Jam menunjukkan pukul 10 malam,ketika aku sampai dirumah. Ku lihat lampu ruang tenngah masih menyala terang,tak biasanya pikirku. Ya memang biasanya jam 9 malam dirumahku semua lampu utama sudah mati dan diganti dengan lampu yang lebih redup. Pelan kubuka jendela kamarku yang biasa sebagai pintu daruratku,jika aku pulang larut malam.
Tapi baru ku masukkan satu kakiku dan ku longok kamarku,tampak kedua adikku menangis sambil berpelukan dikamarku.
"Hei ada apa dengan kalian...mengapa kalian ada didalam kamarku?" tanyaku pada mereka
Tapi mereka tak menjawab,hanya isakan tangis mereka yang seolah enggan berhenti. Hanny adik bungsuku berlari kearahku dan menghambur dalam pelukanku sambil terus terisak.
Sementara adikku yang satunya mencoba mengatur nafasnya dan mengambil duduk disampingku.
"Mbak Raya dari mana?" tanyanya dengan nafas tersengal karna kelamaan nangis.
"Latihan band...gladi resik" jawabku.
"Memangnya ada apa?" tanyaku gusar.
"Bapak...sama ibu...hiks hiks hiks..." ujar Hanny sambil terus menangis.
"Bapak sama ibu kenapa?" tanyaku lagi.
"Makanya Mbak Raya tu jangan pergi mlulu...jadi ngerti di rumah tu sedang ada apa..."ucap Ermy menyalahkan...
"Oke...mbak salah,sekarang coba jelaskan pada Mbak Raya,kenapa kalian bisa dikamar mbak dan menangis berjamaah kaya gini..."
Belum sempat adikku menjawab terdengar suara "krompyang-krompyang" yang disusul dengan suara "bruk" seperti suara benda pecah belah dan orang yang jatuh. Tanpa komando,kami pun berhamburan keluar kamar. Terlihat bapak tengah mengangkat ibu yang jatuh pingsan. Ruang tengah kami sudah terlihat seperti kapal pecah,rupanya ketika ibu hampir jatuh,tangan ibu memegang ujung taplak meja makan sehingga ketika ibu benar-benar jatuh pingsan taplaknya tertarik dan barang-barang yang ada diatas meja makan ikut jatuh berantakan.
Ibu memang punya penyakit tekanan darah rendah atau anemia,jadi jika ibu dalam kondisi drop,ibu memang sering pingsan. Tapi pingsan ibu kali ini aku yakin bukan karna tekanan darah nya yang rendah,tapi karna terjadi pertengkaran antara bapak dan ibu yang entah disebabkan apa,aku masih kurang tau.
Bapak membaringkan ibu ke tempat tidur dan mulai memberikan minyak angin supaya ibu cepat sadar. Kedua adikku menunggui ibu sambil masih terisak-isak karna menangis,sementara aku memilih membersihkan dan merapikan ruang tengah. Bapak keluar kamar dan mengambil segelas air putih hangat.
"Ibu sudah sadar pak?" tanyaku hati-hati.
"Sudah...sana antar air ini ke kamar buat ibumu" titahnya.
"Bapak sendiri mau kemana?"
"Nggak kemana-mana,pikiran bapak sedang kalut. Setelah kau berikan gelas itu,temui bapak diruang tamu,ada hal yang ingin bapak bicarakan denganmu"
"Iya pak..." jawabku singkat dan patuh.
Aku melangkah menuju kamar bapak dan ibu,kulihat ibu masih memejamkan matanya sedangkan Hanny adikku bungsuku tengah memijit-mijit tangan ibu,sementara adikku Ermy memijit kaki ibu. Agak lama aku berdiri di pintu kamar,melihat pemandangan yang kadang membuatku iri karna aku tak pernah menjadi bagian dari pemandangan itu.
Sedikit cerita tentang aku...
Aku adalah anak sulung dari 3 bersaudara yang ketiga-tiganya anak perempuan. Begitu aku lahir,aku telah dititipkan kepada nenek angkat dari ibu hingga aku berusia 5 tahun. Ketika lepas masa balita,aku pun terpaksa dipulangkan kepada orangtuaku karna nenekku meninggal. Raya kecil yang selalu berlimpah ruah kebahagiaan dan kasih sayang,harus terpisah dengan orang yang sangat aku sayangi yaitu nenekku tercinta.
Berada di rumah orangtuaku sendiri teryata membuatku sedikit depresi,karna aku belum bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah seorang kakak dari seorang adik bernama Ermy kala itu.
Aku yang terbiasa mempunyai segalanya sendiri,harus rela berbagi dengannya.
Aku tumbuh menjadi pribadi yang nakal dan bandel,setidaknya dua kata itu yang sering dikatakan oleh guru disekolahku,saudaraku,tetanggaku dan kedua orangtuaku. Sebenarnya semua itu hanyalah wujud protesku saja karna aku merasa bapak dan ibuku lebih perhatian dan lebih sayang pada adikku,sementara aku selalu dikesampingkan. Terlebih lagi ketika selang beberapa tahun aku kembali mempunyai adik baru,dia adalah Hanny. Aku semakin merasa tersisih berada di rumah waktu itu,sampai kakek orang tua kandung ibuku mengambilku dan mengasuhku. Bersama kakek nenek,pakdhe budhe,bulik dan kakak-kakak yang menyayangiku,aku seperti hidup kembali. Hari-hariku bahagia walau dengan hidup yang jauh dari kata mewah.
Tapi karna satu hal,tak lama aku bersama mereka aku dijemput lagi oleh bapak atas perintah orangtua bapak,mereka juga kakek nenekku.
Inilah awal dari kisah ketidakberdayaanku menjalani takdirku.
"Mbak,mau ngapain berdiri disitu" tanya Ermy yang jarang bersahabat denganku,membuyarkan lamunanku.
"Mau ngasih ini buat ibu...bapak yang nyuruh" kataku sekenanya.
Hanny adik bungsuku berdiri dan mengambil gelas ditanganku.
"Trimakasih ya mbak...mbak nggak mau masuk?" tanyanya padaku.
"Kalian saja yang menunggui ibu,aku ditunggu bapak di ruang tamu" kataku menghindar dan segera berlalu.
Kalau ibu sampai melihatku,aku yakin akan ada kata-kata yang menyakitkan yang terpaksa kudengar dari nya.
Aku menghampiri bapak yang tengah menikmati sebatang rokok yang entah yang keberapa,karna aku melihat asbak yang tadinya kosong,sudah hampir penuh. Aku meletakkan mug yang berisi teh manis panas yang menjadi kesukaan bapak.
"Duduklah disini,ada yang ingin bapak sampaikan padamu" bapak menepuk tempat kosong disampingnya. Aku hanya bisa mengangguk patuh dan segera duduk di tempat yang dititahkan bapak padaku.
"Kamu dari mana?"
"Latihan band pak,band nya panti besok pagi jam 10an dapet job di Universitas Ahmad Dahlan. Karna acaranya pagi dan pihak panitia minta dihadirkan vokalis cewek,maka Pak Hadi memintaku ikut manggung disana besok pagi...Bapak tidak keberatan kan?" tanyaku penuh harap.
Bapak hanya mengangguk tapi bapak diam,tak berkomentar apa-apa. Lalu bapak pun menarik nafas panjang dan...
"Kalau seumpama nanti kita pindah rumah jauh dari sini,apa kau tidak apa-apa jika nanti kau tidak bisa ikut ngeband dengan teman-temanmu lagi?"
Deg...hatiku jadi merasa tidak enak,aku merasa ada sesuatu yang tak beres dengan keluargaku.
Awalnya dulu bapak memang tidak pernah mengijinkan aku ikut ngeband dengan teman-temanku,dengan alasan kalo dapet job selalu malam dan semua anggotanya laki-laki,malu sama tetangga kalo perempuan pulang larut malam dan dianter cowok gonta ganti.
Tapi ketika Pak Hadi sendiri yang meminta pada bapak supaya mengijinkan aku untuk gabung dengan band panti asuhan miliknya,akhirnya bapak mengijinkan,dengan catatan boleh ikut job yang jamnya pagi,siang atau sore hari saja.
"Bapak kok bilang gitu...memang kita mau pindah pak?"
"InsyaAlloh..."
.
.
.
.
.
.
.
Lanjut...
"Memangnya kenapa kita harus pindah pak?" tanyaku.
"Maafkan bapak ya nak...bapak tidak pernah mau dikasih masukan sama kamu. Padahal jauh-jauh hari,sebelum bisnis ini berjalan kamu sudah pernah ngingetin bapak. Sekarang apa yang kau takutkan kemarin,semuanya terjadi. Bapak bodoh dan terlalu percaya dengan sahabat bapak,bapak juga telah meremehkan usulan kamu,bapak selalu menganggap kamu sebagai anak kecil yang nggak tau apa-apa,padahal kamu sudah dewasa...sudah ngerti hukum dan tata cara berbisnis."
"Berbisnis dengan orang lain memang tak cukup dengan rasa saling percaya dan berdasarkan persahabatan masa kecil. Kini semua sudah habis...habis...tinggal rumah ini,itu pun terpaksa harus dijual untuk menutupi hutang bank dan membayar gaji karyawan...Astaghfirullah...bukannya aku mengantarkan anak-anakku ke gerbang kesuksesan tapi aku malah menjerumuskan anak-anakku ke gerbang kehancuran."
"Maafkan bapak Raya...maafkan bapak...Bapak telah mengubur semua cita-citamu dan masa depan adik-adikmu" ucap bapak sambil menyesali perbuatannya.
Aku hanya diam tertegun,melihat bapak menangis dan terpuruk. Aku tak bisa berkata apa-apa,mau disesali seperti apa pun semua yang hilang tak mungkin kembali.
"Sudahlah pak...mungkin memang sudah jalannya,apa yang pernah kita pinjam kini telah diminta sama yang punya" kataku mencoba tegar.
Kedengarannya sok bijak memang,tapi apa yang bisa kukatakan lagi coba...melihat bapakku begitu terpukul,apakah aku harus marah dan menyalahkan bapak? Atau menangis sekencang-kencangnya agar semua tetangga bangun?
Aku yakin bapak sudah berbuat yang terbaik untuk keluarganya dan pastinya bapak juga nggak ingin bisnisnya bangkrut. Semua ini memang sudah takdir Alloh yang harus kami jalani.
"Lalu bagaimana dengan keinginanmu melanjutkan sekolah...bapak sudah tak bisa membiayaimu kuliah. Otak bapak sudah buntu,tak bisa berfikir lagi...maafin bapak ya nak..." keluh bapak.
"Harusnya bapak bisa memberikan warisan dan masa depan yang lebih baik tapi...Sekarang ini jangankan memberikan warisan,rumah untuk berteduh pun mungkin hanya alakadarnya,belum lagi buat makan sehari-hari dan buat sekolah adik-adikmu...akh bapak benar-benar telah gagal menjadi seorang imam dan kepala rumah tangga..."
Bapak meremas-remas rambut kepalanya frustasi,air mata kesedihan dan kegagalan tak dapat dibendungnya lagi,mengalir di pipinya yang sudah mulai berkerut. Aku memegang tangan bapak dan ku elus pelan punggung tangan bapak yang selama ini telah bekerja keras mencari uang untuk kami.
"Pak,tidak ada satu pun orang di dunia ini yang ingin gagal dalam berbisnis. Tak seorang pun orang yang pernah berharap usahanya menjadi bangkrut. Semua ini terjadi karna sudah jadi suratan takdir dari Alloh,siapa tau akan ada keindahan dan kenikmatan yang akan kita sekluarga rasakan dibalik musibah ini."
"Kedua tangan ini,selama ini sudah berbuat banyak untuk kebahagiaan kami. Kedua tangan ini sudah bekerja keras siang dan malam untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Bapak tidak gagal,bapak sudah bekerja dengan jujur dan sepenuh hati,tapi sifat iri seorang manusia lah yang tega dan jahat mencurinya. Mungkin sudah waktunya kedua tangan ini untuk istirahat dari kerja keras nya selama ini."
Aku menarik nafas pelan. Aku tak menyangka akan ada kata-kata sepanjang itu keluar dari mulutku.
"Bapak...bersyukurlah Raya sekarang sudah lulus SMA,Raya janji Raya akan mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sekolah adik-adik. Bersyukurlah juga bapak mempunyai 3 orang anak perempuan,karna kelak kemudian hari akan ada seorang laki-laki yang akan menanggung hidup mereka. Jadi bapak tidak perlu menyesali karna tidak dapat memberikan warisan pada kami" ucapku sambil sekuat hati menahan air mata supaya tidak menetes.
"Raya..." ucap bapak sambil memelukku dari samping.
"Bapak tidak menyangka di balik sikapmu yang sering menjengkelkan kami,ada sifat kedewasaan yang luar biasa. Maafkan kami yang selama ini sempat menelantarkanmu...maafkan kami yang tak bisa menjadi orangtua yang sempurna untukmu"
Bapak mengelus kepalaku dan mencium pucuk kepalaku sambil masih terisak. Pelan aku menarik tubuhku,melepas pelukan bapakku.
"Pak,bangkrut bukan akhir dari segala-galanya. Raya tidak akan meminta bapak bekerja,cukup do'a yang Raya harap bapak berikan sebagai semangat dan kekuatan untuk Raya...biarlah saat ini,gantian Raya yang bekerja" ucapku penuh semangat.
Aku tidak mau membuat bapak terlalu lama larut dalam kesedihan,padahal jujur saja...untuk memikirkan aku akan bekerja apa dan bekerja dimana pun belum ada bayangan dalam otakku. Bapak menatapku ragu-ragu,tapi aku berusaha bersikap senormal mungkin dan menyembunyikan perasaan gundahku serapi mungkin.
"Bapak pasti akan selalu mendo'akanmu..." ucapnya sambil menyeka sisa air matanya yang menetes di pipi nya.
"Kalo begitu,besok pagi kita akan mulai membuka lembaran baru dengan semangat yang baru" ucapku mencoba meyakinkan bapakku.
Bapak tersenyum melihat semangatku yang berkobar-kobar seperti akan menghadapi peperangan...hehehe...
Tapi memang bagiku,musibah ini bukan akhir dari segala-galanya... Selama kita mau berusaha pasti kita bisa bangkit lagi.
"Nah gitu dong...senyum...hehehe..." kataku sambil nyengir.
"Kalian tidak usah khawatir,kemarin ketika pembeli rumah ini memberikan uang muka,bapak sudah membeli rumah di pinggiran kota. Tidak sebesar ini tapi cukup untuk kita sekeluarga berteduh bersama" ucap bapak.
"Alhamdulillah...Rumah sudah ada...apa lagi yang perlu di khawatirkan? Pokoknya Raya akan berusaha bekerja untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk menyekolahkan adik-adik sampai selesai... Bapak nggak usah khawatir,Raya kan anaknya kuat" ucapku sambil mengangkat sebelah tanganku dan memperlihatkan otot bahuku yang memang terlihat kencang karna aku rutin olah raga beladiri.
Bapak kembali tersenyum dan berdiri mengoyak rambutku.
"Kamu memang anak bapak yang hebat...bapak bangga padamu. Bapak akan lihat ibumu dulu" ucapnya sambil berlalu menuju kamar.
"Pak..." langkah bapak terhenti dan menoleh ke arahku.
"Besok pagi...Raya masih boleh manggung sama teman-teman kan?" tanyaku hati-hati.
"Manggung yang terakhir pak,setelah itu Raya akan konsentrasi mencari kerja" lanjutku.
Bapak terdiam lalu menjawab tanyaku dengan anggukan.
"Yess..." ucapku bahagia sekaligus sedih,mengingat ini adalah penampilanku yang terakhir.
Malam semakin larut,semua penghuni rumah sudah terlelap dalam mimpi mereka masing-masing. Hanya mataku yang masih belum bisa terpejam. Masih jelas terngiang obrolanku dengan bapak tadi. Aku tak menyangka,bisnis bapak yang dibangun dengan kerja keras dan kejujuran,hancur dalam sekejap karna kecurangan sahabatnya sendiri,sahabat bapak dari kecil.
Aku juga membayangkan dengan pasti,betapa hebatnya pertengkaran bapak dengan ibu tadi sampai membuat ibu pingsan dan membuat adik-adikku menangis ketakutan di kamarku. Kasian mereka...akh aku sangat menyesal tidak bisa memeluk mereka saat mereka butuh perlindunganku.
.
.
.
.
.
.
.
Lanjut...
Aku menggeliat malas ketika adzan subuh dari musholla dekat rumahku berkumandang,tapi seketika mataku melotot melihat tulisan besar pada kertas hvs yang kutempelkan di kalender kamarku yang ku tulis sendiri tadi malam.
Tulisan lebay "PENTAS TERAKHIR...SELAMAT TINGGAL DUNIA PANGGUNG,AKU AKAN SELALU MERINDUKANMU'...hihihi...geli sendiri aku membacanya.
Tapi bayangkan saja...3 tahun aku bersama mereka,seru-seruan dari panggung ke panggung. Bertemu dengan banyak orang,bagiku itu merupakan satu hiburan yang sangat menyenangkan. Mereka selalu menungguku,bahkan ada beberapa orang yang mungkin merupakan penggemarku...hihihi,menyebut-nyebut namaku...membuat aku merasa seperti artis sungguhan...hehehe.
Bersama teman-temanku...Mas Yusuf,Mas Bambang,Mas Denis,Mas Rudi,Mas Iskak dan Mas Aan,aku melalui hari-hari menghibur orang lain sekaligus menghibur diriku sendiri.
Sebelum bapak mergokin aku pulang jam 2 pagi dan masuk kamar lewat jendela,aku sering dapet jop malam bersama mereka,tapi setelah ketahuan aku langsung disuruh berhenti total. Baru ketika Pak Hadi pemilik band panti asuhan datang menemui bapak untuk meminta tolong padaku bergabung dengan band panti,bapak pun akhirnya memberi ijin dengan catatan tidak ada pentas malam,bolehnya hanya pagi,siang atau sore hari.
Bapak memang laki-laki paling pengertian,bapak mengijinkanku karna bapak tau aku tak nyaman berada dirumahku. Aku memang selalu tidak akur dengan ibuku sendiri dan adikku yang bernama Ermy.
Suara iqomah musholla menyadarkanku untuk segera menjalankan ibadah sholat subuh. Aku segera ke kamar mandi sekedar cuci muka dan gosok gigi kilat,setelah wudhu aku segera berlari menuju musholla yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku.
Selesai berjamaah di musholla,aku segera melaksanakan tugasku...membersihkan rumah,halaman dan menyiram bunga. Sedang asiknya menyiram bunga,aku dikejutkan oleh suara seseorang yang kukenal.
"Rajin sekali calon istriku ini...Assalamu'alaikum..." ucapnya...
"Eh...Wa'alaikumsalam...kok udah di sini,kapan mas datang?"
"Segitu kagetnya...ni baru aja sampe,langsung kesini...nggak liat mukaku masih lusuh..." ucapnya merajuk.
Aku tersenyum meletakkan gayung yang kupakai menyiram bunga. Laku ku terima kantong plastik titipan umi yang diberikan Mas Bahar kepadaku.
"Mas udah sholat subuh?" tanyaku
"Sudah,tadi sempet berhenti dimasjid pinggir jalan takutnya nggak keburu kalau langsung ke sini " jawabnya.
"Aku buatkan minum dulu,mau duduk di teras apa mau di ruang tamu?" tanyaku.
"Di teras aja...biar agak seger..."
Sekedar info...
Mas Bahar adalah tunanganku,sejak kelas 1 SMA aku sudah diikat oleh orangtuanya untuk dijadikan calon mantunya. Umi dan Abah,begitu aku memanggilnya adalah pengusaha batik sukses di Pekalongan sana. Mereka mengaku jatuh hati padaku sejak pertama kali Mas Bahar memperkenalkan aku pada mereka.
Mas Bahar baik,penyayang,pengertian,perhatian dan sangat dewasa. Jarak usia kami memang lumayan jauh...6 tahun. 3 tahun menjalani hubungan ini,semua terasa baik-baik saja. Di rumah ini Mas Bahar sudah seperti anak bapak dan ibu sendiri.
Tapi akhir-akhir ini,entah kenapa ada rasa di hatiku yang mengatakan bahwa dia bukan jodohku. Entah bisikan dari mana,tapi hatiku kuat mengatakan hal itu. Semakin ku tepis pikiran itu,semakin kuat hatiku meyakininya.
"Pak...bu...ada Mas Bahar di depan,barusan nyampe langsung kesini..." kataku mengabari orangtuaku.
Tanpa menunggu ba bi bu...ibu pun langsung ke depan menemui calon mantu kesayangannya. Sementara bapak masih sibuk memberi makan ayam-ayam peliharaannya.
"Mbaaak...Ini apa mbak...?" tanya Ermy.
"Oleh-oleh titipan dari umi..." jawabku.
"Boleh dibuka?" tanya Hanny
"Boleh...tapi salim dulu sana sama Mas Bahar dan bilang terimakasih" titahku.
"Oke boss..." ucap Hanny dan segera berlalu.
"Er...tolong bawakan minum ini ke Mas Bahar di depan...mbak mau mandi dulu"
Ermy mengangguk dan segera membawa nampan yang berisi kopi cappucino dan kue lapis Surabaya ke depan.
"Pak..."
"Apa?" bapak menoleh ke arahku.
"Raya harus ngumpul di panti jam 8 pak...gimana cara ngomongnya sama Mas Bahar ? Kalo Raya bilang mau pergi,pasti dia pengen nganter dan kalo dia tau aku mau manggung sama temen-temen...sudah pasti dia nggak ngijinin?"
"Emang selama 3 tahun kamu ngeband,dia ngga pernah tau?"
Aku menggelengkan kepala...
"Kamu nggak pernah cerita?" tanya bapak lagi seolah nggak percaya.
"Enggak..." jawabku singkat
"Astaghfirulloh...bisa-bisanya kamu nggak cerita,jadi selama ini Bahar nggak pernah tau kalo kamu berteman dengan anak-anak band itu?"
Aku mengangguk. Bapak menarik nafas pelan.
"Raya...kamu sudah janji kan ini pentas terakhirmu? Kalo gitu bilang saja ke Bahar bahwa kamu dimintai tolong Pak Hadi pengurus panti untuk menyanyi di Universitas Ahmad Dahlan sebagai penggalangan dana buat anak-anak panti."
"Kalau Mas Bahar pingin nganter?"
"Biarkan saja..."
"Kalau dia tanya kok bisa kenal sama Pak Hadi?"
"Bilang saja kenalnya waktu dulu ikut pentas 17 Agustus...memang begitu kan awal kenalnya..."
"Iya..."
"Ya sudah...cepat mandi dan sampaikan padanya begitu. Bapak mau cuci tangan dan ke depan menemui Bahar..."
"Terimakasih ya pak..." kucium pipi bapakku saking bahagianya lalu aku pun beranjak menuju kamarku untuk membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi.
Sekitar 30 menit ritual ku sudah beres...Bermake up tipis,aku mengenakan kemeja lengan panjang garis-garis warna biru muda,celana jeans biru,kerudung motif warna biru dan rompi jeans warna biru juga. Pokoknya hari ini aku ingin tampil dengan warna serba biru,sebiru hatiku yang akan berpisah denganmu...eh dengan mereka ding...hehehe...Lebay yah...
Aku keluar kamar dan menghampiri Mas Bahar yang sedang ngobrol sama bapak dengan perasaan deg-degan. Sementara ibu dan adik-adikku sedang menonton acara tv di ruang keluarga. Melihat aku berdiri di pintu,bapak pun segera pamit masuk. Sementara mata Mas Bahar tak lepas menatapku yang sudah rapi jali.
"Mau kemana pagi-pagi sudah dandan rapi" ucapnya curiga.
Deg...jantungku terasa berhenti mendengar pertanyaan dan tatapan matanya yang tajam ke arahku. Aku masih belum menjawab...terus terang aku bingung mau mulai dari mana.
"Kok diem...pasti ada yang nggak beres...duduk dan katakan padaku" titahnya.
Aku duduk di depan Mas Bahar sambil menata kata dalam hati untuk berkata jujur padanya.
"Sekarang bilang,kamu mau pergi kemana dan janjian sama siapa" tanyanya dengan nada lebih lembut.
"Raya mau ke Universitas Ahmad Dahlan...sama temen-temen dari panti asuhan"
"Acara apa?"
"Penggalangan dana untuk anak-anak panti"
"Emmm...terus kamu sebagai apa bersama mereka?"
"Raya mau pentas menyanyi bersama band nya panti..."
"Apa...? Kenapa kamu bisa ikut terlibat dalam pentas itu...jangan-jangan selama ini,ada yang kamu sembunyikan dariku..."
Aku terdiam tak berani berkata-kata,aku lirik jam ditanganku sudah menujukkan angka 7.15.
.
.
.
.
.
.
.
Lanjut...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!