NovelToon NovelToon

Tolong Cintailah Aku

BAB 1

"Dimana letak keadilan mu itu tuhaaaann?!!"

Nindi berteriak, ia menengadah lalu melangkah kan kakinya yg terasa lemas. Ia berjalan dengan gontai di atas rel kereta api. Nindi berjalan dengan tertunduk, di wajahnya nampak perasaan putus asa.

"Aaaaakkhhhhh..!!!"

Nindi kembali berteriak seraya menjambak rambutnya. Tangis nya semakin menjadi, ia semakin tersedu sedu. Nindi bersimpuh di atas rel kereta api meletakkan kedua tangan nya di wajahnya. Ia kembali terisak, Ia tak lagi memperdulikan sekitar, ia sudah lupa semuanya. Hanya ada permasalahan di dalam kepalanya.

Palang pintu rel perlahan tertutup, orang orang sekitar berteriak, memperingatkan Nindi untuk segera beranjak dari sana, tapi ia tetap dengan posisi yg sama. Telinga nya seolah tuli. Suara kereta mulai mendekat, dan semakin dekat.

ttuuttttth... ttuuttthhh... tttuuutthhhh....

Nindi tidak bergeming, sedangkan kereta itu semakin mendekat ke arahnya. Semua orang semakin heboh, berteriak teriak. Saat kereta itu nyaris menghantam tubuh nya, tangannya di tarik seseorang dengan cepat.

BBUUKKK!!

Keduanya terjatuh ke tanah yg bercampur kerikil.

Nindi membuka matanya saat ia sadar dirinya diselamatkan, ia kembali histeris.

"Aakkkhhhh!!!" Nindi memukul mukul dada Reza, laki laki yg menyelamatkan dirinya dari hantaman kereta api.

"Aku mau matiii aku mau matiiii..!!!"

Nindi berusaha melepaskan diri untuk melakukan apapun yg bisa melenyapkan nyawa nya. Tapi sepertinya Reza mengerti yg akan dilakukan wanita itu. Reza merengkuh tubuh Nindi berusaha menenangkan nya. Karena ia yakin saat ini Nindi sedang dalam fase rapuh.

Orang orang berhamburan menghampiri keduanya, ada yg membawa air minum untuk Nindi agar lebih tenang.

Reza semakin kuat memeluk Nindi karna merasakan adanya perlawanan dari wanita itu, ia takut Nindi akan kembali nekat.

Reza menepuk nepuk punggung Nindi, membelai kepalanya. Berusaha menenangkannya. Nindi tetap terisak namun sudah tidak ada perlawanan. Mungkin Nindi mulai lelah, Reza merasa tubuh Nindi semakin lemas, tangisan nya sudah tak terdengar, ia melepaskan pelukannya. Nindi terkulai lemah matanya tertutup, Reza menepuk nepuk pipinya namun tidak ada respon. Nindi pingsan!.

"Tolong panggilkan Ambulance!!" Teriak Reza.

"Tadi kami sudah menghubungi Ambulance dan sedang dalam perjalanan." Jawab salah seorang yg berkerumun.

"Sebaiknya di bawa ke tempat teduh dulu." Salah seorang dari warga menyarankan. Karena saat itu matahari sangat terik.

Reza memangku tubuh Nindi menuju teras salah satu warga dan membaringkan tubuhnya. Sang pemilik rumah memberikan minyak angin, Reza menerima minyak angin itu, lalu kembali menyerahkan pada yg memberi.

"Maaf bu, ibu saja yg mengoleskan nya." Ucap Reza sembari menyerahkan kembali minyak angin itu.

Ibu itu mengoleskan minyak angin di dahi, tengkuk, dan menggerak gerakkan di dekat hidung Nindi.

"Adek ini pacar nya?" warga bertanya dengan penasaran.

"Saya tidak kenal pak, saya spontan menolong ketika melihat nya di rel tadi" Jawab Reza.

"Ambulance nya sudah datang dek" Kata salah seorang ibu.

Kemudian tiga orang keluar dari dalam ambulance dan meletakkan Nindi di atas brankar. Kemudian segera memasukan nya kedalam Ambulance.

"Siapa yg mendampinginya?"

Tanya salah seorang yg tadi keluar dari dalam Ambulance.

Reza nampak bingung, ia celingukan. Apa ia yg harus mendampinginya? Setelah berpikir, ia memutuskan.

"Saya pak" Jawab Reza pada salah seorang petugas.

"Tapi saya bawa mobil, saya akan mengikuti dari belakang." Sambung Reza.

"Baiklah." Petugas itu segera masuk dan melajukan mobilnya.

Seperti perkataan Reza, ia mengikutinya dari belakang. Ia bingung harus bagaimana. Ia tidak melihat wanita itu membawa ponsel, atau apapun yg bisa ia gunakan untuk menghubungi keluarganya. Ia sangat bingung harus bagaimana. Ah, mungkin dia membawa ponsel di saku celana, pikirnya. Ia akan mencarinya setelah sampai di rumah sakit.

Ambulance telah sampai di rumah sakit, petugas segera membawa Nindi untuk mendapatkan penanganan. Reza menunggu di ruang tunggu. Lagi lagi ia lupa mencari ponsel wanita itu di saku celananya. Dengan bingung Reza menunggu, ia harus bagaimana?.

Dokter memeriksa keadaan Nindi dengan seksama, tidak ada masalah serius. Dokter menghampiri Reza yg duduk dengan wajah bingung.

"Anda keluarga pasien?" Tanya dokter.

"Ehm,,, sa-saya.. saya tidak kenal dok. Tadi saat saya melihatnya di rel kereta api saya spontan menariknya, sepertinya dia mau bunuh diri. Saya juga tidak tau dia siapa dok."

"Hhmm... pantas saja, keadaan fisik nya baik baik saja. Tapi saat ini dia sangat depresi. Banyak tekanan. Sebaiknya, anda menunggu nya tersadar untuk mengabari keluarganya.

"Baik dok. Terima kasih."

Dokter itu pergi meninggalkan Reza yg masih kebingungan. Ia memutuskan untuk mencari angin segar, ia keluar dari ruangan itu, membeli air minum dan meminumnya. Ia juga membeli minum untuk Nindi, mungkin saja saat ini Nindi sudah sadar. Setelah membayar, Reza kembali ke ruangan itu, ia mengintip lewat kaca jendela, ingin tau apakah wanita itu sudah sadar atau masih pingsan. Saat ia melihat lewat kaca jendela, matanya terbelalak. Nindi tidak ada! dia tidak ada di ranjangnya.

Reza mamastikan kalau ia tidak salah masuk ruangan, tapi ia yakin itu tempat yg sama. Reza memasuki ruangan itu, mencari cari keberadaan Nindi. Namun nihil. Nindi memang benar benar tidak ada. Ia mencari suster dan menanyakan keberadaan Nindi, barangkali mereka sudah memindahkan Nindi ke ruangan yg lain

"Sus, wanita yg tadi pingsan di pindahkan kemana?" Tanya Reza pada suster yg berjaga.

"Pasien masih di ruangan yg sama, belum di pindahkan"

"Tapi dia tidak ada sus"

"Bagaimana bisa?!" Suster nampak terkejut. Suster itu langsung menuju ruangan dimana Nindi disana sebelumnya. Suster itu pun terkejut Nindi tidak ada disana.

"Sepertinya pasien sudah sadar dan pergi dari ruangan ini. Bukan nya sedari tadi anda disini?"

"Saya tadi memang keluar sebentar membeli minum" Jelas Reza.

"Sepertinya memang benar, pasien sudah sadar dan pergi dari sini."

Reza membayar tagihan dan keluar dari rumah sakit itu. Ia memasuki mobil dan mengendarai mobilnya meninggalkan rumah sakit. Lagi pula ia tidak peduli, wanita itu bukan siapa siapa. Tapi bagaimana kalau wanita itu kembali nekat? Ah, dia tidak perlu memperdulikan hal itu. Tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Sepanjang perjalanan Reza tidak fokus menyetir, ia memikirkan wanita itu. Kenapa wanita itu bisa sampai senekat itu? Dan dokter juga bilang wanita itu sedang stress dan depresi karna tekanan. ada apa dengan wanita itu?.

...****...

Sesampainya di rumah, Reza langsung masuk ke dalam rumahnya dan melempar tubuh nya ke atas sofa. Kedua orang tuanya heran melihat anaknya.

"Kenapa kamu Za? Seperti kelelahan begitu?" Tanya Bu Dewi mamanya Reza.

huufftthh... Reza menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan ibu nya.

"Tadi ada yg mau bunuh diri ma."

"Haahhhh!!!" Bu Dewi tersentak.

BAB 2

Reza menyandarkan tubuh dan kepalanya pada sandaran sofa yg ia duduki. Ia memejamkan matanya, merasa sangat melelahkan di hari itu.

"Bagaimana ceritanya Za?!"Bu Dewi bertanya dengan tidak sabar.

"Tadi aku lagi di depan palang pintu kereta, aku lihat orang orang pada teriak histeris. Aku keluar dari dalam mobil untuk melihatnya, ternyata ada perempuan bersimpuh di rel kereta, sedangkan jarak kereta semakin dekat, aku berlari sekuat tenaga dan menarik tangannya sebelum kereta itu menghantam tubuh nya."

Bu Dewi dan Pak Dharma mendengarkan dengan serius.

"Aku bawa ke rumah sakit karna dia pingsan, saat di rumah sakit, aku keluar untuk cari minum. Saat aku kembali dia sudah tidak ada. Mungkin dia sadar dan pergi." Reza menjelaskan kejadian.

"Tapi kamu gak apa apa kan Za?" Bu Dewi memeriksa bagian bagian tubuh Reza takut ada luka disana.

"Aku baik baik aja ma." Reza berhenti sejenak. "Tapi aku khawatir padanya."

"Kenapa harus khawatir? Dia bukan siapa siapa. Bahkan dia tidak tau terima kasih. Sudah di tolong malah kabur gitu aja." Bu deewi kesal.

"Aku yakin dia lagi ada masalah besar ma, dokter juga bilang begitu. Dia sedang stres dan depresi."

"Itu bukan urusanmu Za. Untung kamu tidak apa apa." Pak Dharma ikut bicara.

Reza beranjak dari duduknya.

"Mau kemana?"

"Mau mandi ma,"

Reza menuju kamarnya dan langsung mengguyur kepala dan tubuhnya dengan air dingin berusaha menyegarkan kembali pikirannya.

...****...

Nindi berjalan setelah keluar dari rumah sakit, ia berjalan tak tentu arah. Ia bingung harus kemana, ia terlalu malas untuk pulang ke rumah. Ia juga sudah tidak punya teman. Semua temannya menghilang bak di telan bumi. Dulu, kalau ada masalah di rumahnya. Ia selalu menginap di rumah teman nya. Tapi setelah teman temannya mengetahui berita mengenai ayahnya, semua orang menjauhi nya. Seperti tidak pernah mengenalnya dan tidak ingin mengenalnya.

Saat ini segala emosi menguasai dirinya. Ia benar benar tidak bisa mengendalikan nya. Perasaan marah, malu, kecewa, sedih, semua menjadi satu. Membuatnya semakin terpuruk dengan keadaan. Mau tidak mau, Nindi memilih pulang ke rumah, ia akan mengacuhkan semuanya. Ia sudah muak dengan hidupnya.

Dalam perjalanan pulang, Nindi melewati sebuah bar. Ia masuk ke dalam bar itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menginjakan kaki di tempat seperti itu. Nindi mulai mencoba minum alkohol, mulai merokok, kini Nindi sudah tidak menjadi dirinya yg dulu. Nindi yg manis, ceria, itu sudah tidak ada.

Nindi memutuskan untuk pulang ketika sudah larut malam. Ia berharap ibunya sudah tidur ketika ia sampai di rumah. Benar saja, lampu di dalam rumah sudah mati, pasti penghuni nya sudah tidur. Nindi membuka pintu secara perlahan, kemudian berjalan perlahan. Berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Tiba tiba!

"Dari mana saja kamu Di?!!" Tiba tiba lampu menyala, dan suara itu mengejutkan nya. Suara langkah kaki semakin mendekat ke arahnya.

"Bukan urusan mama" Nindi menjawab dengan ketus. Kemudian ia menaiki tangga menuju kamarnya. Bu Wulan menyusul langkah Nindi

"Kemana saja kamu jam segini baru pulang hah?!!" Bu Wulan membentak Nindi, membuat langkah anaknya itu terhenti dan berbalik menghadap ibunya yg berdiri di belakangnya.

"Apa peduli mama?" Nindi seolah menantang dengan kedua tangan di pinggang dan mengangkat kedua alisnya.

"Bau apa ini? Kamu minum hah?! Ada apa dengan mu Di?!" Nada suara Bu Wulan semakin tinggi.

"Kalau aku jawab iya, mama mau apa?!" Nada suara Nindi semakin menantang.

pllaaakkk

Bu Wulan menampar pipi Nindi tanpa sadar. Mendapat tamparan keras seperti itu, membuat Nindi semakin marah. Bu Wulan nampak kaget dengan kelakuan nya sendiri. Ia berusaha meraih pipi Nindi yg memerah karena tamparan nya. Tapi kemudian Nindi membalik kan tubuh dan berlari ke kamarnya. Ia membanting pintu, meninggalkan ibunya yg menggedor gedor pintu.

"Di,,! buka pintunya Di.. mama belum selesai bicara! Di.. Di..!!" Namun tidak ada suara apapun dari dalam kamar itu. Bu Wulan membiarkan Nindi dan pergi ke kamar. Mungkin kalau sudah tenang, Nindi bisa di ajak bicara. Pikirnya.

Nindi kembali menangis, dan menangis. Ia sungguh frustasi dengan hidupnya. Semalaman ia habiskan untuk menangis, menjelang pagi matanya baru tertidur.

Sebenarnya Nindi anak yg ceria, manis, dan pintar. Tapi itu dulu, sebelum permasalahan datang satu persatu.

Saat masih SMP, Nindi selalu mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya, bukan hanya di kelas, tapi satu sekolah. Ia murid yang ceria, manis dan penurut. Hingga masuk SMA pun ia mendapatkan beasiswa karna prestasi nya.

Setelah satu tahun di SMA Nindi mulai berubah. Ia bukanlah Nindi yg dulu. Ia sering melamun, bersedih, dan menjadi orang yg pendiam. Sudah tidak ada lagi keceriaan. Perlahan nilai nya semakin turun, semakin lama bukannya meningkat malah semakin buruk. Nindi sering bolos, tidak mengikuti mata pelajaran. Guru sering menegurnya karna prestasi nya yg turun dengan drastis.

Terlebih, saat berita tentang penangkapan ayahnya yg dituduh sebagai koruptor muncul di semua media pemberitaan. Mulai dari Televisi, Koran, dan pun di Media sosial. Ayah Nindi seorang yg memimpin kota bandung, tentu saja semua orang akan mengenal ayahnya. Semua orang tercengang ketika melihat berita pemimpin di kota bandung menghabiskan uang negara sebesar 5M.

Semua teman teman Nindi menanyakan kebenaran tentang berita itu, satu per satu teman Nindi menelpon, menanyakan hal yg sama. Nindi mulai stress ia mematikan ponsel nya yg tidak berhenti berdering. Nindi termasuk orang yg memiliki banyak teman. Ya, karena memang ia pintar dan ayahnya orang yg berpengaruh di kota nya membuat banyak orang ingin menjadi temannya.

Nindi sangat terpuruk, bukannya mendapatkan dukungan dari teman temannya, ia malah di todongi pertanyaan pertanyaan yg membuatnya semakin terpuruk. Belum lagi emosi ibunya yg tidak stabil, sering marah marah membuat Nindi semakin frustasi dan menyalahkan Tuhan.

Nindi selalu berdo'a dan berdo'a. Karena ia yakin Tuhan akan mengabulkan do'a nya. Tapi ia tidak merasa demikian. Ia merasa keberadaan Tuhan itu palsu, ia berpikir bahwa Tuhan itu tidak ada. Nindi semakin menyalahkan Tuhan, ia merasa tidak ada satupun do'a yg selalu ia panjatkan yg dikabulkan oleh Tuhan. Kondisi nya semakin memburuk.

"Dimana keberadaan Tuhan itu? tidak ada. Tuhan itu tidak ada, kalau pun ada, Tuhan tidak menyayangiku, Tuhan tidak adil padaku. Kenapa aku tidak bisa seperti yg lain? Kenapa Tuhan? Kenapa?" Rintih hati Nindi di malam itu.

selamat memperingati maulid Nabi Muhammad Saw. 1442 H.

🙏🥰

BAB 3

Bu Wulan tidak bisa tidur memikirkan anaknya. Memikirkan hidupnya yg berantakan. Hatinya sakit, melihat kondisi putri smatawayang nya yg seperti ini. Putri nya yg ceria sudah tidak ada lagi. Ia pun sadar, dirinya lah penyebab dari semua perubahan itu. Akhir akhir ini emosi nya selalu meluap luap. Ia juga stress, semua teman arisan dan teman teman sosialita nya menjauh, membicarakan permasalahan hidupnya di depan matanya sendiri. Menggunjing, menghina, merendahkan. Itu membuat emosi nya tidak stabil, melampiaskan semua emosi pada putri nya. Ia juga merasa bersalah pada Nindi.

Bu Wulan menangis semalaman. Ia benar benar tidak bisa tidur. Menjelang pagi, ia memutuskan memasak untuk sarapan. Karena di rumah sudah tidak ada ART, jadi semuanya di siapkan sendiri. Akibat penangkapan suaminya, ekonomi keluarga menurun karna banyak nya fasilitas dan uang yg di sita oleh negara. Bu Wulan memutuskan untuk memecat ART di rumahnya karna takut tidak bisa menggaji nya lagi.

Bu Wulan menuju dapur untuk mulai memasak, karna hari ini hari senin, Nindi kembali bersekolah. Semoga saja ia bisa membujuk Nindi dan mengajak nya bicara dari hati ke hati. Bu Wulan mulai mengupas bawang ia akan memasak nasi goreng dan telor ceplok. Selesai memasak kemudian ia menuju kamar Nindi untuk membangunkan nya.

Ia ragu untuk mengetuk pintu atau tidak. Ia takut Nindi masih marah padanya. Kemudian ia memutuskan untuk mengetuk pintu.

tookk... tookkk... tookkk...

"Sayang, sudah bangun belum? Ayo sarapan. Mama sudah siapkan sarapan nya.."

Bu Wulan berinisiatif membuka pintu, tapi pintu itu dikunci dari dalam. Bu Wulan menjadi panik, ia kembali menggedor gedor pintu, kali ini lebih keras. Ia takut terjadi apa apa pada Nindi, karena semalam Nindi masuk kamar dalam keadaan marah.

"Nindi..!! Buka pintu nya sayang! Kamu sedang apa?!"

"Nindiii...!!!" Bu Wulan semakin panik. Ia mencoba mencari kunci cadangan di laci kamarnya. Satu persatu laci ia buka, membongkar semua isi laci. Entah mengapa kalau dalam keadaan panik mencari sesuatu sangat sulit.

"Akhirnya ketemu!" Bu Wulan segera menuju kamar Nindi kembali untuk membuka pintu. Saat ia hendak memasukan kunci dan memutarnya, pintu itu terbuka dari dalam.

"Nindi, kamu baik baik aja sayang? Kenapa lama sekali buka pintu nya? Mama khawatir sayang"

Bu Wulan meraba bagian bagian tubuh Nindi, takut terjadi sesuatu pada putri nya. Tapi Nindi membisu, pura pura menjadi tuli dan tidak melihat ibunya. Nindi berjalan mengacuhkan ibu nya tanpa sepatah kata pun. Bu Wulan hanya termenung, matanya sudah tak bisa menahan buliran air mata. Hatinya sakit, tapi juga kasihan dengan nasib putri nya yg menjadi seperti ini.

Bu Wulan langsung menghapus air mata, dan mengejar Nindi yg mulai menjauh. Ia harus bisa membujuk Nindi, ia tidak akan marah marah lagi, ia harus bisa sabar menghadapi putrinya.

Nindi duduk di meja makan untuk sarapan. Bu Wulan menyendok kan nasi ke piring dan meletakkan telor ceplok di atasnya dan memberikan nasi itu pada Nindi.

"Makan yg banyak sayang, biar kamu sehat" Ucapnya sembari mengusap kepala Nindi. Tapi Nindi tetap diam, menganggap ibunya tidak ada. Bu Wulan duduk di depan Nindi, Nindi memakan sarapan nya dengan kepala tertunduk. Mungkin ia terlalu benci untuk menatap wajah ibu nya.

"Hari ini kamu sekolah mau mama antar?" Tanya Bu Wulan.

Nindi masih saja diam, makan pun sepertinya ia malas. Bu Wulan menghela nafas, menahan diri untuk tidak emosi menghadapi putri nya yg mendiamkan nya.

"Maafkan sikap mama yg semalam ya nak. Mama tidak bermaksud untuk..." Belum selesai bicara Nindi bangkit dari duduk nya, dan meninggalkan ibunya setelah menegak air minum di depan nya.

"Kamu mau kemana sayang? Sarapan nya habiskan dulu. Nindii..!!"

Nindi tetap tidak menganggap keberadaan ibunya. Ia pergi meninggalkan ibunya yg terisak. Bu Wulan menangis, sakit hati diperlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Situasi ini sangat membuatnya stress. Tapi ia mencoba untuk tegar dan sabar.

Bu Wulan merapikan seisi rumah, termasuk kamar Nindi. Saat ia memasuki kamar Nindi, ia sangat terkejut. Kamar yg dulu selalu rapi, wangi, sudah tidak ada lagi. Dan setelah sekian lama, ia baru menginjakan kaki nya di kamar itu lagi. Karena memang selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dan yg selalu merapikan kamar Nindi selama ini adalah ART. Kamar itu sangat berantakan. Baju kotor bertebaran, selimut, bantal awut awutan. Bu Wulan mulai memunguti baju baju kotor di lantai.

Tiba tiba ia terdiam, matanya menatap gambar dirinya, Nindi dan suaminya yg tergeletak di lantai dengan kaca yg berserakan. Di gambar itu ketiganya tersenyum bahagia. Mungkin Nindi yg memecahkannya. Ia mengambil foto itu dan meletakkannya kembali di dinding. Bu Wulan memunguti serpihan kaca yg berserakan dengan berurai air mata.

Hatinya sakit, melihat kondisi keluarganya yg berantakan.

Saat tengah membersihkan kamar Nindi ponselnya berbunyi, tandanya ada panggilan masuk.

"Hallo..?" Sapanya.

"Selamat pagi Bu, betul dengan Ibu Wulan, ibu dari Anindia Puteri Atmadja?" Tanya seorang wanita di seberang telpon.

"Betul bu, dengan siapa saya bicara?"

"Saya Indri, kepala sekolah Nindi."

"Iya, apa terjadi sesuatu dengan putri saya?" Tanya Bu Wulan. Takut terjadi sesuatu pada putri nya.

"Ada hal yg ingin saya bicarakan dengan ibu. Bisakah ibu ke sekolah sekarang juga?"

"Baik bu, secepatnya saya kesana."

"Baik kalau begitu, saya tunggu. Terima kasih" Bu Indri memutuskan panggilan.

Bu Wulan segera bersiap siap memenuhi panggilan kepala sekolah Nindi. Ia berangkat mengendarai mobilnya, sesampainya ia di sekolah Nindi, ia berlari lari kecil menuju ruang kepala sekolah.

tokk,, tokk,, tokk..

"Masuk.." Bu Indri mempersilakan.

"Selamat pagi Bu." Sapa Bu Wulan.

"Pagi. Silakan duduk bu." Bu Indri mempersilahkan.

"Ada apa ya bu? Apa anak saya membuat masalah?" Bu Wulan mulai khawatir.

"Maaf sebelumnya, saya tidak tau pasti masalah Nindi seperti apa, mungkin sebagian besar dari..." Bu Indri berhenti sejenak.

"Maaf sekali bu, mungkin karna kasus yg menimpa suami ibu. Tapi jauh sebelum berita itu, Nindi sudah banyak berubah. Nilai nya semakin hari semakin menurun. Ia jarang masuk sekolah, dan kalau boleh tau, apa Nindi di rumah sekarang?" Tanya bu Indri.

"Dia tadi pagi berangkat sekolah Bu, tadi dia pakai seragam sekolah."

"Benar dugaan saya. Nindi tidak sekolah bu, mungkin dia sering seperti ini tapi ibu tidak mengetahuinya."

Bu Wulan ternganga, sangat terkejut. Lalu kemana perginya anak itu?.

"Bu, bukan saya mau mencampuri urusan anda dan keluarga, tapi sepertinya anda tidak begitu dekat dengan Nindi. Sepertinya komunikasi anda dengan Nindi kurang baik".

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!