"Mommy, stop bertingkah seolah aku anak kecil yang ditindas oleh teman-teman di sekolah," sungut Prilly. Ia baru satu bulan yang lalu bercerai dari suaminya dan sekarang memutuskan untuk tinggal sendiri, ia ingin menikmati sejenak masa lajangnya.
"Ha... ha, baiklah. Jadi, katakan padaku, apa kau merindukanku? Apa Mommy harus ke apartemenmu malam ini dan membawa putramu, William?" Suara inunya terdengar di speaker ponselnya.
Sebagai seorang ibu, Mrs. Sandra Smith mengkhawatirkan putrinya. Karena tidak semestinya, putri seorang desainer perhiasan yang memiliki toko perhiasan yang tersebar di berbagai pusat perbelanjaan kelas atas, bekerja di perusahaan orang lain.
"Itu pun juga tidak, Mommy," sahut Prilly dengan pelan. "Aku hanya ingin Mommy mengirimkan Nyonya Maria ke apartemenku besok."
"Oh jadi, kau tidak merindukan Mommy dan putramu, William?" goda Sandra setelah mendengar Prilly menyangkal pertanyaan darinya.
"Tentu saja aku merindukan Mommy terbaikku dan merindukan William, malaikat kecilku." Prilly memanis-maniskan suaranya.
"Tapi, aku sekarang lebih memerlukan Maria tinggal di sini untuk mengurusku. Tidakkah Mommy tahu, betapa sulitnya aku mengurus diriku sendiri?" rengek Prilly mencoba untuk melunakkan hati mamanya.
"Prilly sayang, Mommy sebetulnya tidak terlalu setuju kau tinggal di apartemen sendirian. Kau bisa tetap tinggal di sini agar bisa bersama William, putramu. Dia memerlukan ibunya untuk tumbuh bersama. Bukan karena Mommy tidak menghormati keputusanmu untuk hidup mandiri." Prilly hanya diam mendengarkan omelan ibunya, tentu saja hanya karena ia malas berdebat dengan ibunya saat ini.
Karena tidak ada respon dari putrinya, Sandra melanjutkan perkataannya, "Baiklah, besok Mommy akan kirimkan Maria dan beberapa pelayan untuk mengurusmu."
"No, Mommy, no! Cukup satu saja, Maria," potong Prilly. "Dan aku tidak menjauh dari Willy. Aku masih menyesuaikan keadaan sebelum membawa putraku tinggal di sini," bela Prilly.
"Tidak Prilly, kau tidak akan Mommy izinkan untuk membawa cucuku dan tinggal berdua saja," sela Sandra.
"Mommy, dia putraku."
"Tapi, aku neneknya."
"Mommy, aku tidak ingin berdebat denganmu." Prilly akhirnya mengalah. Dia tidak akan bisa mengalahkan ibunya.
"Baiklah... Baiklah... Putriku tersayang, jaga dirimu. Mommy sangat merindukanmu," kata Sandra pelan.
"Iya Mommy. Aku juga merindukanmu dan William."
Kemudian Prilly mematikan sambungan telepon.
Prilly memang tidak bisa hidup sendiri seperti ini. Dia bukan gadis mandiri. Bukan gadis, ia adalah wanita, wanita yang sudah bercerai. Setidaknya ia memerlukan seorang asisten rumah tangga untuk tinggal bersama dengannya.
Prilly mendengkus kesal setiap mengingat statusnya sekarang.
Seharusnya ia masih menikmati masa-masa muda, melajang, hidup bebas dan tentu saja jika memungkinkan ingin mendapatkan cinta dari seseorang yang ia harapkan.
Dua tahun lalu, Prilly memutuskan untuk menikah, saat itu, dia masih seorang mahasiswa di sebuah universitas terbaik di London. Pernikahan mewah dan megah yang tentunya diimpikan banyak gadis. Tapi bagi Prilly, karena pria yang menikahinya bukanlah pria yang dicintainya, semua berjalan seperti hanya sandiwara yang harus ia lakoni.
Pria itu adalah Alexander Johanson, teman, sekaligus tetangganya sejak kecil. Alexander adalah pria seumuran kakaknya, Anthony Julio Smith. Mereka bertiga telah tumbuh besar bersama, Prilly seperti mempunyai dua orang kakak lelaki yang selalu menjaga dan melindungi Prilly sepanjang usianya.
Karena jarak usia Prilly dengan mereka berdua tujuh tahun, sehingga mereka tidak pernah satu sekolah. Namun mereka dengan senang hati bergantian untuk menjemput ataupun mengantar Prilly ke sekolahnya.
Masa-masa yang menyenangkan kala itu karna mempunyai dua saudara tampan yang menjaga Prilly, tentu saja membuat banyak gadis-gadis merasa iri, tidak jarang gadis-gadis itu meminta Prilly menyampaikan surat-surat mereka untuk kakaknya, Anthony. Anthony adalah pria tampan yang mempunyai banyak pacar, tetapi sejak Anthony sering pergi bersama pacar-pacarnya, Prilly menjadi lebih sering pergi bersama Alexander. Tidak ada gadis yang berani menggoda Alexander karna wajah dingin dan kakunya.
Alexanderlah yang berperan besar mengantar Prilly untuk pergi ke toko buku, perpustakaan ataupun mengantar jemputnya ke sekolah. Alexander akan menjaganya lebih protective di banding Anthony, kakaknya.
Setelah memasuki dunia perkuliahan, teman-teman pria di kampusnya yang sedang berusaha berbicara dengan Prilly, akan segera pergi setiap Alexander datang menjemput Prilly. Mereka terlalu takut melihat wajah kaku Alexander menatap orang-orang yang berada di sekitar Prilly. Siapa pun akan risih dengan tatapan mengintimidasi seperti itu dan lebih memilih untuk menjauh.
Sore itu langit begitu cerah, Alexander datang menjemput Prilly di kampusnya. Prilly menghampirinya dan memandang wajah Alexander yang tampak kaku dan dingin. Prilly bosan melihat wajah dingin yang sering menakuti orang-orang.
"Kak Alex, kau harus lebih sering tersenyum. Wajahmu membuat orang-orang takut," keluh Prilly untuk keseribu kalinya. Itu adalah hari ketika hidup Prilly berubah menjadi hari yang buruk.
"Aku akan menikahimu, agar tidak ada laki-laki yang mendekatimu," jawab Alexander serius.
"Hahaha, Kak Alex, aku akan menikah dengan orang yang aku cintai. Seseorang yang memiliki mata biru," kata Prilly dengan mata yang berbinar-binar.
"Kak Alex adalah kakakku, mana mungkin kita menikah?" lanjutnya. "Dan kau tidak bermata biru," goda Prilly.
"Apa istimewanya pria bermata biru?" Alex menjawab dengan santai, tetap dengan wajah kakunya.
"Entahlah," jawab Prilly enteng. Ada senyum tipis di wajahnya yang hampir tak terlihat oleh Alexander.
"Prilly, aku serius. Selain aku, tidak boleh ada laki-laki lain yang mendekatimu," jawab Alexander.
"Astaga, Kak Alex, kau seperti seorang pria yang menakutkan," canda Prilly.
Alexander hanya diam dan membukakan pintu mobil untuk Prilly. Kemudian perlahan dengan tenang melajukan mobilnya menyusuri jalanan kota London dan menuju mansion keluarga Prilly seperti biasa.
Ketika Prilly akan turun dari mobil, Alexander menangkap tangan Prilly dan dengan suara berat berkata "Aku serius Prilly."
"Kak Alex? Serius tentang apa?" Prilly tampak bingung.
"Yang aku katakan tadi," kata Alex kemudian. Melihat Prilly yang bengong dan tidak menjawab perkataannya, Alex menegaskan maksud ucapannya, "Aku akan menikahimu, aku tidak ingin ada pria lain mengambilmu dariku."
"C'mon, Kak Alex, tidak ada yang akan mengambilku. Aku bahkan tidak memiliki pacar," kata Prilly. "Kak Alex terlalu banyak berpikir," lanjut Prilly. Ia bergegas meninggalkan Alexander yang tak menjawab kata-kata Prilly dan tampak memikirkan sesuatu dengan wajah seriusnya.
Alexander mengusap wajahnya dengan kasar. Segera ia mengambil ponselnya kemudian memanggil seseorang melalui ponselnya. Untuk beberapa saat, Alexander terlihat berbicara dengan serius. Setelah hampir satu jam berkutat dengan panggilannya, barulah Alexander meninggalkan halaman mansion keluarga Smith.
HALLO SEMUANYA.
SELAMAT MEMBACA
Prilly berniat untuk memanggil sopir melalui ponsel untuk menjemputnya. Ia tidak ingin pulang di jemput oleh Alexander. Sedangkan Anthony, kakaknya, pasti sedang sibuk di kantornya. Sekarang dia adalah CEO di perusahaan baru yang didirikannya di bawah naungan perusahaan keluarganya.
Atau mungkin kakakku itu sedang sibuk dengan pacar-pacarnya?
Prilly merasa kesal sendiri, entah apa yang membuat dia semakin kesal setiap mengingat wajah dan perkataan Alexander kemarin. Tiba-tiba sebuah sedan hitam berhenti di depannya, dan sudah jelas Alexander yang datang menjemputnya.
Prilly tidak mungkin menolak atau kabur. Meskipun merasa sangat canggung, tapi Prilly harus menghadapi situasi ini.
Alexander turun dari mobil, memakai setelan Jas mahalnya dan membawa seikat bunga mawar merah dan tiba-tiba berlutut di hadapan Prilly.
"Prilly Silviana Smith, will you merry me?"
Seperti jatuh dari atas langit, Prilly terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Semua orang yang melihat mereka mulai bersorak sorai dan para gadis menatapnya dengan tatapan iri.
Prilly Silviana Smith, ia adalah salah satu putri keluarga terkaya di London. Ia juga mahasiswa berprestasi di Fakultas Ilmu Hukum. Meskipun ia putri miliarder, namun ia memasuki universitas dengan jalur beasiswa. Dan saat ini, ia juga terdaftar sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Ilmu Ekonomi di universitas yang sama.
Wajah cantik yang siapa pun pasti akan mudah mengingatnya, mata berwarna hazel, rambutnya yang berwarna coklat tua, kulitnya putih susu tetapi teelihat pucat, alisnya cukup tebal dan rapi, tidak memerlukan eyebrow maupun sulam alis seperti kebanyakan gadis-gadis masa kini. Ia memiliki belahan yang minimalis pada dagunya, perawakannya yang cukup langsing namun berisi di bagian-bagian tertentu membuat para pria yang melihatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Karena badan Prilly tidak terlalu tinggi, hanya seratus enam puluh sentimeter, membuatnya seperti tidak akan pernah tersentuh oleh lajunya waktu. Karena ia tampak seperti gadis remaja berumur enam belas tahun dengan postur kecil mungilnya itu.
Sedangkan Alexander Johanson adalah pria dengan hidung mancung, alis tebal dan bibir sempurna, di tambah dengan tinggi yang menjulang, manik matanya berwarna abu-abu, memancarkan tatapan dingin seperti gundukan salju. Rambutnya berwarna kuning keemasan, rahangnya sangat kokoh, menandakan ia adalah pria yang tegas.
"Sungguh romantis."
"Oh, aku juga ingin dilamar."
"Gadis yang beruntung."
"Ayo terima!"
Suara-suara berisik itu membuat Prilly terbangun dari keterkejutannya.
"Kak..., Kak Alex." Prilly tergagap. "Apa kau gila?" guman Prilly mengomel pelan dan menatap Alex dengan kemarahan tersembunyi di balik mata hazelnya yang indah.
"Will you merry me?" Alexander mengulangi pertanyaannya.
Prilly hanya diam kemudian mengangguk dengan linglung, sambil menerima bunga dan Alexander segera memasukkan sebuah cincin di jari manisnya.
Apa? Wait, aku mengangguk? Setuju dengannya?
Semua yang menyaksikan bersorak-sorai, kemudian tanpa sadar dia telah berada dalam pelukan Alexander.
"Cium... cium... ciuum!" Suara-suara itu semakin membuat linglung dan terasa sebuah kecupan mendarat di bibir Prilly.
Sebuah kecupan mendarat di bibir Prilly dan demi Tuhan, itu adalah ciuman pertama Prilly.
Prilly masih linglung ketika memasuki mobil, ia berharap ini hanya mimpi. Suasana semakin canggung, Prilly hanya diam menatap ke arah jendela mobil.
"Kak Alex, aku...," tergagap Prilly mencoba untuk membuka percakapan.
"Kau telah menyetujuinya tadi. Tidak ada alasan untuk mundur," kata Alexander dengan nada tidak peduli.
"Aku hanya tidak ingin membuat Kak Alex malu, dengan menolak Kak Alex tadi," kata Prilly perlahan.
"Tidak, kau sudah setuju dengan lamaranku dan semua keluarga kita sudah mengetahuinya," sahut Alexander.
"Apa kau bilang?" untuk kesekian kali Prilly terkejut. "Bagaimana bisa?"
"Aku membawa tim yang merekam semuanya dan mengirimkan videonya ke seluruh keluarga kita," jawab Alexander dengan tenang.
Prilly ingin menangis, marah dan mengumpat. Tetapi ia tahu, hal itu tidak akan merubah apa-apa.
Alexander Johanson adalah pria yang tidak bisa di bantah sedikit pun, tentu saja ia mengetahui hal itu.
Tidak ada jalan untuk kembali, tidak ada. Prilly mau tidak mau harus menjalaninya.
Prilly melirik pria di sampingnya, pria ini tumbuh sebagai anak orang kaya raya yang semua keinginannya terpenuhi dengan cepat. Dia adalah pewaris tunggal dari perusahaan keluarganya, yang merajai bisnis di seluruh dunia. Orang tua mereka bersahabat sejak kecil. Dan mereka juga tumbuh bersama. Keadaan ini, sama seperti Alexander ketika kecil yang sedang menginginkan sebuah mainan baru. Karena tidak bisa menunggu lama, dia akan terus merengek.
Dan Prilly benci sifat Alexander yang selalu tidak bisa menunggu.
"Prilly, Aku mencintaimu selama dua puluh tahun. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, kau harus jadi milikku," kata Alexander dengan tenangnya.
"Kak Alex...."
"Panggil aku, Alex," geram Alexander memerintah.
Prilly hanya diam sampai mereka tiba di mansion orang tuanya. Tanpa sepengetahuan Prilly, keluarganya susah berkumpul dan seolah-olah semua orang telah menunggu mereka. Prilly semakin dibuat bingung ketika Diana dan Richard Johanson, yang tidak lain adalah orang tua Alexander juga berada di mansion keluarganya. Bahkan, di sana ada Veronica Johanson, sahabat Sandra Smith yang tidak lain tante dari Alexander Johanson.
Hanya Victoria yang tak menunjukkan ekspresi antusias dengan apa yang sedang terjadi di ruangan itu.
"Mommy, Daddy, Kak Anthony...." Prilly menatap mereka, ingin sekali menjelaskan kesalahpahaman ini.
"Oh, anak Mommy sudah tumbuh menjadi gadis dewasa," sambut Sandra sambil memeluk anak gadisnya.
"Kau tidak pernah bercerita kepada Mommy, kalau kalian saling mencintai," gerutu Sandra.
Prilly hanya bisa bengong tidak bisa menanggapi apapun yang sedang terjadi.
"Selamat sayang," kata ayahnya, Federick Smith. "Oh, Daddy tidak menyangka, gadis kecil Daddy sudah di lamar orang," Erick -panggilan dari Frederick- tampak menggoda Prilly sambil memeluknya.
"Selamat Sayang, mulai sekarang, akhirnya tugasku berkurang satu. Aku serahkan penjagaan adikku padamu, Alex," kata Anthony memberikan selamat pada adiknya.
"Tentu saja, dan kau jaga saja pacar-pacar sialanmu itu Anthony," Alexander menjawab dengan datar. "Hei, lepaskan calon istriku. Kau memeluknya terlalu lama," lanjutnya.
"Dia adikku, kami sedarah. Aku bahkan bisa tidur dengannya tanpa harus menikah," sungut Anthony.
"Lihat betapa menyebalkannya kau, Alex," gerutu Anthony sambil melepaskan Prilly dari pelukan Anthony.
"Oh, Prilly, putri kecilku yang manis," Diana sangat antusias. Dia sangat menyayangi Prilly seperti putrinya sendiri. "Akhirnya kau menjadi putriku," Diana menciumi pipi Prilly.
"Prilly, sebentar lagi, kau akan menjadi Prilly Silviana Johanson," kata Richard Johanson, ayah Alexander sambil mengusap kepala calon menantunya.
"Prilly, selamat, aku turut gembira untukmu. Semoga kau bahagia," kata Victoria, memberikan ucapan pada Prilly dan memeluk gadis itu. Prilly menatap mata biru Victoria dengan tatapan yang tak akan dimengerti oleh siapa pun yang berada di ruangan itu.
Semua yang berada di ruangan itu, tidak ada satupun mengerti perasaan Prilly. Rasanya Prilly semakin putus asa.
Tidak lama kemudian, Victoria berpamitan untuk kembali ke kediamannya, yang tidak jauh dari mansion keluarga Prilly dan mansion keluarga Alexander tentunya.
Malam itu menjadi sangat panjang dan membosankan bagi Prilly. Mereka membiacarakan mempersiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan minggu depan.
Prilly masih linglung, apa harus secepat itu? Ia merasa seperti sedang bermimpi buruk. Harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Prilly hanya pernah jatuh cinta pada seseorang yang bermata biru, yang pernah muncul di ingatan masa kecilnya. Yang tidak pernah ia temui kembali sejak ia berumur sepuluh tahun. Pria itu tak lain adalah putra dari Victoria Johanson, sepupu dari Alexander, calon suaminya. Mungkin pria itu telah memiliki seorang kekasih. Prilly yang sedikit pemalu dan pendiam tidak pernah berusaha menanyakan pada siapa pun tentang keberadaan pria yang diam-diam ia rindukan selama hampir sepuluh tahun itu.
Satu minggu berlalu dengan begitu cepat, Prilly ingin sekali kabur. Tetapi tidak ada alasan apapun baginya untuk melarikan diri. Dia juga tidak mungkin melarikan diri, mau melarikan diri ke mana? Dia tidak punya teman akrab, semua temannya, Alexander pasti mengetahuinya.
Jadi tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi.
Besok adalah hari pernikahannya, sepulang fitting gaun pengantin, Prilly hanya diam mengurung diri di dalam kamar. Ia mengenakan masker wajah, tidak ingin kulit wajahnya teelihat lelah besok.
Tok... tok... tok...
"Prilly, aku boleh masuk?" suara kakaknya dari balik pintu.
Prilly hanya diam di sofa dengan malas, hanya ujung matanya melirik kepada kakaknya yang tetap masuk ke kamarnya.
"Hei, besok adalah pernikahanmu, kenapa kau murung begini? Seolah-olah dunia akan kiamat," sungut Anthony, sambil menghempaskan tubuhnya di samping adiknya.
"Kak...." Tenggorokan Prilly terasa tersekat saat dia menatap mata hazel Anthony kakaknya.
"Kak, aku...." Prilly berkata ragu-ragu. "Aku tidak mencintai Alex." Sekuat tenaga Prilly melanjutkan kata-katanya.
"Aku tahu," kata Anthony sambil membelai kepala Prilly. Dia merasa bersalah tidak bisa menolong adiknya. Dalam hati kecilnya, dia tidak bisa memaafkan diri sendiri.
"Tapi seperti yang kau tahu, Alex, dia tidak akan melepaskan dengan mudah apapun yang diinginkannya," lanjutnya dengan sabar. "Bahkan, meskipun seribu kali kau menolaknya, dia akan tetap datang padamu dengam berbagai macam cara." Anthony meyakinkan Prilly. "Dia pasti akan menjagamu, dia telah bersamamu sejak kau baru lahir." Anthony menjelaskan panjang lebar.
"Aku tidak mencintainya." Prilly menegaskan sekali lagi.
"Cinta akan datang kemudian. Kau pasti bisa belajar mencintainya." Anthony mengusap puncak kepala adiknya. "Apa kau sudah memiliki pacar?" tanyanya kemudian.
Prilly terdiam, apakah Prilly harus mengatakan sesuatu yang menjadi rahasia dalam dirinya selama ini? Rahasia yang telah ia pendam seumur hidupnya. Hanya dirinya dan Tuhan saja yang mengetahuinya.
Prilly hanya diam di pelukan kakaknya, ia tak mampu mengucapkan apapun. Suasana ini sama seperti dulu, Prilly kecil akan menangis di pelukan kakaknya ketika suasana hatinya buruk, pelukan kakaknya adalah tempat berlindung terbaiknya.
Anthony jelas tahu adiknya tidak nyaman dengan semua ini. Alexander pasti memaksakan kehendaknya lagi, tetapi besok adalah hari pernikahan. Sudah terlambat untuk membatalkannya. Seandainya Prilly mengatakan ini lebih awal, mungkin Anthony bisa membantu.
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar kalian.
Salam manis dari Cherry yang manis.
🍒
Pernikahan Prilly dan Alexander digelar dengan mewah dan megah bak pernikahan seorang putri kerajaan, Federick dengan gagah mengantarkan putri kecilnya ke altar pernikahan.Di depan pendeta, Alexander tampak begitu tampan menunggu mempelai wanitanya datang dengan bibir menyunggingkan senyumnya. Senyum yang sangat jarang ia tampilkan.
Prilly juga terlihat sangat cantik, hingga Alexander tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Prilly.
Sejak Prilly lahir, ia sangat bahagia, Alexander bahkan menginginkan Prilly dibawa ke rumahnya. Ia tampak lebih menyayangi Prilly dibandingkan dengan Anthony. Alexander akan dengan suka rela menggantikan apa pun tugas Anthony, asal bisa bersama Prilly. Pria itu berperan kayaknya seorang kakak yang baik, seluruh keluarga tidak menyangka jika mereka berakhir menjadi pasangan pengantin.
Setelan pengambilan sumpah pernikahan, mereka melanjutkan dengan resepsi. Alexander mengatur semuanya dengan cepat dalam waktu satu minggu. Hampir semua teman dan rekan kerja Anthony dan Alexandra datang. Sedang teman-teman di kampus, hanya beberapa yang Prilly undang karena hanya mengenal beberapa dari mereka.
Sepanjang acara resepsi, baik Prilly maupun Alexander tenggelam dalam diam, mereka tidak saling bicara. Alexander terus menggenggam tangan Prilly, yang sekuat tenaga terus berusaha tersenyum. Ia tidak mau foto-foto pernikahannya nanti terlihat tidak sempurna dan Prilly tidak mau masuk ke dalam berita di majalah dengan tampang tegangnya, yang mungkin akan menjadi headline berita dengan judul Istri Miliarder Muda Alexander Johanson Tampak Tidak Bahagia di Pesta Pernikahannya. Itu akan jadi sebuah judul yang sangat mengerikan.
Akhirnya berakhir juga acara resepsi yang panjang dan sangat melelahkan bagi Prilly. Ia ingin sekali merebahkan tubuhnya, kepalanya berdenyut-denyut akibat beberapa gelas anggur yang diminumnya tadi.
Dalam perjalanan kembali, Prilly memilih untuk memejamkan matanya hingga tertidur. Ia bahkan tidak peduli Alexander, yang kini berstatus sebagai suaminya, akan membawanya ke mana. Ia hanya peduli dengan rasa kantuknya yang tidak bisa diajak untuk berkompromi.
Secara tiba-tiba, kesadaran Prilly kembali dan menyadari bahwa ia merasakan tubuhnya melayang. Ternyata ia sudah ada dalam pelukan Alexander, yang membopongnya ala bridal style memasuki sebuah mansion yang tampak asing di mata Prilly.
Beberapa pelayan membukakan pintu untuk sepasang pengantin baru itu. Alexander membawa pengantinnya melangkah memasuki mansion tersebut.
"Kak Alex, di mana ini?" tanya Prilly bingung.
"Panggil aku Alex!" titah Alex.
"Di mana kita? A-alex?" Prilly terbata-bata. "Ini sulit," gumannya lagi.
Kemudian Alexander membungkamnya dengan ciuman lembut sambil mulai menaiki anak tangga di mansion itu.
Prilly bingung, dia tidak punya pengalaman sama sekali. Selain ciuman pertama ketika Alexander melamarnya dan pagi tadi di depan pendeta setelah melakukan sumpah pernikahan, dia tidak tahu cara membalas ciuman Alexander yang kini telah resmi menjadi suaminya.
Alex tersenyum tipis, melihat reaksi Prilly yang gugup dan masih tampak bingung.
"Selamat datang di rumah kita, Prilly Johanson," Alexander tersenyum. "Rumah ini adalah hadiahku untuk pernikahan kita, ini atas namamu," bisik Alexander di dekat telinganya.
"Ooh...." Hanya itu yang bisa Prilly ucapkan.
Sesampainya di kamar pengantin, Alexander menurunkan istrinya yang mulai meronta-ronta turun dari gendongannya. Tidak mempedulikan lagi keberadaan Alexander di sana, dia melepas gaun pengantinnya yang berat kemudian pergi mandi. Memakai piyama yang telah tersedia di walk in closet, bahkan ia tak peduli jika Alexanderlah yang menyiapkan semua itu. Prilly bergegas tidur, sama sekali tidak menganggap Alexander ada.
Alexander bergegas mandi, menyusul gadis yang sudah tertidur seperti anak kucing dan membawanya ke dalam pelukannya. Alexander tersenyum, kemudian mencium kening gadisnya itu. "Tidak apa-apa kau tidak bisa mencintaiku, asal kau di sampingku saja, aku pasti akan membahagiakanmu," bisiknya. Ternyata Prilly mendengar bisikan itu karena dia tidak tidur tapi hanya berpura-pura tidur dan merasakan hatinya menjadi pahit.
Prilly segera tersadar dari masa lalunya dan ia merasa sangat kesal.
Alex, kamu pembohong!
Suasana hatinya memburuk, ia lebih baik pergi ke restoran untuk makan dan wanita itu juga teringat jika besok, Maria –pelayan setianya yang merawatnya dari kecil akan tinggal bersamanya. Apartemen itu hadiah perceraiannya dengan Alexander. Satu unit apartemen mewah, beberapa unit mobil mewah edisi terbaru, deposit yang tidak akan habis bila dipakai untuk seumur hidupnya, berbagai aset lain atas namanya dan William, putra mereka. Bukan karena hak asuh anak mereka ada pada Prilly tapi Alexander selalu berkata kalau dia sangat mencintai Prilly dan semua yang di kerjakan dalam bisnis semata-mata hanya untuk Prilly.
Omong kosong.
Prilly tersenyum kecut, semua yang didapatkannya seolah dia menjual keperawanannya pada Alexander, melahirkan anaknya, kemudian bercerai. Sebenarnya orang tuanya pun mampu memberikan semua ini.
Sial! Dia pikir aku alat untuk bereproduksi saja.
Prilly segera pergi menuju pusat perbelanjaan tak jauh dari apartemennya. Pertama-tama, dia harus makan. Prilly memilih restoran Jepang, sudah terbayangkan rasa ramen yang begitu lezat hingga saat pesannya datang ia mampu menghabiskan dua mangkok ramen tanpa memperhatikan sekitarnya. Ia terus saja fokus pada sumpitnya.
Tidak jauh dari tempat duduknya, ada seorang pria bermata biru menatapnya dan seulas senyum tipis terbit di bibir tipisnya yang rupawan. Memiliki wajah yang sangat tampan seperti di pahat Tuhan dengan kualitas premium. Tubuhnya tinggi, atletis dengan rambut coklat dan otot yang kekar, benar-benar sempurna.
Setelah puas menyantap ramennya, Prilly segera pergi ke pusat perbelanjaan. Dia sangat bosan selama sebulan tinggal sendiri. Setiap hari harus makan di restoran ataupun membeli junk food. Prilly ingin makan masakan rumahan, tetapi dia tidak tau cara memasak. Oleh sebab itu, dia meminta ibunya untuk mengirimkan Maria –salah satu asisten rumah tangga yang sudah hampir dua puluh tahun tinggal membantu pekerjaan di mansion keluarga Smith– untuk tinggal di apartemennya. Untuk mengurus keperluan dan kehidupan sehari-hari Prilly lebih tepatnya.
Prilly mengambil troli dan mendorongnya. Hey, tunggu! Apa yang harus ku beli?
Ia berhenti di depan rak bahan bahan masakan. Dia tidak tahu apa yang harus disiapkan. Kalau begitu, aku akan beli semuanya batinnya lagi. Dan dia memutuskan untuk mengambil semua yang ada di rak itu, satu bungkus setiap item dan dia tidak menyadari sekarang kereta belanjanya sudah penuh. Dia tersenyum dan dengan bangga mendorongnya ke meja kasir.
Maria pasti senang.
Pria dengan mata biru itu juga tersenyum, ia merasa lucu dengan wanita mungil ini. Dan seperti biasa ia membuntutinya seperti seorang penguntit, ya sejak sebulan yang lalu ia mulai mengikuti gerak-gerik seorang wanita yang tak lain tetangga di apartemen yang ia tempati.
Prilly merasa kebingungan membawa kantong belanja yang tidak sedikit, ia berniat memanggil salah satu sopir keluarganya untuk datang ke pusat perbelanjaan, namun niatnya terhenti karena seorang pria menghampirinya dan menawarkan bantuannya.
"Nona, apa kau perlu bantuan?" tepat sekali pria itu mendapatkan kesempatannya.
Prilly menatap pria tinggi yang berdiri di depannya itu. Tampan sekali, batinnya. Lebih tampan dari Anthony dan aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Dan matanya biru. Aku menginginkannya.
Tanpa pikir panjang, Prilly mengangguk. Karena menimbang hal ini lebih efisien dibanding menunggu kedatangan sopir keluarganya. Mendadak jantungnya berdebar kencang, debarannya memenuhi rongga telinganya. Ada getar-getar aneh yang tiba-tiba menyelimuti perasaannya.
"Baiklah, di mana mobilmu? Ini cukup berat, aku akan mengambil mobilmu dan kau tunggu di sini," kata pria itu. Melihat Prilly yang kebingungan, dia berkata lagi, "Oh baiklah, kalau kau takut aku akan mencuri mobilmu, pegang ini." pria itu menyerahkan dompetnya dan sebuah kunci mobil yang berlogo banteng.
Melihat pria tersebut mengulurkan dompet dan kunci mobilnya, Prilly menyerahkan kunci BMWnya dengan linglung dan menerima kunci mobil beserta dompet pria itu.
Lima menit kemudian, pria itu datang dan membuka bagasi mobil Prilly serta memindahkan barang-barang belanjaan Prilly.
"Terima kasih," ujar Prilly sambil menyerahkan barang-barang yang tadi dititipkan kepadanya oleh pria itu.
"Di mana kau tinggal? Apakah kau yakin bisa membawa semuanya ke dalam rumahmu nanti?" tanya pria itu dengan sopan.
"Apartemenku tidak jauh dari sini, Tuan. Terima kasih," ucap Prilly tak kalah sopannya.
"Kau akan kesulitan membawanya nanti, aku akan ikut denganmu," ujar pria itu. Dan tanpa menunggu jawaban Prilly, dia masuk mobil dan duduk di belakang kemudi
Sebenarnya, Prilly ingin menolak tawaran tersebut, namun entah mengapa ia tidak dapat mengungkapkan penolakannya. Bahkan hatinya menjadi semakin tidak menentu.
Pria itu menurunkan semua barang barang belanjaan Prilly dari mobil dan memindahkan ke dalam apartemennya dengan sabar. Ia bahkan menyusun semua barang-barang itu dengan dengan rapi.
"Jadi, kau tinggal sendiri di sini?" tanya pria tampan itu dengan santai.
Prilly hanya mengangguk pelan. Prilly merasa takut dan waspada. Ia tampak tegang membayangkan kemungkinan ia akan dibunuh bahkan di mutilasi oleh orang yang tidak dikenalnya. Dan akan masuk menghiasi koran dan berita pagi dengan judul Mantan Istri Miliarder Alexander Johanson Mati Terbunuh Dan Dimutilasi Di Apartemennya. Judul berita itu sungguh menakutkan baginya. Rasanya Prilly ingin sekali menangis.
"Oh iya, dari tadi hanya aku yang berbicara. Perkenalkanku Mike Bryan," kata pria itu sembari mengulurkan tangannya dan di sambut Prilly dengan ragu-ragu. Mike berkata lebih lanjut, "Kau tidak perlu memperkenalkan namamu. Karena aku sudah mengenalmu, Prilly Silviana Smith." tidak heran jika ada orang mengenalnya, dia adalah mantan istri miliarder Alexander Johanson.
"Kebetulan aku juga tinggal di sini. Jadi kita tinggal di lantai yang sama," lanjutnya kemudian sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Pria itu mengambil ponsel Prilly yang terletak di atas meja bar dan memberikan kode agar Prilly membuka kode akses ponselnya. Prilly dengan patuh melakukan hal yang diminta oleh pria itu kemudian menyerahkan ponselnya pada pria asing yang tampak familier di ingatannya. Pria itu mengotak atik ponsel milik Prilly kemudian menempelkan benda itu ke telinganya.
"Oke, aku sudah menyimpan nomer ponselku di sini. Kau bisa menghubungiku jika kau memerlukan bantuanku," kata Mike dan meletakkan ponsel Prilly di tempat semula. Setelah itu Mike berpamitan dan melangkahkan kakinya keluar dari apartemen Prilly.
Prilly hanya mengangguk pelan, ia masih terus berusaha mengingat-ingat wajah pria yang tampak tidak asing di matanya. Dan matanya yang biru membuat Prilly ingin sekali berlama-lama menatap manik matanya.
HALLO...
KALIAN MUNGKIN AGAK BINGUNG YA, KOK NOVELNYA SAMA KOMENTAR GAK SINKRON?
OKE AKU JAWAB. KARENA NOVEL INI DI REVISI DARI AWAL. DI BONGKAR ABIS. HEHEHE.
MOHON MAKLUM. TAPI ISINYA SAMA HANYA KEMARIN KAN TANDA BACA ANCUR. NAH INI DI PERBAIKI DAN DI ATUR JUMLAH KATA PER CHAPTER.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!