Indira Mahesa
Dia adalah seorang gadis yang sangat manja pada kedua orangtuanya, meskipun Indira tahu jika kedua orangtuanya sangat sering berkelahi. Hidupnya begitu sangat berkecukupan bahkan bisa di bilang sangat lebih dari cukup.
Pernikahan kedua orangtuanya di karuniai dua orang anak yaitu Indira Mahesa dan seorang adik laki-laki bernama Gibran Mahesa. Indira selalu di manjakan oleh Papinya sementara Gibran mendapat perlakuan yang berbeda pada Papinya.
Gibran menadapatkan perlakuan yang sama seperti Indira melalui Maminya, meskipun begitu mereka sangat saling menyayangi satu sama lain. Sampai akhirnya suatu hari Indira tiba waktunya melanjutkan pendidikan di London.
Gibran Mahesa adalah adik laki-laki Indira yang sangat ia sayangi sejak kecil selalu di perlakukan dengan manja oleh Indira meskipun sang Mami sering kali melarangnya. Namun Indira tetap memanjakan Gibran karena mereka hanya bersaudara dua orang saja.
Setelah kepergian Papinya, akhirnya Ibunya menikah dengan seorang pengusaha yang sukses merubah semua garis hidup Indira seketika.
Sejak kepergian Papinya, Indira melanjutkan sekolahnya di London dengan biaya yang diberikan oleh Ayah tirinya. Tak jarang Indira berkelahi dengan Maminya semenjak ia mengetahui kebusukan Ayah tirinya.
Perjuangan Indira begitu merubah wujud dirinya yang sangat manja pada Ayahnya menjadi wanita mandiri.
Indira memiliki tubuh yang memang sangat ideal dengan wajah yang sangat cantik dan manis membuat tawaran itu semakin banyak semenjak Indira menjadi model kampus.
Kecerdasannya juga membuat Indira menjadi wanita panutan bagi kalangan remaja sampai ahirnya karirnya melambung tinggi dan terdengar sampai ke Indonesia tanah kelahiran Indira.
Ayah tiri Indira yang terkenal sangat haus dengan kepuasan beberapa kali mencoba menghubungi Indira untuk membujuknya pulang ke Indonesia, namun Indira selalu menolak. Bukan tanpa alasan ia menolaknya.
Abian Malik
Pria kaya termuda seasia yang hidup dengan penuh kemisteriusannya, beberapa wanita bergantian tinggal di rumah utamanya berusaha mengambil hatinya ketika mengetahui calon istri Abian meninggal dunia. Namun tidak ada satu wanita pun yang bisa bertahan dengan sifat arogannya terutama dengan perlakuan sang sekertaris Abian , Zanna yang selalu setia berada di sisinya dan sukses membuat para wanita itu pergi dengan sendirinya.
Setiap malam Abian selalu mendapat berbagai macam trik licik dari wanita namun kecerdasannya bersama sekertarisnya sangatlah luar biasa. Abian merupakan pria yang sangat tampan tubuh tegak sempurnanya dan wajahnya yang sangat tampan membuat setiap kalangan wanita tergila-gila saat pandangan pertama.
Terlebih lagi kekayaannya yang melimpah ruah membuat namanya terpampang di setiap sudut kota itu sampai ke luar negeri. Bukan hanya wanita di negara itu saja yang bergantian datang padanya namun dari luar negeri pun rela berdatangan untuk berusaha melunakkan hatinya.
Hanya ada satu wanita yang selalu berada di sisinya setelah kepergian sang kekasih, yaitu sekertarisnya yang bernama Zanna Kirana. Ia adalah wanita yang sejak dulu berteman dengan Abian semasi kedua orangtua Abian belum meninggalkannya.
Dan hanya orang tua Zanna lah yang kini menjadi orang tua angkat Abian sekaligus paman untuknya karena kedua orang tua mereka dulunya memang sudah besahabat sebelum Abian dan Zanna lahir selain itu orangtua Zanna juga sebagai orang kepercayaan Ayah Abian dan tentunya mereka memiliki hubungan persaudaraan juga sebagai adik kakak.
Tampak seorang pria paruh baya sekitar empat puluh delapan tahun yang tengah berlutut memohon belas kasih pada Abian di sebuah ruangan tertutup.
Abian menjawab dengan wajah penuh kemarahannya.
"Baiklah aku bisa saja memberimu keringanan, tapi aku meminta anak wanitamu itu sebagai imbalannya.”
Mendengar ucapan dari mulut pria muda itu tanpa berfikir panjang pria paruh baya itu mengangguk dengan senang hati ia memberikannya, meskipun sebenarnya impiannya sudah hilang untuk memiliki Indira setelah kepulangannya ke Indonesia nanti.
"Tapi untuk saat ini ia masih berada di London, Tuan." Suara pria itu memecahkan lamunan Abian yang sedari tadi tampak diam dengan segerombol rencana yang ia inginkan.
Abian yang sudah mengetahui hal itu hanya terdiam. karena tentu sebelum memutuskan sesuatu Abian sudah lebih dulu mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan pria tua di hadapannya ini. Ia tahu jika putrinya masih berada di London saat ini.
Sementara pria tua itu sudah merasakan lega di dadanya karena mendapatkan pertolongan dari anak tirinya yang selama ini ia impi-impikan. Mungkin kali ini ia harus bermurah hati pada pria muda di hadapannya karena jika tidak, tentu perusahaannya seketika bisa hilang dari tangannya.
Lalu bagaimanakah akhir dari perjuangan ayah tiri Indira? Akankah ia berhasil menyantap lebih dulu tubuh anaknya sebelum menikah dengan pria muda itu?
Untuk pada readers jangan lupa like dan komennya yah. Terimakasih dan jangan lupa juga untuk tekan lovenya.
Di sebuah kampus ternama tepatnya di London tampak beberapa wanita cantik dari wajah yang asing sedang berkumpul. Mereka duduk di kantin dengan saling berbicara dan tertawa. Dari kejauhan bisa di pastikan ada salah satu wanita yang berasal dari Indonesia, wajahnya sangat cantik tidak kalah dengan kecantikan para teman-temannya. Bahkan bisa di pastikan kecantikannya sangat menonjol di kalangan mereka. Indira Mahesa yang kini sedang asyik berbicara dengan teman-temannya seketika berhenti dan menjauh dari yang lainnya.
"Where are you going, Indira?" tanya salah satu temannya melihat Indira tiba-tiba menjauh. Namanya Queensya ia teman Indira yang juga merantau dari Amerika.
Indira yang mendengar enggan menjawab matanya terbelalak melihat pesan singkat yang di kirim oleh adik kandungnya, Gibran.
"Kak, Papi meninggal kecelakaan." isi pesan itu yang membuat Indira terduduk di lantai.
Tubuhnya bergemetar melihat pesan sementara tangannya berusaha menekan tombol telefon untuk bertanya kepastiannya. Teman-teman Indira yang melihat dari kejauhan segera berlari mendekat.
"Indira, are you oke?" tanya Keyra yang juga sahabat Indira asli Jerman.
Indira masih terdiam menunggu jawaban telefon dari adiknya sementara air matanya sudah begitu derasnya mengalir di pipi mulusnya. Para sahabatnya sesekali saling melempar tatapan bingung dan penasaran.
"Halo, Kak." jawab Gibran.
"Apa yang kau katakan, Gibran?" tanya Indira.
"Hiks...hiks...hiks." suara tangis Gibran membuat Indira semakin tidak kuasa menangis.
"Ayo katakan cepat!" desak Indira lagi.
Gibran yang merasa tidak kuat mengatakannya kini memberikan ponsel pada Maminya, namanya Ningrum Prameswari.
"Halo, sayang." ucap Nyonya Ningrum.
Dengan suara gemetar Indira bertanya, "Mi, apa yang terjadi?"
"Papi kalian sudah tiada, sayang ia kecelakaan mobilnya masuk ke laut usai kecelakaan." jelas Nyonya Ningrum sambil menangis.
"Tidak...ini tidak mungkin. Papiiiiii....." teriak Indira histeris dan membuat semua yang ada di dekat situ mendekat ke arahnya.
"What happened, Indira?" (apa yang terjadi, Indira) tanya Federic sambil menggoyang lengan Indira merasa panik.
Akhirnya Queensya kini meraih ponsel Indira dan bertanya pada Nyonya Ningrum tentang apa yang terjadi, setelah Queensya mendengar kabar kematian tubuhnya ikut melemas. Kini Queensya menceritakan pada sahabatnya apa
yang telah terjadi, semua tampak terkejut. Tentu mereka sangat paham kesedihan Indira karena sejak mereka berteman Indira tidak pernah sekali pun terlepas untuk membicarakan Papinya yang begitu baik padanya.
Terkadang cerita Indira sampai membuat mereka ingin menemui Papi Indira, namanya adalah Damar Mahesa. Sosok pria yang selalu mengutamkan anak gadisnya apa pun yang Indira lakukan selalu mendapat dukungan dari Tuan Damar.
Federic yang merupakan salah satu pria di antara mereka dengan cepat membopong tubuh Indira ke dalam mobil kemudian meniggalkan Queensya dan Kayra di kampus.
Sepanjang perjalanan Indira terus menangis tanpa berfikir kemana Federic akan membawanya, ternyata mereka saat ini sudah menuju ke bandara untuk ke Indonesia.
"Tenanglah, aku bersamamu." ucap Federic dengan bahasa Inggris. Sambil memeluk erat tubuh Indira dan tangan sebelahnya tetap fokus menyetir mobil.
"Aku tidak percaya dengan mimpi buruk ini, Fed." ucap Indira sambil menangis semakin pecah.
Federic yang merasa keadaan Indira belum stabil dengan cepat meminggirkan mobilnya untuk parkir sebentar, setelah mobil terparkir dengan sepurna ia kembali memeluk Indira dan mengusap-usap punggung sahabatnya.
"Aku tidak mungkin kehilangan Papi, ini semua pasti mimpi. Bagaimana bisa ia meninggalkanku saat aku belum menyelesaikan studiku?" hiks...hiks...hisk. celotehan demi celotehan terus keluar dari mulut mungil wanita itu.
Ia terbayang ketika akan pergi ke London beberapa kali Indira memeluk tubuh Tuan Damar berulang kali ia lakukakan saat ingin masuk ke bandara. Tuan Damar yang memahami tingkah manja putrinya hanya tertawa dan menerima kembali pelukan Indira dengan senang hati. Ia sangat mengerti putrinya sangat sulit untuk jauh darinya.
Namun, demi cita-citanya menjadi seorang Arsitek lulusan luar negeri Indira memberanikan diri hidup tanpa sosok Ayah di sampingnya. Janji Indira sebelum pergi ke London adalah ingin cepat menyelesaikan studinya dan
akan pulang ke Indonesia untuk membangun sebuah gedung mewah dan tentu gedung itu akan ia berikan pada perusahaan Papinya.
Mengingat semua moment terakhir dengan Tuan Damar Indira terus menggelengkan kepala merasa tidak percaya dengan yang terjadi begitu cepatnya, kalau saja Indira tahu akan terjadi seperti ini mungkin ia tidak akan meninggalkan Tuan Damar dan memilih kuliah di Indonesia saja.
Setelah Federic merasa Indira sudah mulai bisa mengontrol tangisnya, ia kembali membopong tubuh Indira ke dalam mobil. Kini mereka sudah masuk ke bandara. Federic sudah mengurus semuanya dengan cepat sedangkan Indira hanya diam mematung wajahnya begitu sembab karena menangis terus menerus.
Kali ini Indira tidak pulang sendirian, keadaan berduka seperti ini tentu Federic tidak akan tega membiarkannya pulang seorang diri. Tangan Indira terus di gandeng oleh Federic sampai memasuki pesawat.
Di pesawat Indira terus memeluk Federic sambil menangis tanpa henti, namun kali ini ia menangis tidak mengeluarkan suara. Federic terus berusaha menenangkan Indira sepanjang perjalanan.
Pramugari yang melihat kemesraan mereka terhanyut seketika memandang wajah kedua orang yang sedang berpelukan sangatlah serasi. Federic yang begitu tampan dan Indira yang sangat manis meskipun kali ini matanya sudah bengkak tetap kecantikannya tidak tertutupi.
"What happened, Mr?" tanya Pramugari itu.
"It's okay." jawab Federic sambil tersenyum.
Memastikan semuanya baik-baik saja kini pramugari itu beranjak menjauh dari mereka. Indira yang enggan menghiraukan di sekelilingnya hanya mengeratkan kembali pelukannya pada Federic sambil terus terbayang wajah
Papinya. Yang selalu tersenyum pada Indira selalu membuka tangan tiap kali Indira datang memeluknya. Dan selalu mendukung apa pun yang Indira ingin lakukan tanpa menolak.
Setelah cukup lama kini tanpa sadar Indira sudah terlelap dalam pelukan Federic. Merasa pelukan yang sudah
semaking mengendur, Federic menatap wajah Indira sambil menepis rambut yang menghalangi wajah Indira. Kemudian ia mengusap air mata yang tersisa dan mengecup lembut kening Indira.
"whatever happens I will be with you, Indira." gumam Federic sambil memeluk Indira penuh dengan ketulusan. artinya apa pun yang terjadi aku akan bersamamu, Indira.
Federic memang sangat menyukai Indira, namun karena melihat kesungguhan Indira dalam berkuliah dan ia juga memilki keinginan untuk cepat menyelesaikan studinya. Federic memilih untuk tidak berpacaran. Selama Indira terus dekat dengannya itu sudah menjadi hal yang paling ia inginkan saat ini. Perjalanan begitu terasa sangat lama, sampai Federic yang sudah ikut terlelap tidak sadar jika Indira sudah bangun.
Ingatannya kembali lagi pada wajah Papinya, rasanya sulit untuk di percaya bagaimana mungkin Indira kehilangan sosok pria yang begitu menyayanginya secepat ini. Pupus harapan Indira untuk berfoto dengan Papinya saat wisuda nanti padahal itu impiannya yang pertama dan yang paling sederhana selama ini.
Setelah perjalanan begitu panjangnya kini pesawat dari London sudah mendarat dengan sempurna di Bandara, Federic yang baru terbangun dengan segera berdiri setelah mendapat persetujuan pramugari untuk turun. Tangannya menggandeng tangan Indira lalu turun dari pesawat, kali ini mereka memang tidak membawa barang apa pun hanya tas kuliah saja.
Indira masih belum berbicara apa-apa, Federic yang mengerti tentang kesedihannya hanya terus menggandeng
gadis itu menuju keluar bandara sambil merangkulnya.
Bagi Indira hal terberat kali ini benar-benar membuatnya terpukul, tidak ada yang lebih indah dari pada hari-hari yang di naungi cinta. Dan tak ada yang lebih menyakitkan dari pada hari-hari penuh ketakutan karena ditinggalkan orang terkasih. Apa pun alasannya dan penjelasannya, kehilangan akan selalu terasa menyakitkan.
Perjalanan begitu terasa cepat saat itu, tanpa terasa kini Indira sudah tiba di kediamannya yang tampak ramai orang-orang mengenakan pakaian berwarna hitam.
Para keluarga tertegun saat melihat kedatangan Indira bersama seorang pria yang berwajah asing sangat mempesona. Mereka sudah menduga-duga jika pria itu adalah kekasih Indira.
"Mam, itu Kak Indira." ucap Gibran menunjuk arah pintu rumahnya.
Dengan cepat Nyonya Ningrum berlari menghampiri Indira kemudian memeluk putrinya seketika tangisan keduanya pecah memenuhi ruangan rumah itu. Indira semakin menangis tanpa kuat menahan beban tubuhnya dengan cepat tersungkur ke dasar lantai dan terus menangis histeris. Matanya tertuju pada jenasah sang Ayah yang sudah terbalut dengan kain kafan.
"Tidak...ini tidak mungkin." teriak Indira membuat seisi rumah ikut menangis.
Indira yang melepaskan pelukan sang Ibu hanya mampu merangkak mendekati jenasah Tuan Damar, kepalanya terus menggeleng pelan tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Tangannya memeluk penuh jenazah itu sambil menggoyang-nggoyangkan tubuh Tuan Damar.
"Papi, jangan tinggalin Indira, Pi...tolong Papi bangun sekarang Indira masih kuliah Indira belum bisa buatin Papi gedung besar hemmmmm....bangun Pi." ucap Indira tanpa henti terus menggoyangkan jenazah Tuan Damar.
Federic yang melihat Indira terpuruk tanpa sadar meneteskan air mata namun saat itu ia hanya bisa berdiam tanpa berkata apa-apa. Perlahan langkahnya mendekat pada Indira yang memeluk jenazah itu. Federic hanya bisa mengusap punggung gadis itu sambil terus meneteskan air mata hatinya begitu sakit melihat Indira menangis. Namun ia tidak bisa melakukan hal apa-apa selain terus setia berada di sampingnya.
Nyonya Ningrum dan Gibran kini duduk di sebelah Indira, mereka hanya terus saling merangkul memberi kekuatan. Namun saat Federic tersadar Indira sudah tidak bergerak lagi dan tubuhnya terjatuh menindih jenazah Tuan Damar.
"Indira." panggil Federic.
Gibran dan Nyonya Ningrum saling menatap ke arah Federic mereka terkejut. Dengan segera Federic menggendong tubuh Indira ke kamar dengan petunjuk Gibran. Sementara Nyonya Ningrum masih duduk di samping jenazah suaminya.
Kini air mata wanita paruh baya itu terus menetes tanpa henti dan ia hanya seorang diri tanpa kedua anaknya. Sementara Gibran dan Federic yang sedang membangunkan Indira terus memberikan minyak di hidung Indira agar sadar.
“Indira, bangunlah.” Ucap Federic dengan khawatir.
Sedangkan Gibran hanya diam menatap Federic dengan penuh tanya. Namun ia masih belum bisa bertanya di saat seperti ini tentunya.
Kini Federic yang menyadari kedua temannya yang tentu khawatir dengan mereka, segera Federic mengirim pesan singkat pada Keyra jika mereka sudah tiba di Indonesia.
Mendengar kabar dari Federic, Keyra dan Queensya terasa legah meskipun mereka sedih karena tidak bisa
mendampingi sahabatnya saat terpuruk seperti ini.
Federic yang terkejut saat Indira tiba-tiba memeluknya dan menangis membuat Gibran seperti menebak jika mereka memiliki hubungan serius.
“Ini mimpikan, Ric?” tanya Indira yang berusaha membohongi dirinya.
Federic yang mendengar hanya menghela nafas pelan lalu melepas pelukan Indira dan meraih kedua pipi gadis itu kemudian menggelengkan kepala.
“Ra, kau tidak bermimpi ini semua nyata kau harus kuat...please don’t cry baby.” Ucap Federic sambil mengusap air mata Indira.
Dan mereka kembali berpelukan dan melampiaskan semua kesedihannya di pelukan itu. Gibran yang merasa harus keluar kini meninggalkan Indira dengan Federic di kamar. Ia memilih untuk menemani Maminya.
“Saya turut berduka cita, Ningrum.” Ucap pria yang tiba-tiba mengejutkan Ningrum yang sedang menangis.
Pria itu adalah mantan kekasih Ningrum sebelum menikah dengan Tuan Damar ia bernama David Keenan seorang pengusaha kaya yang bergerak di bidang jam tangan mewah. Nyonya Ningrum yang terkejut melihat kedatangannya hanya bisa mempersilahkan pria itu duduk dan kembali menatapi jenazah sang suami.
“Mam.” Ucap Gibran yang mendekat ke arah Nyonya Ningrum sambil menatap Tuan David dengan penuh tanya.
“Iya sayang, ini Paman teman Mami dan Papi dulu.” Jelas Nyonya Ningrum yang mengerti tatapan anaknya.
Gibran lah satu-satunya yang kini sudah tidak menangis selain Tuan David matanya seperti sudah kehabisan air untuk di keluarkan. Sangat terlihat kelopak mata yang bengkak dan ujung hidung yang tampak memerah.
“Ningrum semoga kau dan anakmu kuat menghadapi ini semua.” Ucap Tuan David dengan wajah datarnya.
“Terimakasih David.” Jawab Nyonya Ningrum berusaha kuat meskipun air mata terus berjatuhan.
Indira yang sudah merasa lebih baik kini meminta Federic mengantarnya kembali ke luar kamar, dengan senang hati Federic menuntun Indira keluar kamar sembari terus memeluk tubuh gadis itu. Mereka mendekat ke samping jenazah Tuan Damar dan Indira yang sudah mulai bisa mengontrol air mata kini hanya duduk terdiam sambil terus memeluk jenazah Tuan Damar sesekali.
“Dia anak pertama kami.” Ucap Nyonya Ningrum memperkenalkan Indira pada Tuan David.
Mata pria itu menatap dalam pada Indira yang tidak menghiraukan pembicaraan Nyonya Ningrum, entah apa yang ada dalam fikiran Tuan David dan hanya dialah yang mengerti saat ini.
Setelah cukup lama berada di tempat itu, Tuan David berpamitan untuk pulang dan meminta maaf karena
tidak bisa mengantar sampai ke pemakaman. Nyonya Ningrum yang mengerti dengan kesibukannya tentu paham hal itu.
Kini Tuan David bergegas pergi meninggalkan rumah mewah itu yang masih terasa kesedihan di dalam sana. Suara tangis selalu mengisi ruang di rumah itu secara bergantian, keluarga Tuan Damar yang semakin banyak berdatangan.
Tuan Damar memiliki tiga saudara kandung, ia adalah putra kedua setelah Kakak perempuannya dan Tuan Damar memiliki adik laki-laki satu dan adik perempuan satu. Mereka semua sudah menikah dan memiliki keluarga
masing-masing. Sedangkan orangtuanya hanya tersisa Tuan Aditya Mahesa karena sang Ibu sudah meninggal sejak lama.
Mereka ikut berkumpul di samping jenazah Tuan Damar dan ikut menangis, Indira yang tadinya sudah merasa kuat kembali ikut menangis karena kesedihan keluarga Tuan Damar begitu terasa bagi Indira. Mereka semua benar-benar kehilangan sosok pria yang begitu ceria tiap kali ada pertemuan keluarga. Tuan Damar selalu sukses mencairkan suasana semakin ramai. Tuan Aditya yang kini sudah berusia hampir delapan puluh tahun masih terlihat segar karena sifat cerianya yang ia turunkan pada putranya Tuan Damar.
Indira yang melihat kehadiran sosok Kakek di sampingnya dengan segera memeluk pria tua itu dan kembali memecahkan tangisannya. Wajah Tuan Aditya memang sangat mirip dengan Tuan Damar dan kali ini Indira hanya bisa melihat pria tua itu untuk menigingat sang ayah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!