalkan daerah itu.
“Sepertinya perempuan itu memerlukan pertolongan, tapi ia perempuan,” membatin Gimba yang mengamati dari balik rerumputan di tanah ketinggian. Ia bimbang.
Belum juga ia menentukan keputusannya, dari arah barat muncul empat lelaki, satu di antaranya membawa pedang. Tampaknya jelas bahwa mereka sedang mengejar wanita muda terluka itu. Kemunculan para lelaki itu membuat si gadis semakin panik dan berusaha mempercepat larinya, tapi tetap saja selambat seperti awalnya.
“Mega Kencani, berhentilah!” teriak lelaki yang membawa pedang, ia tidak lain adalah Sujibak Lugang, Pendekar Kucing Demang.
Bruks!
Wanita itu malah jatuh tersungkur kembali. Ia masih berusaha bangun. Namun, Sujibak Lugang sudah berkelebat menerjang.
Bak! Bruks!
Kaki Sujibak mendarat keras di punggung gadis yang tadi disebut namanya Mega Kencani. Gadis itu tersungkur lebih keras dengan darah tersembur lebih banyak dari mulutnya.
Kini Mega Kencani tidak bisa berusaha bangkit lagi, karena ujung pedang Sujibak sudah menempel di leher putihnya yang berkeringat.
“Sudah waktunya kau kami habisi!” desis Sujibak seraya terkekeh kecil.
“Tunggu, Kang Sujibak!” seru seorang lelaki dari ketiga anak buahnya yang bersenjatakan pisau terbang.
“Kenapa?!” tanya Sujibak seraya membentak.
“Hehehe, alangkah bijaknya jika kita manfaatkan dulu tubuhnya, Kang. Terlalu sayang jika tubuh sebagus itu langsung membusuk. Tentunya Kakang bisa mulai lebih dulu, baru giliran kami,” ujar si anak buah seiring senyum-senyum mesumnya.
“Hemm,” gumam Sujibak sambil manggut-manggut. Ujung pedangnya masih menempel di leher Mega Kencani yang seolah sudah pasrah. “Memang bagus jika kita nikmati dulu tubuhnya. Anggap saja pembayarannya karena telah membuat kita repot.”
“Aku saja takut mendekati perempuan, lalu bagaimana bisa menikmati perempuan?” membatin Gimba dari tempat pengintaiannya.
“Pegang pedang ini, Jagur!” perintah Sujibak kepada anak buahnya yang tadi berusul.
Anak buah yang bernama Jagur pun ambil alih pegang gagang pedang, sementara ujung tajamnya masih menyandera Mega Kencani.
“Hahaha! Selain merasakan kesaktianku, kau pun akan merasakan keperkasaanku, Kencani!” kata Sujibak tertawa mesum, sambil tangannya buru-buru melepas celananya hingga akhirnya dia hanya berbaju dan bercawat kuning.
“Hahaha!” tawa Jagur dan dua anak buah lainnya yang berdiri berdampingan dengan wajah sumringah. Otak dan hayalan mereka sudah penuh sesak oleh pikiran cabul.
Mereka memang berada di tempat berumput setinggi lutut yang jauh dari keramaian.
“Sedang apa, Kang?” tanya Gimba yang sudah berdiri di sisi kedua anak buah Sujibak. Ia turut longokkan kepala untuk melihat adegan yang siap mulai.
“Ini, sedang antre menikmati gadis cantik,” jawab anak buah Sujibak di samping Gimba.
“Hei! Kalian jangan berisik!” bentak Sujibak sambil menengok melotot kepada kedua anak buahnya yang lain. Namun, Sujibak jadi sangat terkejut, karena ia melihat penampakan orang asing bercaping berdiri di antara anak buahnya. Buru-buru Sujibak meletakkan kedua tangannya di bawah perut untuk menutupi cawat kuningnya dan kedua pahanya dirapatkan sebagai tanda malu. Ia pun membentak keras, “Siapa kau?!”
Bentakan keras Sujibak membuat ketiga anak buahnya pun jadi tersadar dan terkejut, sebab ternyata sudah ada orang asing yang berdiri di antara mereka.
“Aku Joko Tenang. Mau diapakan perempuan itu, Kang?” jawab Joko santai dan bertanya sewajarnya.
“Jangan diam saja, hajar dedemit itu!” teriak Sujibak kepada kedua anak buahnya yang hanya berdiri memandangi Gimba yang mengaku bernama Joko Tenang. Sujibak marah dan panik.
Blugk!
Dengan seenaknya, pemuda bercaping yang bernama asli Joko Tenang itu meraup wajah kedua anak buah Sujibak di dekatnya, lalu mendorong keras kepala mereka hingga terjungkal ke belakang.
“Jagur, serang!” perintah Sujibak kepada satu anak buahnya lagi, sementara ia buru-buru memakai kembali celananya.
“Siap!” sahut Jagur lalu bergerak menarik pedang di tangannya dari leher Mega Kencani dan beralih menusuk ke arah Joko Tenang.
Joko hanya maju selangkah ke depan seraya mengelak, membuat tusukan pedang dan tangan jagur lewat tipis di sisi tubuh pemuda berbibir merah itu. Sementara telapak tangan kanan Joko sudah mencaplok wajah Jagur, membuat pria bersenjata pisau di tubuhnya itu hanya mendelik diam.
Blugk!
Cukup keras Joko mendorong kepala Jagur sehingga jatuh terjengkang ke rerumputan.
“Nisanak, apakah kau perlu pertolongan?” tanya Joko kepada Mega Kencani.
“Tidak!” jawab Mega Kencani tegas sambil kakinya menendang keras bokong Sujibak yang sedang memasukkan kaki kirinya ke dalam celananya.
Bsruk!
Sujibak yang masih panik karena kepergok basah mau berbuat cabul, terpaksa harus jatuh tersungkur.
Mega Kencani cepat berusaha bangun dan bisa berdiri dengan terbungkuk menahan rasa sakit dari luka yang didapat dari pertarungan sebelumnya.
Melihat Sujibak Lugang tersungkur dalam kondisi celana melorot, dua anak buah yang sudah bangkit berdiri memilih langsung menyerang Mega Kencani. Gadis itu dengan susah payah mencoba melayani serangan pukulan dan tendangan kedua anak buah Sujibak.
Bak! Buk! Dak!
Satu pukulan bersarang keras di bahu kanan Mega Kencani, menyusul satu tendangan ke perut yang membuatnya terbungkuk. Lalu satu kibasan kaki menghajar sisi kiri kepalanya. Gadis itu terbanting keras ke samping.
“Kisanak bercaping, tolong aku!” kata Mega Kencani kepada Joko, ia tidak bisa bangkit lagi.
Dak!
Mendengar permintaan tolong Mega Kencani, Joko langsung mengibaskan tendangannya menghajar kepala Jagur yang baru berdiri tegak.
“Nisanak, bangunlah, ayo kita pergi!” seru Joko dari tempat berdirinya.
“Orang bodoh! Apa kau tidak melihat aku sudah tidak sanggup berdiri?” maki Mega Kencani yang masih terbaring lemah dengan mulut belepotan darah.
Dua anak buah Sujibak yang melumpuhkan Mega Kencani segera cabut pisau-pisau terbangnya. Namun, keduanya tiba-tiba diam tidak bergerak dengan gaya masing-masing. Joko tahu-tahu sudah berdiri di dekat keduanya dalam satu jangkauan dan menotok mereka.
“Jagur, berikan pedangku!” perintah Sujibak kepada Jagur yang baru hendak menyerang Joko.
Jagur melempar pedang di tangannya kepada Sujibak. Pendekar Kucing Demang dengan gesit langsung menyerang Joko setelah pedang ada di tangan. Joko dengan gesit pula mengelaki setiap tusukan dan sabetan pedang yang berniat melukainya, bahkan membunuhnya.
Set!
Di tengah pertarungan antara Joko dan Sujibak Lugang, Jagur melesatkan tiga pisau terbangnya sekaligus yang mengincar Joko. Pemuda bercaping yang awalnya hanya menghindar saja, dengan gerakan nyaris tidak terlihat, tahu-tahu tangan kanannya mencengkeram leher Sujibak yang membuatnya mendelik terkejut sekaligus tercekik.
Tseb!
“Aaak...!” jerit Sujibak Lugang tinggi.
Sujibak yang dicengkeram lehernya ditarik keras sehingga posisinya berpindah tempat yang berfungsi menjadi tameng bagi Joko. Dua bilah belati terbang justru menancap di bokong Sujibak, itulah yang membuatnya menjerit setinggi awan dengan mulut terbuka selebar-lebarnya. Sementara satu bilah pisau lagi lewat tanpa mengenai sasaran.
“Hup! Hiah!” seru Joko memasang satu kuda-kuda dengan kedua tangan ditarik merapat ke lambung. Selanjutnya ia hentakkan kedua tangannya bertemu di dagu Sujibak yang sedang menjerit kesakitan.
Sujibak yang terhantam dagunya dari arah bawah, tubuhnya jadi terlompat tinggi ke belakang lalu jatuh setombak jauhnya dengan bokong mendarat bumi lebih dulu.
“Aaak...!” jerit Sujibak Lugang lagi, karena dua pisau anak buahnya kian dalam menusuk bokongnya.
“Hahaha!” tawa Joko melengkapi penderitaan Sujibak Lugang.
Tinggallah Jagur yang bimbang. Joko memandangnya dan menunjuknya.
“Kau, pilih buka baju atau pilih buka nyawa?” tanya Joko.
“Anu, pilih anu....” jawab Jagur tergagap kelabakan sendiri.
“Oh, berarti pilih buka nyawa,” kata Joko mengerti, lalu tiba-tiba tangan kanannya menyala putih cemerlang.
“Aku pilih buka baju! Buka baju!” teriak Jagur buru-buru menjawab dengan jelas sambil tangannya turut buru-buru bekerja membuka bajunya. Ia tidak mau jika Joko lebih dulu melepaskan satu ilmu berbahayanya.
“Bagus,” puji Joko seraya manggut-manggut.
“Apakah celana juga perlu, Pendekar?” tanya Jagur setelah badannya tanpa baju lagi.
“Tentu, tadi kau berniat mau buka celana juga kepada wanita itu, sekalian saja agar terlaksana,” kata Joko.
“I... iya,” kata Jagur lalu turut membuka celananya.
Dengan sabar Joko menunggu hingga Jagur melepas celananya. Kini Jagur berdiri dengan hanya bercawat. Ia berdiri tidak tegak sempurna, sebab kedua pahanya ia rapatkan serapat sari rapat dan lututnya setengah menekuk, sepertinya ia terlalu malu untuk mempertontonkan keperkasaannya kepada Joko dan Mega Kencani yang masih sadar tak berdaya.
“Sekarang berbalik dan pergilan sejauh yang kau inginkan!” perintah Joko.
“Siap!” seru Jagur patuh.
Jagur segera balik kiri dan berlari pergi menerobos rerumputan rendah. Sementara kedua temannya yang tertotok hanya menonton dalam ketidakberdayaannya.
Joko lalu beralih kepada Mega Kencani yang terkapar empat langkah darinya.
“Nisanak, apakah kau bisa bangun dan berjalan?” tanya Joko.
“Joko bodoh! Jika kau mau menolong, bawa aku. Jika kau mau membiarkan aku mati, pergi sana!” maki Mega Kencani.
“Waduh, bagaimana ini ya?” gumam Joko kepada dirinya sendiri yang masih terdengar oleh Mega Kencani. Ia berpikir.
“Apa susahnya? Kau tinggal menggendong tubuhku dan membawanya ke tempat aman, lalu kau bisa meringankan lukaku dengan tenaga dalammu. Luka dalamku semakin membusuk!” kata Mega Kencani setengah berteriak-teriak.
“Baik, baik, baik,” kata Joko akhirnya.
Joko lalu berdiri dengan sikap sempurna. Ia menarik napas dalam-dalam. Sementara otaknya sedang memberi sugesti dalam pikirannya yang dilafazkan berulang-ulang oleh lisannya.
“Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah. Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah. Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah. Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah,” ucap Joko berulang-ulang seperti melafazkan sekalimat mantera.
Di saat merapal seperti itu, Joko memejamkan mata di balik kedalaman bayangan capingnya.
“Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah. Dia lelaki bernama Bonggol yang sedang terluka parah....”
Sambil terus merapal dengan mata terpejam, tiba-tiba Joko bergerak cepat. Ia maju ke sisi Mega Kencani, langsung meraih tubuh wanita itu, lalu mengangkatnya seperti mengangkat karung beras ke bahu kanan, kemudian membawanya melesat pergi seperti larinya orang yang mencuri sesuatu. Semua itu Joko lakukan dengan mata tertutup. Jarak, apa yang dipegang, hingga arah pelarian, semua sudah ia perhitungkan.
“Aw! Joko kurang ajar! Joko cabul! Ak! Pendekar tidak berperasaan! Pemuda kasar!” caci maki Mega Kencani selama dalam penanganan Joko.
Tindakan Joko yang terburu-buru dan dengan mata tertutup, membuat ia asal pegang tanpa pilih anggota tubuh wanita Mega Kencani yang layak dipegang dan mana yang tidak layak, membuat ia seperti mengangkat benda mati tanpa ada takaran kelembutan. Akibatnya, anggota tubuh terlarang Mega Kencani tercomot tak sengaja oleh tangan Joko, kekasaran cara penanganan membuat gadis itu kesakitan di sana dan di sini. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!