Raina Pov
Namaku Aisyah Raina Abdullah. Putri bungsu dari dua bersaudara. Aku adalah seorang gadis yang memiliki kepribadian tertutup. Aku lebih suka menghabiskan waktu untuk membaca ataupun mengahafal dan bermuraja’ah di kamar pribadiku.
Sejak kecil, Abi dan Umi selalu mengajarkanku untuk lebih mengutamakan akhirat ketimbang duniawi.
Abi selalu bilang padaku, “Kamu boleh bekerja keras di dunia, hanya jika tujuanmu akhirat. Dan jangan pernah letakkan dunia di hatimu, tapi letakkanlah dunia dalam genggamanmu.”
Dari perkataan Abi, aku selalu belajar untuk tidak terlalu memperdulikan apapun itu. Misalnya, banyak orang yang menghina proses perbaikan diri kita, namun kita tidak boleh berlarut akan hal itu.
Kita tidak boleh galau, menangis dan lebih ekstrimnya putus asa karena manusia. Yang jelas-jelas, mereka hanya ingin kita terpuruk dan gagal dalam proses yang kita tempuh.
Toh yang tahu tentang kita dan perubahan kita adalah diri kita sendiri dan juga Allah. Maka dari itu, aku memutuskan menjadi wanita yang teguh memegang prinsip dan tidak perduli dengan suara bising orang-orang yang tak menyukai diriku, penampilanku dan juga prisip-prinsip hidupku.
Sedangkan Umi, ia selalu mengajarkanku akan pentingnya menjaga marwah pribadiku dan juga keluargaku.
Umi juga merupakan inspirasiku dalam segala hal, Umi selalu mengatakan, “Suatu hari nanti kamu harus berjuang sendiri, tanpa Abi, Umi juga mas Arkan. Dan kamu juga harus menjaga dirimu sendiri. Maka dari itu, kamu harus menjaga dirimu dari penampilanmu agar tak menarik perhatian kaum adam. Tahu tidak? Kaum adam itu adalah makhluk sempurna yang Allah siapkan untuk menjaga kita. Jadi, jika kita ingin mendapatkan seseorang yang terjaga, maka kita harus menjaga, sampai nanti Allah pertemukan kita dengan kekasih yang siap menjaga kita.”
Dengan perkataan Umi aku jadi sadar, bahwa kita sebagai wanita juga tidak boleh lemah, kita harus tangguh.
Dan sejak kecil, Abi juga selalu melatihku dan mas Arkan untuk bela diri serta memanah. Karena sebagai wanita juga menjaga diri itu harus, terlebih jika nanti ada seseorang yang berniat buruk pada kita.
Selanjutnya ada Masku, namanya Muhammad Arkan Abdullah, ia akrab disapa Arkan. Sifat dan sikap tegas serta penyayang Abi agaknya sangat dominan dalam diri masku ini.
Aku bahkan selama ini tak pernah berpisah darinya, ia adalah sosok heroku dalam menghadapi setiap pandangan miring orang tentang diriku. Namun, sejak empat tahun terakhir ini mas Arkan belum pernah pulang, karena ia sedang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir.
Nah.. mereka adalah alasanku untuk tetap berdiri tegap dan tetap tegar. Serta, mereka adalah orang pertama yang tak pernah menanyakan padaku apa alasanku mengenakan ini ‘cadar’.
Ya.. sejak aku tahu batasan-batasan dalam kehidupan dan juga apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Aku memutuskan untuk mengenakan cadar sebagai tameng dalam hidupku. Setidaknya ini akan membantuku dalam menjaga prinsip-prinsip hidupku.
Saat ini, aku baru saja menyelesaikan studyku di tingkat SMA. Alhamdulillah, walaupun Abi adalah seorang Ustadz pemilik pesantren, Abi membolehkanku untuk menempuh jenjang pendidikan di luar pesantren. Aku berhasil menempuh pendidikan di salah satu SMAN di daerah kami.
Kini, aku sedang dan akan memulai perjuangan baruku, tentu dengan lingkungan dan orang-orang yang baru. Ya.. aku memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi di salah satu kampus di Jakarta.
...*****...
Pagi ini pukul 07.30 WIB, aku berjalan sedikit cepat dan aku harus segera tiba di lapangan, karena acara untuk mahasiswa/mahasiswi baru akan dimulai pukul 09.00 WIB nanti. Namun, ada kejadian kecil yang aku alami di hari pertamaku ini.
“Astaghfirullah..” kataku terkejut karena tak sengaja ada sosok tinggi yang menabrak tasku, yang membuatku terjatuh serta lututku juga sempat terpentuk sebuah batu.
Namun, respon yang pria itu berikan sedikit membuatku heran. Karena dengan mata tajam setajam elang, ia melihatku dengan penuh keangkuhan.
Tidak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari pria itu, ia malah langsung beranjak pergi, dan seolah-olah ia tidak menabrak seseorang.
Tapi aku juga paham, mengapa ia melakukan hal itu. Mungkin ia heran dengan penampilanku yang tidak seperti kebanyakan mahasiswi disini.
Aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya atau memintanya untuk meminta maaf karena telah menabrakku.
Kemudian Sindi sahabatku yang melihatku terjatuh, segera ia membantuku, karena insiden tabrakanku tadi.
“Kamu nggak papa Raina?” tanyanya sedikit khawatir padaku.
Sindi adalah sahabat serta saudara perempuan bagi ku. Selama tiga tahun ini, dialah yang selalu mendukungku ketika menghadapi pandangan aneh orang mengenai penampilanku di SMA dulu.
Dia bagaikan panglima yang siap menjaga, dan membelaku dalam menghadapi semua tantangan itu. Aku beruntung memilikinya sebagai sahabatku, dan dia lah pengganti selama mas Arkan tidak berada di sampingku selama ini.
“Nggak.. nggak papa kok. Lututku sedikit lecet kayaknya,” kataku sambil meringis kesakitan di balik niqab yang ku kenakan.
“Ya udah.. aku bantu jalan ya,” ucap Sindi sambil merangkul pundakku untuk membantuku berjalan, yang ku jawab dengan anggukan pelan.
...*****...
Aku yang berjalan sedikit pincang, kemudian terhenti karena melihat sosok yang menabrakku tadi, sedang duduk manis diatas motor gede miliknya.
Mata dan senyumannya tampak penuh luka dan kesedihan bukan bahagia. Aku mampu membacanya hanya dari sorotan mata yang ia tampakkan.
“Kamu nggak usah berurusan sama dia deh ya," kata Sindi memperingatkanku. Sindi agaknya cukup paham apa yang sedang ada didalam pikiranku.
“Kenapa?” tanyaku singkat.
“Namanya Fajar. Bisa dibilang dia itu es berjalan. Arrogant dan sedikit kasar. Memang sih, banyak cewek yang mengagumi sosoknya. Tapi, dia itu gak layak dikagumi, karena sifat dan sikapnya. Tampangnya aja yang keren, moralnya nol. Dia itu kapten di salah satu kumpulan moge gitu. Dia juga playboy, kata temenku, dia itu banyak pacarnya. Mungkin setiap semester atau maba pasti kecantol sama dia,” jelas Sindi padaku, yang kujawab dengan ber-oh ria dan anggukan.
Aku tak ingin memperdulikan ataupun memikirkan apapun tentang pria itu. Kemudian aku dan Sindi melanjutkan perjalanan kami menuju lapangan.
Bersambung...
...-----♡●♡-----...
Alhamdulillah, ini adalah cerita pertama ana..
semoga teman-teman semakin penasaran ya😁
yuk support author dengan like, komen, rate dan juga votenya🤗
Jazakumullah Khairan 💖
Raina Pov
Perjalanan kami menuju lapangan sempat terhenti, karena Sindi yang tampak kagum melihat sosok pria, yang tengah asyik bermain basket bersama teman-temannya. Aku juga tidak tahu pasti siapakah lelaki yang sedang Sindi perhatikan itu.
“Rin..” begitulah Sindi menyapaku.
“Lihat deh.. itu tu..” katanya sambil menunjuk salah satu pria yang tengah asyik bermain basket itu.
“Iya.. seru kayaknya main basketnya ya,” ucapku polos.
Sindi tampak kecewa dengan tanggapanku yang datar. Kemudian ia mengarahkan mataku, untuk melihat pria yang ia kagumi, dan memintaku untuk memperhatikannya.
“Itu yang paling bening. Paling putih bersih. Namanya Dhuha, sepupuku. Dia juga mahasiswa yang populer disini, sama seperti Fajar.” Mendengar ucapan Sindi aku mengangguk paham, kemudian ia melanjutkan katanya.
“Sikapnya berbanding terbalik sama Fajar. Karena, Fajar populer dengan segudang kontroversinya, sedangkan Dhuha populer dengan segudang prestasinya. Pokoknya mereka berbanding 180 derajat. Andaikan dia bukan sepupuku, aku mampu bertekuk lutut di hadapannya.”
Aku yang mendengarkan ucapan dan penjelasan Sindi seketika terkekeh, tak sepatutnya dia mengatakan hal yang seperti itu, dengan ekspresi sekonyol itu.
“Ngenalinnya udah?” kataku masih dengan kekehan. Namun kekehanku terhenti, karena pria yang Sindi sebutkan tadi tampak datang menghampiri kami berdua.
“Siap-siap. Jantung para gadis di sini akan merasa panas. Lihat.. dia menghampiri kita," ucapnya yang membuatku langsung menundukkan kepalaku.
Aku tidak berani menatapnya ataupun melihatnya. Karena aku paham bagaimana Islam menjaga pergaulan kami.
“Sin.. pagi banget datangnya? Baru jam setengah delapan, kan mulainya jam sembilan nanti,” ucap pria itu, dengan suara yang kunilai cukup nyaman terdengar di telinga.
“Nih.. temanku Raina yang ajak aku datang pagi-pagi, katanya biar nggak telat dan bisa kebagian baris paling depan,” ucap Sindi dengan menyebut namaku di depan orang, yang bahkan belum ku kenal itu.
Lelaki itu tampak ber-oh ria mendengar jawaban dari Sindi, kemudian ia tampak mengambil sesuatu di ransel yang ia bawa .
“Ini dari Bunda. Katanya hadiah untuk hari pertama kamu kuliah,” ucapnya sambil menjulurkan sebuah bingkisan untuk Sindi.
Sindi yang bahagia menerima hadiah dari saudaranya, kemudian langsung membuka bingkisan yang pria itu berikan.
“Wah.. bagus sih Ha. Bilangin makasih ya buat Bunda. Tapi.. ini terlalu panjang buatku. Kan kamu tahu sendiri, jilbabku belum seperti Raina ini," katanya masih melibatkan namaku.
“Wah-wah-wah, kami kira.. setelah kuliah, kamu akan berubah. Dan mengikuti nasihat yang tempo hari Bunda berikan,” katanya dengan nada kecewa, karena Sindi tak memberikan respon yang seperti ia harapkan.
“Ok.. kalau gitu, biar kamu sama Bunda gak kecewa. Jilbab ini aku terima, tapi.. ini buat kamu ya Rin,” katanya yang membuatku terkejut. Kerena dengan nada suaranya yang tinggi, ia memberikanku khimar yang Kak Dhuha berikan padanya.
“Sin.. nggak ah, ini hak kamu. Kak Dhuha berikan itu untukmu bukan untukku,” ucapku pelan untuk menolaknya.
“Iya ini hakku. Makanya aku berhak kasih juga ke kamu kan? Dan sudah kewajiban kamu, untuk menerima hadiahku bukan?” katanya padaku, masih dengan sifat keras kepala yang Sindi miliki.
“Nggak papa, ini buat kamu aja Raina. Anggap aja itu hadiah perkenalan kita,” sambung Kak Dhuha dengan senyuman ramahnya. Aku tahu dia tersenyum, karena aku sempat melihat wajah Kak Dhuha ketika ia sedang berbicara.
“Kalau begitu, terimakasih ya Kak. In syaaAllah saya terima khimarnya,” kataku berterimaksih pada pria di depanku ini.
Aku tak memperhatikan reaksi apakah yang pria itu berikan, ketika aku mengucapkan terimakasih kepadanya.
*****
Semua mahasiswa/mahasiswi baru telah berkumpul di lapangan untuk pembagian kelompok.
Kemudian aku yang sedang mengamati keadaan, seketika pandanganku terhenti pada sosok yang tengah berdiri tegap di depan kami semua. Ia adalah Kak Dhuha sepupu yang Sindi kenalkan padaku tadi.
Otakku berputar memikirkan jabatan apakah yang kak Dhuha miliki? Sehingga bisa berdiri diantara para petinggi Kampus ini, ada juga Bapak Rektor duduk disampingnya.
Kemudian Sindi yang melihatku terdiam dan masih melihat ke arah Kak Dhuha, memberikanku pernyataan, bahwa kak Dhuha merupakan presiden mahasiswa di Kampus kami.
Dengan jabatan, prestasi dan fisik yang sempurna, tak mengherankan banyak gadis yang menyukainya begitulah fikirku.
Setelah sekitar satu jam kami medengarkan kata sambutan dari banyak tokoh di Universitas ini, akhirnya acara pembukaan ospek mahasiswa baru telah usai.
Kemudian tibalah, saat dimana kami mulai pembagian kelompok. Aku dan Sindi mendapatkan kelompok yang berbeda. Namaku di panggil untuk bergabung pada kelompok satu.
Dan yang lebih mengejutkanku, instruktur kelompok kami adalah dia, ‘pria es’ yang menabrakku pagi tadi. Kak Fajar. Aku memilih untuk menunduk ketika pria es itu datang menghampiri kelompok kami.
“Gimana.. udah lengkap anggotanya?!” katanya masih dengan nada yang dingin, tanpa alunan seperti kebanyakan orang bertanya, bahkan ia tampak seperti singa yang sedang manakuti mangsanya.
“Tidak tahu kak,” jawab kami kompak.
Kemudian aku melihat dirinya juga memegang sebuah kertas, yang kuduga itu adalah daftar hadir kami. Dan benar dugaanku, tanpa muqadimah ia langsung mengabsen kami satu persatu.
“Ok.. langsung aja. Saya cek lengkap atau tidak. Begitu saya panggil nama kalian. Bilang ada atau hadir. Jika tidak, saya anggap tidak ada,” katanya lagi untuk memperingatkan kami.
Seluruh nama tampaknya sudah dipanggil olehnya. Kini giliran namaku, “Aisyah Raina Abdullah," katanya singkat.
Aku yang mendengar namaku dipanggil lagsung mengangkat tanganku, dan mengeraskan suaraku, “Hadir kak!!”
Melihatku, tampaknya ia sedikit kaget karena penampilanku yang berbeda dengan teman-temanku. Dan pasti dia juga masih ingat sudah menabrakku tadi pagi.
“Apa alasan kamu memakai itu?! Bukankah disini bukan perguruan tinggi Islam?” tanyanya padaku masih tanpa ekspresi.
“Maaf kak, saya memiliki alasan yang tidak bisa untuk saya bagikan kepada orang lain, mengenai niqab yang saya kenakan,” jawabku dengan pasti.
Untuk apa aku menceritakan alasanku padanya, cara bertanyanya saja seperti seorang algojo yang hendak mengeksekusi seorang penjahat. Mana mungkin dia akan paham jika aku menceritakan alasanku.
“Whatever.. yang penting itu nggak ganggu aktivitas kelompok ini nantinya,” katanya lagi memperingatkanku. Yang ku jawab dengan anggukan sebagai tanda aku memahami katanya.
...*****...
Setelah aktivitas hari ini selesai, setiap kelompok diberikan nasi bungus untuk makan siang kami semua. Aku sangat paham akan situasi yang seperti ini, dan tidaklah mungkin bagiku untuk melepas niqab yang sudah kukenakan selama ini, hanya karena makan siang bersama ini.
Dengan penuh keberanian, aku meminta izin untuk makan di tempat yang terpisah, tepatnya tempat dimana tidak ada orang lain, yang akan melihatku nantinya. Namun nihil, usahaku tampaknya tak membuahkan hasil yang baik.
Dengan mentah dan sedikit tak menghargai. Kak Fajar sebagai instruktur kelompokku malah mengatakan hal yang cukup menyakitkan bagi siapa saja yang mendengarkannya.
“Ini peraturan. Kita selalu makan bersama. Dan seenaknya lo meminta izin seperti itu. Kalau lo gak bisa makan disini.. ya udah, gak usah makan! Simple kan?!” katanya padaku.
Aku yang sudah menebak perlakuan ini yang akan ku dapatkan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menyentuh nasi bungkus yang dibagikan dan menaruhnya di sampingku.
Aku menyebarkan pandanganku ke area pemandangan tempat ospek kami. Aku tidak memikirkan apapun itu. Aku sangat enjoy dengan keputusanku.
Bahkan aku sudah mampu menahan emosi. Apalagi hanya menghadapi sosok dingin Kak Fajar. Rasanya diriku sudah kebal, dengan orang-orang yang belum terbiasa dengan wanita yang memakai cadar seperti ku.
Sejauh aku memandang. Kemudian mataku melihat Kak Dhuha yang tegah berjalan mengontrol setiap kelompok. Mungkin ia ingin memastikan, apakah seluruh peserta ospek makan dengan baik atau tidak.
Sikap dan sifat mereka berdua memanglah berbanding terbalik. Namun, aku tidaklah ingin membandingkan antara kedua seniorku itu.
Kini giliran Kak Dhuha yang menghampiri kelompok kami. Aku sudah dapat menebak apa yang akan ia tanyakan pada instrukturku.
Hanya saja, aku bukanlah tipe orang yang menyukai keributan dan perdebatan. Jadi aku sudah menyiapkan jawaban, yang mungkin akan menghindari perdebatan mereka nantinya.
“Gimana kelompok satu, Makanannya aman? Kalau ada yang kurang, boleh kok minta lagi sama panitia,” katanya pada kami dengan ramah.
“Aman kak..” jawab kami semua kompak.
Namun, aku melihat Kak Dhuha tampak mengalihkan pandangannya kearahku. Mungkin dia heran dengan nasi bungkus yang tergeletak di samping tempat dudukku.
“Loh.. itu makanannya nggak dimakan?” katanya lagi, sambil menatap heran padaku.
“Itu---” ucap Kak Fajar yang langsung ku potong.
“Saya sedang puasa kak. Jadi.. maaf saya tidak bisa makan bersama,” jawabku dengan alasan yang kunilai bisa membuat Kak Dhuha percaya. Tanpa suara ataupun pertanyaan lainnya, kak Dhuha hanya mengangguk paham dengan jawabanku.
...-----♡●♡-----...
Fajar Oh, Fajar🤐
jangan lupa tinggalkan jejak ya teman-teman🤗
Jazakumullah Khairan 💖
Fajar Pov
Namaku Malik Fajar Admajaya, akrab dengan sapaan Fajar. Aku merupakan putra tunggal dari seorang pembisnis yang cukup diperhitungkan di kota ini. Namun, aku sebenarnya tidaklah tertarik dengan dunia bisnis, aku hanya tertarik pada dunia motor. Seperti saat ini, aku merupakan seorang kapten di sebuah geng motor gede.
Di kampus banyak mahasiswa/mahasiswi yang cukup tak menyukaiku, karena sifat dingin dan sombongku, namun tak sedikit pula gadis yang tertarik padaku. Dan aku cukup tahu alasan gadis-gadis itu mendekatiku, mereka hanya peduli akan ketenaranku dan juga kekayaan yang kedua orang tuaku miliki.
...*****...
Pagi ini, adalah pagi yang cukup baik untukku menjalani aktivitas. Namun, seketika hancur hanya karena sedikit gangguan. Ya.. aku menabrak sosok wanita yang memakai pakaian aneh seperti ninja yang tidak membuatku nyaman. Aku memutuskan untuk tidak menggubrisnya dan langsung berjalan menuju kumpulan teman-temanku.
Hari ini adalah hari yang sedikit membosankan bagiku. Karena aku harus bertemu dengan banyak mahasiswa/mahasiswi baru. Tepatnya aku menjadi salah satu instruktur kelompok ospek mereka. Aku sempat menolak untuk menjadi instruktur, namun banyak teman-temanku yang memberikan tantangan untukku.
Lagi-lagi sosok perusak suasana kutemui. Aku masih ingat, dia adalah gadis yang tak sengaja menabrakku pagi ini. Ternyata dia tergabung dalam kelompok ospek yang aku bimbing.
Kemudian aku yang penasaran dengan gadis aneh itu, dengan nada dingin dan datar aku mencoba bertanya, apakah alasannya memakai pakaian yang aneh dan tidak seperti gadis-gadis yang lainnya.
Seperti dugaanku, gadis itu menjawab pertanyaanku dengan singkat. Dan aku tidak lah perduli dengan apapun alasannya. Bahkan aku merasa menyesal harus bertanya padanya.
Sifat aneh gadis itu juga ia perlihatkan ketika acara makan siang. Dirinya menolak untuk makan bersama dengan rombongan. Dengan alasan yang tak masuk akal, serta keanehan darinya yang mengusik emosiku. Aku tak memperdulikan apakah gadis itu makan ataupun tidak, itu bukanlah urusanku.
Kemudian sosok sempurna di mata para mahasiswi datang menghampiri kelompokku. Dengan sikap yang sok dibuat ramah, ia menanyakan alasan nasi disebelah gadis aneh yang tidak menyenggol nasi yang diberikan padanya. Aku bisa menebak, pasti akan ada kehebohan lagi antara aku dan Dhuha.
Namun, kali ini salah. Gadis itu tidaklah menyebutkan alasan sebenarnya, ia malah berdalil sedang puasa sunnah hari ini.
Dasar gadis aneh! - batinku sambil memperhatikan mereka.
“Jagain mereka semua Jar.. pastikan keamanan mereka," ucap Dhuha memperingatkanku.
“Gue tahu tanggung jawab gue. Gak perlu lo ingetin," jawabku dengan nada malas pada Dhuha.
Ya.. Dhuha. Dulu aku dan dirinya merupakan sahabat. Namun, seluruh kepercayaan dan rasa peduliku hilang, semenjak dengan sengaja Dhuha merebut dia yang menjadi cinta pertamaku. Ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dulu.
Flashback On
Pagi itu aku berniat memberikan surprise untuk Citra pacarku. Tepatnya dia adalah gadis pertama yang mengisi sudut hatiku. Aku mengiriminya sebuah pesan, bahwa aku ingin menemuinya di sebuah tempat yang menjadi favorite kami.
Dan dengan manisnya, gadis itu menolak ajakanku. Aku tidak pernah berfikir negatif atau buruk padanya, aku percaya penuh dengan Citra dan dengan hubungan kami.
Namun, semua itu seketika hancur. Ketika aku melihatnya sedang asyik memeluk lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Dhuha sahabatku. Ini merupakan penghianatan yang dilakukan dua orang yang paling ku percaya, begitulah fikirku.
Seketika amarahku memucak. Aku langsung menghampiri mereka berdua. Aku menghadiahi sahabatku dengan beberapa bogeman. Sementara untuk Citra, aku langsung memutuskan hubungan kami.
“Brengsek lo Ha. Gue gak duga lo bisa begini sama sahabat lo," kataku masih penuh amarah. Aku juga memberikan satu bogeman di pipinya.
“Jar.. ini gak seperti yang lo pikirin. Gue sama Citra---”
"Cukup! Lo bukan lagi sahabat gue." Aku sengaja memotong kalimat dari mulut Dhuha. Aku rasanya sudah muak dan tak ingin memiliki hubungan apapun dengan mereka berdua.
Sejak itulah, aku tak lagi percaya dengan sebuah hubungan. Bahkan sejak kejadian itu aku sangat membenci sosok perempuan. Kecuali Bunda. Karena dia adalah satu-satunya wanita yang tak pernah mengecewakanku. Dan jika aku memiliki seorang pacar itu hanya hiburan untukku.
...*****...
“Fajar.. kamu kenapa nak?” tanya Bunda sedikit khawatir. Karena melihatku pulang dalam keadaan mabuk.
“Fajar.. butuh ketenangan Bunda. Fajar udah dikhianati oleh mereka orang yang Fajar percaya," kataku, kemudian aku tak mengetahui apakah yang terjadi selanjutnya.
*****
Begitu aku terbangun, hari telah menunjukkan pukul 10.00 WIB pagi. Aku langsung bangun dan menemui Bunda untuk membicarakan soal tadi malam.
“Bun.. Bunda!” Teriakku memanggil Bunda. Samar-samar aku mendengar suara bunda yang memintaku untuk pergi ke taman bunga milik Bunda.
“Kamu udah enakan?” tanya Bunda sambil fokus dengan kegiatan menanamnya.
“Udah Bund.. cuma kepala Fajar sedikit pusing sih Bun. Tapi udah enakan kok," jawabku sambil memeluk Bunda dan aku berusaha agar Bunda tidak terlalu memikirkan tingkahku semalam.
“Kalau begitu Fajar mandi dulu ya Bun.” Dengan anggukan pelan dan senyuman yang hangat Bunda mengiyakan kataku.
Flashback Off
Sejak kejadian itulah. Aku tidak lagi mempercayai seorang gadis. Aku tidak lah perduli dengan apapun yang terjadi dan apapun yang mereka lakukan. Aku memilih untuk bersikap dingin pada mereka, karena aku tak ingin lagi terjebak dengan sikap manis seorang wanita.
Aku juga merubah pola pergaulanku. Aku lebih suka pulang malam, menghabiskan waktu di jalanan. Dan tak terlalu perduli dengan orang lain, yang tak mengerti bagaimana diriku.
Setelah acara yang membosankan ini selesai. Kami semua istirahat sebentar, untuk acara perpisahan ospek. Dan acara santai yang lainnya.
Aku sungguh tidak tertarik dengan acara seperti ini. Aku memilih untuk menghirup udara segar di bawah pohon. Aku merasa menemukan diriku yang pernah hilang jika hanya sendiri.
...-----♡●♡-----...
Hemm.. kasihan Fajar karena dikhianati oleh sang kekasih, sampai membuatnya berubah haluan😔
Anyway.. makasih banyak buat teman-teman udah mampir dan support cerita ini yah😁
Jazakumullah Khairan 💖
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!