NovelToon NovelToon

Limerence

Number Six

Wanita ibarat Barbie yang bisa dimainkan kapan saja, tapi Lelaki sejati tidak akan bermain Barbie. (Unknown)

Lagi-lagi...

“Mana Andre?! Saya harus ketemu dia sekarang! Ngga bisa dia bersikap begini ke Saya!!”

Seorang wanita, cantik, parasnya oriental, dengan pakaian yang bisa menghabiskan sekitar 12 bulan gajiku.

Aku menghela napas menatapnya mempermalukan diri sendiri sampai dihalang-halangi sekuriti, Aku memutuskan untuk tidak bertindak langsung walaupun sebagai sekretaris senior, aku yang berwenang untuk menjaga keamanan lantai ini.

Perusahaan kami memiliki peraturan standar operasional untuk itu, apalagi terhadap pengunjung yang bertindak tidak sopan, sekuriti diperbolehkan turun tangan langsung.

Akhirnya setelah Kepala Sekuriti menemui dan berbicara padanya, wanita itu bersedia menunggu di waiting room.

Kami, para sekretaris yang berjumlah 5 orang kembali melanjutkan pekerjaan kami.

Kalem saja... dalam sehari kejadian seperti ini bisa 2-3 kali terjadi.

Sekitar 2 jam kemudian saat jam makan siang...

Terjadi lagi.

“Saya ini pacar Direktur Kamu! Jangan sentuh-sentuh Saya!! Uang Saya itu bisa beli 100 orang macam kalian!!” Teriakan lagi. “Panggil Aria kesini!!”

Kami, para sekretaris, mengangkat kepala dengan serentak menatap wanita itu. Kami diharuskan bersikap sedingin mungkin. Berbeda dengan sekretaris lain yang harus murah senyum, kami dilarang tersenyum ke siapa pun kecuali atasan kami.

Byurr!!!

Segelas air menampar wajahku.

Duh... kalo kena mesin komputer kan bisa hang semua...

Wanita itu bermaksud menyiram sekuriti, namun mereka menghindar dan malah mengenaiku yang posisinya tepat dibelakang kerumunan.

Aku menghela napas dan mengambil cermin, memeriksa dandanan dan rambutku, dan berusaha tetap sabar terkendali.

Sedikit tisu dan bedak padat lagi, oke, perfect.

Wanita kali ini tampaknya tidak mudah disingkirkan. Aku mendeteksi wajahnya lalu kumasukkan ke face recognized. Setiap pengunjung yang datang biasanya identitasnya dicatat terlebih dahulu oleh operator di lantai bawah, termasuk foto wajah dan seluruh tubuh, di masukan datanya ke database kami.

Dia Samantha Kusuma, anak kedua dari pemilik pabrik gula. Pantas dia tidak mau kalah, bapaknya sangat kaya.

Karena merasa Sekuriti kewalahan, Aku minta ijin ke Pak Aria untuk bertindak.

Aku menekan tombol pada telepon internal, “Pak Aria, Saya boleh tangani yang ini? Ibu Samatha Kusuma cukup sulit disingkirkan.”

“Oke.” Terdengar jawaban pendek dari interkom tak lama kemudian.

Aku berdiri dan berjalan lambat ke arah kerumunan. Seluruh sekuriti langsung menyingkir dan memberi hormat padaku.

“Ibu Samantha? Perkenalkan Saya Number Six, sekretaris senior di sini.” Sahutku. Aku berusaha sedingin mungkin.

“Ha? No...Number Six...? Itu nama Kamu? Aneh banget deh.”

Aku mengangguk perlahan. “Kami para sekretaris tidak diijinkan menyebut nama asli kami kepada pengunjung, Saya dikenal dengan nama Number Six di sini.”

Samantha menegakkan dagunya, ia berusaha tidak terintimidasi olehku. “Mana Boss Kamu?!”

“Atasan Saya tidak ingin bertemu dengan Anda saat ini. Silakan Anda reschedule ulang jadwal...”

“Saya tidak butuh ijinnya untuk datang, kami sudah sangat dekat.” Ia memotong ucapanku, namun nadanya tampak sedikit bergetar.

“Pak Sultan Aria sedang ada meeting penting saat ini, Bu Samantha. Hari ini semua wanita yang datang kesini mencarinya dia tolak.” Aku tetap menjaga intonasi suaraku agar tetap tegas dan tenang.

“Semua wanita!?! Memang ada berapa yang datang???”

“Yang mencari Pak Aria dengan marah-marah seperti Anda ada 2 orang hari ini, kemarin ada 4 orang, malah minggu lalu ada yang memberi kami hasil USG.”

Samantha terkaget dan terpekik.

Lalu dia tampak berpikir.

“Kamu membohongi Saya kan? Omongan Kamu barusan pasti sudah dilatih kan?!”

“Kami memang memiliki prosedur untuk menjawab pertanyaan pengunjung, tapi Saya berusaha sejujur mungkin terhadap Anda.” Aku memiringkan kepalaku, menelisiknya. Astaga... ia masih sangat muda. Tampak kepolosan terpancar dari matanya yang menatapku dengan kuatir. “Apalagi, saya mengerti posisi Anda karena kita sama-sama wanita, bukan?” Aku melanjutkan kalimatku.

Samantha terdiam.

“Tidak ingin dibohongi... Tidak ingin disakiti...” tambahku.

Samantha terdiam lagi.

“Tidak ingin dikhianati...” tambahku lagi.

Ia masih terdiam, namun mulai mundur selangkah.

“...dan ingin diistimewakan melebihi wanita lainnya.”

Ia menatapku dan mundur selangkah lagi karena Aku terus maju mendesaknya.

“Daripada Saya datang membawa harapan palsu lebih baik Saya jujur ke Bu Samantha lebih awal.”

Langkahnya terhenti karena tertahan dinding di belakangnya.

“Bu Samantha, bukankah lebih baik Anda meninggalkan Pak Aria daripada menyiksa diri sendiri, saat ini pasti Anda terlihat rendah di matanya. Ia pasti sedang tertawa melihat Anda mengejar-ngejarnya dari cctv, meninggalkan harga diri Anda untuk bersimpuh di kakinya...” Bisikku.

Mata Samantha membulat dan terbelalak menatapku. Ku taksir umurnya masih sangat muda, mungkin di awal 20an. Cantik, segar dan merekah. Apa yang Pak Aria tega lakukan pada bunga-bunga ini? Sampai wanita terhormat seperti Samantha teracuni untuk mengejarnya?

Aku sudah berjarak hanya 15 cm di depannya, lalu berbisik.

“Kembalilah lagi kalau Anda, atau ayah Anda, memiliki penawaran kerja sama dengan kami... Pasti Pak Aria mau menerima Anda, dan Anda bisa menggunakan kesempatan pertemuan itu sesuka Anda.”

Terdengar Samantha menarik napas panjang, bibirnya bergetar menatapku sambil terbelalak.

“O... oke...” ia berdehem, mencoba menstabilkan tubuhnya yang agak limbung. “Saya akan kembali lagi...” cicitnya.

Lalu ia berbalik, berjalan... atau lebih tepatnya berjalan dengan cepat, ke arah pintu keluar.

Oke, masalah selesai...

Samantha sudah pergi dengan shock, Aku melanjutkan mengetik.

Pukul 12 tepat, waktunya makan siang, pintu ruangan meeting terbuka.

Rapat telah selesai dan para direksi kami keluar ruangan.

Ya, mereka semua tampan. Tapi terus terang saja, Aku tidak tertarik.

Ada 4 Direksi yang kami tangani, dan keempatnya single. Aku tidak ambil pusing dengan kehidupan pribadi mereka, mau mereka ada main di belakang dengan siapa saja yang mereka inginkan atau mereka memiliki disorientasi seksual, hal itu bukan urusanku.

“Hari ini Lancar?” Pak Wisnu, Direktur Personalia dan Umum, meletakkan tablet notulen meeting ke mejaku untuk disampaikan kepada Big Boss, Si Pemegang Saham Mayoritas kami.

“Sejauh ini terkendali, Pak.” Sahutku masih dengan tanpa ekspresi, kubuat sekaku mungkin. “Notulennya sudah fixed ya pak?”

“Sudah, silakan disampaikan...” desis Pak Wisnu, lalu menatapku dengan pandangan yang dalam. “Kamu mau makan siang bareng, Six?”

Dia mencoba untuk mengajakku keluar untuk yang ke sekian kalinya.

Aku hanya balas menatapnya, tidak berbicara apa pun. Tidak juga menatapnya dengan metode apa pun. Paling yang jelas dari tatapanku adalah pandangan yang menyiratkan kalau aku sangat tidak berkenan dengan ajakannya.

Akhirnya setelah beberapa detik, Pak Wisnu menyunggingkan senyum masam, “Susah banget ya ngajak Kamu, cuma makan siang aja kok...”

“Mungkin bisa lain kali saja, Pak.” Sahutku, dengan intonasi suara yang kubuat sejelas mungkin.

“Oke, Saya belum menyerah secepat itu loh...” Desis Pak Wisnu sambil menyeringai.

Pak Bima datang dan memeluk bahu Pak Wisnu, “Sini gue selamatkan lo dari hipnotis Medusa. Percuma lo ngerayu robot, Andre udah sering dicuekin, Aria udah sering dikacangin. Buang-buang tenaga aje lo... iya ga Six?!” Sahut Pak Bima. Entah menghina atau mendukungku. Tapi kutangkap dari nada suaranya, sepertinya dia sedang menyindirku seperti biasa.

Dia musuh bebuyutanku dari dulu, kami sering berdebat akan berbagai hal. Bisa dibilang, kami tercipta untuk saling membenci, namun saling membutuhkan. Jadi tidak ada jalan lain kecuali terjebak di sini bersama-sama dan berusaha tidak berbuat kegaduhan.

“Dia mungkin mau jadi biarawati... atau biksu.” Tambahnya. Tadi dia menjulukiku Medusa, kemarin Nyi Blorong, dan sekarang drastis jadi Biarawati.

Aku tidak terpancing, Jadi Aku menyerangnya dengan : “Pak Bima, ini hasil laporan dari Dokter Firman.” Sahutku sambil menyerahkan amplop putih tebal sambil menatapnya penuh arti.

Pak Bima merebutnya dari tanganku dan menghujamku dengan pandangan waspada, lalu ia menjauhi kami dengan langkah terburu-buru sambil membuka amplopnya.

Aku menatap punggungnya yang menjauh sambil mengumpat sejadi-jadinya dalam hati. Itu laporan DNA, Aku berhasil mengintip isinya tadi, entah dari pacar yang mana, dan kini ia malah ragu anak yang dikandung pacarnya itu benar anaknya atau bukan?!

Kacau sekali hidup Anda Pak Bima... sindirku dalam hati.

*****

Saat makan siang kami para sekretaris berkumpul di ruang makan khusus yang kami sebut Pantry, walaupun bentuknya tidak seperti dapur, hanya ada konter dengan mesin kopi, meja bar dengan botol-botol yang bentuknya unik-unik, banyak sofa santai dan dibuat se-cozy mungkin. Dapur yang sebenarnya ada di lantai 15.

Aku membuka ikatan rambutku dan duduk menyender di salah satu sofa recliner.

Astaga... pegalnya!

Pekerjaan macam begini membuatku yang sudah menginjak usia 29 tahun tidak memiliki waktu untuk menikmati hidup. Jangankan mencari suami, untuk travelling saja bisa dihitung dalam setahun. Kapan terakhir aku bepergian jauh? Kok aku tidak ingat, ya.

Tragis yah...

Padahal pekerjaanku termasuk mengusir para wanita yang kerjanya mengejar-ngejar para boss kami. Tapi setidaknya mereka -para wanita itu- pernah berkencan.

Aku tidak tahu sekretaris yang lain ya, tapi kalau Aku ya begitu-begitu saja kehidupannya.

"Gila tadi yang namanya Samantha kayak pec**!!" Number Ten mengeluh sambil menghapus makeup tebalnya. "Kekeuh bener ngejar si Aria! Udah dikasih apa sih dia?!"

"Lo kayak ngga tahu aja ukurannya Aria! Lo sendiri Nagih!" Sahut Number Nine.

Mereka berdua tertawa terbahak.

"Lu liat cewek yang pertama ngga tadi yang ngejar Andre? Sepatunya Chris**tian Loubou**tine booo!!" Kata Number Seven.

"Liat! Ngeblink gilak gue sampe silau!!" Kata Number Nine.

"Yang kemarin dateng juga yang nyari Andre juga, pake Bir**kin 3.5milyar! Belom dateng lagi dia!!" Seru Number Ten.

“Ah lo pada bisanya cuman nge-gibah... sana beli juga yang kayak mereka!” sahut Number Eight, ia tidak terlalu tertarik dengan jajaran direksi tampan karena ia sudah berkeluarga dan suaminya anggota kepolisian.

“ini juga lagi usaha, lo pikir buat apa gue dari kemaren open PO, hah?!” Sahut #.

“Eh... eh... smart dikit lah. Lo kan pasti capek tiap waktu open PO, pakai lah barang KW dulu untuk meningkatkan kualitas penampilan lo ! Barang KW sekarang kualitas gila-gila, sudah mirror bener... nih liat dagangan gue...” sahut Number Eight malah berpromosi. Ternyata dia juga nyambi jualan online tas KW.

Akhirnya semua mengerubunginya.

“Mbak Six, kamu mau liat juga barang daganganku?!” Sahut Number Eight.

“Pilihkan saja yang cocok buat saya, nanti saya transfer.” Aku tetap memejamkan mataku, melanjutkan relaksasi.

Terdengar cekikikan dari Number Eight.

“Elu... si Six ditawarin. Outfitnya branded semua ga bakalan dia mau pake jualan lo! Beli doang tapi masuk museumnya!” terdengat Number Seven menyindirku.

Aku menganggap omongannya angin lalu dan tidak mengindahkannya.

Dan seterusnya obrolan macam begitu, selanjutnya aku tidak mendengar apa pun karena tertidur.

****

Aku bangun sekitar 15 menit kemudian, lumayan bisa tidur siang sebentar.

Aku menyalakan rokokku. Lalu kembali menyandarkan kepalaku ke sofa.

"Six, lo ngomong apa ke Samantha sampe dia ketakutan gitu?" Tanya Number Nine. Mereka masih di tempat tadi, meng-gibah entah siapa.

Aku menyeringai.

"Saya hanya mengatakan kenyataannya. Dia merendahkan dirinya... mana ada yang mau melirik sesuatu yang sudah terburai di jalanan. Wanita selayaknya dikejar, bukan mengejar... Laki-laki tidak suka dikejar, mereka akan kabur. Kalaupun ada yang mau, sudah pasti hanya untuk mainan. Bosan, dibuang." Desisku.

Semua diam.

Bagi yang berperilaku gampangan, pasti akan tersindir omonganku. Karena itu mereka diam.

Sesumbar begitu juga belum ada pria yang mengejarku, boro-boro dikejar, mengejar saja tidak ada waktu.

Mungkin setelah menginjak umur 30 Aku bisa lebih menikmati hidup. Toh tabunganku sudah cukup banyak, Aku juga baru saja melunasi cicilan rumah, Aku sudah punya mobil sendiri walaupun bukan yang canggih-canggih amat dan ukurannya kecil, tapi cukuplah untuk kebutuhanku. Bunga dari deposito yang kukumpulkan juga cukup untuk biaya hidup sehari-hari plus bisa mengirimkan uang untuk orang tuaku di kampung, ya walaupun memberikannya dengan sembunyi-sembunyi ke ibu dan adikku, karena aku ngga akur sama bapakku.

Aku jarang mengambil tabunganku. Gajiku sebagai sekretaris lumayan besar di sini karena aku sudah bekerja sejak perusahaan ini baru dirintis. Aku praktis sudah sangat jarang membeli kebutuhan dasar karena di sini kami diberi seragam khusus, Ada budget sendiri juga untuk makeup, lalu sepatu dan tas juga diberi khusus dari kantor.

Makan siang kami juga dijamin kantor. Sehari 2 kali untuk sarapan dan makan siang serta 2 kali snack. Di sini Aku sangat berhemat.

Alasannya kami diberi servis jasa katering agar kami dapat kembali ke pos tepat waktu, dan tidak makan di luar. Tapi terkadang para Direksi suka iseng mengajak salah satu sekretaris untuk menemani mereka makan siang, seperti yang terjadi padaku tadi.

Aku menyesap kopi dan memandang keluar jendela.

Polusi... dengan matahari panas menyengat.

Membuat siapa pun yang berada di luar mudah tersulut emosi.

"Siang, mbak-mbak cantiiikkk... Maksinya niih..." Terdengar suara Lucas, Office Boy sekaligus Kurir pengantar dokumen di tempat kami.

"Hai Lucaaass... Duh Kamu siang-siang bikin tambah panas dehhh..." Sahut Number Nine.

"Kalo panas masuk kulkas lah Mbak Nine... hahaha" timpal Lucas riang.

Aku tetap diposisi semula, berbaring di sofa sambil merokok.

"Mbak Six, Saya taruh di sini yah bentonya." Sahut Lucas.

"Thank's..." Desisku pendek. Lalu aku meliriknya, memperhatikan postur tubuh pria itu.

Hm... lumayan menggoda.

*****

Necklace

Lucas.

Namanya cukup pendek saja katanya, ia didaftarkan masuk perusahaan sekitar 3 bulan lalu. Saat pertama kali ia masuk semua karyawan heboh, tidak terkecuali kami para sekretaris direksi. Baru kali ini ada OB Kurir setampan dia.

Katanya dulu neneknya menikah dengan pria eropa, entahlah eropa mana, dan akhirnya keturunannya jadi rupawan begitu. Kalau ditanya mengenai spesifikasi, ia lebih memilih untuk mengalihkan perhatian dengan mengobrol hal lain. Namun keadaan financial keluarganya memang biasa saja.

Banyak yang bilang ia pantasnya jadi model peragaan busana atau artis, tapi menurutnya pekerjaan semacam itu ngga akan bertahan lama.

Jadilah ia melamar di kantor ini dengan memulai dari bawah.

Kalau katanya, dulu Jack Ma juga seorang kurir.

Macam dia bakalan jadi Jack Ma saja...

"Eh, Lucas..." Aku teringat sesuatu. Lalu bangkit dan menuju ke arah lokerku. "Nih buat Kamu, siapa tau kalo nganter surat macet di jalan laper bisa diganjel pake ini."

Aku memberinya coklat praline yang diberikan oleh Pak Bima padaku. Bukan diberikan sih, lebih tepatnya hampir dibuang. Coklat itu mungkin dari salah satu pacarnya, dan dia bilang dia tak suka makanan manis akhirnya diberikan padaku. Kubaca sekalian untuk menyogokku menyembunyikan kalau ia tes DNA salah satu anak dari pacarnya. Kalau ngga salah si wanitanya juga salah satu klien kami seingatku.

Aku anti memakan hadiah yang ditujukan untuk orang lain.

"Wah kayaknya coklat mahal mbak Six... Yakin buat Aku?"

Aku mengangguk. "Atau kasih ke pacar Kamu, atau ibu Kamu, terserah aja,  daripada Saya simpan jadi artefak..."

Ia terkekeh.

"Oke mbak, makasih!"

Ini cowok... parfumnya enak banget yah baunya. Bukan jenis yang suka dijual di supermarket.

“Six.” Panggil Seven. Aku menoleh dan menatapnya dengan pandangan bertanya. “Lo dapet coklatnya

darimana?”

“Dari Pak Bima.”

“Dia kasih langsung ke elo, atau lo pungut dari tempat sampah?” terdengar nada menyindir dari suaranya.

Aku mengangkat bahu, “Saya memergokinya saat dia hampir membuang kotak coklat itu ke tempat sampah, lalu saya bertanya dan dia berikan ke Saya.”

Seven diam saja, ia tampak merenung menatap lantai.

-----

Kami kembali ke pos kami pukul 12.55... Lima menit sebelum para direksi playboy datang.

"Hey, Six... Are You good?" Pak Andre Rutherford, Direktur Utama, yang pertama datang setelah jam makan siang.

"I'm fine, sir. Thank you for your concern." Balasku.

“Any news from top?"

"Yes, They decided to increase the retirement benefits for employees who had work for more than five years." Aku membaca email.

"I think its a Good News... thankyou."

Pak Andre ini punya wajah yang simetris. Untuk orang dengan tingkat perfeksionis tinggi sepertiku, hal itu cukup memuaskan hati. Tapi saking simetrisnya Aku merasa itu bukan wajah aslinya. Operasi plastik, maksudku.

Ah, By The Way, yang dimaksud 'news from the top' tadi adalah Big Boss misterius yang mengendalikan seluruh keputusan perusahaan. Aku sebagai penengahnya dengan para Direksi disini. Kami bekerja dengan metode seperti ini sejak lima tahun terakhir.

Tidak ada yang tau top manajemen terdiri dari berapa orang, yang jelas ia memiliki 60% saham pengendali. Karena ini perusahaan go public jadi ukuran 60% itu sudah tinggi sekali, sisa saham 40% dimiliki oleh masyarakat dan para direktur disini.

Nama perusahaan kami Beaufort Company. Dan susunan pengurus perusahaan disini, Big Boss ada di jenjang paling atas. Dia memimpin 5 anak usaha, bergerak di bidang Perbankan, Finance, Technology, Property dan Mining. Dibawahnya adalah para direksi pada masing-masing anak usaha, di bawah para direksi adalah para staff ahli. Aku saat ini bekerja di Beaufort Bank, Lokasinya di Gedung Beaufort Finance.

Kami, sekretaris direksi yang jumlahnya 5 orang dikategorikan staff ahli.

Seperti biasa, pekerjaan utamaku sebagai senior adalah menyampaikan segala usulan ke Big Boss lewat email, tentunya tidak diterima langsung olehnya tapi disortir oleh Asistennya, apabila kasusnya mudah  keputusan balasan biasanya datang paling lambat sehari setelahnya, lalu Aku bertugas menyebarkannya ke pihak yang berkepentingan.

Aku sendiri sudah 10 tahun bekerja disini belum pernah melihat tampang Big Boss yang baru. Padahal sudah dikategorikan karyawan sesepuh. Ada rumor kalau ia adalah salah satu Direksi disini.

Aku kenal dengan pendiri perusahaan ini, namanya Pak Baskara Beaufort. Beliau merekrutku menjadi pegawai pada waktu usiaku 19 tahun, aku bahkan dibiayai kuliah boleh perusahaan. Sekitar 5 tahun yang lalu, beliau pensiun dan usaha ini dijalankan oleh 'orang kepercayaannya' yang dipanggil Big Boss, katanya ia adalah anak kandung Pak Baskara, tapi selama mengenal Pak Baskara aku bahkan tidak pernah tahu wajah anaknya.

Dari 5 anak usaha, perusahaan tempatku bekerja adalah yang paling sehat, dengan profit yang bagus dan selalu mencapai target. Itu sebabnya Big Boss memutuskan untuk lebih memperhatikan kami. Walaupun secara sistematis para Direksi kami memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, namun secara teknis semua keputusan diambil berdasarkan persetujuan Big Boss.

"Six, ini notulen meeting barusan tolong Kamu info Big Boss." Pak Sultan Aria, Direktur Bisnis, meletakkan tablet didepanku.

Aku membaca sekilas.

"Pak Aria, penempatan Deposito Antar Bank di bank X benar untuk jangka pendek? Biasanya untuk 6-12 bulan pak." Sahutku karena merasakan sesuatu yang diluar kebiasaan.

Pak Aria mengernyit dan mengambil kembali tabletnya

"You were right..." Desisnya. "Dude, it's supposed to be long term deposit, the tax will be increased if we used this term." Pak Aria berbisik ke Pak Andre

"Oh Shit..."

Mereka masuk lagi ke ruang meeting.

Lucas muncul di belakang mereka sudah lengkap dengan jaket kulit bikernya.

Dia menatap Pak Aria dan Pak Andre sambil menggelengkan kepalanya.

Lalu tersenyum padaku. Seperti biasa senyumannya membuat hari-hariku serasa lebih mudah dijalani.

"Ada dokumen yang mau dikirim ke kantor pusat Mbak Six?"

"Aku cuma ada ini." Aku menyerahkan map bertuliskan private and confidential. "Keep it safe with your life, please" desisku.

Lucas menyeringai "aye aye captain"

Hanya dia satu-satunya OB yang kukenal bisa Bahasa Inggris.

Lalu dia menghampiri sekretaris yang lain.

Lalu terdengar ribut-ribut dari lantai bawah, suaranya perlahan makin mendekat.

"Incoming." Sahutku lewat interkom.

Benar saja tidak berapa lama :

"Saya cuma mau ketemu Wisnu!! Rese banget sih!!" Seru seorang wanita dengan marah.

Kami semua menghela napas.

*****

Aku membuka pengikat rambutku dan mencuci muka. Hari ini semua berjalan sebagaimana mestinya, tidak ada sesuatu yang menarik sebagaimana biasanya.

Setelah mencuci muka Aku menghapus make upku dengan lebih seksama lalu mandi.  Kadangkala mandi di kantor terasa lebih mewah daripada mandi di rumahku sendiri, namun tidak lebih nyaman karena suasana kantor yang kaku. Aku hanya ingin merilekskan otot-ototku lalu sampai rumah tinggal tidur.

Aku mengenakan gaun yang kubeli dari desainer lokal terkenal yang menghabiskan satu kali gajiku, dan seharusnya Aku datang sendiri ke tokonya untuk memastikan bahannya namun karena kesibukan yang tiada henti Aku akhirnya membelinya secara online.

Pas terlihat mewah di diriku.

Untuk apa kupakai malam ini

Dan untuk siapa?

Jawabannya, mungkin, untuk menyenangkan diriku sendiri.

Aku bahkan memblow rambutku.

Aku sudah berdandan. Tampak cantik...

tapi...... jomblo.

ya sudahlah toh tak lama lagi Aku akan resign dari sini untuk menikmati hidupku.

Saat keluar dari kamar mandi Aku berpapasan dengan Lucas yang baru kembali dari mengantar surat. Ia memang terbiasa kembali ke kantor jam 19 seperti malam ini.

"Hey Mbak Six... Baju baru ya." Sahutnya.

Aku memutar tubuhku.

"Bagus?" tanyaku.

Jangan kaget, tapi apabila sudah selesai jam kerja sikapku sangat berbeda dengan di Pos Sekretaris. Aku bebas menjadi diriku sendiri. Pembawaanku ya seperti ini, ceria dan santai, dengan sedikit genit kalau sudah bertemu Lucas. Entah bagaimana dari awal bertemu tiba-tiba aku langsung akrab dengannya sudah seperti saudara.

Mungkin di kehidupanku yang sebelumnya -kalau reinkarnasi itu memang ada- bisa jadi aku mungkin bersaudara dengannya.

"Bagus, cocok dan pas. Tapi ada yang kurang." Katanya sambil mengamatiku.

Aku mengangkat alisku.

"...sebentar..." Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kotak kecil dari situ.

Sebuah kalung putih yang liontinnya berkilau.

"Maaf mbak, angkat rambutnya." Ia memposisikan diri di belakangku dan mengalungkan benda berkilauan itu di leherku.

Lalu tangan besarnya memutar tubuhku dan mengagumi hasil kerjanya.

"Sip!" Desisnya puas.

The Ex

Aku melihat pantulan diriku di jendela. Wah memang lebih baik pakai perhiasan.

"Pasti kencannya berhasil malam ini mbak, lebih cantik dari cewek-cewek yang suka dateng kesini." Sahut Lucas.

Aku tertawa senang mendengar pujiannya.

"Oke lah, Aku pinjem kalung Kamu sehari yah, mudah-mudahan pacar Kamu ngga tau."

"Itu memang Aku beli sengaja buat Mbak Six kok..." Sahutnya.

Aku menatapnya.

Lalu mengangkat alisku meminta penjelasan.

"...barusan Aku beli. Balasan coklat tadi siang." Sambung Lucas.

Ya Ampun...

"Lucas..." Aku mengusap dahiku. "Coklat itu kan..."

"Iya Aku tau, dari direksi yang ngga mau terima hadiah dari cewek-cewek itu kan? Karena takut mubazir akhirnya Mbak Six ambil. Ngerti kok..." Lucas menyeringai. "...soalnya waktu bersih-bersih ruangan Aku melihat itu di meja Pak Bima."

"Yah, balasannya ngga usah mewah begini dong..."

"Ngga mewah kok, itu bukan logam mulia. Tapi katanya ngga bakal luntur."

Aku lega mendengarnya.

"Gitu yah... haha, bagus lah Aku jadi ngga ada beban pakainya. Walopun bukan logam mulia tapi kualitasnya bagus banget yah..." Aku mengagumi kalung itu di pantulan jendela. Cocok sama gaunku.

"Iya cantik..." Kata Lucas.

Aku melirik Lucas yang berada di belakangku.

Lalu tengkukku merinding.

Pria itu terlihat menatapku dengan pandangan marah, matanya menyapuku dari atas sampai bawah melihat penampilanku dengan teliti, berkilat seakan ingin memakanku, namun mengernyit seperti jijik padaku.

Karena kaget Aku membalikkan badanku menghadapnya. Wajahnya sudah biasa lagi, wajah Lucas yang kukenal. Ramah dan lembut.

"Em..." Tenggorokanku terasa kering, jantungku masih berdetak cepat. "...Aku... Jalan dulu ya." Sahutku.

Kenapa Aku tergagap?

Lucas tersenyum.

"Iya...hati-hati ya mbak jangan tersandung. Sepatu baru soalnya..." Ia menyeringai.

Aku membalas senyumnya dengan masam, darimana dia tau kalau sepatuku baru, beneran perhatian deh...

*****

Sambil berjalan menyusuri pertokoan di area Mall yang berada di pusat kota Aku berpikir mengenai Lucas.

Pria itu tampan... bahkan jauh lebih ganteng daripada para pria yang suka dikejar-kejar cewek-cewek kurang kerjaan yang gayanya hedon itu. Ia juga tinggi, sangat tinggi malah, mungkin sekitar 188-190an. Dan kalau memakai seragam OB nya ototnya sering terlihat terbentuk di kemejanya. Dia juga sering digoda oleh kebanyakan cewek disini, dan karena pembawaan sifatnya memang ramah, ia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan.

Aku sering melihat dia mengobrol dengan para karyawan sambil tertawa-tawa, direksi disini juga menganggapnya teman, juga para Asisten Big Boss yang terkenal tidak ramah bisa berinteraksi dengan Lucas .

Pasti pacarnya banyak, pikirku.

Saat kutanya ke teman-teman sesama sekretarisku, mereka hanya berujar :

"Ganteng siiih taaapppiii... Dia kan cuma OB."

Ya kalau teman-temanku mainannya sudah level pejabat.

Terus terang pembawaanku canggung kalau ke pria, mungkin karena tidak terbiasa. Tapi dari kecil Aku memang pendiam, minder aja sama teman-temanku yang bisa lebih terbuka dengan teman-teman pria. Aku lebih baik duduk di pojokan sambil membaca komik.

Tapi Aku bisa lebih terbuka kalau dengan Lucas.

Aku langsung menunjukkan sifat asliku saat bersamanya. Pria itu memiliki aura mempesona yang bisa membuat siapa saja jadi luluh padanya.

Pertama kali kami bertemu 3 bulan yang lalu dia bahkan kaget melihatku keluar dari kamar mandi dengan memakai pakaian normal.

"Mbak...Six...bukan yaaa...?" sahutnya waktu itu.

Aku otomatis tersenyum lagi mengingat tampang bengongnya saat itu.

Sejak itu hampir setiap hari Aku bertemu dia kalau malam. Katanya ia lebih suka mengobrol denganku kalau malam karena Aku lebih ramah daripada siang hari.

"Mbak Six kalau jam kerja lebih dingin dari freezer, mukanya galak banget. Lebih-lebih sifatnya

suka sadis..." Katanya. Aku hanya terbahak waktu itu, kujelaskan kalau peraturannya memang begitu. Muka tembok, kalau kataku.

Tapi demi memakai topeng kaku seperti itu, kami dibayar lebih mahal daripada karyawan lain.

Biasanya minggu kedua dan keempat datang utusan dari Big Boss untuk mengaudit langsung kinerja kami. Ada dua Asisten Big Boss yang Aku tahu, masing-masing memiliki anak buah sendiri.

Besok jadwalnya Pak Leon untuk berkunjung, jadi semua laporan harus malam ini diupdate ke Big Boss agar besok keputusannya bisa disampaikan melalui Pak Leon.

Setelah bosan mengelilingi mall yang sebagian besar toko-tokonya sudah tutup Akupun pulang ke rumah untuk beristirahat.

Tidak ada wanita di belakang pria hebat. Wanita itu ada disampingnya, bersamanya, bukan dibelakangnya. (Unknown)

*****

Kami menunduk menghormat saat utusan Big Boss datang.

Pak Leonard Zhang berjalan melewati kami dengan langkah mantap menuju ruang meeting.

"Six..." Sapanya kepadaku. Aku hanya mengangguk.

Ia memang terkenal tidak ramah, namun karena kami sama-sama angkatan pertama perusahaan ini, dia hanya berkenan menyapaku saja.

10 tahun bekerja disini dan sama-sama memulai dari bawah sudah pasti tahu Kartu AS masing-masing, bukan?! Toh, kami hanya manusia biasa...

"Direksi sedang ada Meeting, bu. Mohon dapat menunggu di waiting room." Seru salah seorang security saat keributan terjadi lagi. Kali ini langsung dua orang nona muda cantik yang tipenya sama dengan yang sebelum-sebelumnya.

Aku sedang malas turun tangan jadi Aku memberi kode ke Nine dan Ten untuk menangani. Kalau dari wajah, Nine dan Ten cukup bikin minder cewek lain sebenarnya, tapi yang membedakan hanya nasib saja, haha.

Number Nine berbicara dengan bahasa mandarin yang fasih dan Number Ten lancar berbahasa korea. Mereka sedang bernegosiasi dengan para nona untuk lebih merendahkan suaranya.

Aku hanya tahu sebagian kecil bahasa mandarin, agak menguping dan sepertinya Number Nine sedikit berbohong dengan mengatakan kalau Pak Wisnu sudah menitipkan pesan kalau nona datang agar pulang saja karena hari ini ada meeting dengan utusan Big Boss seharian, karangan bunga permohonan maaf sudah dijalan.

Yah, kami memang mendapat budget untuk mengirimkan buket dan hampers ke nona-nona cantik dan klien-klien prioritas, tapi Aku bahkan belum pernah menggunakan jatahku. Menurutku karangan bunga atau bingkisan sifatnya hanya sementara, kalau keseringan kirim lama-lama mereka bakalan tahu kalau dibohongi.

Akhirnya para nona pergi, namun dengan kaki menghentak-hentak.

Number Nine dan Ten kembali ke pos masing-masing.

Menjelang jam makan siang, meeting telah selesai. Pak Leon memberiku kode untuk menemuinya. Aku mengangguk dan mematikan komputerku.

Utusan Big Boss diberi ruangan sendiri untuk beristirahat sebelum kembali ke kantor mereka. Aku membuka pintunya dan menemui Pak Leon yang sedang membaca lembaran perjanjian.

"Apa kabar?" Tanyanya kepadaku. Akhirnya dia tersenyum setelah seharian mukanya tegang.

"Gitu-gitu aja." Balasku sambil berdiri mensejajarinya menyandar ke meja.

"Gue mau ngomong, udah ijin Big Boss..." Desisnya.

"Hm?"

"Mungkin ngga lama lagi, dia bakal turun langsung buat mimpin perusahaan. Sebagai Presdir, 100% pengambil keputusan."

Mataku membulat.

"Ada... masalah apa sampai beliau turun tangan?"

"Target ngga berjalan baik. Memang tetap profit, tetap sehat, tapi ngga sesuai target..."

"Maksud lo gara-gara CAR kita statis?"

"Bisa jadi, tapi gue juga ngga terlalu tahu maunya dia apa, dia suka ngga ketebak soalnya.”

"Lo tahu ngga feeling gue apa...?"

Leon menatapku dengan bertanya.

“Lo inget ngga Pak Baskara dulu pernah bilang, hati-hati sama orang lama kalau ada pergantian manajemen. Mereka bisa berontak ngga puas soalnya pasti disuruh keluar dari zona nyaman, dibikin ngga betah biar resign sendiri, mau dipecat juga pesangonnya kemahalan. Jadi kayaknya bakalan ada kudeta.” Aku menyeringai.

“Gila juga ya khayalan lo...” sahut Leon terkesima menatapku. “Jangan-jangan elo malah yang mau kudeta...”

Aku tertawa, “Kalo Gue lebih baik resign demi harga diri... gue yakin lo juga bakal begitu.”

Leon mengangguk. "Mungkin ada yang bikin Big Boss ngga puas. Ada 2 bulan lagi dia bakalan menjabat. RUPS lagi dirancang di notaris."

"Wow..." Aku mengangguk. "Tampangnya kayak apa sih?"

"Ada deeehhh...." serunya.

Aku mencibir.

"Ini gue gitu loh... Mantan pacar lo, astaga Leon...!"

Leon tertawa.

"Gue udah disumpah bawa-bawa Tuhan, nanti kalo gue kesamber petir gimana? Mau tanggung jawab?!"

"Jawab doang bisanya, ngga mau nanggung..." Rajukku.

"Cium dulu..."

"Ogah..."

Leon menarik lenganku. Lalu mencium bibirku. Cukup erat, cukup intens, ia bahkan menahan tengkukku supaya Aku tidak menjauh.

"Plis deh... Kenapa sih lo ga ajak gue nikah aja kalo lo masih suka sama gue?" tanyaku sambil terengah-engah.

"Ge-er aja... lo tuh cuma pelampiasan..." Sahutnya dengan senyum jahil.

"Sama-sama deh..." Sungutku.

"Sekarang lo suka nolak kalo gue ajak jalan."

"Iya, mau hidup lebih lurus aja..."

"Hem... lebih lurus yah..." ia melepas pegangannya.

"Kapan yah kita nikah kalo hidup kita begini terus..." Akhirnya dia berujar memikirkan masa depannya, sama denganku masalahnya.

"Maksudnya lo dan gue nikah, gitu?!"

Dia memandangku sambil mengernyit.

"Lo... mau nikah sama gue?" Tampangnya kayak ngga yakin.

"Enggak." Jawabku seyakin-yakinnya.

Dia langsung menghela napas. "Baguslah... yang ada kita berantem tiap hari sampe mati."

Aku terbahak.

Benar sih...

Itu yang membuat hubunganku dan Leon tidak berhasil. Kami sama-sama keras kepala dan kaku. Waktu itu tiba-tiba kami bertengkar hebat gara-gara hal sepele yang Aku bahkan tidak ingat lagi sekarang, dan hubungan kami berakhir begitu saja setelah 1 tahun bermesraan menggebu-gebu.

Buang-buang waktu saja...

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!