NovelToon NovelToon

Ketulusan Cinta Mentari

Bab 1. Kondisi Ruang Kantor Perusahaan

Setiap pagi Mentari bangun lebih pagi dari pada yang lain. Kebiasaan setiap pagi melihat matahari yang baru terbit. Setiap pagi pula ia sarapan bersama Ayah dan Bunda.

"Pagi Sayang." Sapa Ayah dan Bundanya.

"Pagi juga Yah, Bun". Balas Mentari.

"Cerah sekali wajah mu pagi ini, lebih cerah dari biasanya." Kata Bunda.

"Tidak biasa saja." Jawab Tari.

Mereka sarapan bersama tanpa ada suara, hanya suara sendok dan garpu yang saling beradu yang terdengar begitu nyaring. Selesai sarapan Ayah segera berpamitan pergi ke kantor, tanpa lupa mencium kening sang Bunda dan anak perempuannya itu.

Perjalanan ke kantor pagi ini tidak begitu macet. Tuan Richat memang selalu pergi ke kantor lebih pagi dari pada jam kantor mulai aktivitasnya.

Tuan Richat selalu menghargai waktunya setiap hari. Bagaimana Dia tidak sukses setiap hari saja orang masih berada di dalam selimut laki-laki paruh baya itu sudah berkutat dengan berbagai macam pekerjaan.

Perjuangan yang dilaluinya tidaklah mudah hingga sangat sukses. Dia bahkan menjadi orang paling kaya sedunia.

Sopir Tuan Richat segera mengemudikan mobilnya di tempat parkir khusus Presiden Direktur. Dia membuka pintu mobil untuk Tuannya dengan perlahan.

Tuan Richat segera turun dan melangkahkan kakinya masuk menuju lift khusus Presiden Direktur. Belum banyak karyawan yang datang pada jam-jam pagi saat laki-laki paruh baya itu tiba.

Thing

Suara pintu lift pun terbuka dan tidak ada satu pun yang menaiki lift itu. Mereka tidak ada yang berani menaiki lift itu karena itu khusus untuk petinggi perusahaan.

Tuan Richat memiliki beberapa sekretaris handal dan dapat dipercaya. Dia meminta salah satu sekretarisnya memberikan laporan tentang perkembangan perusahaan di negara A setelah masuk dalam ruang kantornya.

Seorang Sekretaris yang cukup cantik masuk dalam ruang kantor yang sangat luas dan nyaman. Fasilitas dalam ruangan itu juga sangat lengkap dan mendukung semua bidang pekerjaan tanpa terkecuali.

Thut

Suara interkom yang menghubungkan antara dalam ruang kantor dengan ruang sekretaris berbunyi. Tuan Richat memanggil salah satu sekretarisnya.

"Antarkan saya laporan perkembangan semua Perusahaan di Negara A." Perintah Tuan Richat pada salah satu sekretarisnya setelah duduk di kursi kebesarannya.

"Segera saya antar Tuan." Jawab Sang Sekretaris sopan.

Tak

Tak

Tak

Suara high hills terdengar dengan jelas mendekati sebuah ruang kantor yang sangat besar. Tidak butuh waktu lama Sekretaris itu sampai kemudian membuka pintu ruang kerja yang sangat besar itu.

Sekretaris itu tidak perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Di pintu sudah ada alat untuk mendeteksi kedatangan seseorang yang akan masuk ke dalam ruang kantor milik Tuan Richat.

Alat itu hanya dipasang pada satu ruangan milik Tuan Richat saja. Hal itu hanya diketahui oleh beberapa orang saja.

Sekretaris itu sudah bekerja disana cukup lama sehingga tahu bagaimana harus bersikap pada atasannya itu. Dia pun bergegas mengambil laporan tersebut dan menyerahkannya pada Tuan Richat.

Semua sekretaris yang bekerja di sana cara kerja mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Mereka sangat bisa dipercaya dalam segala hal sehingga mereka juga mendapatkan gaji yang tidak sedikit.

Sekretaris itu setelah menyerahkan laporannya langsung berpamitan kembali menuju ruangan miliknya. Tidak pernah Tuan Richat bertanya apapun atau meminta pendapat kepada sekretarisnya jika memang tidak begitu penting atau mendesak.

Tuan Richat segera memeriksa dokumen-dokumen yang diberikan oleh sekretarisnya itu. Dia ingin menyelesaikannya laporan-laporan itu dan ingin segera menghubungi sang istri.

"Huuuu." Seorang Pria paruh baya menghembuskan nafas secara kasar setelah menyelesaikan semua pekerjaannya dan sempat diperiksa secara ulang.

"Akhirnya selesai juga." Katanya perlahan.

Semua dokumen-dokumen yang terletak di atas meja dimasukkan dalam laci. Laci itu dikunci dengan rapat, walaupun tidak dikunci tetap saja aman karena ruangan itu hanya bisa dibuka olehnya.

Tuan Richat menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya dengan memejamkan mata. Dia berharap bisa mengurangi rasa lelahnya walaupun hanya sesaat memejamkan mata.

Laki-laki itu selalu melakukan itu saat merasakan lelah hanya sekedar memejamkan mata bukan tidur. Entah mengapa hari ini dia bisa tertidur bahkan sampai bermimpi buruk.

Merasa tidak tenang Tuan Richat mengambil ponselnya dan menghubungi istri tercintanya. Dia ingin melupakan mimpinya baru saja dan mengajak mereka makan di luar.

Sejak sekian lama juga mereka tidak pernah makan bersama di luar walaupun banyak uang. Mungkin karena Dia terlalu lelah dalam bekerja hingga bermimpi buruk.

"Mimpi itu terlihat sangat nyata." Batin Tuan Richat.

"Ya Allah, Ya Rabb lindungilah keluarga ku." Doanya dalam hati.

Tuan Richat datang lebih awal dan hari ini pekerjaannya juga dapat selesai lebih awal. Dia mencari nomor ponsel sang istri kemudian mendeal nomor tersebut.

Tidak butuh waktu lama panggilan tersebut terhubung dan Sang Istri yang sedang bermain dengan sang putri segera mengangkatnya. Sang istri terlihat sangat senang ketika melihat Id pemanggil yang tertera diponselnya.

"Assalamualaikum." Sapa Bunda yang ada di rumah utama.

"Wa'alaikumsalam." Jawab Ayah yang masih ada di ruang kantornya.

"Bunda sedang apa?" Tanya Ayah.

"Lagi bermain." Jawab Bunda.

"Udah tua gitu masih aja main?" Tanya Ayah.

"Bunda itu hanya boleh main jika sama Ayah." Lanjutnya.

"Memangnya kenapa kalau main sama aku." Tanya Sang Putri yang sedikit mendengar percakapan kedua Pasutri itu.

"Mampus deh aku." Kata Ayah merutuki kecerobohan kata-katanya.

"Jangan sekarang Ayah." Pinta Mentari.

"Aku masih butuh kamu." Lanjutnya.

"Udah Ayah mau bicara sama Bunda." Pinta Ayah.

"Nih Bun, Ayah mau bicara sama Bunda." Kata Mentari sambil menyerahkan ponsel Sang Bunda.

"Bun, makan siang yu' luar." Ajak Sang Suami.

"Baiklah." Jawab Bunda.

"Ya sudah, Bunda dan Tari siap-siap dulu." Kata Ayah.

"Nanti Ayah jemput." Lanjutnya.

"Ok. Bunda tutup telponnya ya." Kata Bunda.

"Wassalamu'alaikum." Salam penutup dari Bunda.

"Wa'alaikumsalam." Balas Ayah.

Kedua pasutri itu sama-sama menutup telponnya dan bersiap untuk pergi makan siang. Mendengar suara kedua orang yang disayangi Tuan Richat sedikit lebih tenang.

Sopir pribadinya yang harus selalu stenby segera bersiap untuk mengantarkan Tuan Richat setelah mendapat perintah darinya melalui panggilan ponsel baru saja. Mobil itu segera menuju lobi untuk menjemput Tuannya yang sangat tampan dan baik.

Tuan Richat biarpun sudah sedikit berumur tetap saja terlihat masih sangat tampan. Banyak karyawannya yang selalu memuji ketampanannya itu, tetapi tidak ada yang berani untuk mendekatinya.

Hanya sekedar mengucapkan salam pasti dijawab dengan dingin itu sudah membuat mereka mundur. Mendekatinya apalagi mereka sudah sadar diri karena berbeda status.

Dia sudah terkenal dingin dan tidak akan memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mendekatinya. Sadar wanita yang tak halal baginya hanya akan menghancurkan segalanya.

Bab 2. Dua Bidadari Cantik Berebut Kasih Sayang

Jalanan siang ini begitu macet hingga semua pengguna jalan mudah terpancing emosi. Seorang pengendara mobil beserta penumpangnya yang terlihat gagah merasakan sebuah kenyamanan walaupun kondisi jalanan yang begitu padatnya.

Tuan Richat berada dalam mobil itu menyunggingkan senyum mengingat akan bertemu dengan istri tercinta dan putrinya yang sangat dia sayang. Sopir pribadi yang mengantar kemanapun dia pergi ikut merasa senang melihat tuannya sekarang terlihat wajah tidak seperti biasanya.

Flesh Back Off

Di rumah yang yang bagaikan istana itu Mentari bermain bersama Sang Bunda yang sangat cantik. Rumah mereka sangatlah besar dari gerbang ke rumah utama saja harus melalui taman yang sangat luas.

Semua fasilitas sudah lengkap termasuk lapangan olah raga dan lain sebagainya. Semua ruangan dipasang CCTV kecuali kamar dan kamar mandi.

"Capek Bun, Tari mau istirahat sebentar." Kata Mentari.

"Ya sudah ayo kita duduk di kursi taman." Kata Sang Bunda.

Saat duduk di kursi taman Bunda mengobrol banyak hal dengan tari. Mereka berbincang tentang banyak hal.

"Sayang tahu tidak usia mu sekarang?" Tanya Sang Bunda.

"Empat tahun ya Bun?" Jawab Mentari.

"Benar sekali. Ternyata anak Bunda ini sangat pintar ya." Ucap sang Bunda.

"Anak siapa dulu dong? Anak Ayah." Balas Mentari.

Bunda menanyakan sekolah pada Mentari mengenai keinginannya sekolah, Sang Putri menjawab dengan antusias. Sedih terpancar juga di wajahnya yang imut ketika mengingat dia harus belajar di rumah (Home Schooling) bukan di sekolah umum.

Tanpa terasa matahari sudah naik di atas kepala berarti waktu sudah siang. Mereka kembali ke rumah, sampai di rumah tiba-tiba ponsel Bunda berdering.

"Siapa Bun?" Tanya Tari

"Ayah sayang." Jawab Sang Bunda.

"Ayah ingin mengajak kita untuk makan di luar." Lanjut Sang Bunda.

Cukup lama mereka tidak makan di luar bersama. Entah ada angin apa yang membuat Tuan Besar ingin makan bersama di luar.

"Bi, Bi Inna," Nyonya Devi memanggil Asisten Rumah Tangga kepercayaan keluarga itu yang sedang berada di dapur setelah panggilan telepon dari Sang Suami ditutup.

"Ya nyonya." Sahut Bi Inna.

"Bi kami akan makan di luar bersama Tuan, Bi Inna tidak usah menyiapkan makan siang untuk kami." Kata Nyonya Devi.

"Baik Nyonya". Kata Bi Inna.

Bunda dan Sang Putri menuju ke kamar hendak bersiap-siap makan siang bersama Sang Ayah. Bunda merapikan penampilan Mentari terlebih dahulu kemudian baru dirinya.

Penampilan yang cukup anggun itulah yang disukai oleh Sang Suami, bukan penampilan terbuka yang biasa ditampilkan oleh wanita pada umumnya.

Kedua Bidadari kesayangan Tuan Richat sudah yakin dengan penampilannya yang cukup sederhana tapi terkesan elegan. Mereka berdua sudah menunggu Sang Ayah menjemput mereka.

"Bunda gimana dengan penampilan ku?" Tanya Sang Putri saat menuruni tangga.

"Memangnya kenapa sayang?" Tanya Bunda tanpa menjawab pertanyaan Mentari.

"Tidak apa-apa, cuma aku tidak mau kalah dengan Bunda." Jelas Tari.

"Kalau aku cantik tentunya Ayah akan lebih sayang sama aku." Lanjutnya.

"Kamu itu, maunya di sayang terussss sama itu Ayah kamu." Kata Sang Bunda seakan mendapat saingan seorang gadis kecil.

Keduanya menunggu di ruang depan dengan berbincang justru layaknya anak gadis yang memperebutkan kasih sayang seorang laki-laki. Perbincangan pun terhenti tatkala mendengar suara mobil berhenti

Flesh Back On

Tuan Richat menyandarkan badannya di kursi belakang mobil untuk melepas rasa penat yang tersisa. Dia berbincang sesekali dengan sopirnya itu mengenai Putrinya Mentari.

Tuan Richat sudah sangat percaya pada sopir itu. Sopir keluarga yang sudah bekerja sangat lama pada keluarganya.

Dia meminta bantuannya untuk menjaga Putrinya sama seperti menjaga anaknya sendiri. Sama halnya Tuan Richat selalu baik bahkan terlalu baik pada keluarga Sopir Pribadinya.

Pak Narendra adalah sopir pribadi yang selalu menjadi kepercayaannya. Dia memang handal dalam bela diri.

Di kediaman utama pun terdapat puluhan bodyguard handal yang bayarannya tak sedikit. Setiap tamu tanpa kecuali melalui pemeriksaan ketat.

Penjaga yang ada di kediaman utama tidak pernah mereka menampakkan diri secara nyata. Mereka melindungi keluarga itu secara sembunyi-sembunyi. (Waduh kalau mereka sampai menampakkan diri bisa-bisa semuanya kabur seperti melihat hantu).

Kediaman utama yang terlihat sepi ternyata banyak orang yang melindungi keluarga itu. CCTV dan kamera pengamat berada di bukit yang paling tinggi jauh dari kediaman itu.

Bukit yang memang terdapat sebuah menara yang menjulang tinggi. Tempat itu tidak pernah didatangi oleh orang lain karena memang terkenal menakutkan. (Banyak hantu mungkin jadi terkenal seram).

Chiiiit

Suara ban mobil bergesekan dengan aspal yang ada di depan kediaman utama terdengar nyaring. Tepatnya pintu masuk menuju ruang tamu.

Ayah yang sudah ditunggu oleh kedua orang yang disayanginya segera keluar dari mobil tanpa menunggu seseorang membuka pintu itu. Kedua orang wanita yang ada di dalam rumah itu juga segera keluar dari dalam dengan melangkahkan kaki dengan cepat.

Gadis kecil itu sampai berlari ingin segera memeluk Sang Ayah. Dia tidak ingin keduluan dengan Sang Bunda.

"Hallo sayang sudah siap?" Tanya Ayah sesudah keluar dari mobil yang baru saja sampai di depan rumah itu dengan senyum terbaiknya.

"Sudah." Jawab mereka berdua bersamaan.

"Ayo kita berangkat." Kata Ayah sambil melangkahkan kakinya menuju mobil.

"Tumben mengajak makan siang di luar?" Tanya Bunda.

"Ada masalah?" Tanya balik Suaminya tanpa menjawab pertanyaan Sang Istri.

"Tidak." Jawab Sang Istri.

Ayah dan Bunda sudah jalan terlebih dahulu tapi Tari masih berdiri saja di depan pintu. Merasa sang anak tidak mengikuti mereka pun menghentikan langkahnya.

"Ada apa sayang, anak Ayah yang cantik?" Tanya Ayah dengan berjongkok agar wajah mereka sejajar.

"Mentari...... Minta... di..... Gendong." Kata Mentari dengan senyum manjanya sambil mengedip-ngedipkan matanya berulang kali.

Kedua orang tua Mentari saling pandang. Mereka tertawa renyah melihat wajah polos yang sangat imut di depannya itu.

"Ok, baiklah." Kata ayah.

"Naiklah ke punggung Ayah." Pinta Sang Ayah membalikkan badannya saat masih berjongkok.

Gadis kecil itu pun akhirnya melompat dengan cepatnya memeluk punggung Sang Ayah. Kedua tangan gadis itu melingkar pada lehernya ayahnya.

Ketiganya berjalan beriringan terlihat sangat bahagia. Banyak diantara pekerja yang bekerja di kediaman utama itu melihat mereka merasa iri dengan kebahagiaan yang hadir pada keluarga ini.

Berjalan menuju mobil ketiganya bercerita sambil bercanda. Tuan Richat memang orang yang sangat dingin di luar bagaikan dinginnya kutub utara, tapi dengan keluarganya ia sangat hangat. Orang-orang yang tahu hanya orang terdekatnya saja.

Bab 3. Nona Jangan Marah-Marah Nanti Lekas Tua

Perjalanan menuju restoran tidak membutuhkan waktu yang lama. Sesampainya disana, semua petugas & pelayan menyambutnya dengan ramah.

Setiap merayakan ulang tahun Sang Anak, mereka selalu merayakan di hotel ini juga. Mereka mengundang anak yatim piatu dalam acara tersebut.

Acara tersebut sangat meriah walaupun mereka merayakan bersama anak yatim piatu. Hal ini juga bertujuan untuk mengajarkan pada anaknya untuk saling berbagi.

Setiap bulan bahkan keluarga ini memberikan uang santunan kepada beberapa panti asuhan. Bahkan mereka juga mengirim makanan di tempat panti asuhan secara bergantian setiap harinya.

Mereka duduk di taman sambil melihat ramainya pengunjung. Ruangan khusus VVIP itu hanya dianggarkan saja.

Keinginan untuk melihat dunia luar jarang sekali didapatkan gadis itu. Kejamnya sebuah kehidupan bahkan belum pernah dirasakannya.

Mentari hanya tahu sebuah kehidupan yang dijalaninya setiap hari tidak banyak cobaan hidup. Kedua orang tuanya pun berusaha memberitahukan betapa beratnya untuk menjalani kehidupan diluar sana.

Kedua orang tuanya itu memulai dari memberitahukan bahwa banyak yang harus diperjuangkan diluaran sana. Mereka yang tidak mampu dari segi materi harus bisa makan bahkan mereka yang tidak memiliki orang tua harus beruang mempertahankan hidup.

Mentari berlari menuju pintu masuk restoran tersebut. Gadis kecil yang cantik itu menyapa semua tamu yang datang. Ia tidak mau diam selalu saja ada tingkahnya.

"Selamat datang Tuan, Selamat datang Nona." Mentari dengan ramahnya menyambut setiap tamu yang datang.

Mentari juga mengucapkan terimakasih ketika pelanggan itu selesai dan hendak pergi. Tidak lupa juga meminta mereka kembali lagi semoga tidak kecewa dengan pelayanan di restoran tersebut. Ia juga minta maaf jika ada yang salah dalam pelayanan restoran itu.

Manager restoran pun merasa tidak enak atas apa yang dilakukan gadis kecil yang cantik karena ia tahu ia adalah putri dari pemilik restoran itu. Manager itu cukup cantik yang namanya adalah Riska. Ia adalah teman dari Bundanya.

"Hai Cantik, apa yang kau lakukan?" Tanya Riska setelah melihat apa yang dilakukan oleh gadis kecil itu dan berjalan menghampirinya.

"Maaf Nona, saya hanya bermain-main." Jawab gadis kecil itu sambil tersenyum dan mengedipkan mata.

Riska menunjukkan tempat bermain di Restoran itu yang memang sengaja di buat untuk bermain anak. Gadis kecil itu menolak dengan sopan pada Manager wanita itu.

Tuan Richat hanya menggelengkan kepalanya perlahan sambil tersenyum pada anaknya, sedangkan Sang Bunda hanya menyunggingkan tersenyum pada bibirnya yang merah itu.

"Lihat tu kelakuan anak mu." Kata Bunda.

"Memangnya dia bukan anak mu?" Kita kan buat bersama." Balas ayah.

Memang sengaja mereka tidak langsung memesan makanan. Mereka ingin berlama-lama di luar menikmati suasana yang lain dari biasanya.

Jarang sekali keluarga itu keluar rumah, mengingat setiap status mereka sangat kaya raya. Mereka selalu menjadi incaran saingan bisnis Tuan Richat bahkan setiap wanita yang ingin mendapatkan Tuan Richat karena ketampanan, kekayaan, dan kecerdasannya.

Begitu pula dengan istrinya yang sangat cantik yang selalu menjadi incaran Kaum Adam. Nyonya Devi memiliki perusahaan yang sama besarnya dengan suaminya. Selain cantik, kaya, dan juga cerdas.

"Nona kecil dimana orang tuamu?" Tanya Riska yang berpura-pura tidak mengenalnya.

"Siapa yang kecil?" Tanya Tari yang sedikit tidak terima dengan pernyataan Sang Manager Wanita itu.

"Aku sudah besar, sebentar lagi aku kan sekolah." Lanjutnya.

"Mau apa tanya orang tua ku? Mau mengadukkan ku?" Cerocos Tari dengan nada agak tinggi dan tangan yang bersedekap di depan dada.

Manager itu tidak sedikitpun marah, ia malah senang dengan gadis kecil yang saat ini bersamanya. Gadis yang terlihat sangat sopan dan berwajah imut membuatnya tidak bisa marah.

"Nona kenapa kau tidak marah?" Tanya Tari yang seakan tahu akan niat Manager itu yang menggodanya.

"Buat apa marah, kalau sering marah ntar cepet tua lho." Riska dengan tersenyum menjelaskan kepada Mentari kalau marah itu tidak bagus.

"Mentari, sini sayang...." Panggil Bunda.

"Ya Bunda sebentar aku baru berbincang bincang dengan Tante ini." Kata Mentari sambil melihat wajah sang Bunda dari jarak yang lumayan jauh.

"O.... Jadi orang tua mu duduk di sana?" Tanya Sang Manajer.

"He em." Jawab Tari dengan mengangguk pelan setelah menghadap pada Sang Manajer lagi.

"Mari saya antar Tuan Putri." Sang Manager pun menawarkan diri mengantarkan gadis kecil itu ke meja orang tuanya.

Mentari pun meraih tangan Sang Manager itu setelah tangannya terulur dengan telapak tangan menghadap ke atas. Mereka saling berpegangan tangan dengan erat menuju bangku Tuan Richat.

Mentari pun tak lupa berterima kasih Manager itu yang telah menemaninya walaupun hanya beberapa saat. Hal itu sangat berkesan bagi Tari yang jarang sekali berkomunikasi dengan orang orang lain.

Saat ini Riska sedang dalam situasi resmi, alias sedang dalam jam kerja. Dia juga harus bisa membedakan kondisinya yang sekarang ini.

Sebuah hubungan sebagai seorang teman bahkan sahabat harus diabaikan saat ini untuk menjadi panutan bagi anak buahnya ataupun pegawainya yang lain sebagai seorang manager hotel.

"Maaf Tuan apa pesanan kami memang sangat lama?" Tanya Riska yang saat itu sedang bertugas.

"Tidak Nona kami memang sengaja belum memesan makanan dan minuman yang ada disini." Jawab Tuan Richat sambil masih dengan menyandarkan punggungnya pada kursi tetapi dengan raut wajah yang biasa saja bahkan tidak saling kenal dilihat.

"Benar kami sedang menunggu putri kami yang hilang entah bermain kemana." Lanjut Nyonya Devi.

Apa yang perlu saya bantu Tuan dan Nyonya? Tanya Manager Riska menawarkan bantuannya.

"Ada Nona." Jawab Nyonya Devi.

"Serahkan Putri kecil kami yang cantik dan pintar yang sedang bermain petak umpat dengan kami." Jawab Nyonya Devi.

"Duduk dan makanlah dengan baik Nona kecil." Kata Manager Riska setelah berbalik dan berjongkok agar sejajar dengan gadis kecil yang sedang bersembunyi di belakangnya.

"Ok. Baiklah Nona Cantik aku akan sedikit menuruti mu." Balas Mentari.

Kursi yang kosong yang berada di sebelah kiri Sang Ayah ditarik sedikit kebelakang oleh Sang manager Gadis kecil itu bisa duduk. Mentari akhirnya duduk setelah mengucapkan terimakasih pada Sang Manager karena telah membantunya.

Tidak butuh waktu lama Riska memanggil seorang pelayan restoran dan memberikan daftar menu hari ini.

Mereka mulai menikmati makanan yang mereka pesan.

Di Kediaman Utama Tuan Richat

Di rumah besar kediaman utama Tuan Richat yang bagaikan istana itu seorang pemuda yang berperawakan tampan, gagah dan tinggi baru saja sampai. Dia kembali ke tanah air untuk liburan kuliah setelah ujian dilaksanakan.

Pemuda itu melaksanakan ujian akhir skripsi tepatnya. Dia ingin segera menetap di tanah kelahirannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!