Gerombolan preman menerobos jalanan yang ramai, dan berhenti di sebuah persimpangan. Toko buku Pintar, menjadi sasaran mereka saat itu. Pengunjung toko yang sederhana itu sedang ramai dikunjungi oleh beberapa pelajar. Di toko itu terkenal dengan harga buku yang murah, sehingga kalangan manapun bisa membeli buku itu. Beberapa mobil sudah berhenti di depan toko itu, Hans turun dari mobilnya, dan melepas dasi yang sedang dipakainya, ia melilitkan di tangannya, dan meninju pintu masuk yang terbuat dari kaca.
Prank..
Pecahan kaca itu membuat para pengunjung menjadi ketakutan, dan berlari keluar.
Pak Sahrul, pemilik toko itu tidak berkutik. Hanya diam dan menunduk.
"Hei.. pak tua. Kapan kau akan membayar hutangmu beserta bungamu." ucap Anto dengan suara keras.
Sementara ketua dari rombongan itu mengambil buku, dan membacanya, dengan darah yang masih menetes akibat meninju pintu kaca, dia duduk di ujung gang antara rak-rak buku itu sambil menyenderkan kedua kakinya di atas tumpukan buku.
"Beri waktu seminggu lagi, aku mohon" ucap pak Sahrul.
"Kau selalu mengulur waktu. Kau tau, bungamu akan semakin banyak kalau kau tidak segera membayarnya" teriak salah satu dari preman itu.
"Bawa dia keluar" ucap preman lainnya.
Pak Sahrul di tarik keluar toko.
Bu Sahrul yang mendengar keributan itu turun dari lantai atas dan mendekap suaminya.
"Ampuni kami, ampuni kami" tangisnya, tapi tidak dihiraukan oleh para preman itu.
Rania yang baru pulang sambil membawa beras di tangannya, sambil memegang kertas di tangannya, berisi laporan bahwa dia mendapat peringkat pertama di kelasnya berlari mendekati kedua orang tuanya.
"Pergi kalian dari sini. Pergiiiiii!!!" teriak Rania.
"Ibu, bawa ayah masuk." pinta Rania kepada ibunya.
"Tapi,"
"Cepat, Bu" pinta Rania, dan kemudian mendekati para preman itu.
"Hei, anak SMA, jangan sok jadi pahlawan. Orang tuamu mempunyai banyak hutang kepada bos kami." teriak preman itu sambil mendorong Rania hingga terjatuh di aspal kasar itu.
"Kalian pengecut, bisanya keroyokan seperti ini" dorong Rania lagi. Tapi, para preman yang jumlahnya 10 orang itu mendorongnya silih berganti, hingga tas dan kertas yang masih dipegangnya jatuh di aspal.
"Kalian tidak punya perasaan" ucapnya menahan sakit, dan menahan air matanya agar tidak tampak lemah dimata preman tak punya hati itu.
Ketua rombongan itu, mendekati tas dan kertas yang jatuh tidak jauh dari tempatnya berdiri, kemudian ia membacanya.
Selamat kepada Rania Putri Sahrul, Peringkat pertama di kelas IX MIPA 1.
Sementara Rania bangun dari tempatnya terjatuh, dan ia memukul dengan tangannya para preman itu.
Salah satu dari mereka memegang muka Rania dengan kasar.
Cuihhhh
Rania meludahinya.
"Kurang ajar" tangan lelaki berparas tinggi itu sudah diatas ingin menampar Rania.
Tapi, tangan itu di tahan oleh ketua gerombolan itu.
"Tapi, bos" ucap lelaki itu menahan amarah.
"Mundur kalian" perintahnya kepada 10 orang preman itu.
"Rania Putri Sahrul, peringkat pertama di kelas IX MIPA 1, ini punyamu?" tanyanya dingin sambil menunjukkan kertas itu.
Rania mengambil kertas itu,
"Bukan urusanmu" jawab Rania ketus.
"Bocah ini" ucap preman yang diludahi itu geram.
"Kapan kalian akan melunasi hutang-hutangnya?" tanya ketua itu.
Rania terdiam. Ia tidak tau apa yang akan dia janjikan.
"Berapa hutang ayahku?" tanyanya
"58.970.000" jawabnya singkat, tapi membuat Rania membuka matanya dengan lebar.
Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu?
Batin Rania berteriak,
"Jadi, kau sanggup membayar semua hutang ayahmu?" tanya ketua itu.
"Aku akan datang melunasi hutang kami, Sabtu siang setelah aku pulang sekolah, jam 3 sore." entah Rania sadar atau tidak, dia mengucapkan kalimat itu.
"Aku akan datang melunasi hutang kami, Sabtu siang setelah aku pulang sekolah, jam 3 sore." entah Rania sadar atau tidak, dia mengucapkan kalimat itu.
"Baik, aku akan menunggumu," ia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya ke tangan Rania
"Ingat, terlambat sedikit, bunganya akan semakin banyak" ucapnya kemudian meninggalkan Rania yang terduduk lemas di aspal depan toko milik keluarganya.
Aku harus apa? Tuhan, dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu.
Pikiran itu berputar di kepalanya.
Dia melihat kertas yang ada di tangannya. Dihapus air matanya, dan memasukkan kembali ke dalam tasnya.
Ketua rombongan itu melihat Rania yang masih duduk d aspal dari kaca spion mobilnya.
Rania anak yang cerdas, berkat toko buku milik keluarganya, dan seringnya ia membaca buku, ia selalu mendapat nilai yang sempurna. Cita-citanya, ingin menjadi seorang dokter, agar bisa membantu masyarakat yang kurang mampu.
Kepalanya penuh dengan bayangan uang yang banyak itu.
Di satu sisi, keluarganku hanya dapat uang itu dari penjualan buku, di sisi lain, aku ingin sekali melanjutkan sekolah, tapi bagaimana aku akan menunjukkan hasil belajarku, kalau kondisi keluargaku seperti ini. Ya Tuhan..
Hari Sabtu, sudah datang. Rania keluar dari sekolahnya, entah kemana kakinya melangkah. Dia hanya melihat kertas kecil yang ada di tangannya.
Hans Permana
Manager CV Mentari.
Tapi dia menghentikan langkahnya, sambil duduk di taman. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.
"Bos, apakah kau percaya dengan janji bocah kecil itu?" tanya Jack, orang kepercayaan Hans. Sedari tadi, dia hanya gelisah melihat jam dinding terus berputar, janjinya kepada adiknya, sudah mepet.
"Pulanglah kau, temui adikmu. Biar aku yang mengurus semua." Ucap Hans sambil memainkan pena yang ada di mejanya.
"Kau yakin, bos?" tanya Jack lagi
Hans mengangguk.
"Tidak bisa dipercaya bocah itu." Jack yang punya sifat tempramen tinggi, mengepalkan tangannya.
"Sudahlah, mungkin dia kena macet di jalan. Ini hari Sabtu, pasti jalanan ramai" Belanya
Jam 04.00 sore sudah berlalu, artinya bocah itu sudah melewati 1 jam lamanya.
04.30 belum juga ada tanda kehadirannya.
Langkah kaki itu terdengar semakin dekat.
Hans mengangkat kepalanya.
"apa kau tidak ada kerjaan, bukannya hari Sabtu kau habiskan dengan berolahraga?" pak Roy, big boss dari perusahaan yang bergerak di bidang simpan pinjam alias rentenir besar di kota X, dan merupakan bapak angkat dari Hans, menghampirinya.
"Aku ada janji," jawab Hans pelan.
"Baiklah, aku akan pulang duluan."
Hans mengangguk.
"Jaga kesehatanmu, karena, besok kau akan merayakan ulang tahunmu" ucap Hans, ketika Roy keluar dari ruangan itu.
Roy tersenyum simpul, dan melangkahkan kakinya diikuti para bodyguard.
"Selidiki, siapa yang Hans tunggu" ucapnya kepada salah satu bodyguard itu.
Jam 05. 10 menit, pintu ruangan Hans terbuka.
"Kau terlambat 2 jam 10 menit dari waktu yang sudah kita sepakati." ucap Hans yang masih duduk di atas kursinya.
Rania melihat papan nama yang ada di atas meja itu. Dan sama seperti yang tertera di kartu namanya.
Hans Permana.
"Maaf, aku terlambat" ucapnya.
"Kau tau, keterlambatanmu, membuat bunga hutang keluargamu semakin besar?" tanya Hans.
Rania terdiam.
"Berapa total hutang keluargaku, sampai saat ini, beserta bunganya?"
Hans membuka buku dan menghitungnya, kemudian "63.750.000". Apa kau sudah menyiapkan uangnya?" tanya Hans.
"Kau bisa beli aku"
** Hai readers tersayang, aku mencoba menulis novel dengan genre yang sedikit berbeda. Semoga kalian suka ya.
Berapa total hutang keluargaku, sampai saat ini, beserta bunganya?"
Hans membuka buku dan menghitungnya, kemudian "63.750.000". Apa kau sudah menyiapkan uangnya?" tanya Hans.
"Kau bisa beli aku" ucap Rania sambil berkaca-kaca. Jangankan yang sebanyak 63 juta, uang 6 juta saja, mereka tidak punya.
Hans membelalakkan matanya.
"Apa kau yakin?" tanya Hans.
Rania mengangguk.
"Ya.."
Hans tertawa.
"Berapa umurmu?" tanyanya.
"17 tahun, dan sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Dan aku kira, aku akan siap dengan semua itu."
Hans tersenyum kecil.
Melihat gadis kecil di depannya itu.
Dia pernah merasakan hal yang sama dengan gadis di hadapannya itu. Hatinya iba, melihat mata Rania berkaca-kaca.
"Baiklah, aku akan membelimu. Tapi, kau harus ikut aku makan dulu. Agar tenagamu bisa mengalahkan tenagaku." ucap Hans
Lelaki yang seharusnya aku panggil om ini, tidak tau diri sekali. Tapi aku tidak ada cara lain, selain ini untuk membebaskan keluargaku dari rentenir ini.
Batin Rania berteriak
Hans menggandeng tangan Rania masuk ke dalam mobil. Dan mereka berlalu dari tempat itu menuju hotel yang akan jadi saksi, bahwa Rania mempertaruhkan segalanya demi keluarganya.
Sampai di depan pintu masuk hotel, Hans keluar dari mobilnya, dan melempar kunci mobil itu ke pelayan disana untuk diparkirkan. Hotel itu kepunyaan pak Roy, sehingga pegawai di sana sudah paham dengan Hans.
Hans meminta kunci kamar, sementara Rania masih membeku diam.
Hans menarik tangan Rania dan mengajaknya ke restoran hotel itu.
Tak berapa lama, makanan sudah siap disajikan.
Hans yang memang sudah merasa lapar, menyantap steak daging sapi yang ada di hadapannya, tapi kemudian dia terdiam.
"Makanlah, kenapa tidak makan?" tanya Hans.
"Aku kesini untuk menjual diriku padamu, tuan. Bukan untuk makan" jawab Rania ketus.
"Kau sungguh tidak sabaran." senyum sinis keluar dari bibir Hans.
"Ini kunci kamar, kau tunggu aku di sana, dan bersiaplah untuk melayaniku. Selagi menungguku, kau bisa kembali berfikir, apakah akan melayaniku, atau kabur dari sini." Hans meletakkan kunci kamar hotel bernomor 1606.
Rania langsung mengambil kunci itu dan segera mencari nomor yang telah disebutkan.
"Ini dia" gumamnya pelan, dan membuka pintu itu.
Di dalam sana, Rania sudah menyiapkan kertas berisi surat perjanjian, bahwa tuan Hans akan menghapus semua hutang keluarganya.
Ia menatap tempat tidur yang lebar itu dengan ketakutan yang mendalam.
Apa keperawananku akan hilang di sana?
Semakin dia melihat tempat tidur itu semakin galau dibuatnya.
Tapi kalau aku lari dari sini, bagaimana nasib keluargaku?
Rania menarik nafas dalam-dalam.
ceklek
Pintu kamar itu terbuka, Rania makin takut, tapi dia harus menghilangkan rasa itu.
Hans melihat Rania yang duduk di sofa, dan segera menutup pintunya kembali.
"Ternyata kau sangat setia dengan keluargamu. Sehebat inikah kau, hingga ingin menjual diri padaku" ucap Hans meletakkan bingkisan papper bag, sambil melepas jas, dan dasi yang dipakainya, kemudian dia membuka kancing tangannya.
Rania makin takut.
"Tuan tidak akan pernah merasakan jadi aku" ucap Rania.
Aku lebih dulu pernah berada di posisimu. Aku tau perasaanmu. Aku tau kau juga sangat takut. Tapi kau memang perempuan tangguh.
Hans memandang anak SMA itu dalam-dalam.
"Sebelum semuanya terjadi, silahkan tanda tangan di kertas ini" Rania menunjukkan secarik kertas.
"Apakah kau akan selamanya menjadi orang jahat? Apakah kau tidak mau berubah menjadi orang baik?" pertanyaan Rania membuat mata Hans terbuka lebar. Kalimat itu seakan menikamnya.
"Ambil ini" Hans memberikan kantong paper bag itu kepada Rania. "Bersiaplah"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!