NovelToon NovelToon

Bukan Yang Pertama

Ketika Hujan

Hujan semakin deras. Langit yang kulihat, begitu hitam dan pekat. Kilat dan petir saling menyusul. Sepertinya hujan masih akan terus mengamuk. Menumpahkan air ke bumi dengan ganasnya.

Meski tanah yang aku tapaki sudah mulai terendam air, sepertinya alam tak mau peduli. Kilat dan petir kian menjadi.

Satu persatu siswa SMA Negeri Unggulan yang terletak di sudut kota itu meninggalkan sekolah. Sebenarnya bel pulang sudah berdering sejak satu jam yang lalu.

Namun ada beberapa kelas yang belum keluar, terutama mereka yang duduk di kelas dua belas. Ada pelajaran tambahan yang wajib mereka ikuti sebagai persiapan diri menjelang ujian nasional yang sudah di dekat mata.

Diantara mereka yang sudah meninggalkan sekolah, ada yang dijemput orang tuanya, menembus hujan dengan laju kendaraan bermotornya atau pulang bareng dengan men

nebeng teman yang jarak rumahnya berdekatan.

Ada juga yang masih duduk cantik dan sedikit cemas menunggu angkutan yang menuju ke arah rumah mereka.

Seperti yang dilakukan Rey saat ini, sejak tadi ia masih berdiri di pintu gerbang berlindung di bawah gapura. Ia menunggu angkutan umum berwarna coklat yang biasanya melintas di gerbang sekolah.

Sudah hampir setengah jam ia berdiri di gerbang sekolah, namun angkutan yang ditunggu tidak tak kunjung melintas.

"Duh..." Rey mulai gelisah.

"Sampe kapan nih harus nunggu? Dari tadi kok angkot belum ada yang lewat," gerutu Rey lagi.

Ia merasa jenuh karena sudah berganti posisi dari duduk kemudian berdiri, diulang berkali-kali. Angkot yang ditunggu tak juga melintas.

"Alamat kena marah lagi, Nih"

"Sudah tahu hujan, Pak Andi pake ngulur-ngulur kepulangan siswa. Aku lagi yang susah" gerutunya lagi. Rey semakin kesal karena sekolah kian sepi.

Rey juga semakin khawatir. Hari semakin sore dan langit semakin gelap. Jika ia tidak segera pulang, ia akan mendapatkan omelan dari ibunya. Untuk itu, ketika ada teman yang menawarkan tumpangan ke pangkalan angkutan, Rey tidak menolaknya.

"Ayo, ikut sampe halte!" ajak Keke yang menghentikan motornya ketika ia melihat Rey yang masih berdiri di gapura.

"Siapa tau angkotnya pada ngetem di sana?" tambahnya lagi.

Tanpa berpikir panjang, Rey segera nemplok di jok belakang. Karena jarak sekolah dari pangkalan tidak begitu jauh, Rey menembus hujan tanpa alat pelindung. Tak ayal lagi, walau hanya sebentar, seragam batik yang ia kenakan kuyup terguyur air hujan begitu sampai di tempat tujuan.

"Maaf ya cuma sampe di sini,"

"Iya, kok. Kita kan beda arah," sahut Rey secepatnya karena ia menangkap raut muka temannya yang tidak tega menurunkan di halte pada saat hujan deras begini.

"Aku buru-buru nih, mau jemput adikku di tempat lesnya," jelasnya lagi.

"It ok, say. Ga pa-pa kok. Masih banyak angkot yang lewat jam segini," Rey berusaha memberikan alasan pada temannya itu.

"Aku tinggal ya," ujarnya lagi setelah menarik gas motornya. Rey melepas kepergian temannya itu dengan lambaian tangan dan senyum manisnya.

Rupanya, sore ini Rey harus menelan kekecewaan, di pangkalan juga tidak terlihat angkot yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. Dari sekian angkot yang berbaris di pangkalan itu, Rey tidak melihat angkot berwarna coklat yang sedang menunggu penumpang.

"Duh, sial sekali sih. Kenapa di pangkalan ini mereka juga tak kutemui,"

Hanya ada satu angkutan berwarna biru dan 2 angkutan berwarna kuning. Rute kedua angkutan itu tidak melewati rumahnya. Justru berbalik arah menuju ke sekolah.

"Ah rupanya hujan menyebabkan sopir angkutan lebih memilih untuk tidak mengemudi," bisik Rey dalam hati sembari berlari-lari kecil dan menutup kepalanya dengan tas ransel yang sejak tadi disandang dipunggung nya.

Rey memilih berteduh di halte yang berada di seberang pangkalan. Ia berharap segera ada angkutan yang lewat. Rey duduk di bangku panjang yang sudah basah terkena cipratan hujan. Bangku yang terbuat dari besi berwarna putih.

"Pulang kemana?"

Suara yang tiba-tiba terdengar itu cukup mengejutkan Rey.

Ternyata suara yang begitu berat itu datang dari arah pos polisi. Pos yang terletak di sebelah kanan halte tempat Rey menghempaskan pantatnya beberapa menit yang lalu.

Rey mencoba mengamati wajah si pemilik suara. Namun karena tertutup oleh helm dan masker, Rey tidak bisa mengenali siapa yang menyapanya tadi.

Rey menyapu sekeliling halte itu, ia tidak menemui kendaraan roda dua terparkir di sekitar situ. Rey segera berdiri dari dan ingin meninggalkan tempat duduknya. Tapi hujan mampu menahan langkahnya. Ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk meninggalkan halte itu.

Akhirnya, Rey memilih berdiri di sudut kursi itu dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang semakin gelap karena derasnya tumpahan hujan.

"Duh, siapa lagi. Kenapa aku harus bertemu mahluk aneh seperti ini," bisik Rey dalam hati. ia merasa terganggu dengan hadirnya pria misterius itu. Pria yang tiba-tiba mengagetkannya.

"Jangan takut," pria itu keluar dari gardu lalu duduk di kursi yang ditempati Rey tadi.

"Hujan begini sangat jarang angkutan yang mau beroperasi. Sebentar lagi jalanan akan tergenang air, mereka lebih memilih pulang ke rumah daripada harus menembus genangan air yang bisa menyebabkan mesin angkutan yang sudah seperti rongsokan itu mogok di jalanan," lanjut pria itu lagi. Masih dibalik masker dan helmnya.

Rey tetap diam. Ia tidak tertarik dengan pembicaraan orang yang ada disampingnya. Rey hanya melirik keberadaan orang tersebut dengan gerakan matanya saja.

"Kenapa kamu diam?" Tanya pria itu semakin penasaran.

Rey hanya menggeleng. Pandangannya tetap tertuju ke arah jalanan .

"Untuk apa aku meladeni orang asing ini. Aku hanya menunggu angkutan dan segera ingin sampai di rumah" bisik Rey dalam hati

"Apa kau tidak lelah berdiri mematung di situ? Duduklah. Aku tidak akan memakanmu," ujarnya lagi.

Ah....Rey semakin terganggu dengan keberadaan orang itu. "Kenapa aku harus duduk berdampingan dengan orang yang asing saat hujan begini," desah Rey semakin dongkol.

Dongkol pada laki-laki asing itu yang tidak membuka penutup mukanya saat berbicara pada orang lain. Hanya terlihat sorot matanya yang sedikit bersahabat. Rey semakin serba salah. Antara kesal dengan pria asing itu dan pada hujan yang tak kunjung reda .

Craaaatttttt!!!

"Aaahhhh" teriak Rey sepontan.

Sebuah motor yang melaju dengan kencang menyipratkan kubangan air yang berwana hitam pekat ke arahnya. Kubangan yang berasal dari meluapnya air got di sekitar pangkalan angkot yang tertutup oleh kotoran sampah plastik.

"Sial!," teriak Rey dalam hati.

Kontan saja baju dan rok yang ia kenakan semakin basah dan kotor. Mukanya yang putih bersih juga menjadi hitam bak disiram air comberan.

Kedongkolan Rey semakin menjadi. Namun ia tak bisa memaki pengendara yang sudah jauh meninggalkan tempatnya berdiri.

"Sudah kubilang. Duduk saja di sini!"

Rey memalingkan pandangan ke arah pria itu sebentar, raut wajahnya tampak begitu ragu.

"Tidak perlu takut. Percayalah, aku bukan penjahat"

"Terimakasih"

Akhirnya Rey mematahkan keraguannya. Ia segera mengambil tempat duduk di samping pria itu. Tidak begitu berdekatan. Jarak mereka bisa ditempati dua orang.

"Maaf jika aku sudah membuatmu begitu takut"

Pria itu segera minta maaf begitu Rey menempati bangku halte yang sejak tadi memang ingin sekali ia tempati.

Kakinya cukup lelah untuk berdiri setelah seharian ini begitu bangak kegiatan yang harus ia selesaikan.

"Tidak. Aku tidak terganggu dengan keberadaan, Anda. Aku hanya ingin segera sampai ke rumah saja" sahut Rey memberi alasan.

Sebuah alasan yang cukup konyol menurut Rey sendiri. Bagaimana tidak, ia ingin segera sampai ke rumah sedangkan angkot yang tunggu-tunggu tak kunjung lewat.

Mau berdiri dengan posisi apapun tak akan bisa memindahkan tubuhnya dalam sekejap. Dari halte tiba-tiba muncul di rumah.

Mengingat ini, Rey jadi tertawa sendiri. ia menertawakan kebodohan. Begitu panik dan takutnya ia jika tak segera sampai ke rumah membuat nalarnya menjadi hank.

Pria itu hanya menyeringai. Ia tak lagi bersuara. Beberapa kali Rey melirik, ia sibuk dengan hp yang ada ditangannya. Rey juga begitu. Ia memilih diam dan sesekali melongokkan lehernya yang jenjang ke ujung jalan.

"Datanglah.....buruan...,"

"Sudah mau magrib nih," keluh Rey berulang-ulang.

Hingga pada akhirnya, Rey melihat angkutan yang ditunggu datang, Rey segera berdiri dari tempat duduknya. Ia tak ingin tertinggal oleh angkot yang sudah sejak tadi ditunggunya.

"Alhamdulillah, akhirnya," teriaknya. Suara itu terdengar oleh pria yang sejak tadi menatap dengan khusyuk gadgetnya.

Rey melangkah pergi meninggalkan tempat duduknya ketika angkot itu menghampirinya. Tanpa pamit pada pria yang sejak tadi ada di sampingnya.

Rey memaksa untuk bisa masuk angkutan itu meskipun ia tahu tidak ada sisi yang bisa untuk didudukinya lagi. Semua bangku sudah terisi penuh oleh penumpang yang telah lebih dulu ada di angkutan itu.

Bangku yang seyogyanya hanya untu 10 penumpang pada bagian belakang, 6 sisi kanan dan 4 sisi kiri itu terlihat penuh sesak oleh anak-anak sekolah. Begitu juga dengan bangku yang ada di depan. Selain sopir, ada dua penumpang yang ada di sisinya.

Akhirnya Rey harus iklas hanya menempelkan sedikit pantatnya pada ujung jok yang ada di sisi pintu. Kedua tangannya memegang erat bagian pintu dan sisi kursi agar tidak jatuh ketika angkutan itu melaju.

Pria itu seperti nya juga tidak peduli dengan kepergian Rey. Pandangannya tak beralih sedikitpun dari benda yang ada ditangannya hingga Rey berlalu dari pandangannya.

 

***Ilustrasi Tokoh Rey***

 

Kemarahan Ibu

Angkot yang membawa Rey berhenti ketika sudah berada di pinggir jalan, depan rumah Rey. Gadis itu segera turun dan berlari kecil menuju ke rumahnya. Rumah terlihat begitu sepi, namun pintu depan dibiarkan terbuka lebar.

"Dingin banget," tubuh Rey tiba-tiba menggigil. Wajar saja, sudah cukup lama tubuhnya terguyur air hujan.

Terbayang oleh Rey, mandi air hangat agar suhu tubuhnya netral kembali. Perutnya juga sudah menahan lapar, terakhir kali ia hanya sarapan dan minum susu sebelum berangkat ke sekolah.

"Ibu masak apa ya?" tanya Rey dalam hati. Terbayang olehnya segelas teh hangat dan sepiring nasi akan menuntaskan masalah perutnya.

Lumunan Rey buyar seketika kala ibu muncul dari ruang tamu dan berteriak sekencang mungkin.

"Kenapa kau telat" hardik ibu begitu mendapati Rey datang dan mengibas-ibaskan rambutnya di teras rumah.

"Hujan, Bu. Angkot tidak ada yang lewat di depan sekolah. Aku harus ke simpang dulu dan menunggu beberapa waktu baru ada yang lewat"

ujarnya dengan suara yang begitu lembut. Memberi penjelasan pada ibunya.

"Sudah jam berapa sekarang? Bukannya bel pulang sebelum hujan turun," protes ibu.

"Sebelum hujan kau bisa menumpang motor temanmu. Selalu ada saja alasannya akhir-akhir ini" tambahnya lagi.

"Ini kan hari Kamis, Bu. Sesuai jadwal , ada PM matematika di kelasku. Lagi pula Rina sudah pulang lebih dulu karena jadwal PM kami berbeda" jelas Rey membela diri.

"Ah sudahlah. Ada-ada saja alasanmu itu. Cepat kau ambil loundry di mess besar. Sejak pagi penghuni barunya sudah menelpon, minta kita menjemput pakaian kotornya," perintah ibu.

"Dia calon pelanggan baru, jangan sampai kecewa dengan pelayanan kita," perintah ibu lagi sembari meninggal Rey yang masih berdiri di depan pintu. Di teras rumahnya itu.

Rey sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya memandangi punggung ibunya yang kemudian hilang di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan dapur.

"Kenapa ibu harus menungguku pulang untuk menjemput cucian itu? Di rumah ada Kak Nay dan juga Doni!" keluh Rey dalam hati.

Tubuhnya masih berjuang menahan dingin sementara perutnya makin melilit karena lapar namun ibunya sudah menyuruhnya untuk menembus hujan kembali.

"Seharusnya ibu faham dengan keadaanku. Aku sudah kelas XII, sebentar lagi ujian. Setiap Senin hingga Kamis ada pelajaran tambahan sepulang sekolah. Kenapa ibu masih saja memaksaku untuk membantu urusan laundry dan pekerjaan rumah lainnya," sesal Rey karena sikap ibu yang tidak berpihak padanya.

Bukankan Doni sudah bisa diminta tolong untuk menjemput cucian untuk sementara waktu atau Kak Nay juga bisa membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah.

Setiap pulang sekolah aku selalu disibukkan dengan menjemput dan mengantarkan cucian, belum lagi mencuci piring yang bertumpuk-tumpuk . Membersihkan rumah dari depan hingga belakang berikut pekarangan juga.

Jika kondisinya bukan seperti sekarang, aku tidak akan mempermasalahkan hal ini. Dengan senang hati aku membantu pekerjaan ibu di rumah. Namun kali ini beda. Ujian nasional sudah di depan mata. Rey menarik nafas panjang. Dia tak habis pikir.

"Seperti tidak ada orang lagi di rumah ini!"

"Kenapa ibu memperlakukan dirinya seperti ini?" lagi-lagi Rey mengucapkan pertanyaan itu di dalam hati

Aku sendiri tidak bisa protes atas perlakuan ibu. Ibu selalu punya alasan jika aku merasa keberatan atas tugas-tugas yang selalu dibebankan padaku.

"Kakakmu juga sudah lelah mencuci dan menunggu usaha laundry kita. Jika ia lelah, sakitnya akan kambuh. Sakit apa, dia?"

Seumur hidup menjadi adiknya, aku hanya mengingat Kak Nay kerasukan setan. Ia sempat tidak sadarkan diri dan ngoceh-ngoceh tidak karuan. Itu juga karena kelakuannya sendiri, menjelang magrib ia menangis tak henti-hentinya minta dibelikan baju baru. Itu terjadi sudah lama sekali. Dulu sekali, waktu ia masih berumur delapan tahun. Ketika ingin pergi ke acara ulang tahun temannya, ia ingin baju baru yang bergaya princess.

"Apa kesurupan juga bagian dari penyakit?"

Ibu terlalu berlebihan pada kak Nay. Sikap kurang percaya diri dan tidak mau mencoba dianggap sebagai sesuatu yang perlu dilindungi. Pada akhirnya, Kak Nay menjadi sosok yang selalu bergantung pada orang lain, tidak bisa mandiri.

"Doni masih kecil jika harus ibu suruh untuk antar menjemput cucian- cucian pelanggan," alasan ibu untuk membela Adiknya itu.

Doni sudah berumur 13 tahun. Anak kelas satu SMP segala sesuatunya masih dilayani orang tua. Tidak diajarkan tanggung jawab dan membantu orang tua.

Rey hanya tersenyum kecut jika ibu sudah mengeluarkan jurus pamungkas nya itu satu persatu.

Kami bertiga dilahirkan dari rahim yang sama, dari benih ayah yang sama. Lalu, kenapa perbedaan itu begitu terlihat nyata.

"Bagaimana dengan aku?" pekik Rey

Ibu lupa. Atau memang ia tidak mau mengingatnya. Rey sejak kecil sudah dibebankan banyak pekerjaan.

Sejak usia enam tahun ia sudah diminta untuk membereskan cucian piring pagi dan sore hari, menyapu dan mengepel lantai. Sebelum berangkat sekolah ia harus membuat rumah dalam kondisi yang rapi.

Belum lagi jika ibu malas keluar rumah, dia juga yang harus ke warung, bolak balik ke pasar, atau pekerjaan lainnya. Rey lebih mirip sebagai pesuruh di rumah itu dibanding saudaranya yang lain.

Bila ia menolak, tangan ibu dengan ringannya mendarat di pipinya bahkan tak segan-segan ibu melemparkan benda apapun yang dipegangnya ketika murka padanya.

Tidak hanya itu, ocehan ibu bisa berlanjut beberapa episode atas kesalahan kecil yang dibuat oleh anak keduanya itu.

"Kenapa ibu tidak berlaku adil pada anak-anaknya?"

Kak Nay sudah selesai sekolah. Selain mencuci tidak ada pekerjaan yang dibebankan ibu padanya. Itu juga tidak mengeluarkan banyak tenaga, mesin cuci yang membantunya bekerja. Ibu yang menyetrika pakaiannya. Sedangkan aku yang menjemput dan mengantarkan cucian pelanggan. Selain itu juga masih ditambah pekerjaan rumah, membantu ibu.

Rey segera menyambar helm yang ada di atas rak sepatu dan menyalakan motornya. Ia meninggalkan rumah dengan laju kendaraan yang cukup kencang.

Ia meninggalkan ibu dengan segala kegondokkan yang ada di dadanya. Ia kembali menembus hujan dengan mengendarai motor hondanya. Tetap dengan seragam sekolahnya yang masih basah dan kotor terkena cipratan air kubangan. Kecuali tas ranselnya yang sudah lebih dulu ia lempar begitu saja di sofa ruang tamu.

Ia melaju pelan begitu melintas di jalan raya menuju mess besar. Menembus hujan yang lebat, petir dan kilat yang saling bersahutan serta cuaca yang terlihat begitu gelap.

Mess besar adalah tempat dimana para pegawai pendatang yang bekerja di perusahaan tambang bermukim. Letaknya hanya sekitar 2 kilo meter dari rumah. Sejak mess itu berdiri memang menjadi ladang bagi keluarga Rey untuk mengais rezeki dari usaha laundry.

 

***Ilustrasi Tokoh Ibu***

 

Mess 105

Rey menghentikan kendaraanya tepat di depan pintu kamar mes 105. Suasana mess karyawan pertambangan ini begitu sepi Semua pintu tertutup rapat. Beberapa diantaranya bahkan tidak ada penerangan sama sekali di ruangannya.

Setelah mematikan mesin motornya, ia melangkah menuju pintu. Rey mengetuk pintu rumah dinas itu berkali-kali dan mengucapkan salam. Tidak lupa ia juga sedikit berteriak agar sang penghuni bisa mendengarnya.

Rey beranggapan suaranya kalah oleh derasnya hujan yang mengguyur bumi sore ini.

"Permisi,"

"Permisi, Pak. Mau ambil laundry!" teriak Rey dengan volume suara yang lebih keras

"Permisi....,"

Tak ada sahutan. Suasana rumah tampak begitu sepi. Namun lampu ruangan menyala. Ada sepatu yang tertinggal di teras rumah dalam keadaan basah dan tapak sepatu yang masih tertinggal di teras luar itu.

"Sepertinya orangnya ada," pikir Rey.

"Baiklah, aku akan mengulangi panggilan dengan suara yang lebih keras,"

Ia mengulangi kembali teriakannya dan mengetuk pintu dengan volume suara yang lebih keras. Tetap tidak ada jawaban. Rey tak patah semangat, ia mengetuk pintu itu berulang - ulang.

"Permisi, Pak,"

"Loundry," Teriak Rey lagi.

Tetap tidak ada sahutan. Tak berapa lama, terdengar suara pintu dibuka. Bukan pintu yang diketuk oleh Rey. Justru yang keluar pengghuni ruang yang di sebelahnya.

"Tunggu aja, dek,"

"Mungkin orangnya lagi sholat, tunggu saja sebentar" teriak kepala yang muncul dari pintu rumah sebelah.

"Orangnya ada kok. Baru pulang beberapa saat yang lalu," katanya lagi

"Terimakasih, Pak. Maaf suaraku sudah membuatmu terganggu," ujar Rey.

Rey segera menundukkan kepala dan memberi senyum pada sang pemilik mess sebelah. Ia merasa malu. Teriakannya bisa terdengar hingga ke tetangga sebelah.

Setelah melihat reaksi Rey, pria itu tersenyum simpul. Pria itu menarik kepalanya dan menutup kembali daun pintunya.

Ya...Rey sudah putuskan untuk menunggu penghuni mess ini beberapa saat saja. ia akan melakukan panggilan lagi jika penghuninya tak kunjung menampakkan diri.

Rey tidak mengulangi ketukan pintu lagi. Ia menunggu dengan sabar dan tetap berdiri di muka pintu. Untuk menghilangkan kejenuhan, Rey memutar sepatunya bak jarum speedometer motornya.

Sisa tanah merah yang melekat pada tapak sepatu itu membentuk setengah lingkaran pada ubin yang masih basah tersiram hujan.

Rey juga terlihat begitu menahan dingin. Tubuhnya. sesekali menggigil. Kedua tangannya ia tangkupkan ke dada dan menggosok pelan kedua bahunya untuk mengurangi rasa dingin yang dirasa oleh tubuhnya.

"Settttt..," desis yang keluar dari bibirnya.

"Dingin sekali,"

Benar saja, tak lama Rey mematung di depan pintu itu. Tiba-tiba pintu yang diketuk-ketuk Rey sejak tadi terbuka.

"Jegrek," suara pintu terbuka

Rey membalikan tubuhnya seketika. Yang keluar seorang pria dengan kaos putih dan celana pendek. Ia muncul di depan Rey sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang ada ditangannya.

Pria itu memandang Rey dengan heran. Rey hanya mampu tersenyum segaris saja, entah karena malu setelah menyadari tubuhnya yang kuyup tersiram hujan sepintas disapu oleh si pemilik rumah atau karena kikuk melihat pria itu yang memandang penuh heran padanya.

"Maaf pak. Saya mau ambil loundry," ucap Rey memecah kebisuan di antara mereka.

"Tunggu, ya!" sahut pria itu.

Ia segera membalikkan tubuhnya menuju ke dalam rumah dikuti pandangan Rey yang masih serba salah.

Sepeninggal pria itu, Rey justru memandangi tubuhnya. Ia jadi berpikir, kenapa pria itu memandang aneh pada dirinya?

"Apa karena bajuku yang kuyup hingga lekuk tubuhku terlihat oleh pria itu,"

"Ih, dasar otak mesum," Rey tiba-tiba jadi bergidik sendiri.

Tak lama ia muncul kembali dengan menenteng kantong plastik hitam ditangannya dan memberikan sekantong pakaian kotor itu ke orang yang datang ke kamarnya dengan ketukan pintu yang tidak sabaran.

"Ini cuciannya,"

"Maaf, tadi saya sedang membersihkan diri di kamar mandi" ujarnya sambil menyapukan pandangannya lagi ke arah Rey dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Pandangan penuh keheranan, pria itu tetap menatap lekat ke arah Rey.

"Kenapa gadis dengan tubuh sebongsor ini tidak punya malu sedikitpun mempertontonkan lekuk tubuhnya dibalik seragam sekolah yang kuyup terguyur hujan," bathin pria itu.

"Maaf pak. Maaf sudah mengganggu," Rey membungkukkan badannya dan tersenyum malu mendapati kata-kata itu dari penghuni kamar itu.

"Ya," sahutnya singkat.

"Besok-besok pakaian saya taro di kursi ini ya," pria itu menunjuk ke arah bangku yang ada di sisi anak tangga.

"Tidak usah diambil setiap hari. Cukup setiap dua hari saja. Begitu juga sebaliknya. Letakkan saja pakaian yang sudah rapi di tempat ini" tambahnya lagi tetap dengan tatapan yang penuh heran ke arah Rey.

"Baik pak. Maafkan saya yang datang terlalu sore dan mengganggu waktu istirahat Bapak," Rey berusaha membungkukkan badannya dan tersenyum semanis mungkin

Pria itu tidak membalas permintaan maaf Rey, setelah ia menyerahkan kantong plastik berisi pakaian kotor itu ia tetap berdiri memperhatikan Rey tetap dengan tatapan sejuta pertanyaan .

Rey segera membalikkan badannya dan meninggalkan mess itu.

"Saya pamit,"

" Maaf sudah mengganggu,"

Rey mengernyitkan keningnya berulang-ulang saat menuju ke arah motornya. Sepertinya ia mengenal suara itu. Suara yang sama dengan pelanggan barunya ini.

"Tapi dimana ya?"

" Sorot mata itu?" tanyanya lagi.

Rey merasa pernah melihat sorot mata yang sama dengan pria yang masih berdiri di depan pintu itu.

Rey tidak mampu mengingatnya. Yang jelas Rey pernah mendapatkan tatapan mata yang sama dari sorot mata yang penuh tanda tanya.

Entahlah, sepertinya hawa dingin yang nyaris membekukan tubuhnya itu ikut mempengaruhi kemapuan otaknya yang encer untuk mengingat sesuatu.

"Ah....susah sekali mengingat yang satu ini,"

Sekali lagi ia melemparkan senyum segaris dengan mimik malunya dan menyalakan gas motornya.

"Permisi, pak," ujar Rey ramah. Ia memutar posisi motornya hingga membelakangi pria itu.

Dari spion Rey melihat laki-laki itu tetap berdiri di depan pintu.

"Kenapa ia masih berdiri di situ?" pikir Rey kesal.

"Dasar otak mesum. Mungkin ia merasa senang mendapati pemandangan seperti ini,"

Rey pura-pura tidak perduli lagi. Rey meninggalkan pria itu dengan laju kendaraan yang cukup pelan dan menembus hujan kembali dengan amukan yang kian menjadi.

Pria itu baru membalikkan badannya dan menutup pintu begitu Rey benar-benar hilang dari pandangannya tertutup gelapnya awan.

" Kasian sekali," ujar pria itu.

"Hujan yang begitu deras dan cuaca yang semakin gelap, kenapa ia masih nekat menembus jalanan?"

"Sungguh gadis yang penuh misteri," bisik pria itu.

Kini ia kembali ke kamarnya dan menunaikan sholat Azar yang sudah mendekati batas waktu yang diharamkan.

Ilustrasi Mess Karyawan Pertambangan

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!