NovelToon NovelToon

CINTA SI TUAN BUCIN

TUNANGAN KAMU LAGI MANDI

Deerrtt ....

Deerrtt ....

"Aaaah gila, kenapa juga mesti getar sekarang ini hp! Daritadi ditungguin gak ada yang hubungin, giliran aku udah ada kelas baru deh getar terus," keluh Camelia dalam hati.

Deerrtt ....

"Maaf, apa ada di antara kalian yang tidak ME NON AKTIF KAN handphone kalian di saat kelas saya sedang berlangsung?" tanya Bu Rina, salah satu dosen terjudes di kampus. Dengan penekanan kata yang khas, ia menatap satu-satu wajah mahasiswa di depannya, tidak lupa ia menekan bingkai kacamatanya sambil memberikan tatapan menyelidik kepada setiap mahasiswa.

Mereka yang ditatap hanya bisa memberikan jawaban dengan gelengan kepala. Ada pula yang menyebarkan pandangan, seolah bisa mendapatkan jawaban, siapa gerangan mahasiswa yang berani cari mati di kelas dosen kiler yang satu ini.

Camelia berusaha meraih ponsel yang ada di dalam tasnya, dengan gerakan perlahan tentunya, agar luput dari pandangan Bu Rina. Dengan mulut yang komat-kamit berdoa, berharap mata elang Bu Rina tidak tertuju padanya.

"CAMELIA, sedang apa kamu?!"

Bruuuuuk!

Terkejut, Camelia menjatuhkan tasnya. Isi tasnya tercecer, dan di sanalah sumber permasalahan itu. Ponsel mahal keluaran terbaru, yang baru di dapatnya pagi tadi sedang bergerak indah sekaligus menyebalkan di atas tumpukan buku-bukunya.

"Eeh ... anu, Bu, maaf, saya--"

"Tidak ada alasan!" bentak Bu Rina. "Kan saya sudah pernah bilang, jangan aktifkan handphone kalian di saat saya sedang mengajar. Sekalipun itu handphone keluaran terbaru dan termahal!" lanjutnya sinis, sambil mendengus menatap Camelia.

"Iya, Bu, maaf," ujar Camelia sambil tertunduk. Berusaha menjelaskan pun rasanya akan sia-sia. Bu Rina bukan tipe dosen yang mau mendengarkan penjelasan.

"Oke, kali ini saya maafkan, tapi tidak ada lain kali untuk sebuah pelanggaran, Amel. Sekarang bereskan tasmu, dan matikan handphone sialan itu!"

"Baik, Bu." Camelia bangkit dari tempat duduknya dan memasukan semua isi tasnya yang tercecer di lantai. Untunglah handphone itu sudah berhenti bergetar, seandainya bergetar lagi, maka tidak ada pilihan. Terpaksa ia akan membantingnya.

"Kamu gimana sih, Mel, berani-beraninya cari masalah sama dosen yang satu itu. Lagian gak biasanya hp kamu aktif pas jam pelajaran gitu."

"Aduuh pliiis deh Ola, kan dari tadi aku udah bilang, itu bukan hp aku. Masa sih kamu gak percaya. Lagian lihat deh, mana bisa aku beli hp mahal begini. Ini tuh keluaran terbaru, masih hangat, hits dan fenomenal," ujar Amel kesal sambil membuang muka, lalu kembali ke aktifitas yang sedari tadi dilakukannya, 'memelototi handphone tersebut'

Sudah berulang kali Ia menjelaskan kepada Ola, sahabatnya. Tapi yang diberikan penjelasan seolah tidak percaya, dan terus saja megeluhkan keteledorannya di jam pelajaran.

"Iya, iya, deh. Lah terus kamu ngapain daritadi begitu? Ntar keluar tuh bola mata."

"Menanti!" ujar Amel dramatis

"Menanti pangeran keluar dari layar hp?" Ola terkekeh melihat tingkah sahabatnya.

"kesel banget tau gak La, ini hp pake kunci pola. Gimana aku bisa cari tahu siapa pemiliknya. Setidaknya aku bisa telepon nomor penting di dalamnya, buat kasih info kalau ini hp ada sama aku. Sekalian aku kasih mode senyap gitu, biar gak berisik."

"Loh kan itu udah mode senyap."

"Iya senyap, tapi getar! Bikin aku malu di kelas, diomelin dosen."

Ola tertawa terbahak. "Ya udah habisin dulu tuh makanan, kasian mie instannya jadi obesitas tuh. Daritadi di cuekin, kalo kamu gak mau, sini buat aku aja." Ola menarik mangkuk mie di hadapan Amel.

"Eits, jangan. Ini jatah makan siangku. Kalau kamu embat juga, aku bisa kelaparan sampai besok," ujar Amel serius, kemudian ia makan dengan lahap.

"Uaa di ngiiin," ujarnya tak jelas dengan mulut penuh makanan.

"Iyalah jelas banget udah dingin, udah hampir setengah jam kita di kantin, bukannya makan, kamu malah sibuk melototin hp! Dimakan aja, gak usah bawel. Kali aja kenyangnya bisa awet, jadi gak perlu keluarin duit lagi buat ntar malam beli mie instan lagi. 'Kan mienya udah gede gede tuh ukurannya, udah menuhin usus."

Camelia hanya mengangguk, sambil menyodorkan ibu jari di hadapan sahabatnya, tanda bahwa ide Ola sangat cemerlang 'makan mie yang dingin dan mengembang bisa membuat mu kenyang lebih lama. Tentunya irit lebih lama pula.'

Camelia adalah mahasiswa berprestasi yang mendapatkan beasiswa di kampusnya. Jika tidak, mana mungkin Ia bisa melanjutkan kuliah. Ia hanya lah anak yatim piatu yang tinggal dan tentunya dibesarkan di salah satu panti asuhan di kotanya. Itu sebabnya ia harus hidup serba hemat.

Ia berusaha hidup mandiri, walaupun di panti tidak pernah kekurangan makanan, tetapi dirinya merasa malu, sudah berapa lama ia tinggal di panti asuhan, sudah berapa banyak makanan yang ia makan. Pasti banyak sekali, dan ia belum bisa memberikan apa-apa untuk rumah tersayangnya itu, tempatnya tinggal,tumbuh, dan besar.

Maka Camelia berinisiatif untuk membeli banyak mie instan dengan berbagai rasa setiap dirinya menerima gajih, dan menempelkan kartu kecil di atasnya. Bukan sembarang kartu, kartu itu bertuliskan jadwal kapan mie itu harus dimakan dengan sangat detail agar dirinya tidak khilaf. Dengan begitu jatah makanan dan camilannya di panti bisa diberikan untuk adik-adiknya. Yaaaa, adiknya banyak. Sangaaat banyak. Banyak anak yang kurang beruntung seperti dirinya.

'Tidak di inginkan oleh orang tua mereka sendiri!'

"Yuuuk, Mel, buruan bentar lagi ada kelasnya Pak Nono. Kalau telat masuk kita bisa mam to the pus, mampus. Pak Nono 'kan gak kalah judes sama Bu Rina." Ola menarik tangan Amel yang masih meneguk minumannya dengan santai.

"Warno La, Warno. Biasakan sebutin yang lengkap namanya, rasanya aneh aja gitu, Nono. Apaan Pak Nono, geli tau dengarnya. Kayak nama anak kecil gitu, yang cute, lucu imut padahal enggak," ujarnya terkekeh.

"Aaah, udahlah gak usah bawel, buruan ayuuuk! Terakhir telat masuk kelasnya, Pak Nono itu telpon mamah aku. Habislah sampai rumah aku dimarahin. Berasa kayak anak SMA tau gak sih, telat masuk kelas doang di aduin."

"Hahaha, itu karena kamu selalu telat masuk kelasnya Pak Nono. Eeeh Pak Warno! Makanya diaduin, dan yang paling penting Ola sayang, nilaimu paling anjlok di kelasnya Pak Warno."

"Mulaiiii deh ya bahas nilai. Aku Tersinggung nih!"

"Uuuuuh aku takuuut! Ola tersinggung. Hahaha." Camelia meledek sambil bangkit dari tempat duduknya. Kemudian berlari meninggalkan Ola yang memasang wajah sebal.

Saat hampir tiba di depan kelas, ponsel mahal itu bergetar lagi. Tepat saat Ola berhasil menyusulnya dan mulai mengomel.

"Jahat banget kamu Mel, aku diledekin, di tinggalin, di--"

"Shuut!" Camelia memberikan isyarat untuk diam kepada sahabatnya. Sebelum akhirnya ia mengangkat telepon.

"Halo, assalamua ...."

"Lho, kok perempuan? Tian mana? Kamu siapa? Siapanya Tian? Hayoo jawab! Kamu pasti godain tunangan aku ya? Iya 'kan, ngaku deh kamu dasar perempuan gatal. Pantesan dari tadi aku telpon gak diangkat angkat, ternyataa--"

"Mba, bentar dulu mba--"

"Apaan kamu sebut aku mba, aku bukan mba nya kamu! Sekarang panggilin tunangan aku!"

"Mba sabar dulu, mba salah paham. Hp ini--"

"Aaah udahlah gak usah banyak alasan, kamu perempuan jahat, murahan, keterlaluan, mana tunangan saya?"

"Mba, saya engak--"

"Aaaah diam, sekarang panggilin Tian , dasar perempuan murahan!!"

"Tunangan kamu lagi mandi!"

Tuut!

Dengan kesal Amel memutuskan panggilan tersebut.

"Yuuuk La masuk, Pak Nono udah di dalam kelas tuh." Dengan santai ia melenggang masuk, meninggalkan Ola yang masih terpaku di tempatnya dengan mulut terbuka.

Sahabatnya pasti berpikir sama seperti dirinya. "Tunangan kamu lagi mandi"

 

Whaat?! kenapa mulutnya bisa seteledor itu.

Ini masalah baru, yang pelan-pelan harus di selesaikannya.

Tanpa sadar Ia terus memukul-mukul kepalanya di saat pelajaran pak Nono sedang berlangsung.

 

Eeeeeh Pak Warno!

Bersambung ....

JEMBATAN PENYEBRANGAN

"Duuh! Stupid, stupid, stupid! Y, Tuhan, ada apa dengan mulutku. Kenapa belakangan ini suka nyeplos sembarangan. Huwaa, Ola, gimana ini? " Camelia histeris, kaget dan tentu saja panik. Ia melemparkan tatapan memohon kepada sahabatnya, barangkali Ola mempunyai solusi agar ia dapat memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya.

Ola mengangkat sebelah alisnya, terlihat iba tapi juga geli. Dengan usaha mati-matian Ia berusaha menahan tawa di hadapan Amel. Yaaa keterlaluan memang jika ia terang-terangan terlihat menikmati kecerobohan sahabatnya itu.

"Shuut jangan berisik! Noh, Pak Nono udah mulai ngelirik, ntar kita dikeluarkan dari kelas," ujar Ola.

"Ah, bodoh amat, lagian aku udah gak konsen ini. Dikeluarkan dari kelas lebih bagus, 'kan."

"Bagus buat kamu. Gak bagus buat aku! Lagian kamu kebanyakan nonton sinetron ya, kok bisa bisanya kamu bilang kalau si tunangan lagi mandi."

Camelia mengangguk lesu. "Iya. Di panti, ibu pengasuh suka banget nonton sinetron perselingkuhan, biasanya si perebut suami orang selalu bilang begitu untuk memperkeruh suasana. Maaf, ya, suami kamu lagi mandi, dan parahnya semalam aku ikutan nonton, dan gak tau kenapa tiba-tiba aja ingat adegan sinetron semalam." Camelia kembali memukuli kepalanya.

"Seriusan Mel kamu nonton sinetron begitu? Terus sekarang kamu terinspirasi gitu buat ngerusak hubungan orang?"

"Ih jangan gitu kali bahasanya, La. Kamu 'kan dengar sendiri tadi, itu perempuan ngatain aku yang enggak-enggak. Dia gak ngasih aku kesempatan buat jelasin. Gimana aku gak gemes coba. Aku 'kan gak tahu apa-apa."

"iya juga sih. Kalau aku jadi kamu, bukan cuma lagi mandi si tunangan ... siapa tadi namanya?"

"Tian."

"Iya itu," ujar Ola sambil menjentikkan jarinya. "Aku bakal bilang, tunangan kamu lagi ngorok nih, kasihan mau dibangunin. Padahal dia gak pakai baju, takutnya ntar masuk angin, tapi gak tega ah mau banguninnya. Lelap banget tidurnya, capek banget kayaknya Tian, ntar aja ya telfon lagi, byee! Hahaha."

Camelia memiringkan bibirnya, merasa jijik dengan penjabaran sahabatnya. Di saat genting begini, bisa-bisanya Ola malah bercanda.

Ia kembali membentur-benturkan kepalanya di atas meja. Tanpa ia sadari Pak Warno memperhatikan dari depan kelas.

"Amel sedang apa kamu? Daritadi saya lihat kamu dan Ola tidak memerhatikan penjelasan saya sama sekali. Apa yang sedang kalian rundingkan, haaah? Sehingga mata kuliah saya menjadi tidak penting untuk kalian?" Omelnya dengan suara lantang, membuat kumis tebalnya naik turun seperti akan terlepas.

Kaget karena namanya disebut, Camelia menengadah memandang asal suara yang walaupun sedang marah, tetapi nada suaranya masih sangat ke bapakan. "Aha, aku punya ide," soraknya, dalam hati.

Mata kuliah dengan Pak Warno telah usai, ia pun sudah berunding dengan Pak Warno tentang permasalahannya. Walaupun berkali-kali tangannya disikut oleh Ola, tanda bahwa sahabatnya itu sangat tidak setuju dengan ide nya, tetapi bagi Pak Warno, Ia adalah korban yang harus di tolong dan memang sedang sangat membutuhkan pertolongan. Dosen yang sampai saat ini masih membujang tersebut akhirnya setuju dengan ide yang dijabarkan Amel, dan siap kapan pun Amel membutuhkan pertolongannya.

Masalah selesai, tinggal menunggu telepon dari si pemilik ponsel.

Si pemilik ponsel mahal itu pasti berterima kasih, dan merasa maklum atas kekacauan yang ia buat, karena memang dirinya tidak bersalah. Tunangan si pemilik ponsel itulah yang memancing emosinya. Tidak bisa menjaga mulut, sehingga waita itu pantas mendapatkan kejut jantung kecil-kecilan seperti itu. Ya, mendengar tunangannya sedang mandi dari mulut perempuan lain mungkin sekarang jantungnya sedang bermasalah.

"Gilaaaa kamu Mel. Pak Nono jadi bapakmu! Whaaaat, gak salah? Kenapa gak sekalian aja Bu Rina dijadikan ibumu. Biar komplit. Keluarga bahagia!" dengus Ola kesal.

"Heem iya, ya, apa kira-kira mereka mau mengadopsi aku." Amel berkata sambil memasang wajah serius untuk menggoda Ola.

"Aku bercanda tahu!" Ola kembali menyikut lengannya dengan keras.

"Hahaha, iya, tahu. Mana mungkin kamu serius." Camelia tersenyum sebelum melanjutkan. "Ini tuh cuma bohongan, La, dan juga kalau memang benar benar dibutuhkan. Baru deh rencana itu aku jalanin."

"Pak warno bisa pura pura menjadi orang tuaku, membantu ku meminta maaf jika memang ternyata permintaan maafku gak mempan."

"Tapi 'kan ada bu Lastri, Mel. Ibu di panti pasti mau kok nolongin kalau memang masalahnya jadi segenting itu."

"Iya siiiih, tapi kasihan Bu Lastri. Ibu udah capek di panti, masa iya mau direpotin untuk hal yang gak penting begini. Beda dengan pak Nono, dia 'kan jomblo, jadi waktu luangnya lebih banyak buat dimintai tolong," Ujar Amel terkekeh.

"Terserah kamu aja lah, tapi aku punya firasat kalau rencana ini gak akan berhasil deh."

"Eeeeeh jangan pesimis gitu dong ah, biasanya orang-orang 'kan lebih segan sama sosok bapak-bapak, makanya aku menghadirkan sosok bapak, 'kan aku gak punya bapak beneran."

"Iya, maaf Mel. Aku gak bermaksud ...."

Drrtt ....

Drrtt ....

"Shuut! Ada telepon, angkat gih, La." Amel menyodorkan ponsel tersebut ke arah Ola, yang kemudian ditolak mentah-mentah pula oleh Ola.

"Iiih ogah, ah. Kamu aja yang angkat. Kali si nenek lampir itu yang telepon lagi, atau malahan si Tian itu! Angkat buruan."

"Ntar kalo dia marah gimana? Kalau aku di tuduh ngerusak hubungan gimana?"

"Udahlah tenang aja, 'kan ada bapak Nono yang ready, siap order. Angkat buruan, ntar keburu mati teleponnya." Ola ikutan panik.

"Oke, oke, tenang! Tarik napas dalam-dalam, embuskan, tarik lagi. Huuft ...." Camelia berusaha menenangkan diri sendiri sebelum akhirnya. "Halo, selamat siang."

"Ya siang! Saya bicara dengan siapa?" suara berat dari seberang sambungan terdengar menyahut. Merdu sekali, pikir Camelia.

"Saya Amel. Saya yang menemukan Hp ini tergeletak di pinggir jalan. Di depan bandara. Apa ini milik anda?"

"Iya benar, saya Tian. Sbastian, pemilik Hp itu."

"Oooh syukurlah, Hp-nya mau dikirim lewat kurir atau diambil sendiri, Pak? Kalau lewat kurir mohon supaya anda yang bayar ongkosnya. " Camelia berusaha menawarkan pengembalian yang lebih mudah. Tanpa harus bertemu, aah kenapa tidak terpikir sejak tadi. Kalau si pemilik hp bagus ini setuju barangnya di kirim lewat kurir, maka Ia tidak perlu panik.

"Tidak, tidak. Kita harus bertemu! Silakan datang ke lobi hotel Bahtera, saya akan ada di sana pada jam lima sore. Saya tidak punya banyak waktu, jadi berusahalah Anda tepat waktu," ucapnya angkuh.

"Loh, ini barang milik Anda. Anda yang butuh, ya Anda yang datang. Kenapa jadi saya yang harus repot. Apa anda tahu, gara gara ponsel ini saya jadi apes seharian. Saya di marahin dosen, dan saya di--"

"Saya bermasalah dengan tunangan saya gara gara Anda, Anda harus bertanggung jawab!"

Jleeeb ....

"Gawaat! Ternyata si nenek sihir entah gimana caranya berhasil menghubungi tunangannya dan mengadu. Huwaa! Gimana ini," batin Camelia panik.

"Halo, Anda masih di sana?"

"Eheem, iya, masih. Oke kita bertemu. Tapi saya yang tentukan tempatnya." Saat kamu mulai tersudut, kamu harus terdengar kuat, pikirnya.

"Baiklah, sebutkan saya harus kemana?"

"Jembatan penyebrangan, di Plaza. Tahu, 'kan? Di jalan Jendral Sudirman."

"What! Jembatan penyebrangan. Kenapa harus di sana?"

"Ya, karena saya ada urusan di sana sore ini, saya mau ke toko buku. Saya gak ada waktu buat ke tempat lain. Jadi, pastikan Anda berada di sana tepat jam lima sore!"

"Tapi itu jembatan, saya gak level--"

"Saya juga gak level ngobrol dengan Anda lama-lama di telepon. Keputusan sudah dibuat, kalau sudah di jembatan telepon saya lagi. Oke. Byee! "

 

Tuut ....

"Huuft! Ternyata dia sama ribetnya dengan si nenek sihir." Camelia memberitahu Ola.

"Kenapa harus di jembatan, 'kan bisa di Kafe, Mel."

"Supaya gampang dorong dia kalau dia macam-macam!"

"Haah!"

Bersambung ....

 

GETARAN TAK MASUK AKAL

 

Sore itu arus lalu lintas Kota Balikpapan sangat padat. Cemelia buru-buru memasukan buku-bukunya ke dalam tas, sebelum akhirnya melesat dengan kecepatan penuh yang bisa dilakukan kakinya menuju halte terdekat. Untuk menanti jemputannya.

Yaa, walaupun Camelia tinggal dan besar di panti asuhan, tetapi ia pun tidak kalah dengan anak-anak orang kaya yang setiap hari di jemput orang tua mereka menggunakan kendaraan roda empat, terkadang ada yang mengendarai mobil sendiri untuk ke kampus.

Camelia memilih untuk di antar jemput setiap harinya. Jika bosan maka ia akan berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga.

Tiiit!

Naah itu kuda besinya, kuda besi yang tidak pernah membiarkan Camelia menunggu terlalu lama.

 

Dengan senyum semringah ia menghampiri kendaraan tersebut. Semakin dekat senyumnya semakin pudar.

 

"Yah, penuh, Al," keluhnya.

"Hehehe, rejeki gak boleh ditolak, Mel," ujar si pengemudi sambil terkekeh manis.

"Terus aku duduk di mana?"

"Yaelaah, tumben manja banget. Mau abang pangku, Neng? Ya, duduk di pinggiran pintunyalah, biasa juga gitu 'kan kalo lagi penuh."

"Ya udah deh, daripada jalan kaki." Camelia pun dengan cekatan menaiki kendaraan putih kuning tersebut, kemudian dengan anggun duduk di pinggiran pintunya. "Okeee lanjuuut, Bang!" serunya, sebelum akhirnya wuushh, angkot tersebut melanjutkan perjalanan, dengan penumpang penuh, dan gadis cantik duduk manis di pinggiran pintunya.

Alvian saputra adalah salah satu teman Camelia di panti, mereka memiliki usia yang sama. Hanya saja jalan hidup yang mereka pilih berbeda.

Al hanya lulusan SMP, sebenarnya dia anak yang cedas, tetapi memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, dan lebih memilih untuk bekerja. Apa saja dikerjakannya, asal halal dan bisa menghasilkan uang. Dia selalu berkata,"Untuk apa sekolah tinggi tinggi, tidak ada yang mau dibuatnya bangga, toh aku gak punya orang tua."

Namun, semenjak Camelia masuk kuliah, Alvian memilih untuk menjadi sopir angkot. Alasannya agar bisa jalan-jalan setiap hari, siapa tahu bisa ketemu jodoh di jalan.

Padahal sebenarnya bukan itu, ia hanya ingin setiap hari bisa mengantar dan menjemput Camelia, karena jarak kampus dan panti lumayan jauh.

Alvian berperawakan tinggi, walaupun tidak kekar, tetapi tidak kurus juga. Kulitnya putih bersih, rambutnya berwarna coklat, ikal dengan potongan model curtains ala 90-an membuatnya semakin terlihat tampan. Tidak heran, angkot Alvian selalu penuh dan penumpangnya sudah pasti para gadis belia, wanita dewasa, ABG, bahkan emak-emak pun rela tidak menumpang angkot lain, demi menunggu angkot Alvian beroperasi.

Jika sudah begitu maka Camelia harus rela duduk di pinggiran pintu angkot. Menggunakan topi dan masker. Bukan karna Ia malu, tetapi hanya untuk menghindari debu.

Walau begitu tetap saja Camelia menjadi perhatian di jalanan, rambut panjangnya yang ikal dan berwarna kecoklatan berayun lembut terkena angin. Tidak jarang ia mendapat teriakan menggoda dari para abang ojek di jalanan.

"Kernetnya cantik eeuuuy!"

"Mau dong hati abang dikernetin sama eneng!"

"Sini deh jadi bini kang mas aja, daripada jadi kernet!"

Semua teriakan itu hanya disambut dengan lambaian tangan oleh Camelia. Toh wajahnya tertutup masker, gak akan ada yang mengenalinya.

"Al antarin aku ke BC (balikpapan Plaza center, salah satu mall besar di kota balikpapan) aja ya, gak usah langsung ke rumah."

"Lho mau ngapain ke Plaza. Emangnya kamu hari ini gak masuk kerja, ntar telat lho, Mel, 'kan sift malam."

"Enggak aah, hari ini bolos aja. Ada urusan bentar di sekitaran plaza."

"Oke lah kalau begitu, mau dijemputin jam berapa ntar? Atau mau ditungguin?"

"Gak usah ditungguin, ntar aku hubungin kalau udah mau balik."

"Oke bos, siap laksanakan!"

Setelah kurang lebih setengah jam akhirnya Camelia tiba di tempat tujuan. Tepat di bawah jembatan penyebrangan orang, dengan mantap ia melangkah menaiki tangga jembatan walaupun jantungnya berdegup tak karuan.

"Tenang Amel, ini mudah, hanya cukup kembalikan, minta maaf dan berees. Toh aku berjasa menemukan hp nya!" celotehnya pada diri sendiri. Sekilas ia menengok ke bawah, ada beberapa polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Jika pria itu macam-macam dirinya akan bertriak minta tolong. Itulah alasannya kenapa ia memilih jembatan penyebrangan sebagai tempat untuk bertemu. Karena di sini tempat paling ramai, dan banyak polisi.

Sesampainya di tengah jembatan, ia berhenti. Menebarkan pandangan dan mengeluarkan ponsel mahal tersebut dari dalam tasnya.

"Gak ada panggilan. Huuft manusia mana yang hari gini wallpaper hp-nya bukan fotonya sendiri, harusnya dia pasang fotonya sebagai wallpaper, kalau hp nya ngilang gini yang nemuin jadi gak bingung toleh sana sini cuma buat nemuin sosoknya! Terima kasih enggak, eeeh malah bikin susah! Gak bisa On time."

"Maaf, anda bilang apa tadi?"

Terkejut, Camelia menoleh dengan cepat dan di sanalah pria tidak tahu terima kasih itu berdiri. Ia tampan, sangat tampan. Badannya tinggi dan atletis, sorot matanya tajam, rambutnya hitam legam, kulitnya putih bersih. Ia mengenakan setelah jas mahal, yang terlihat ganjil dikenakan di tempat seperti ini.

Camelia ternganga, tanpa bisa dikendalikan ada yang bergetar di dalam dirinya. Mungkin lambungnya yang bergetar karena seharian ini ia baru makan satu kali, atau mungkin ginjalnya, karena kurang air putih.

Aaah bukan, bukan! Camelia menggelengkan kepalanya, lambung dan ginjal tidak mungkin bergetar. Ini jantungnya, astagaa! Jantungnya tidak tahu diri, kenapa harus berdebar di depan manusia sombong seperti ini.

Tian menaikan sebelah alisnya, menatap bingung pada sosok gadis cantik di hadapannya. "Ada apa? Apa Anda waras?"

"Haaaah, pertanyaan macam apa itu. Saat melihat orang sedang terkagum-kagum bukankah lebih pas jika pertanyaannya adalah, apakah anda baik baik saja? Bukannya apakah Anda waras! Dasar laki laki angkuh!" Camelia mengomel dalam hati.

"Halo! Saya bicara dengan mumi!" Tian menjentikan jari di hadapan Camelia.

Tersadar dari lamunannya, Camelia mendongak menatap pria di depannya. "Belum sampai lima menit kita bertemu, Anda sudah mengambil dua kesimpulan tentang diri saya. Pertama, saya tidak waras! Kedua, saya mumi! Bukankah seharusnya anda menanyakan kabar, berterima kasih, meminta hp anda, lalu kemudian pamit pergi dengan sejuta rasa syukur karena hp anda sudah kembali!" cercanya.

"Ya mungkin karena hanya orang gila yang tidak berperasaan, yang mengaku-ngaku sedang bersama denganku, dan aku sedang di KA MAR MANDI!! " Tian menatapnya tajam, menunggu pembelaan dari sang lawan bicara.

Camelia tidak bisa berkata kata, padahal Ia sudah menyusun rencana ini dan itu, menyusun kata-kata yang panjang dan rumit bukan main bagaikan syair, tetapi sekarang ia hanya bisa terdiam seribu bahasa.

"Well, Anda mengakui kesalahan anda 'kan! Sekarang kembalikan hp saya, minta maaf pada tunangan saya, dan mari selesaikan Permasalahan ini sampai tuntas!" Tian berkata sambil menyodorkan tangannya, meminta ponselnya dikembalikan.

"Ke-kenapa saya yang harus minta maaf, tunangan Anda yang salah. Apa Anda tahu kalau mulut tunangan Anda sangat-sangat tidak manusiawi! Dia bilang--"

"Eeiiiit cukup, jangan mengata-ngatai Isabell! Dia gadis yang anggun. Andalah yang membuatnya emosi, kenapa anda menerima telepon yang masuk ke hp orang lain. Isabell itu pencemburu, wajar dia marah saat ada perempuan lain yang menerima telepon dari hp tunangannya."

"Haaah, apa saya gak salah dengar, Pak? Hp anda ini bergetar sebanyak EMPAT PULUH DELAPAN KALI! getarannya yang ke EMPAT PULUH ENAM membuat saya dimarahi habis-habisan oleh dosen di kelas saya, getarannya yang ke EMPAT PULUH TUJUH membuat saya dicaci maki oleh si nenek sihir itu, dan getarannya yang ke EMPAT PULUH DELAPAN membuat saya bertemu dengan Anda, manusia angkuh yang dengan enteng menilai saya yang salah. Kalau saya tahu pemilik hp ini ternyata manusia seperti Anda, gak akan saya pungut hp ini di jalan. Mungkin bakalan saya injak, saya tendang, saya lempar!" Wajah Camelia merah padam, ia benar-benar marah dan merasa sangat tersakiti, bagaimana bisa setelah dirinya bersusah payah menjaga ponsel itu hingga sampai ke tangan pemiliknya, justru malah ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

Orang-orang yang sedang lalu lalang di sekitar mereka, menatap Tian dan Camelia dengan bingung. Ada yang menatap sinis kepada Tian, mungkin mereka pikir mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar, dan biasanya saat pertengkaran terjadi di tempat umum, maka si prialah yang salah. Maka tidak heran, Sbastian mendapat banyak tatapan sinis, dan bisik-bisik dari orang-orang.

Menyadari hal itu Tian berusaha melembut. Apalagi air mata sudah terlihat akan jatuh dari pelupuk mata gadis di depannya.

"Argh sial, kenapa dia menangis. Apa kata-kataku begitu menyakitinya. Aaah tidak! Barangkali dia sedang berpura-pura. Mungkin dia butuh uang," batinnya.

"Oke, oke, berapa yang kamu mau untuk semua kesulitanmu itu?" Tian berkata sambil mengeluarkan dompetnya. "Satu juta, dua juta, atau lima juta? Bilang saja, gak perlu pakai adegan menangis segala hanya untuk ini." Tian menyodorkan uang tunai ke hadapan Camelia.

Camelia menepis tangan Pria itu, dan sekarang air matanya benar-benar jatuh. Uang yang dipegang Tian berhamburan, Camelia tidak peduli, walaupun sekilas ia terpikir, berapa banyak Mie instan yang bisa dibelinya dengan uang sebanyak itu.

"Terima kasih, tapi saya sangat tidak butuh uang dari Anda. Maksud saya, uang dari MANUSIA seperti Anda! " Ia menyodorkan ponsel Tian, lalu berbalik pergi. Tian terkejut, lalu ikut berbalik mengejar Camelia.

"Tunggu! " Ia meraih lengan Camelia dan menariknya dengan kasar. "Masalahnya tidak semudah ini, masalah ini rumit. Apapun alasanmu mengucapkan kata-kata itu pada Isabel, itu tetap tidak bener. kamu harus menyelesaikannya."

"Aku gak mau. Selesaikan aja sendiri!" desisnya, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Tian kemudian berbalik pergi. Dadanya terus berdebar, ditatap saja ia sudah deg-degan, apalagi disentuh. Argh dadanya bergemuruh. Dasar perasaan tidak tahu diri.

"Kalau begitu aku akan lapor polisi!"

 

Deeeeeg ....

Mendengar kata itu membuat Camelia diam mematung, ia menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap pria di depannya.

"Polisi? Atas dasar apa?" tanyanya

"Belum jelas? Kamu memfitnahku!"

Camelia tak bisa berkata-kata. Kalau dia benar-benar harus berurusan dengan hukum, kasihan Bu Lastri, beliau pasti sedih. Belum lagi kuliahnya pasti terganggu.

Mereka saling menatap tajam, ke formalan yang dari tadi mereka pertahankan mendadak runtuh. Tidak ada lagi "saya" , "anda", yang ada hanyalah "aku" dan "kamu". Tidak ada lagi tatapan pura-pura ramah, mereka saling menatap sinis, dan tajam.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Camelia singkat.

"Kamu harus ikut aku bertemu tunanganku, untuk menjelaskan semuanya."

"Cuma itu?Itu sih keciiil," ujar Camelia sambil Menjentikan jarinya. "kalau gitu, ayo buruan. Di mana tunangan kamu, aku gak punya banyak waktu." Camelia berbalik, dan berjalan dengan cepat, berharap Sbastian mengikuti langkahnya.

Karena merasa tidak ada yang mengikutinya, ia berhenti dan menoleh. Aaaah si pria sok tampan itu masih berdiri diam di tempatnya tadi, dengan pose yang sangat menyebalkan. Satu tangannya diletakan di pinggiran jembatan, tangan satunya lagi mengacak acak rambutnya dengan frustrasi. Pose seperti itu membuat dada Camelia makin berdebar, yaaa dia meleleh.

"A-apaa? Kenapa diam saja." Camelia tergagap.

"Kamu mau kemana?" ujar sbastian sambil menyunggingkan senyuman mengejek.

"Nyamperin nenek sihir lah!"

"Jalan kaki?"

"Kamu mau naik angkot? Oooh tenang, sebentar aku hubungi angkot andalanku." Ia Mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya.

"Angkot andalanmu punya sayap?" Sbastian tertawa.

"Maksudnya?" Camelia menatap bingung.

"Jakarta, kita akan ke Jakarta!"

"Whaaat!!"

Bersambung ....

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!