NovelToon NovelToon

Aku Memilih Pergi

Ch 1- Nomor Tak dikenal

Intan sedang menekuri sebuah buku saat notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Ia menoleh sebentar lalu menegakkan kepalanya, menjulurkan pada ponselnya yang terletak di atas meja samping tempat tidur. Ia meraih ponselnya dan beberapa saat kemudian mengerutkan keningnya. Nomor baru terpampang di layar ponselnya. Ia membuka pesan itu.

"Assalamualaikum, apa benar ini nomornya intan?" Sebuah pesan masuk ke ponsel Intan.

Intan berpikir sejenak, mengingat nomor siapa. Pasalnya sekitar sebulan yang lalu ponselnya hilang ketika sedang berada di kapal menuju kampung halamannya. Siapa tahu itu adalah nomor temannya yang ada di ponsel lamanya.

Namun, setelah beberapa saat, ia sama sekali belum menemukan jawaban. Akhirnya ia memilih untuk membalasnya.

"Waalaikumussalam, iya. Maaf, ini dengan siapa?"

Intan membalasnya. Pesan terkirim dan beberapa detik kemudian sebuah pesan balasan masuk.

"Aku Hendra, pengacara yang dulu pernah satu organisasi dengan kamu." Balasan pesan itu.

Intan sedikit terkejut. “Oh, Pak Hendra, ya ampun, Pak, maaf. Ponsel saya hilang beberapa waktu lalu. Jadi semua nomor yang tersimpan hilang.” Intan meminta maaf sekaligus menjelaskan alasannya. Meski sebenarnya nomor Hendra memang tidak ada di ponsel lamanya. Nomor Hendra sudah lama terhapus. Intan ingat bahwa sudah setahun lebih dia tidak pernah berhubungan lagi dengan Hendra.

Intan pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Hendra saat dia memasuki semester lima. Intan kuliah di salah satu kampus yang berada di Surabaya. Ia mengambil jurusan hukum. Saat itu, ia dipanggil oleh Dina-seniornya sekaligus sahabatnya yang kebetulan memang mengenal Hendra untuk bergabung dalam sebuah organisasi bantuan hukum yang bertujuan untuk membantu kasus-kasus orang-orang yang tidak mampu. Yang kebanyakan kasus mereka tidak selesai karena keterbatasan dana. Orang-orang yang direkrut dalam organisasi itu memang kebanyakan anak muda. Pak Hendra sendiri merupakan salah satu pendiri dari organisasi itu. 

Mulai saat itu, Intan menjadi akrab dengan Hendra. Hendra sendiri adalah sosok yang sangat ramah sehingga tidak sulit untuk bisa cepat akrab. Intan sangat kagum dengan Hendra. Padahal dia masih muda, umurnya waktu itu kalau Intan tidak salah adalah tiga puluh empat tahun. Tapi dia sudah memikirkan dan melakukan hal-hal yang menurut orang lain berat. Dia adalah orang baik. Selain itu, dia juga tampan. Tubuhnya terlihat atletis. Sepertinya, meskipun sibuk, dia tidak lupa berolahraga. Dan sejujurnya, karirnya juga cukup bagus. Dia merupakan salah satu pengacara yang terkenal di Surabaya. Sudah banyak kasus yang ditanganinya. Dan rata-rata semuanya berhasil.

Ingatan Intan mundur ke belakang beberapa saat. Ia juga ingat, ia tidak lama bergabung di organisasi itu. Mungkin hanya sekitar lima bulanan. Saat itu dia sudah mulai disibukkan dengan tugas-tugas menjelang tahun-tahun akhir kuliah. Jadi dia tidak bisa lebih lama disana.

“Oh iya, nggak apa-apa kok. Kamu lagi dimana sekarang? Sudah selesai kuliahnya?" tanya Pak Hendra dalam pesannya.

Sejujurnya Intan penasaran kenapa pria itu tiba-tiba menghubunginya. Namun, dia tidak mungkin langsung bertanya. Dia juga yakin, nanti juga Hendra akan mengatakan maksudnya.

"Saya lagi di kampung pak. Iya, alhamdulilah sudah selesai,” balas Intan.

"Syukurlah. Terus apa kegiatannya di kampung?" tanya Pak Hendra lagi.

"Belum ada pak, hanya bantu-bantu ibu di rumah."

"Jadi begini, Tan. Kebetulan saya lagi butuh sekretaris untuk membantu saya. Sekretaris saya sebelumnya, tiba-tiba berhenti beberapa hari yg lalu karena bapaknya meninggal mendadak. Dan dia, harus menemani ibunya yg tinggal sendirian. Saya bermaksud untuk mencari seorang sekretaris baru dan tiba-tiba saya ingat kamu. Jadi, saya coba hubungi nomormu, tapi sudah nggak aktif. Akhirnya, saya coba untuk menanyakannya ke Dina, karena saya tahu Dina adalah teman dekat kamu," tulis Pak Hendra panjang lebar, mengatakan maksud kenapa ia menghubungi Intan. Ia sudah mengenal wanita itu. Meski hanya beberapa bulan, dia bisa lihat bahwa Intan adalah wanita yang cerdas dan juga ulet. Hendra tidak merasa salah jika memilih Intan untuk menjadi sekertarisnya.

Setelah membaca pesan dari Pak Hendra, Intan tak langsung membalasnya. Ia harus mempertimbangkan terlebih dahulu tawaran itu. 

"Kamu nggak harus memutuskan sekarang, saya beri waktu seminggu untuk memikirkannya. Kalau sudah ada keputusannya segera hubungi saya, ya!" ujar Pak Hendra seakan mengerti apa yg dipikirkan Intan.

"Oh iya, Pak. Saya akan segera kabari bapak kalau saya sudah punya keputusan," balas Intan. Ia sedikit lega karena ternyata Hendra mengerti apa yang sedang ia pikirkan.

"Baiklah kalau begitu, Saya tunggu jawabannya. Tapi, saya harap itu tidak mengecewakan. Terima kasih!"

"Iya. Sama-sama, Pak."

Intan menyimpan kembali ponselnya. Memperbaiki duduknya dan mengambil kembali buku yang tadi belum selesai dibacanya. Namun, ia tidak bisa konsentrasi. Ia terus memikirkan tawaran dari Hendra. Sejujurnya itu tawaran bagus. Di kampung juga ia tidak bekerja. Ini kesempatan bagi Intan. Sekaligus dia juga bisa belajar langsung dan mengembangkan pengetahuannya mengenai hukum sesuai dengan jurusannya. Meski begitu, ia harus membicarakan dan meminta pendapat dari kedua orang tuanya.

Walaupun kedua orang tua Intan tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, bagi Intan pendapat mereka amatlah ia butuhkan. Orang tua punya insting yang bagus. Mereka jarang salah jika memutuskan sesuatu. Dan lebih dari itu, yang Intan butuhkan adalah restu dan ridho mereka. Karena bagi Intan, di manapun dia berada, ia membutuhkan doa tulus dari kedua orang tuanya. Satu yang Intan yakini bahwa setiap urusan yang disertai dengan doa orang tua akan dilancarkan.

Ch 2- Meminta Restu

Dua hari setelah percakapannya dengan Pak Hendra via pesan, akhirnya Intan memutuskan untuk membicarakan ini dengan kedua orang tuanya. Intan adalah anak ke enam dari tujuh bersaudara. Mereka adalah keluarga yang sangat sederhana. Orang tua Intan adalah petani. Intan sangat beruntung karena bisa mengenyam bangku kuliah dibanding kakak-kakaknya yang hanya sebatas lulusan SMP dan SMA.

Intan punya adik yang masih bersekolah di bangku SMA. Dulu waktu masih sekolah, Intan adalah siswa yang berprestasi. Sejak masih SD sampai SMA, Intan selalu masuk tiga besar. Itulah mengapa orang tuanya sangat menaruh harapan besar padanya, kelak suatu hari nanti Intan bisa memperbaiki perekonomian keluarganya.

Dari luar rumah sudah terdengar radio pengajian dari masjid. Rumah Intan memang hanya terletak beberapa meter dari masjid. Intan kaget karena waktu sudah hampir magrib. Segera dia berkemas untuk bersiap-siap ke masjid. Sambil berkemas, dia berbisik sendiri "Mungkin sebaiknya aku membicarakan rencanaku setelah makan malam."

Setelah sholat magrib, Intan segera menyiapkan makanan untuk makan malam. Itu sudah menjadi kebiasaan dalam keluarganya. Makan malam diadakan ketika selesai sholat magrib. Setelah siap, Intan memanggil kedua orang tuanya dan adiknya untuk menyantap makan malam dengan menu yang sederhana.

Selesai makan dan membersihkan meja, Intan pun menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk bersantai diruang keluarga. Ruangan itu ukurannya tidak terlalu luas. Di ruangan itu, hanya ada sebuah kursi kayu, lemari yang sudah hampir lapuk serta meja yang diatasnya ada TV jadul berukuran 21 inci yang dikirimkan oleh kakaknya yang menikah diluar kota hanya karena supaya mereka tak lagi menonton di rumah tetangga. Terlihat bapak dan ibu Intan sedang menonton TV.

Kehidupan mereka yang begitu pas-pasan membuat Intan tumbuh menjadi gadis yang tidak manja. Ia harus bekerja keras agar kehidupannya kedepan lebih baik daripada orang tuanya. Selain itu, ia selalu mengingat pesan orang tuanya untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan kepadanya. Setelah duduk, Intan pun membuka pembicaraan.

"Pa, bu, ada yang mau Intan bicarakan," ucap Intan sambil melihat ke arah bapaknya yg duduk di atas kursi kayu serta ibunya yg duduk berdampingan dengannya.

"Mau bicara apa, Nak?" tanya bapaknya sambil melihat ke arah Intan

Bapaknya adalah sosok lelaki pendiam. Sesekali bicara hanya kalau itu memang diperlukan. Namun, beliau adalah sosok yang sangat penyayang dan pekerja keras. Itu terlihat dari garis-garis wajahnya yg terlihat keras dan garang karena sering diterpa sinar matahari. Beliau adalah laki-laki yang tak pernah mengeluh sedikitpun. Bekerja dari sebelum terbit matahari hingga menjelang magrib. Semua ia lakukan hanya untuk membahagiakan keluarganya. Bagi Intan, sosok bapaknya takkan pernah tergantikan oleh sosok lelaki manapun.

Ibunya, hanya diam mendengar anak dan bapaknya bicara. Sambil sesekali menengok ke arah suami dan anaknya. Ibunya adalah perempuan yang sangat penurut dan tak pernah membantah. Dia sangat menghargai suaminya, apalagi ketika sedang bicara. Dia tak pernah sedikitpun menyelah pembicaraan.

"Jadi, begini pak, bu," ucap Intan sambil menatap keduanya saling bergantian.

Intan pun menceritakan tentang tawaran dari Pak Hendra dua hari yang lalu serta tak lupa juga menjelaskan siapa Pak Hendra dan bagaimana dia bisa mengenalnya. Bapak dan ibunya hanya diam mendengarkan tanpa menyelah pembicaraan. Mendengarkan orang lain bicara tanpa menyelah adalah tanda kita menghargai org lain. Dan orang lain akan senang jika diperlakukan seperti itu, mereka merasa dihargai.

Itu salah satu pesan yang selalu orang tuanya tanamkan padanya. Dan itu memang mereka lakukan sebagai contoh bagi anak-anak mereka. Seperti saat anaknya bicara, mereka hanya diam mendengarkan sampai selesai. Selesai bicara, Intan pun langsung meminta pendapat kepada keduanya, terutama kepada bapaknya. Karena memang sebagai kepala keluarga, pendapat beliau selalu menjadi patokan utama ketika memutuskan sesuatu.

Terlihat bapaknya diam sejenak, lalu kemudian mulai bicara. "Nak, kalau kamu merasa itu yang terbaik untuk dirimu, bapak dan ibu hanya bisa mendukungmu. Bukankah juga itu sesuai dengan yang kamu inginkan? Setidaknya menjadi awal untuk kamu menuju kesitu. Pikirkan baik-baik, minta petunjuk kepada Allah. Meskipun berat bapak dan ibu akan mengikhlaskan kamu, Nak. Hanya ingat pesan bapak, tetap jaga diri dan jangan pernah lupakan ibadah. Karena kita tidak ada apa-apanya." ucap bapaknya sambil menghela nafas panjang.

Intan begitu khidmat dan meresapi kalimat per kalimat yang diucapkan bapaknya. Tak terasa dua bulir air matanya mengalir dari sudut matanya. Intan memang mempunyai hati yang sangat lembut. Sedikit saja kata-kata yang menyentuh hati, pasti dia akan meneteskan air mata. Apalagi yang bicara adalah orang tuanya.

Seketika, diapun memeluk bapaknya dengan erat dan menangis di pelukannya. Dia merasakan kerinduan yang sangat dalam. Apalagi dengan elusan rambut dari bapaknya, membuat dia semakin tak bisa menahan air matanya.

Ibunya, yg melihat pemandangan itu ikut meneteskan air mata.

Lalu, setelah memeluk bapaknya, gantian Intan memeluk ibunya dengan erat sambil air matanya terus mengalir. Karena dia sadar, dia akan berpisah lagi untuk waktu yang lama.

Sambil mengelus rambut anaknya, ibunya membisikkan kata-kata. "Ibu akan selalu mendoakanmu, Nak."

Hanya itu yang keluar dari mulut ibunya. Doa yang begitu tulus dari seseorang yang sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk Intan. Intan pun semakin terisak kala mendengar kata-kata dari ibunya. Rasanya dia tidak mau jauh dari orang tuanya. Namun, semua itu juga untuk kebaikan mereka. Di tengah isak tangis keduanya, terdengar suara radio pengajian dari masjid yang menandakan sudah hampir memasuki waktu Isya. Intan pun melepas pelukannya dan menghapus air matanya.

"Kalau Intan menerima tawarannya, beberapa hari ke depan mungkin Intan sudah harus berangkat. Karena posisi itu harus segera terisi untuk memudahkan pekerjaan Pak Hendra," ucap Intan dengan suara serak dan berat seperti sukar untuk mengatakannya.

"Iya, Nak. Kamu harus menyiapkan segalanya dan harus bisa memberikan yg terbaik untuk Pak Hendra," ucap bapaknya dengan wajah yang serius.

"Iya, Pa. Intan akan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk bapak dan ibu," ucap Intan.

"Ya sudah. Bapak mau siap-siap untuk sholat."

"Iya, Pa." balas Intan.

Sebenarnya, Intan masih mau tetap di kampungnya dan mencari pekerjaan yang tak terlalu jauh dari tempatnya. Dia merasa harus mengurus kedua orang tuanya yang sudah semakin tua, karena di rumahnya hanya ada adik laki-lakinya yang sedang bersekolah. Intan pun baru sebulan di kampungnya dan masih menikmati kerinduannya bersama orang tuanya. Karena semenjak kuliah diluar kota, Intan sangat jarang pulang. Terhitung tiga tahun lebih kuliah, dia hanya dua kali pulang kampung. Sehingga, rasanya terlalu terburu-buru kalau dia harus kembali lagi ke Surabaya. Namun, ini adalah kesempatan satu-satunya untuk memulai meniti karir sesuai dengan yang dia inginkan yaitu menjadi seorang pengacara.

Ch 3- Percakapan dua sahabat

Setelah mendapat restu dari orang tuanya, esoknya Intan pun segera mengabari Pak Hendra.

"Assalamualaikum, maaf mengganggu waktunya pak, saya sudah mengambil keputusan, saya menerima tawaran bapak," tulis Intan di pesannya.

Pesan terkirim. Namun, hingga setengah jam kemudian belum juga ada balasan masuk.

"Mungkin Pak Hendra masih sibuk sehingga pesannya belum dibaca.” Intan menggumam.

Tak berapa lama ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk. Tertera nama Pak Hendra di layar ponselnya. Dengan sedikit gugup Intan menjawab panggilan itu.

"Halo, assalamualaikum," ucap Intan sedikit sungkan.

"Waalaikumussalam," jawab suara diseberang.

"Maaf pak, saya mengganggu waktunya.”.

"Nggak apa-apa kok, kamu nggak usah sungkan begitu. Tadi saya sedang ada sidang jadi ponsel saya atur mode diam, makanya pesan kamu saya belum balas," balas Pak Hendra menjelaskan.

"Iya, nggak apa-apa kok pak," sahut Intan.

"Jadi kapan kamu kesini?" tanya Pak Hendra kemudian.

"Terserah dari bapak saja, saya ngikut."

"Oke. Kalau begitu hari Jumat kamu kesini ya, karena hari Selasa ada sidang dengan klien besar dan saya butuh orang untuk menyiapkan segala sesuatunya," ujar Pak Hendra.

"Baik pak.” Intan mengangguk meski berbicara lewat ponsel.

"*Oh iya, satu lagi. Nanti biaya transportasi pakai dulu uangmu nanti sampai disini saya akan menggantinya*," ucap Pak Hendra lagi.

“Iya, Pak.”

"Oh iya, satu lagi.” Hendra terkekeh karena selalu hampir lupa apa yang akan dikatakannya. “Setelah sampai disini kamu langsung ke rumah yang sudah saya siapkan, supaya kamu nggak usah repot-repot nyari kontrakan lagi. Nanti supir saya akan menjemput dan mengantar kamu kesana.” tawar Hendra yang sebenarnya adalah perintah.

"Nggak usah pak. Nanti saya nginap di kosan Dina saja," sahut Intan yang merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa, tempati saja rumah itu sementara, karena kosan Dina jauh dari kantor. Sementara beberapa hari ini kamu harus mempersiapkan segala sesuatunya. Lagian rumah itu juga tidak ada yang tinggali. Daripada kosong mendingan ditinggali."

Hendra memang memiliki beberapa rumah. Namun hanya satu yang ia benar-benar tinggali yang sekaligus dibuat untuk menjadi kantornya. Ia masih muda tapi sudah memiliki banyak properti. Beruntung sekali nanti perempuan yang akan dinikahi Hendra.

Intan berpikir sejenak lalu kemudian menyetujuinya. Lagian benar juga kata Pak Hendra. Kalau dia nginap di kosannya Dina pasti memakan waktu yang banyak. Lebih praktis jika dia menerima tawaran Pak Hendra. Mungkin itu juga sudah dipikirkan Pak Hendra.

"Baik Pak."

"Ya sudah, kalau begitu saya lanjutkan kerjaan dulu. Assalamu'alaikum," tutup Pak Hendra dengan salam.

"Waalaikumussalam," balas Intan kemudian menutup telponnya.

Setelah menutup panggilan dari Hendra, Intan kemudian mendial nomor Dina untuk memberi tahu bahwa dia tidak bisa menginap di kosnya. Dia sudah memberitahu sahabatnya itu beberapa saat yang lalu.

"Halo Assalamualaikum Din," sapa Intan.

"Iya Waalaikumussalam Tan, ada apa?" tanya Dina. Pasalnya sahabatnya itu belum lama selesai menelponnya.

"Begini Din, aku ngga jadi nginap di kosanmu," ucap Intan mengutarakan maksudnya.

"Kenapa? Kamu punya teman dekat selain aku disini? Aku sakit hati mendengarnya Tan," ucap Dina sambil bercanda.

Mereka memang sangat akrab dan sudah seperti saudara. Dina sudah banyak membantu Intan ketika kuliah dulu. Dina yang mengurus kebutuhan kuliahnya Intan waktu pertama, karena Intan masih gadis desa yang polos dan masih belum tahu apa-apa. Sebenarnya Intan dan Dina berasal dari desa yang berbeda hanya sama daerahnya. Dina sendiri memilih untuk bekerja sebagai pegawai di Kantor Pajak.

"Bukan begitu Din, aku langsung disuruh ke rumahnya Pak Hendra sesampai di Surabaya. Aku nggak enak kalau harus menolak. Apalagi aku langsung dijemput sama supirnya" jawab Intan dengan wajah sedikit sedih.

Padahal dia ingin sekali bertemu dengan Dina karena sudah lama mereka tak bertemu. Kesibukan masing-masing menjadi alasannya. Intan dengan studinya sedangkan Dina dengan pekerjaan kantornya.

"Perhatian banget sih Pak Hendra. Jangan-jangan dia suka sama kamu Tan. Kalo nggak, kenapa juga sampai suruh jemput segala, hahaha," goda Dina.

"Kamu apa apaan sih Din. Yaa nggak mungkinlah Pak Hendra suka sama aku. Dia kaya, ganteng, mana mungkin suka sama aku yang hanya gadis kampung. Tapi bisa jadi sih, kayak yang sering ku baca di novel-novel itu. Seorang CEO jatuh cinta pada cleaning service" ujar Intan sambil terkekeh. Dia tahu sahabatnya itu hanya bercanda makanya dia balas bercanda juga.

"Betul itu. Yang namanya cinta kan nggak mandang gadis kampung atau gadis kota," goda Dina lagi.

Intan terbahak. Ia semakin merindukan sahabatnya itu. Kapan lagi mereka akan bercanda seperti ini secara langsung.

"Udah ah. Kamu lanjutkan pekerjaanmu, nanti bosmu bisa marah kalau lihat pegawainya kerjaannya nelpon melulu. Bisa bisa kamu langsung dipecat, hahahaha," canda Intan.

"Mana berani dia pecat aku. Aku kan pegawai paling disayang disini," balas Dina sambil bersikap angkuh namun bercanda.

"Iiihhh sok kepedean loh, hahahaa," ejek Intan.

"Suka suka gue lah!" balas Dina tak mau kalah.

"Udah udah Aku nyerah. Aku kalah, puas loh," sela Intan dengan tertawa.

"Hahahaha," Dina tertawa terbahak bahak hingga beberapa pegawai melihat ke arahnya. Setelah sadar kalau dirinya menjadi perhatian, Dina pun sontak menutup mulutnya. "Ya udah, Tan. Aku lanjutin kerja dulu ya. Kamu hati-hati. Kabari aku kalau sudah sampai di surabaya. Ok," ujar Dina.

"Ok.. Kamu juga hati-hati ya. Nanti aku kabari kalau sudah disana. Assalamualaikum," ucap Intan mengakhiri pembicaraan.

"Waalaikumussalam." balas Dina sambil menutup telponnya.

Intan menarik nafas. Sebentar lagi dia akan kembali mengarungi kehidupan seperti sebelumnya. Tinggal sendiri dan jauh dari orang tua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!