“Namanya Megaville. Mereka kelompok penjahat beranggotakan 10 orang dan mereka ini asalnya dari Carnater. Menurutmu… Carnater itu nyata atau nggak?” tanya Chloe meminta pendapat pada pria Jepang yang duduk di sampingnya.
Pria Jepang itu melirik ke arah Chloe yang sibuk buku temuannya itu. “Menurutku sih, bisa aja nyata.” Komennya.
“Benarkan? Wah! Lagi-lagi kita sependapat!” wajah Chloe berubah ceria.
Sebuah buku dengan tampilan luar yang lusuh dengan judulnya yang nyaris tak terbaca. Meski dirugikan oleh penampilannya, siapa sangka buku itu berhasil menarik perhatian kedua mahasiswa yang memiliki obsesi kuat terhadap dunia fantasi. Chloe dan Aoi.
Buku misterius itu tidak sengaja Chloe temukan di bawah kolong meja membacanya, ketika dirinya saat itu tengah menyempatkan diri ke perpustakaan, demi menyelesaikan tugas-tugasnya.. Miris sekali! Tidak ada satupun yang menyadari keberadaan buku tersebut.
Karena dia type gadis yang mudah sekali dilahap oleh rasa penasaran, buku itu dengan cepat membuat dirinya terpancing untuk menggali lebih dalam isi buku tersebut. Sampai dirinya lupa dengan tugas yang seharusnya ia selesaikan sebagai seorang mahasiswa.
“Aku salut sama penulisnya. Bisa menulis cerita sampai membuat pembaca larut.” Puji Chloe.
“Kayak di film yah! Kita ketemu buku yang sampulnya jelek banget. Begitu dibuka, kita auto dibuat terjun ke dunia fantasi.” Tambah Aoi.
“Dunia Carnater, Aura, perang Legend Aura melawan Megavile… Entah kenapa, aku merasa isi buku ini emang beneran nyata.” Chloe mengganti halaman bukunya.
“Aku juga. Harap-harap sih, emang asli nyata.” Aoi mendongakkan kepalanya ke langit sembari menikmati nyanyian para daun yang berterbangan.
Aoi senang, bersamaan dengan itu merasa bersyukur bisa melihat kembali sahabatnya tersenyum. Sejak kematian orang yang disayanginya, Chloe perlahan-lahan berubah. Dingin. Tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya. Namun, tatapan datar nan dingin itu lenyap akan kehadiran buku misterius itu.
“Aa! Aoi! Lihat ini! Aku suka banget part si Black Aura melawan Huke! Gila! Ini yang nulis bukan main nulisnya!” Ujar Chloe bersemangat. Jari telunjuknya menempel di permukaan kertas yang kusam.
“Black Aura ya? Kau suka dia?” goda Aoi.
“Eh? Nggak!” sangkal Chloe seperti anak-anak.
“Bercanda kok. Hmm, melihatmu yang bersemangat tadi, aku jadi penasaran sama isi bukunya. Seseru apa sih?”
Chloe tersenyum ceria sambil menggeser buku sejarah itu di hadapan Aoi. Chloe senang mengetahui ada seseorang yang tertarik membaca buku temuannya itu. Tidak masalah hanya satu orang saya yang penting, orang itu bisa merasakan betapa hebatnya fantasi di dunia Carnater. Satu hal lagi, mereka berdua bisa mengisi keseharian mereka dengan fantasi.
“Seru banget!” gadis itu mengacungi jempolnya. “Kalau nggak bercaya, Coba baca!”
Aoi terkekeh heran menanggapi semangat yang ditebarkan Chloe terhadap buku itu. Gadis itu memperlihatkan antuasiad
“Ada satu part lagi yang paling aku suka!”
Aoi menelengkan kepalanya heran sambil menunggu Chloe menemukan halaman yang dimaksudnya itu. Tak sampai satu jam sudah ketemu.
“Ini dia! Bagian si Legend Aura melawan Megavile! Pertarungannya terasa nyata kalau kau bacanya dengan penuh penghayatan!”
“Kau ini bisa aja! Kalau begitu, aku bacanya pas kamu udah siap aja ya!”
Chloe menggeleng cepat, menolak. “Nggak! Kau harus baca sekarang, Ao! Kalau kau nggak baca, nanti aku nggak punya teman.”
Aoi menghela nafas. “Pakai bahas teman segala. Fine. Aku baca sekarang.” Pria itu mengambil buku Chloe kemudian membaca isinya. Suasana mereka canggung seketika. Tapi, hal itu bukan masalah besar bagi Chloe.
Tidak ingin kesunyian mengambil alih suasana mereka, Chloe berpikir mencari topic demi mengisi kekosonga di antara mereka. Dengan tangan kanan di bawah dagu dan bola mata yang mengarah ke atas, gadis itu perlahan-lahan menemukan topic yang ingin dibicarkannya.
“Aoi. Kau tahu nggak?”
“Tahu apa?”
“Soal buku ini. Aku merasa buku yang kutemukan ini bukan buku biasa. Mungkinkah buku ini memang asalnya dari Carnater?”
“Bisa jadi sih… Habisnya, cerita di buku ini kelihatan kayak asli banget. Dilihat dari bentuk hurufnya, seperti ditulis manual. Hm, aku jadi berpikir kalau Carnater itu masih tergolong purba dan di sana belum ada yang namanya mesin ketik. Oh, benar juga! Chloe!” Seru Aoi, nyaris membuat Chloe tersedak ketika hendak meneguk segelas jus jeruknya.
“Kalau buku ini kita posting ke media social, kita bisa terkenal lho!” ujar Aoi dengan kedua matanya yang berbinar.
Chloe mengeryitkan keningnya. Tampak tak terima dengan pernyataan Aoi. “Kok gitu? Kenapa nggak disimpan aja? Capek tau berurusan dengan public. Selain itu juga, memposting sesuatu ke medsos itu belum tentu bisa membuat kita terkenal. Kau harus pikirkan juga pandangan orang terhadap kita, Ao.” Ceramhanya yang hanya ditanggapi dengan cengiran kuda dari Aoi.
Aoi terkekeh sambil menggaruk tengkuknya. “Benar juga sih… Oh, ya Chloe! Menurutmu, Carnater itu seperti apa sih? Kalau memungkinkan, aku ingin sekali ke sana. Aku ingin memotret apapun di sana sebagai kenangan.” Ungkap Aoi mebeberkan sedikit cita-citanya.
Chloe berpikir sejenak. Pergi ke Carnater ya? Memang terkesan mustahil, tapi… Bagi Chloe yang sangat menyukai hal-hal berbau fantasi, mimpi mustahil itu bisa saja terwujud jika ada ide gila tiba-tiba muncul di otak dan kalau Chloe mau merelakan sedikit ketidakwarasannya untuk menciptakan mesin aneh. Kalaupun berhasil, mesin itu akan Chloe gunakan untuk dirinya dan Aoi, setelah itu disimpan agar tidak disalah gunakan oleh orang yang salah. .
“Kalau yang kubaca dari buku, dunia itu sepi, sunyi, dan menyeramkan. Intinya beda jauh sama dunia kita. Contohnya, penduduk dan lingkungannya. Katanya, spesies seperti werewolf, demon, anthro, ataupun hybrid pernah tinggal di Carnater. Tapi tak lama kemudian, mereka punah sejak kehadiran Aura yang dengan gampangnya menguasai Carnater. Nggak nyangka ya, Aura bakal bawa perubahan yang besar. Bahkan sampai sesadis ini coba.” Jelas Chloe diakhiri dengan helaan nafas singkatnya.
“Coba bayangin, kita pergi ke Carnater tau-tau dibantai sama Aura. Seram nggak sih?” tanya Chloe mulai memancing emosi Aoi.
“Ya, seramlah!”
“Iya sih. Nggak tahu kenapa ya, aku tuh malah tertarik sama Aura-nya. Mereka ini spesies yang istimewa. Punya sejarah yang panjang dan rumit. Asal-usul mereka masih belum diketahui. Dan, yang lebih banyak dijelasin adalah Aura itu terdiri dari dua jenis. Yang pertama adalah Darkness Aura atau yang saat ini disebut sebagai Mega Vile. Yang kedua Legend Aura.
"Mereka musuhan. Tapi, setelah kubaca… Alasan kenapa Megavile melawan Legend Aura itu masuk akal. Makanya, aku lebih dukung Megavile ketimbang Legend Aura.”
Senyuman Chloe mekar seperti bunga. Gadis itu sungguh-sungguh membaca kisah Aura itu. Aoi jadi kagum melihat kegigihannya.
"Ao, buku ini menarik ya! Setiap kali kubaca, aku merasa Aura-aura ini ada.” Ungkap Chloe lirih. Di saat bersamaan, angin kencang berhembus, membuat beberapa helai rambut Chloe menari sambil berkolaborasi dengan dedaunan kering yang berterbangan di udara.
“Aku setuju. Kalau sampai bertemu dengan mereka, kira-kira, bisa tidak kita jadi teman mereka?”
“Pasti bisa!” ucap Chloe yakin. “Ngomong-ngomong, gimana kabar Jacqueline yah? Aku jadi kangen sama dia.”
Aoi yang kepalanya tergeletak di atas meja langsung terangkat. “Jacqueline ya? Udah lama nggak ketemu dia. Jadi kangen.” Respon Aoi diakhiri dengan senyum tipisnya.
“Kuharap dia baik-baik saja di sana." Ujar Chloe menundukkan kepalanya, menahan sedih dan beratnya rasa rindu itu.
“Wah, wah... Buku apaan tuh?”
Chloe dan Aoi tersentak bersamaan, lalu menoleh ke sumber suara. Rupanya, Julie dan kedua sahabatnya yang gemar sekali mengganggu Chloe. Tanpa disadari, muncul begitu saja.
Sebagai seorang pengganggu, Julie memperlihatkan senyum merendahkannya pada Chloe. Sementara Chloe, dia hanya memasang muka datarnya.
"Abis teriakin apa?” Julie bertanya sambil berjalan mendekat. “Itu buku apa sampah?”
Chloe masih diam. Sedangkan Aoi yang ingin sekali membentak Julie, ditahan oleh genggaman tangan Chloe. Gadis itu memilih diam selagi kesabarannya masih ada.
“Kacang. Nggak papa sih. Wibu itu rata-rata kek gitu orangnya. Diam, sok-sokan duduk di ujung, ansos. Suram banget deh pokoknya.”
Chloe masih diam di tampat. Sambil menunggu ejekan apalagi yang akan dilontarkan Julie padanya.
“Suram-suram gitu, seenggaknya pernah juara. Juara satu mencintai yang nggak nyata tingkat nasional. Benar nggak?”.
“Hahaha! Benar banget!”
Ketiga gadis itu tertawa. Bersamaan dengan itu, Aoi yang sudah terbakar emosi meminta Chloe untuk pindah. Chloe tidak merespon tapi menuruti permintaan Aoi. Ketika bangkit dari kursinya, Julie langsung menahan Chloe dengan menarik lengan kanannya.
“Mau kemana?”
Chloe masih tidak merespon, sampai akhirnya, memancing kesabaran Julie yang tidak tahan diabaikan terus-menerus.
“Kau bisu ya?!” bentaknya. “Punya mulut apa nggak sih?! Itu pita suara masih fungsi apa nggak?!”
“KALIAN INI APA-APAAN SIH?! Memangnya Chloe salah apa sama kalian?!” bentak Aoi padahal aslinya ketakutan banget.
“Heh sipit! Nggak usah ikut campur kalau nggak mau mati!” balas Julie tak kalah galak.
“Mati katamu?” Akhirnya Chloe buka mulut. Kesabarannya hangus terbakar emosi.
Chloe menghampiri Julie dan menarik kerah bajunya. “Kalau kau mau bunuh dia PLUS ngejek kesukaanku…”
“Wait? Kau membela kesukaanmu yang jelas-jelas nggak nyata itu? Cih! Anak kecil banget sih!” dan tanpa berdosa, Julie memotong omongan Chloe.
"Nggak nyata?! Mereka itu nyata asal kalian tahu itu!” gertak Chloe spontan, menutup mulutnya. Merasa bodoh akan perkataannya barusan.
Dalam sekejap mata, suasana di sekitar mereka berubah menjadi sehening hutan. Aoi mematung di tempat, tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan sahabatnya itu.
"Nyata? Pfft! Oke! Kalau begitu, mana buktinya?" tantang Julie.
Di saat Chloe kehilangan seribu alasan untuk menjawab, Aoi akhirnya turun tangan membela sahabatnya “Aku tahu itu aneh! Tapi, Kalau gak percaya, lebih baik pergi aja jauh-jauh. Setiap orang memiliki pendapat mereka masing-masing!” Aoi menggenggam erat tangan Chloe, hendak membawa gadis itu ke tempat lain.
Akan tetapi, usahanya terhenti ketika seorang dosen berkacamata bulat secara tidak sengaja melintas di belakang mereka.
"Wah... Ada ribut-ribut apa ini?"tanyanya penasaran.
Semuanya terdiam canggung. Berbeda dengan Chloe yang berusaha bersikap tenang, Julie langsung diserangan rasa panik. Tanpa pikir panjang, izin pergi dengan alasan ada tugas.
“Tugas ya? Silahkan kalau emang benar ada tugas.” Balas dosen itu tersenyum manis setelah itu gentian melirik kea rah Chloe dan Aoi yang masih berdiri canggung di depannya. “Kalian?"
Mereka berdua tersentak, “Baca buku, miss.”
“Buku apa?”
"Kami nggak tahu judul bukunya apa. Judulnya pudar soalnya.” Jawab Chloe tanpa memandang wajah dosen tersebut.
"Boleh kulihat?"pintanya.
Chloe dan Aoi saling bertatapan ragu. Dalam hati, mereka berkomat-kamit memohon agar buku tersebut tidak disita. Selesai berdoa, mereka akhirnya meminjamkan buku itu pada dosen berkacamata bulat itu.
"Fantasi ya... Kalian suka fantasi?"
"Suka.”
"Kalian beli?”
"Ketemu di bawah kolong meja, miss.”
"Eh?” Dosen itu mendengus geli sebelum akhirnya melanjutkan omongannya yang sempat tertunda. “Jujur aja, miss suka hal-hal yang berbau fantasi. Fantasi itu… Meskipun nggak nyata tapi sanggup membawa kita ke dunia yang tak pernah kita lihat di dunia nyata.” Ungkapnya. Dibalik kacamatanya, bola mata sebiru malam itu bergerak-gerak seakan sedang membayangkan sesuatu.
"Buku ini, mengingatkanku pada adikku. Dia gadis yang pendiam dan anehnya, dia nggak punya keinginan untuk berbaur dengan semua orang. Kecuali diriku.” Lanjutnya.
“Eh? Kalau boleh tahu, berapa usia adik anda, Miss?” sambar Aoi terlihat antusias. Chloe sampai kaget dibuatnya.
"Seumuran dengan kalian. Sayangnya, dia sudah lama meninggal. Sejak kepergiannya, miss jadi mengharapkan yang namanya reinkarnasi. Miss percaya kalau reinkarnasi itu ada di dunia ini. Siapa tahu kan kalau jiwa adik miss ada di suatu tempat." Dosen itu menertawakan dirinya. Tawanya terdengar seperti orang yang menahan sedihnya
"Kalian percaya yang namanya reinkarnasi dan dunia paralel?"
Mendengar pertanyaan itu, tentu saja membuat Chloe otomatis menganggukkan kepalanya mantap. Sebagai seorang gadis yang sungguh berat obsesinya terhadap dunia fantasi.
"Yep! Percaya! Reinkarnasi dan dunia paralel itu memang ada. Hanya saja, keberadaannya belum bisa diungkapkan dengan jelas. Tapi, saya seratus persen yakin bahwa mereka itu ada!" Chloe menjawab pertanyaan dosennya tanpa hambatan. Intonasinya stabil serta artikulasinya jelas.
"Astaga, Chloe...! Kau gak malu ya?" Aoi menyenggol lengan Chloe dengan siku kanannya.
"Santai saja… Jangan terlalu dibawa kaku. Anggap aja kita seumuran." Ujar dosen itu mengejutkan kedua remaja di hadapannya.
"Kayaknya, kalian ini seru kalau diajak berbicara. Sayangnya, aku ada pekerjaan lain setelah ini. Lain kali kalau ada waktu, kita ketemuan ya!”
“Siap miss!”
“Oh, ya! Kamu yang rambut pirang!" tunjuk dosen itu, menghampiri Chloe.
“Ya, miss?”
"Kalau kau menemukan kejadian-kejadian aneh di luar nalar manusia, itulah yang disebut fantasi. Aku yakin sekali kalau mereka yang ada di buku ini memang nyata." Bisiknya. Buku itu dikembalikannya lagi pada Chloe.
Chloe menelengkan kepalanya. "Maksud miss?"
"Yah, lihat aja nanti. Suatu saat, kau pasti menemukannya. Aku yakin, kalian bakalan bisa berteman dengan Aura-aura seperti mereka.”
~
"Sebenarnya aku merasa aneh sama dosen itu," tutur Chloe di tengah jalan, menyebrangi zebra cross bersama Aoi yang masih setia menemaninya meski pandangannya mengarah ke layar ponsel.
"Aneh? Aku sih bawa santai aja. Dosen-dosen di kampus kita kan pada hafal kalau kau itu type orang yang irit bicara. Makanya, pas kebetulan lihat kau baca buku itu, dosen itu langsung ngampirin dong,” balas Aoi sesekali melirik ke depan, jaga-jaga kalau ada motor atau mobil lewat.
Chloe menghentikan langkahnya. "Apa jangan-jangan... Adik dosen itu meninggal karena dibunuh makhluk fantasi. Seperti adiknya punya ikatan special dengan fantasi kemudian diincar sama makhluk fantasi. Terus, dibunuh.” analisis Chloe ngawur.
Aoi yang awalnya berjalan, jadi ikut berhenti usai mendengar omongan Chloe yang jelas-jelas… Nggak masuk akal-lah!
"Astaga… Ya, nggak gitu juga say! Ini dunia nyata, iya kali ada alien atau makhluk fantasi nyelip ke kota kita terus bunuh adiknya. Dunia auto geger dong!” sangkal Aoi, tak habis pikir.
“Bisa jadi karena buku ini.”
Dan Chloe tidak mendengarkan Aoi. Gadis itu secara tidak sadar bersikeras dengan omongannya sambil mengeluarkan buku temuannya dari ranselnya. Dia bahkan tidak memperhatikan kalau di sekelilingnya adalah jalan raya dimana para pejalan kaki berjalan berirama dengan putaran roda mobil dan motor.
Aoi tidak merespon selain meng-iyakan perkataan sahabatnya.
"Aoi kacang!" seru Chloe kembali memasukkan buku tersebut ke dalam ransel dengan wajah cemberutnya. Dia tidak suka diabaikan.
“Udah bosan ya, main sama aku?” tanya Chloe kesal.
Aoi terkekeh, “Nggak. Cuma bingung aja mau respon apa. Abisnya, kau ini kalau ngomong suka nggak masuk akal sih! Udah tahu, aku laki-laki.”
Chloe masih cemberut. Membuat Aoi menghembus nafas berat dan menyerah. Pria jepang itu kemudian mengubah topic pembicaraan mereka menjadi makanan. Mengingat sebentar lagi, alarm jam makan siang Aoi akan berbunyi.
“Kau lapar enggak?”
“Lumayan… Makanan kita belum habis tadi. Gimana kalau ke rumahku saja? Kebetulan udah mau dekat nih! Sekalian istirahat, Ao." tawar Chloe.
“Beneran? Nggak ngerepotin?” tanya Aoi kaget. Di sisi lain juga bingung dengan cara Chloe men-setting ulang mood-nya menjadi biasa saja.
Chloe mengangguk. "Iya. Tapi, agak cepat jalannya! Di luar panas.”
~
Aoi menggantungkan jaketnya di gantungan pintu kamar Chloe. Saat ini posisi mereka sedang berada di dalam kamar tidur Chloe.
Chloe sama sekali tidak mempermasalahkan keberadaan Aoi di dalam kamarnya. Karena mereka adalah sahabat ditambah lagi dengan sopan santun Aoi yang membuat Chloe percaya kala Aoi nggak akan melakukan tindakan yang aneh-aneh. Sampai kapan pun, pintu rumahnya akan selalu terbuka untuk pria jepang itu.
"Minumlah..." Chloe menghampiri Aoi yang tengah memencet tombol remote AC. Udara diluar lumayan panas. Karena itulah, Chloe membuatkan 2 gelas es teh kesukaan mereka. Tidak lupa dengan sepiring kentang goreng. Hidangan wajib bagi Chloe.
"Arigatou, Chloe-chan! Wah, kentang goreng! Nggak ada makanan lain?” tanya Aoi dengan ekspresi kecewa. Santai saja, pria itu Cuma bercanda.
Chloe mendengus kesal "Kalau
nggak mau, untukku aja!” katanya, otomatis mengambil piring tersebut dan
melahap kentang itu seorang diri. Bodoh amat dengan tawa renyah Aoi. Yang penting
kenikmatan.
Puas memakan kentang, Chloe beralih ke aktivitas lain. Mengingat dirinya membawa nampan berisikan makanan dan minuman, tidak mungkin ia letakkan benda tersebut di atas kasurnya. Karena itu Chloe segera mengambil meja kecil yang terletak di bawah meja riasnya. Kemudian meletakkan nampan tersebut di atasnya.
"Hei, Aoi,” panggilnya datar.
“Ya?”
“Aku ini… Kayak anak-anak ya?”
“Menurutku sih… Iya,” balas Aoi sembari menggeser tubuhnya hingga berdekatan dengan Chloe. “Kenapa nanya soal itu?”
“Nggak ada sih. Cuma… Kau lihat sendirikan? Aku ini udah gede. Tapi, tingkahku suka kayak anak kecil gitu. Apalagi pas nemu sesuatu yang kusuka. Kayak fantasi. Dan… Rata-rata, orang menganggapku aneh,” ungkap Chloe, menundukkan kepalanya.
Aoi tersenyum. Lalu, membiarkan gadis di sampingnya mengutarakan isi hatinya.
"Sejak SD, semua orang nganggap aku aneh. Mungkin, karena aku terlalu sibuk dengan duniaku dan yah… Kau suka tertawa sendiri di bangku belakang.” Dia terkekeh. Menertawakan dirinya yang terlihat suram di masa lalu. “Selain itu, aku heran. Kenapa aku nggak bisa gitu suka sama yang lagi nge-tren? Jacqueline bisa. Kenapa aku nggak bisa?”
"Kenapa? Karena sejak awal, itu memang yang membuatmu bahagia.” ucap Aoi spontan tapi untunglah bisa menghibur Chloe.
Kedua remaja itu saling bertatapan untuk beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa lepas tanpa alasan. Tawa tersebut Chloe akhiri dengan tersenyum.
“Kau selalu saja punya cara naikin semangatku ya!” Ucap Chloe.
"Entahlah… Aku sendiri nggak tahu kalau aku bisa menghiburmu. Tapi syukurlah, kau terhibur.” Balas Aoi.
Lagi-lagi, mereka terjebak dalam keheningan yang canggung sebelum akhirnya, Aoi angkat bicara.
“Oh, ya Chloe! Sejak kau ketemu buku itu, ada gak kepikiran pengen ketemu mereka di dunia nyata?"
"Ya, pastilah! Siapa sih yang nggak senang bisa bertemu dengan karakter yang disukainya?" balas Chloe antusias.
"Ooh, aku ngerti sekarang. Kau pasti ingin bertemu dengan Black Aura kan? Jangan bohong, lu!” goda Aoi yang langsung dibantah habis-habisan oleh Chloe.
"Mana ada! Aku gak punya niat mau ketemu dia kok! Dia kan cuma fiksi. Kalaupun ada di dunia nyata sih… Paling ajak kenalan terus jadi teman. Lagi pun, berteman itu bebas kan? Nggak mesti sama manusia aja kan?” Chloe berusaha mengelak dengan mengandalkan opini soal kebebasan dalam berteman.
"Nggak usah bohong! Kau teriak-teriak selama ini karena negokin dia kan? Kau pasti lagi cuci mata nengok si Aura itu.” Dan Aoi akan terus membantah selagi yang diucapkannya itu memang benar.
Pria itu tahu betul apapun yang sahabatnya sukai. Termasuk karakter fiksi yang belakangan ini Chloe perhatikan tanpa membertiahunya.
“Semoga, kalian berdua bisa saling ketemu yah! Menurutku sih, kau bakal beruntung banget bertemu denganya. Meskipun sifatnya rada dingin sih," tambah Aoi, setelah itu meneguk habis es tehnya.
Chloe hanya mengamati gerak-gerik sahabatnya yang kini memilih untuk diam.
Chloe terkekeh pelan. Dia geleng-geleng menanggapi perkataan Aoi "Seyakin itu?”
"Yup! Kita kan sama-sama suka fantasi. Harus saling dukung dong!”
“Iya, aku juga tahu itu.”
“Selain itu juga, aku percaya kalau alam semesta ini punya banyak dimensi. Salah satunya Carnater ini. Aku yakin, dunia itu memang ada.”
Chloe terdiam menanggapi pembicaraan Aoi yang santai. Terkadang, Chloe iri dengan Aoi yang tidak pernah malu dengan kesukaannya. Dia orang yang percaya diri. Sampai-sampai membuat Chloe suka salting sendiri dengannya.
Aoi type yang sangat yakin akan pemikirannya. Percaya atau tidak, Chloe diam-diam mengakuinya.
"Pristine Fantasy. Keren nggak sih, buat novel fantasi tapi berdasarkan kisah nyata?”
"Pristine Fantasy bagus juga sih buat novel. Sebenarnya, aku ada niat mau buat novel. Cuma, aku agak malas mau buat karena..." Chloe menggantungkan ucapannya.
Aoi yang mendengarnya sebenarnya, sudah tahu apa yang ada di dalam hati gadis itu.
"Novelmu yang kemarin ditolak lagi?" tebak Aoi dan ternyata benar.
"Ya. Sudah tiga novel ditolak. Aku lelah. Padahal udah berimajinasi seliar mungkin tapi tetap aja ditolak.”
Chloe mengambil sebatang kentang goreng lalu melahapnya. Perlahan-lahan, rasa frustasi itu memudar seiring batang kentang yang semakin hancur di dalam mulutnya.
"Memang nggak mudah sih. Tapi
seenggaknya, kita udah berusaha kan?”
“Chloe juga jangan mudah menyerah gitu. Yakin aja deh! Suatu saat, novelmu bisa lulus dan kau bisa sukses. Kalau butuh apa-apa, panggil saja Aoi!” jelas Aoi akhirnya bangkit dari duduknya.
"Kau mau pulang? Cepat kali!" Chloe terlihat kecewa.
"Iya. Aku baru ingat kalau sore ini aku harus ke bandara jemput bibi Sato."
"Bibi Sato?"
Aoi terkekeh, "Dia adik ibuku. Dia mau datang ke Amerika mendadak sekali sih! Hahhh… Dia orang yang merepotkan! Selain itu, kau nggak papa ditinggal sendiri?”
"Nggak papa… Aku kan udah gede. Bisa itu sambil baca atau buat novel.” balas Chloe berusaha memperlihatkan sisi santainya meskipun dalam hatinya dia kecewa. Ketakutan akan ditinggal, itulah yang sering mengusik pikiran Chloe belakangan ini.
Mau disembunyikan seperti apapun kesedihan itu, Aoi bisa merasakan lewat hatinya kalau gadis di hadapannya sedih mengetahui waktu bermain mereka sudah habis dan harus diakhiri dengan perpisahan (hanya untuk hari ini).
"Hubungi aku kalau ada apa-apa, oke?"
Chloe mengangguk pelan. "Iya. Hati-hati ya, di jalan! Jangan ngantuk!”
"Siap!" Aoi berbalik dengan Chloe yang menuntunnya sampai ke pintu depan rumahnya.
"Jumpa besok lagi!" Seru Chloe, tersenyum hangat dengan lambaian tangan kecilnya pada Aoi.
Aoi merespon lambaian tersebut dengan lambaian tangannya. "Jumpa besok lagi!"
~
Malam ini, awan cumulus hitam pertanda hujan memenuhi langit. Menutupi keindahan para bintang serta sinar rembulan sebagai ganti cahaya matahari. Tak lama kemudian, meneteskan satu persatu air mata mereka. Seperti mereka berusaha mengungkapkan beban dan rasa sakit mereka.
Chloe memandang bingkai foto dirinya bersama abangnya.
"Nggak terasa ya, udah dua bulan aja. Kalau ada dia... Pasti buku ini udah habis dia baca." Gumamnya. Pandanganya terpaku lurus pada sosok laki-laki tampan yang merangkulnya disertai senyuman lebar.
Chloe menghela nafas berat. Bingkai foto itu dia letakkan kembali ke meja dan beralih ke meja belajarnya. Mengambil buku temuannya kemudian berpikir.
"Pengen tulis novel lagi, tapi kehabisan ide.”
Karena bosan dan bingung ingin berbuat apa, akhirnya Chloe membantingkan dirinya di atas ranjang tidur sambil memandang langit-langit kamarnya yang berwarna pink.
Hal pertama yang terlintas di kepalanya mengenai buku tersebut adalah, Black Aura.
"Black Aura. Salah satu anggota Megawavile yang kemampuanna berhubungan dengan rasa sakit. Dia dingin dan lebih sering menghabiskan waktunya dengan bertarung melawan Legend Aura. Dia… Mengerti rasa sakit yang manusia rasakan.”
Chloe diam untuk sesaat. Ia sadar bahwa dirinya tanpa sadar menyebutkan sedikit informasi mengenai Black Aura.
Chloe melirik kea rah buku temuannya yang tergeletak di atas meja. Dengan susah payah, dia berusaha meraih buku tersebut kemudian membaca bagian Black Aura. Kalau boleh jujur, dari semua chapter yang ia baca, chapter Black Aura-lah yang menarik perhatiannya.
“Aura itu… Dia menanggung kesedihan yang beragam. Namun, dari kesedihan itulah dia mendapatkan kekuatan yang besar. Kekuatan untuk mengalahkan musuhnya yang tidak mengerti rasa sakit. Menarik..."Batin Chloe.
"Semoga aja, yang Aoi bilang itu bakal jadi kenyataan. Berteman dengan Black Aura ya? Pasti seru. Ditambah
lagi, aku bisa mendapatkan pengalaman fantasi bersamanya. Setelah itu, nulis novel lagi."
"Membuat novel fantasi, ya?" Chloe kembali bergumam membayangkan sesuatu yang sudah jelas tak akan pernah terjadi di dunia nyata.
"Kalau saja dunia ini menerima keberadaan imajinasi dan menjadikannya nyata pasti seru. Dan lagi, aku bisa berteman dengan Black Aura. Terus, bertarung dan… Kalau jadi pacar…” Chloe menggantung omongannya. Secara tidak sengaja terjebak dalam imajinasi romantis yang membuat kedua pipinya memerah merona.
“Cukup! Apa-apaan sih?!”
“Rasa sakit ya? Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya rasa sakit. Aku pernah. Bahkan, Cuma cerita aja, aku bisa merasakan sakit. Merasakan sakit dari cerita yang orang ceritakan… Itu seperti aku menerima semua suka duka mereka."
Sekali lagi sunyi. Ketika mengucapkan serangkaian kata tentang rasa sakit, di saat bersamaan terlintaslah memori-memori SMP-nya.
"Mereka bahkan nggak pernah mendengar ceritaku. Selalu saja aku yang mendengar cerita mereka. Sebenarnya sih, nggak papa aku jadi pendengar. Tapi, mereka pelit.” Ujarnya.
Entah dari mana asalnya, sesuatu tertancap di benaknya dan memerintahkannya untuk segera menemukan pena. Chloe diperintahkan oleh rasa sakit dari masa lalu untuk menulis apapun yang terbesit di kepalanya tanpa membiarkan rasa sakit itu menghilang dengan sia-sia.
"Mengabaikan diriku yang tersakiti. Memendam semua kekesalan dan rasa sakit di hati. Bahkan rasa sakit mereka... Aku juga bisa merasakannya. Kecemasan yang mereka alami. Amarah yang mereka alami. Air mata mereka... Aku merasakan semuanya. Aku tersiksa karena itu. Tapi, mereka terlihat biasa saja saat melihatku menangis, marah.”
Tangan kanannya bergerak mengikuti apa yang diucapkan hatinya. Saat ini, Chloe tergila-gila akan pemikirannya tentang rasa sakit. Rasa sakit yang ia dapatkan karena diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh teman-temannya.
Tidak mudah menjalin ikatan dengan 5 orang gadis. Nyatanya, tidak ada satupun dari mereka yang mau menjadi pundaknya untuk bersandar. Rata-rata dari mereka menyebar luas kesenangan mereka dan mempersempit kesempatan Chloe yang ingin berbagi kesenangannya.
"Menurutku sih, kau akan sangat beruntung bertemu dengannya"
Chloe tertegun. Bolpoinnya terjatuh dari atas meja dan menghantam lantai kamarnya.
"Black Aura?"
~
Diatas lautan berdarah, seorang remaja berambut putih keunguan itu berbaring di atasnya. Membiarkan cairan kental itu menempel di punggungnya seraya merasakan sensasi dingin dari genangan tersebut.
Namun, tidak ada yang berubah selain dirinya yang sama sekali tidak bisa merasakan apapun kecuali kekosongan yang membekas di dalam dirinya. Tatapan datar nan dingin itu hanya ia arahkan ke langit-langit kelas.
Ruangan kelas yang kosong dan berantakan. Terdapat beberapa remaja yang tergeletak lemas usai pertarungan singkatnya dengan mereka.
"Huft... Melelahkan."
Remaja itu beranjak untuk berdiri sembari memandang sejenak remaja-remaja yang baru saja ia kalahkan itu. Sebenarnya, ia tidak punya niat apapun untuk menghajar remaja-remaja itu selain ada sesuatu yang merasuki tubuh mereka.
Dirinya yang bukan penduduk asli di dunia ini merasa sangat kerepotan harus menghadapi masalah yang melibatkan dunia lain. Belum lagi dengan pertarungan dan beberapa misi yang harus ia selesaikan.
Merasa tak ada lagi yang perlu ia lakukan di kelas itu, remaja itu memutuskan untuk pergi dengan membawa beberapa remaja yang pingsan itu.
"Berteman dengan gadis itu ya? Kuharap, yang dikatakan Midnight itu benar." Ucapnya sembari fokus melangkah kedua kakinya keluar.
~
"Good morning bestie! Ini aku, Rara. Kamu ada waktu nggak hari ini? Kalau ada, ketemuan yuk! Hari ini lagi senggang sih akunya. Ditambah lagi, kita udah lama nggak ketemuan sejak SMA, kan? Chloe. Kumohon, ayolah!"
Chloe menghentikan rutinitas paginya yaitu menggoreng kentang. Ia menemukan ponselnya berdering gila di atas meja makan dan menemukan tiga kotak pesan dari Rara-sahabatnya itu tertera di layar ponselnya.
Chloe meletakkan kentang gorengnya di atas piring putih yang mengkilat kemudian, menghampiri ponselnya.
"Izinmu melas sekali mbak..." celetuk Chloe singkat dan kembali melanjutkan kegiatan menggoreng kentangnya.
Bukannya Chloe cuek terhadap pesannya. Ia justru hanya bingung ingin kesana atau tidak. Karena, dirinya yang sekarang tidak sebaik dirinya yang dulu. Selalu menempatkan kesenangan orang lain di atas kesenangannya. Sementara, ia juga ingin bersenang-senang juga.
Yah, tetap saja. Itu sudah berlalu dan di masa kini ini, tepat dimana Rara-sahabatnya mengirim pesan tersebut, tergantung hati dan pikirannya saja yang menentukan.
8 tahun berlalu dan Chloe sadar bahwa, hal itu berulang kali menyakitinya. Masalah seperti itu memang sudah biasa di dalam lingkaran pertemanan. Akan tetapi, jika terus menerus berlanjut maka kesabarannya perlahan akan terkuras habis oleh emosi yang ia pendam.
"Huft... Kalau aku ikut... Apa yang akan terjadi? Pasti kejadian yang sama lagi." Tebaknya malas.
Ia sering teringat akan salah satu dari kelima temannya yang bertingkah seperti anak kecil dan benci melihat Rara bersama orang lain. Terutama dirinya.
Rata-rata, temannya pada egois semua. Hanya mementingkan kesenangan mereka dan enggan memikirkan kesenangan yang lain.
"Ikatanku benar-benar gak murni. Ikatan yang murni terjalin karena rasa sakit. Aku mau menerima rasa sakit mereka. Tapi, mereka gak mau mendengarkan rasa sakitku..." batin Chloe sedih di tengah memori-memori menyakitkan itu mengganggu pikirannya.
Semua yang ia miliki, direbut paksa oleh temannya yang lain. Entah kursinya, sahabatnya, kesempatannya, dan waktu untuk mencurahkan seluruh isi hatinya saja sulit.
Bahkan yang paling berbekas dalam ingatannya adalah ketika bangku kursinya yang sudah jelas miliknya dan bahkan semua siswa di kelas itu termasuk guru pun tahu, kalau bangku tersebut miliknya.
Bangku yang berada di tengah bersebelahan dengan bangku Rara. Bangku yang saat itu direbut dengan santai oleh salah satu temannya demi bermain dengan Rara.
Sejak saat itulah, Chloe kehilangan banyak sekali tawanya dalam sebulan sampai mereka lulus SMP.
Chloe menghela nafas berat saking kesalnya. Ia duduk dan merampas ponselnya. Menyandarkan punggungnya di badan kursi lalu, membalas Rara.
Sepenuhnya, Chloe benci dengan ikatan itu. Ia bersyukur hanya bertemu Aoi dan Jacqueline saat di SMA. Meskipun dari negara yang berbeda, mereka senantiasa mau menerima keberadaannya. Termasuk obsesinya terhadap dunia fantasi dan juga untuk saat ini, Black Aura.
Entah kenapa setiap kali memikirkan nama itu, Chloe selalu dibuat terkekeh. Lucu saja...
2 menit berlalu, akhirnya Chloe memiliki keberanian untuk menjawab dan mengirimkan sepucuk pesan untuk Rara.
"Dimana, Ra? Anw.. Hanya kita berdua aja kan?"
Chloe terdiam sesaat. Memikirkan cara bicaranya via Wasap itu. "Apa aku gak terlalu egois ya?"
Tak lama kemudian, pesan dari Rara muncul.
"Pastinya bareng-bareng dong! Hehe... Kamu mau ikut nih ceritanya?"
Chloe terkejut dalam diam. Ia menduga bahwa 30 menit ke depan, bukan kebahagiaan lah yang menghampirinya. Melainkan berdiri di belakangan kebahagiaan orang lain.
"Iya... Karena aku kangen sama kamu... So, I need more time just you and I."
"Agak selfish sih... Tapi gak papa. Jujur lebih baik."
"Oh, oke... Bentar ya... Aku mau bilang ke mereka kalau hari ini gak jadi. Aku tahu, pasti ada kalanya kau ingin bersenang-senang denganku bukan?"
Chloe tersenyum lega. Pada akhirnya, Rara mau memahami perasaannya. Chloe harap, Rara tidak mengkhianati perkataannya.
"Kalau gitu, dimana kita ketemuannya, Ra?"
"Di cafe tempat kita main dulu. Aku yakin, teman-teman kita gak ada yang tahu tempat itu. Dengan begitu, kita berdua akan bersenang-senang!"
Kali ini, Chloe tidak merespon apapun. Sekedar menunjukkan senyumannya di hadapan layar ponsel. Akhirnya, ia memiliki kesempatan untuk bermain bebas dengan Rara.
"Apa aku perlu menceritakan buku ini padanya?" Chloe memandang buku sejarah tebal itu. Kini keberadaannya tak jauh dari dirinya.
Buku sejarah yang akhir-akhir ini menumbuhkan obsesi berlebihan di dalam dirinya. Buku dengan beragam warna menarik dirinya untuk menggali apapun yang ada didalamnya. Buku dengan berjuta ras dan sihir yang akan membawa imajinasinya ke tempat yang indah.
"Dunia dimana rasa sakit manusia dilahirkan kembali menjadi ras yang hebat. Yaitu Aura. Mega Vile adalah Aura yang terbentuk dari rasa sakit manusia. Eh? Ras yang terlahir dari perasaan manusia? Ah, apapun itu, mereka adalah gambaran kesedihan manusia yang mendapatkan kekuatan yang hebat dari kesedihan mereka."
Mendadak, dunia di sekitarnya kembali sunyi. Hening tidak ada gangguan apapun di dalamnya. Kepalanya 100% teralihkan pada dunia Carnater. Dunia tanpa rasa sakit. Dunia yang menyimpan berjuta misteri di dalamnya.
Jika seandainya Chloe menemukan dunia tersebut, dia bertekad untuk mencari tahu keunikan di dalamnya. Bahkan kalau yang mustahil itu bisa diraih, dia bisa saja mewawancarai penduduk disana dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Ia harap begitu.
Sekarang, kedua bola matanya terpaku mengarah sosok remaja dengan manik violet yang menyala plus tatapan dingin yang menusuk. Remaja yang sudah menjadi pujaan hatinya pada pandangan pertama. Black Aura.
"Black Aura. Dia menanggung rasa sakitnya dan juga rasa sakit manusia di luar sana. Ia pernah terikat dengan seorang gadis remaja. Sayangnya, gadis tersebut tewas karena suatu alasan. Hal itulah yang membuatnya terlepas dari rasa sakit. Selain itu, meskipun tidak memiliki emosi, Black Aura bisa merasakan emosi yang dirasakan manusia yang saat itu terikat dengannya. Black Aura juga diberi kelebihan berupa dapat berkunjung KE DUNIA MANUSIA??? WHAT?!"
Chloe terbelalak untuk kesekian kalinya. Pergi ke dunia manusia? Berarti duniaku? Sebentar... Ini kan cuma fiksi. Mana mungkin terjadi.
"Nggak! Harus terjadi pokoknya!" seru Chloe geram.
Merasa waktunya telah terbuang banyak, Chloe memutuskan untuk merias dirinya dan pergi ke cafe tujuannya.
~
"Hi! Lama gak ketemu!" sambut Rara menemukan Chloe yang menghampirinya dengan nafas terengah-engah. "Kau tampaknya kelelahan banget... Nih, minumlah!" Rara menyodorkan segelas lemon ice untuk Chloe.
"Makasih! Tahu aja kalau aku suka lemon! Anw... Hanya kita berdua aja kan? Sebenarnya ada yang ingin kuceritakan padamu. Sebelum itu, kamu jawab dulu pertanyaanku..." pinta Chloe serius.
"Wah... Keren nih! Aku suka yang berbau serius." ujar Rara tepat sasaran.
Chloe menarik nafas dalam-dalam. "Menurutmu, apa dunia fantasi itu benar-benar ada?"
"ASTAGA! Kukira kau serius, Chloe! Dasar anak ini! Selalu saja membuatku bingung." Untunglah, Rara tidak marah kecuali mendengus geli mendengar pertanyaan yang baru saja diutarakan Chloe.
"Kutebak, kau menemukan sosok pria tampan yang baru bukan? Selamat!" seru Rara diiringi dengan tepukan tangan ringannya.
"Hehehe iya... Tapi, temanku bilang, mereka ini nyata. Dia bilang, aku akan sangat beruntung jika bertemu dengannya."
"Ah, masa sih? Fantasi ya fantasi. Mana bisa ditemukan di dunia nyata." Komen Rara santai
"Kalau pun ada, mungkin sudah lama kita hidup di zaman penuh sihir. Atau mungkin, di dunia kita bakal ada sejarah di mana manusia dan makhluk aneh pernah berperang. Dasar Chloe! Kamu gak berubah ya!" Lanjutnya setelah itu menyeruput lemon ice-nya yang sejuk.
"Aaaa... Rara! Aku berharap mereka bakal muncul di dunia nyata. Aku... Aku juga pengen jadi novelis. Aku ingin menulis novel bergenre fantasi yang murni fantasi. Maksudku..." Ucapan Chloe menggantung dan dijawab cepat oleh Rara yang tampaknya sudah tahu jawabannya.
"Kamu mengalami fantasi itu sendiri, kan?"
Chloe mengangguk cepat.
"Memang terdengar mustahil, sih. Tapi, ya sudah... Anggap aja seakan dirimu itu terjun ke dunia fantasi. Ah, bukan. Anggap aja dunia ini fantasi dan makhluk-makhluk di sekitarmu adalah elf, werewolf dan apapunlah! Termasuk masalahmu di dunia nyata.
"Misalnya... Kamu gagal mendapatkan nilai seratus dan kamu akan menghadapi amarah orangtuamu. Anggap aja nilai jelek itu sebagai temanmu yang terluka dan amarah orangtuamu adalah musuhmu. Kesabaranmu adalah dirimu yang saat itu menghadapi monster.
"Kau tahu? Kita cuma perlu berimajinasi seliar mungkin dan membuat pembacamu tenggelam ke dalam ceritamu. Dengan begitu, Fantasinya akan terasa murni." Nasehat Rara yang diakhiri dengan senyuman.
Chloe sebagai lawan bicaranya terpukau kagum dengan kehebatan Rara dalam menyusun kalimat dan memberinya saran. Dia memang terbaik dalam apapun.
"Oh, ya! Kemarin, aku menemukan buku di bawah kolong membacaku. Miris kali. Nggak ada satupun yang menyadari keberadaannya. Untung ada Chloe." Jelas Chloe dengan gaya bicara yang melibatkam dirinya seolah pahlawan dari buku tersebut.
"Kita dapat poinnya! Buku itu kamu anggap sebagai pacarmu yang terkurung di dalam penjara. Kamu adalah pahlawan yang nekat menghadapi resiko apapun demi menyelamatkan buku tersebut!" Celetuk Rara cepat.
"Mana bukunya? Aku penasaran seperti apa rupa buku itu?"
Dengan senang hati, Chloe segera mengeluarkannya dan menyodorkannya langsung di depan gadis berambut coklat panjang itu.
Tangan Rara meraih dengan ringan buku tebal tersebut. Ia tampaknya berusaha untuk berbaur dengan penampilan buku tersebut.
"Cover yang simple... Isinya... Tebal banget. Memangnya kamu sanggup baca sebanyak ini?"
"Aku sanggup selama pria yang kusukai itu tertera namanya di setiap halaman." Seru Chloe sambil melipat kedua tangannya.
Rara yang mendengarnya, otomatis meledak ketawanya.
"Mirip banget kita! Yang penting ada orang yang kita sukai di dalam cerita itu."
"Hehehe iya. Sudahlah! Baca aja tuh, buku! Gak bakal nyesel pun bacanya. Ceritanya menarik. Dan yang lebih penting, buku ini mengajarkanku bagaimana agar aku bisa halu dengan sehat." gurau Chloe yang disusul gelak tawanya ala mak lampir.
"Dasar... Sahabatku memang gak pernah berubah ya!"
"Iya kan? Tapi setidaknya, masih sama seperti yang dulu."
Rara tersenyum simpul. Setelah itu kembali meneguk lemon ice-nya.
"Bagaimana hari-harimu dengan Aoi. Sejak SMA, kita semakin jarang bertemu. Kampus kita juga beda..."
Chloe menghela nafas berat. Terlepas dari kehidupannya bersama Aoi, Chloe sejujurnya sangat merindukan Rara meskipun dia memiliki rasa malas ketika diajak ketemuan dengan Rara.
Rara adalah sahabat terbaiknya di SMP. Tidak pernah tergantikan oleh yang lain. Walau ia sudah memiliki Aoi yang sangat setia, ia juga memilili Rara yang bisa menyembuhkan lukanya dan memberinya sejuta lawakan meski Chloe tidak terlalu membutuhkannya.
Sayang sekali, pilihan membuat mereka harus terpisah. Chloe memilih kuliah dan menetap di Chicago. Sementara, Rara memilih di Oxford.
"Jujur saja... Aku merasa agak menyesal dengan pilihanku dan juga takdir ini. Kita jadi nggak bisa..."
"Jangan bicara seperti itu. Lagi pula, kalau kau memilih untuk ikut denganku, kau nggak akan bisa bertemu dan bersahabat dengan Aoi. Kalau dilihat-lihat, dia pria yang baik dan perhatian. Seharusnya kau merasa bersyukur dengan kehadiran pria itu."
Rara cepat-cepat menyela perkataan Chloe yang menurutnya tidak baik untuk diucapkan gadis itu.
"Aku juga menyesal dengan pilihanku. Yah, sebenarnya nggak juga karena aku masih memiliki sahabat kita yang lain."
"Aku tau. Mereka beruntung bisa sekampus denganmu." Ujar Chloe dengan nada bicara yang terdengar seperti berbisik.
"Apa tadi? Sorry nggak dengar."
"Ah, bukan apa-apa..."
Chloe mengalihkan perhatian Rara dan memilih untuk mengganti topik pembicaraan mereka menjadi lebih berwarna.
Walaupun rasanya agak menyebalkan jika masa lalu itu terus terbayang di benaknya, Akan tetapi, bukan saat yang tepat untuk menumpahkanya di saat seperti ini. Terutama sedang mengadakan ketemuan dengan sahabat lama.
Jangan pernah pokoknya.
~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!