NovelToon NovelToon

Sanggana1: Perampok Raja Gagah

1. Perampok Raja Gagah

Dengan teriakan-teriakan seperti orang kerasukan setan, gerombolan lelaki berkuda ini menuju desa yang akan menjadi korbannya. Kuda-kuda dipacu sekencang-kencangnya. Tawa terbahak-bahak yang tidak melelahkan tenggorokan mereka menjadi irama buruk bagi alam.

Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang pemuda tampan. Rambut gondrongnya dibiarkan lepas tanpa ikatan. Pakaiannya yang cuma celana merah membuat tubuhnya yang kekar berotot dipanggang sinar matahari. Di pinggang kanan kirinya terdapat piringan besi yang tengahnya memiliki lubang untuk jari-jari tangan. Ialah pemimpin gerombolan sangar ini. Namanya sudah lama ditakuti oleh penduduk desa-desa di daerah itu, yaitu Pangeran Bejat.

Sudah lama gerombolan perampok itu beroperasi dengan merampok milik penduduk desa tanpa kenal rasa belas kasihan. Operasi mereka tidak setiap hari atau pun setiap pekan, sehingga penduduk desa tidak bisa menduga kapan mereka akan beroperasi. Sudah banyak desa yang mereka serang, tidak peduli bahwa desa yang mereka serang adalah wilayah kekuasaan sebuah kerajaan.

Kelompok ini bekerja ketika penduduk desa yang menjadi target dalam kondisi lengah dari kesiapan serangan mereka. Tidak hanya harta benda yang mereka rampok, tapi juga anak-anak gadis dari usia sepuluh tahun hingga tiga puluhan, yang penting gadis. Gadis-gadis itulah yang menjadi korban kebiadaban sebagai pelampiasan nafsu binatang mereka setiap hari di sarangnya. Jika ternyata gadis yang mereka culik sudah tidak perawan lagi, maka wajib bunuh.

Kebejatan itulah yang membuat mereka menamai kelompoknya dengan nama Perampok Raja Gagah. Pihak kerajaan yang memburu kelompok rampok ini selalu tidak berhasil mengetahui keberadaan mereka bersarang. Sudah ada beberapa pendekar berilmu yang turun tangan, tapi belum ada yang berhasil menumpas gerombolan ini.

Kini, gerombolan Perampok Raja Gagah sudah memasuki desa. Melihat kedatangan mereka, penduduk desa seketika kocar-kacir lari terbirit-birit sambil berteriak-teriak memberi peringatan kepada penduduk lainnya. Para penduduk mencari tempat persembunyian dan berusaha menyelamatkan diri. Pintu-pintu dan jendela langsung ditutup, dikunci sekuat-kuatnya. Bagi yang merasa gadis segera bersembunyi di dalam rumah atau disembunyikan oleh orangtuanya.

“Raja Gagah datang...!” teriak seorang pemuda desa sambil memukuli kentongan.

"Perampok Raja Gagah datang...! Sembunyi...! Sembunyi...! " teriak lelaki desa lainnya.

Crasss! Crasss!

Pemuda desa pemukul kentongan dan temannya itu tewas ketika lehernya disambar golok seorang perampok. Orang-orang yang mereka jumpai dengan seenaknya dibunuh. Mayat-mayat dalam sekejap bergelimpangan tanpa pilih tempat. Jelas ini pembantaian. Setelah sepi, jalanan dan lingkungan tidak lagi menunjukkan warga yang berlarian, barulah kuda-kuda mereka berhenti. Para penjahat ganas itu bergegas turun dari kuda-kudanya.

Brak! Brak!

Pintu-pintu rumah yang tertutup mereka dobrak paksa. Rumah digeledah dan dijarah. Yang berusaha mempertahankan hartanya terpaksa harus mati. Anak perempuan yang didapati langsung dibopong keluar, tidak peduli cantik atau jelek parasnya. Orangtua gadis yang melawan atau akan melawan, hanya berujung kepada kematian.

Bukan satu atau dua rumah yang dibakar, tapi banyak. Anak gadis tidak sedikit yang dibawa. Bahkan ada penduduk yang semua anak gadisnya dibawa, meninggalkan para orangtua dalam ratapan atau dalam kematian.

Setelah semua anggota perampok mendapat jatah anak gadis dan harta, barulah mereka meninggalkan desa itu dengan kegembiraan yang teramat sangat. Seolah berbuat benar, mereka pergi dengan tertawaan yang seolah abadi. (RH)

2. Perasaan yang Aneh

Pemuda tanggung berusia lima belas tahun itu melempar bola kayu di tangannya ke arah teman yang usianya dua tahun lebih muda darinya.

Dak!

“Adui!” pekik Kumisan yang terkena bola di kepalanya. “Wid, kau jangan curang!”

“Iya, peraturannya tidak boleh melempar kepala!” sahut Gunjar membela Kumisan.

“Tadi aku mengarah punggungmu, San. Kau merunduk, jadi kena kepalamu!” kilah anak yang melempar bola, namanya Widarya.

“Tapi aku tadi tidak merunduk!” bantah Kumisan.

“Kau tadi merunduk!” Widarya ngotot tidak mau salah.

“Sudah kita ulang saja. Widarya tetap yang jadi penimpuknya!” Gunjar menengahi.

“Aku berhenti!” ambek Kumisan sambil sekuat tenaga melempar bola ringan di tangannya.

Bola dari bahan kayu yang ringan itu melesat ke arah kali.

“Itu bolaku, San!” teriak Dudut, bocah usia 14 tahun berambut keriting, marah.

Widarya, Gunjar dan Dudut segera berlari ke kali yang hanya beberapa tombak dari daerah mereka bermain. Kumisan tidak ikut.

“Itu bolanya!” seru Widarya sambil menunjuk bola yang hanyut ke hilir.

Mereka bertiga cepat mengejar ke hilir. Namun, air kali lebih deras mengalir dari pada langkah kaki mereka. Setelah cukup jauh mengejar, akhirnya mereka berhenti.

Bola mereka diambil oleh seorang pemuda tampan berbibir merah alami berusia 15 tahun. Pemuda tanggung berpakaian biru bernama Joko itu bersama seorang pemuda yang usianya sebelas tahun lebih tua. Pemuda bertubuh besar berpakaian abu-abu itu duduk santai di bawah pohon yang tumbuh di pinggir kali. Namanya Goceng.

“Hai! Itu bolaku!” teriak Dudut sambil berlari lebih dulu mendekati kedua pemuda yang asing bagi mereka.

Pemuda pengambil bola duduk di dekat temannya di bawah pohon. Keduanya memandang ketiga pemuda tanggung yang datang.

“Itu bola kami, kau tidak boleh mengambilnya!” kata Dudut.

“Apa buktinya jika ini bola kalian?” tanya Joko santai sambil menimang-nimang bola di tangannya.

Dudut dan kedua temannya diam. Mereka tidak bisa memberi bukti bahwa bola itu adalah milik mereka yang hanyut.

“Jelas itu bola kami karena kami yang mengejarnya!” jawab Widarya akhirnya.

“Hah! Itu sih bukan bukti. Bisa saja ini bola orang yang hanyut tapi kalian yang mengejarnya,” kata Joko.

“Jadi kau menantang berkelahi?!” seru Dudut emosi.

“Aku tidak mengajak berkelahi, tapi kalian tidak punya bukti, jelas ini bolaku!” tegas Joko.

“Kau boleh berani karena membawa teman yang besar. Tunggu di sini, karena aku akan panggil teman-temanku!” tantang Dudut.

“Terserah mau panggil siapa,” kata Joko tetap santai.

Dudut dan kedua temannya segera pergi. Setelahnya, mereka berlari menuju ke tempat mereka biasa berkumpul.

“Parsuto!” panggil Widarya, padahal jaraknya masih cukup jauh dari sekelompok pemuda-pemuda tanggung berkumpul.

Pemuda yang berusia 20 tahun menghentikan kelakarnya. Ialah yang bernama Parsuto. Mereka semua berdiri, empat lelaki dan dua perempuan.

“Ada apa sih?!” tanya gadis cantik tanggung usia 16 tahun, tapi perawakan karakternya seperti lelaki. Namanya Kusuma Dewi.

“Bola kami diambil orang dan dia mengajak kami berkelahi!” lapor Widarya.

“Kenapa tidak dilawan?” tanya Parsuto.

“Dia punya teman besar,” jawab Dudut.

“Berapa orang?” tanya Limarsih yang usianya 17 tahun, parasnya lebih cantik dari adiknya Kusuma Dewi.

“Cuma dua,” jawab Dudut.

“Kalau begitu, ayo kita lawan!” teriak Parsuto lalu melangkah pergi.

Dudut jalan paling depan sebagai penuntun jalan. Mereka bersembilan menuju pinggir kali di mana bola kayu mereka ditahan oleh anak asing.

“Itu mereka!” tunjuk Dudut ketika mata mereka sudah bisa menjangkau keberadaan Joko dan Goceng yang masih asik di bawah pohon.

“Apa kau takut melawan mereka semua, Goceng?” tanya Joko setelah melihat kedatangan gerombolan itu.

“Mana mungkin anak desa menang melawan kita?” kata Goceng begitu percaya diri.

“Hei, kalian! Serahkan bola temanku!” seru Kusuma Dewi seraya berkacak pinggang, menantang.

Deg!

Tersentak jantung Joko ketika mendapat perintah dari Kusuma Dewi. Joko jadi bingung sendiri dengan perasaannya yang tiba-tiba berubah ada yang aneh. Jantungnya berdebar agak kencang. Joko merasa ini aneh. Ia belum penah merasa seperti itu.

“Kenapa kau terkejut seperti itu, Joko?” tanya Goceng yang melihat gerak samar refleks sikap Joko saat mendapat bentakan dari si gadis.

“Hahaha!” meledaklah tawa beberapa anak desa itu.

“Baru disentak begitu sudah ciut, payah. Aku kira jagoan. Hahaha....!” ejek Dudut lalu tertawa yang diikuti Widarya dan Gunjar.

“Aku tidak pernah takut berkelahi. Harimau pun aku bisa bunuh!” sesumbar Joko menutupi sikap salahnya.

“Besar mulut!” tukas Parsuto. “Jika kalian serahkan bolanya, kalian boleh pergi!”

“Tidak akan, sebelum ada bukti bahwa bola ini milik kalian!” tegas Joko.

“Kami adalah saksinya. Bola itu milik anak buahku. Kami mengenal bola itu!” kata Parsuto.

“Oh, jadi kau pemimpinnya?” Joko berdiri menghadap kepada Parsuto. “Aku katakan, kau ketuanya tentu saja kau membela anak buahmu walaupun aku yang benar!”

“Wah, memang mengajak ribut,” ucap Kusuma Dewi kesal, lalu berteriak beri komando, “Hajar saja!”

Seketika Parsuto dan teman-temannya bergerak, tinju dan tendangan siap beraksi. Joko dan Goceng dikeroyok. Namun nyatanya, Joko dan Goceng pandai berkelahi, sangat berbeda dengan anak-anak desa itu. Joko dan Goceng pandai ilmu olah kanuraga, mereka dengan mudah menghadapi Parsuto dan teman-temannya.

Limarsih dan Kusuma Dewi ikut juga berpartisipasi. Akibatnya keduanya juga merasakan jika harus jungkir balik terjengkang. Namun, dengan marah mereka bangkit kembali laksana singa betina.

Satu persatu Joko melumpuhkan lawan-lawannya. Goceng melakukan hal yang sama.

Namun, ada yang aneh ketika Kusuma Dewi menyerang Joko. Joko memilih menghindar menjauh dan lebih suka beralih menyerang lawan laki-lakinya. Hal itu membuat Kusuma penasaran dan geram, sehingga ia memilih terus menyerang Joko.

”Akk!” pekik Limarsih saat terjengkang didorong oleh Goceng.

Limarsih sejenak melihat kondisi, ternyata beberapa temannya sudah bergelimpangan babak belur. Dilihatnya Parsuto tinggal sendirian menghadapi Goceng. Di sisi lain, Joko berlari kucing-kucingan dengan Kusuma Dewi. Sementara gadis belia itu begitu alot mencoba menjangkau Joko dan menghajarnya.

Namun, ketika Joko mengelaki sergapan Kusuma, tanpa sadar ia bergerak ke dekat Limarsih.

“Kena kau!” teriak Limarsih.

Betapa terkejutnya Joko ketika tiba-tiba dari belakang melompat Limarsih menyergap punggungnya dan merangkul kuat lehernya. Kedua kaki Limarsih melingkar kuat di perut Joko. Tampak Joko begitu kelabakan. Wajahnya merah panik dan bercucuran keringat. Jantungnya berdetak demikian kencang. Joko mencoba melepaskan tubuh Limarsih, tapi kunciannya begitu kencang.

“Rasakan ini!” teriak Kusuma sambil lancarkan tendangan keras ke arah perut Joko.

Joko mengelak sambil bergerak melompat jauh ke kali. Seketika kuncian Limarsih lepas. Buru-buru Joko berenang ke pinggir. Oh, ternyata di sana sudah berdiri menunggu Kusuma. Kaki kanan Kusuma melayang deras mengarah kepala Joko yang ada di depan kakinya.

Tap!

Kaki Kusuma terhenti dalam tangkapan tangan Joko yang kemudian langsung menariknya. Jbuur! Kusuma pun tertarik ke dalam kali. Sebelum masuk air, Kusuma masih sempat menarik tubuh Joko. Keduanya pun berpelukan di dalam air. Joko begitu gelagapan sampai-sampai lupa bahwa ia bisa berenang.

Limarsih ikut mengeroyok Joko di dalam air.

“Sudah hentikan!” teriak Parsuto.

Ternyata Parsuto sudah tumbang setelah sekian pukulan beruntun Goceng menghajar perutnya. Teman-teman lelaki yang lain sudah terlebih dulu terkapar kesakitan setelah dihajar oleh Joko. Goceng pun berhenti. Tinggal pertarungan dalam kali yang tampak belum berhenti.

Bagi Limarsih dan Kusuma Dewi, tak peduli harus merangkul dan bergulat di dalam air, yang mereka pikirkan hanya rasa permusuhan dan mencoba untuk mengalahkan Joko. Tak jarang keduanya harus saling bersentuhan. Mereka lupa bahwa mereka adalah antara laki-laki dan perempuan.

Namun, Joko tampak memang kalah. Terlihat dari upayanya untuk lari dari kedua gadis itu. Namun, berulang kali kedua gadis itu berhasil menarik Joko dan berupaya menenggelamkannya.

“Berhenti! Berhenti!” teriak Parsuto kepada mereka yang bertarung di air.

Mendengar teriakan Parsuto, Limarsih dan Kusuma Dewi pun berhenti. Joko buru-buru berenang ke tepi. Setibanya di darat, Joko tampak terengah-engah. Goceng tertawa melihat kondisi Joko.

Sementara Limarsih dan Kusuma Dewi mendelik melihat teman-teman lelakinya semua terkapar dengan wajah meringis babak belur. Dudut dan Bira tampak berdarah hidungnya.

“Kenapa berhenti? Kita belum roboh semua!” protes Kusuma.

“Kau tidak lihat, mereka semua babak belur?!” sergah Limarsih sambil menepuk kepala adiknya.

“Tapi aku hampir menenggelamkan pemuda jelek itu!” tandas Kusuma.

“Karna aku tidak melawan!” Joko membela dirinya, ia sudah naik ke darat.

“Tidak melawan bagaimana? Buktinya dadaku nyut-nyutan, pasti kau pukul!” debat Kusuma.

“Hahaha!” Goceng tertawa terbahak sambil memukul kepala Joko.

“Aku tidak melakukannya!” bantah Joko seraya setengah berbisik kepada Goceng.

Perkataan Kusuma membuat Limarsih melempar adiknya dengan air. Lalu juga berbisik, “Bodoh! Kenapa kau beritahu? Aku saja diam!”

Limarsih berenang ke tepi. Kusuma ikut.

“Kami kalah,” kata Parsuto kepada Joko dan Goceng setelah susah paya berusaha berdiri tegak.

“Eit, tidak bisa! Kami belum kalah!” teriak Kusuma cepat.

“Percuma melawan mereka. Mereka bukan anak desa, mereka anak perguruan!” tegas Parsuto.

“Bagaimana?” tanya Joko.

“Yah, kami mengaku kalah!” kata Limarsih yang kian membuat Kusuma merengut.

“Pokoknya aku belum kalah!” desis Kusuma.

“Ayo kita pulang!” ajak Parsuto kepada yang lainnya.

Parsuto membantu Widarya dan Gunjar untuk bangun. Sambil masih meringis, mereka berjalan pincang meninggalkan Joko dan Goceng. Demikian pula dengan Bira, Dudut, Jajang dan Kulajang. Sementara Limarsih dan adiknya masih berdiri di tempatnya dengan tubuh dan pakaian basah kuyup.

“Hei!” panggil Joko sebelum mereka jauh.

Semuanya berhenti lalu berpaling memandang Joko dan Goceng.

“Ini bola kalian!” kata Joko sambil melempar bola di tangannya kepada Parsuto.

Dengan baik Parsuto menangkap bola itu dengan satu tangan.

“Kami minta maaf atas luka-luka kalian!” kata Joko.

Parsuto diam sejenak, akhirnya mengangguk.

“Siapa nama kalian?” tanya Parsuto.

“Joko Tenang,” jawab Joko.

“Aku Goceng!” sahut Goceng pula.

“Tidak tanya!” ketus Kusuma, hanya membuat Goceng senyum-senyum.

“Aku Parsuto, kita akan bertemu lagi nanti!” sahut Parsuto lalu melangkah pergi.

Sambil tertawa-tawa kecil, Limarsih mendekati Joko dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Aku Limarsih,” ucap Limarsih senyum malu-malu sambil ulurkan tangan kanannya kepada Joko.

Seketika Joko refleks mundur dua langkah seraya senyum kecut. Jantungnya seketika berdetak menghentak.

“I...i...iya!” ucap Joko gagap.

“Aku Goceng,” ucap Goceng, justru ia yang cepat menyalami tangan Limarsih.

Limarsih hanya merengut kecewa kepada Goceng.

“Dasar ganjen!” maki Kusuma sambil menarik kakaknya mundur. “Tidak sadar bahwa tubuhmu begitu kelihatan?”

Pakaian Limarsih yang agak tipis membuat tubuhnya harus jelas tercetak dalam balutan pakaian basah. Berbeda dengan Kusuma yang bahan pakaiannya tebal.

“Biarkan!” desis Limarsih kepada adiknya. “Tadi Joko juga sudah menyentuhku di dalam air.”

Limarsih lalu beralih kepada Joko, tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang cukup memancing mata Goceng untuk berbelanja gratis.

“Kau tinggal di mana, Joko?”

“Di bukit,” jawab Joko.

“Jauh?” tanya Limarsih lagi.

“Cukup jauh.”

“Kau bisa ajari kami ilmu beladiri dan ilmu kesaktian?”

“Eee...” dengung Joko berpikir.

“Bisa, bisa!” jawab Goceng cepat.

“Aku tanya Joko, bukan kau!” ketus Limarsih.

“Kami kemari mau mencari ikan besar di pasar,” kata Joko.

“Di pasar ada. Mau aku antar?” tawar Limarsih.

“Boleh!” kata Goceng cepat.

“Oh... sebaiknya kami  mencari sendiri di pasar. Kalian lebih baik pulang ganti pakaian!” kata Joko.

“Tidak apa-apa. Jika dengan kami, harganya bisa lebih murah. Pedagangnya kami kenal baik.” Limarsih gigih.

“Tidak, tidak, tidak! Terima kasih dan maaf atas perbuatanku atas kalian. Kalian tidak terluka, kan?”

“Tidak,” jawab Limarsi dengan senyum manisnya, membuat Kusuma semakin kesal dengan ulah kakaknya.

“Ayo pulang!” Kusuma menarik kakaknya untuk pergi. Lalu serunya kepada Joko, “Awas! Aku akan membalas perbuatanmu hari ini!”

“Tapi kau bisa ajari kami bertarung kan, Joko?” teriak Limarsih kepada Joko sambil mundur-mundur ditarik oleh adiknya.

Kedua gadis itu pun meninggalkan Joko dan Goceng. Keduanya terlibat satu perdebatan sengit.

“Sama pemuda kecil seperti itu kau genit sekali!” tukas Kusuma Dewi mengkritik kakaknya.

“Dia itu hebat, siapa tahu bisa mewujudkan cita-cita kita, Dewi!” kata Limarsih.

“Hebat apanya? Dia selalu lari dariku!”

“Itu karena dia menghindari kita. Kau tidak melihatnya? Dengan mudah dan hanya sebentar, teman-teman kita babak belur!” kata Limarsih penuh semangat. “Dia itu anak perguruan silat. Dia pasti tahu jalan agar cita-cita kita tercapai.”

“Dia pengecut dengan perempuan. Buktinya di kali dia ambil kesempatan!”

“Itu karena kau dan aku selalu menariknya dan memeluknya,” kata Limarsih sambil tertawa malu sendiri mengingat pertarungan di kali yang dapat dikatakan bukan pertarungan, tapi pemerkosaan dua gadis terhadap seorang Joko. “Lebih baik kau periksa dadamu yang kena itu, aku khawatir jadi bengkak sebelah!”

Limarsih berlari pulang meninggalkan adiknya. Kusuma Dewi berhenti sejenak lalu menyentuh dada kanannya yang masih meninggalkan sedikit rasa berdenyut. Setelah itu, Kusuma Dewi segera melihat ke sekeliling. Ia lega, tidak ada orang yang melihatnya. Kusuma pun berlari menyusul kakaknya.

Sementara di pinggir kali, Goceng menggoda Joko yang sedang memeras baju basahnya.

“Hebat, kau tadi bisa bersenang-senang dengan menyentuh mereka berdua, hahaha!” kata Goceng.

“Aku tidak menyentuh, tapi mereka saja yang selalu menarikku, memelukku. Bagaimana tidak tersentuh jika demikian?” kilah Joko.

“Hahaha....! Tapi asik, kan? Hahaha...!”

“Asik apanya? Kau tidak lihat aku tadi, seperti anak kucing kecemplung. Jika keduanya laki-laki, habis aku hajar. Tapi mereka wanita, jantungku tidak karuan dan darahku jadi tidak teratur alirannya.”

“Iya, Joko. Aneh, kenapa kau sepertinya takut dengan kedua gadis cantik itu?” Goceng tersadar.

“Entahlah. Yang jelas, baru kali ini  aku bertemu  perempuan. Mereka sangat indah, tapi aku merasa gemetar dekat dengan mereka. Pertama aku dibentak olehnya, aku langsung ciut.”

“Wah, bahaya itu, Joko. Bagaimana mungkin calon pendekar sakti takut berdekatan dengan perempuan? Tapi menurutmu, yang mana yang lebih cantik?” tanya Goceng.

“Tidak tahu. Yang jelas aku tidak suka berurusan dengan dua perempuan itu,” kata Joko lalu memakai kembali bajunya. “Ayo kita ke pasar!” (RH)

3. Pertarungan di Pedagang Monyet

Usai berganti pakaian, Limarsih dan Kusuma Dewi pergi meninggalkan gubuknya yang berada di sudut desa.

Keduanya sudah tidak punya ayah, hanya seorang ibu yang kerjanya jadi penjual ikan asin. Namun sayangnya, kedua gadis ini lebih suka bermain bersama teman-temannya yang identik sebagai kelompok  anak gelandangan. Mereka dipimpin oleh Parsuto. Hampir setiap hari mereka berkumpul dan bermain-main.

“Mereka pasti ada di kebun utara,” terka Limarsih saat mendapati tempat biasa mereka kumpul tidak ada orang.

Keduanya berjalan menelusuri perkebunan penduduk.

“Aku ingin sekali bertemu lagi dengan si Joko itu,” kata Limarsih kepada adiknya.

“Dasar genit!” maki Kusuma Dewi.

“Kenapa sih? Kau cemburu?” tanya Limarsih sambil berjalan memandangi wajah adiknya.

“Aku benci dengan si Joko itu. Dia mempermainkanku dan menyakiti dadaku!”

Limarsih jadi tertawa, lalu katanya, “Lalu kau mencintai Jajang? Hihihi! Jika kau benci Joko, biar aku yang suka. Rupanya pergulatanmu dengan Joko sangat berkesan, ya? Yaaa, memang sangat berkesan, aku rasakan sendiri. Sejak usai perkelahian hingga sekarang, aku selalu memikirkannya. Bayang wajah tampannya tak mau hilang sekejap pun.”

“Cuih! Cuih!” Kusuma meludah dua kali ke tanah tanda begitu kesalnya dengan ungkapan kakaknya. “Awas saja jika sampai Kakak jatuh hati dengan pemuda asing itu!”

“Aaah, cemburu. Kau tak bisa mungkir dariku, kau cemburu. Iya, kan?” tuding Limarsih. “Aku lebih mengenal watak adikku dari pada diriku sendiri.”

“Kalau kau bukan kakakku, pasti sudah aku jambak rambutmu dan aku lemparkan diseruduk kambing!” kecam Kusuma lalu memilih berlari meninggalkan sang kakak.

Limarsih hanya tertawa nyaring dan membiarkan adiknya lebih dulu.

Kusuma tiba di sebuah kebun kelapa. Ada dua gubuk reot berdiri berhadapan. Namun masih layak untuk dipakai beristirahat. Di gubuk itu ada Parsuto, Jajang, Bira dan Kulajang. Mereka hanya duduk dan tiduran, istirahat.

“Kalian benar-benar menyedihkan,” kata Kusuma setibanya di tempat itu.

“Jangan mengejek!” sergah Kulajang.

“Iya,” sahut Bira pula. “Kau tidak babak belur karena kau perempuan.”

“Joko itu takut kepada kalian berdua,” timpal Jajang pula.

“Limarsih mana?” tanya Parsuto seraya bangun duduk bersender.

“Di belakang,” jawab Kusuma.

“Dia jatuh cinta kepada si Joko itu?” tanya Parsuto menyelidik.

“Tidak akan aku biarkan Limarsih jatuh cinta dengan anak kecil seperti itu!” tandas Kusuma.

“Lalu, kau?” tanya Jajang ikut curiga.

“Cuih!” Kusuma meludah tanpa air ludah. “Aku malah ingin menghajarnya!”

“Menghayal,” ucap Parsuto. “Kita semua, berandalan desa ini, tidak ada apa-apanya. Meski pun ia sendiri, tetap saja kita dengan mudah babak belur.”

Semuanya diam ketika Limarsih datang dengan wajah berseri-seri. Semuanya memandangi Limarsih. Sang gadis pun jadi angkat dahi dipandangi seperti itu.

“Ada apa? Ada yang aneh?” tanya Limarsih.

“Jelas aneh!” tukas Kusuma. “Yang lain kesakitan dan marah, kau malah senang!”

Limarsih hanya tertawa.

“Kalian mau ikut, tidak?” tanya Limarsih mengajak.

“Kemana?” Parsuto curiga.

“Ke pasar, mencari Joko.”

“Ternyata benar, kau jatuh cinta kepada Joko!” kata Parsuto.

“Memangnya kenapa? Aku wanita, Joko lelaki. Ada yang salah?” tanya Limarsih begitu terbuka.

Semuanya jadi memandang Parsuto, seolah ingin melihat reaksi pimpinan mereka itu. Merasa semua melihat kepadanya, Parsuto jadi salah tingkah.

“Hei! Kenapa pada menatapku?!” sentak Parsuto.

Beredar desas-desus di antara kelompok mereka bahwa Limarsih adalah kekasih Parsuto, meski secara fakta mereka tidak pernah melihat Limarsih dan Parsuto berduaan khusus layaknya sepasang sejoli. Maka wajar ketika semuanya memandang reaksi Parsuto saat Limarsih berkata seperti itu.

“Aku mau ke pasar!” kata Limarsih.

“Aku ikut!” kata Kusuma lalu segera beralasan, “Aku khawatir kau diperlakukan buruk oleh anak asing itu!”

Namun sebelum  Limarsih dan Kusuma pergi, mereka melihat Kumisan datang dengan berlari kencang.

“Par! Par!” panggil Kumisan seraya tersengal-sengal berkeringat.

“Ada yang tertangkap?!” tanya Parsuto jadi ikut tegang.

Yang lain ikut tegang.

“Anak buah Ki Lurah!” ucap Kumisan sambil menunjuk ke belakang.

“Anak buah Ki Lurah datang ke mari?!” tanya Jajang memotong, panik.

Membuat yang lain ikut panik.

“Tidak!” bantah Kumisan. “Anak buah Ki Lurah bertengkar dengan anak asing di pasar!”

“Haaah!” desah Bira hembuskan napas kesal. “Urusan apa dengan anak asing? Biar pun anak buah Ki Lurah mati, apa hubungannya dengan kita?”

“Iya, asal jangan salah seorang dari kita,” timpal Kulajang pula.

“Anak asing itu berdua dengan pemuda dewasa?” tanya Parsuto.

“Tidak, hanya sendiri,” jawab Kumisan.

“Berarti itu bukan Joko,” kata Limarsih lega.

“Ciri-cirinya seperti apa?” tanya Parsuto lagi.

“Muda, tampan, bibirnya merah, berbaju biru,” jawab Joko.

“Itu Joko!” pekik Limarsih lalu langsung berlari.

Kusuma Dewi ikut berlari pergi. Buru-buru Parsuto turun dari gubuk dan berlari kecil, meski kakinya masih terasa sakit.

“Hei, ayo!” ajak Kumisan kepada tiga teman lainnya yang tidak  ikut bergerak.

“Tidak, kami sedang kesakitan, tidak bisa berlari jika dikejar anak buah Ki Lurah,” kata Jajang. Bira dan Kulajang hanya ikut mengangguk.

“Yang membuat kalian babak belur siapa?” tanya Kumisan penasaran.

“Pemuda asing di pasar itu,” jawab Bira.

“Oh, yah sudah!” ucap Kumisan lalu berlari kencang menyusul kembali ke pasar.

Mereka berempat menembus kebun-kebun untuk menuju pasar desa. Mereka menempuh jalan pintas yang cukup beraral rintang.

Sementara itu di salah satu sudut pasar desa yang mulai tidak terlalu ramai, tampak Joko Tenang sedang bersitegang dengan dua orang dewasa yang berperawakan jagoan. Kedua orang itu berbekal senjata golok yang terselip di pinggangnya dengan lilitan sabuk sarung.

Mereka berada di dekat penjual monyet. Joko baru saja membeli seekor monyet yang pinggangnya masih dibelenggu oleh rantai. Masih ada beberapa ekor monyet yang belum laku dan terikat di batang pohon tempat lelaki penjual monyet berpangkal.

Dua lelaki yang kini berhadapan dengan Joko bernama Jambur dan Kuduga. Mereka adalah dua dari sekian banyak tukang pukul Ki Lurah. Jambur bertampang garang dengan kumis malang melintang. Sementara Kuduga bertubuh lebih besar dan berperut lebih gendut.

Sebenarnya, sejak tadi kedua keamanan pasar desa itu bermasalah dengan Joko, tapi Joko tidak mengindahkan.

Ketika Goceng mendapat panggilan pulang melalui telepati oleh gurunya, Joko memutuskan pergi ke pasar seorang diri. Setibanya di pasar, Joko langsung mencari penjual ikan, tapi sayang, hari siang adalah waktu dagangan habis. Joko pun memutuskan berkeliling pasar mencari apa yang bisa ia beli.

Joko sejak awal sudah tahu bahwa kehadirannya di pasar jadi perhatian dua orang keamanan pasar. Ketika Joko sedang menawar burung pungguk di tukang burung, Jambur dan Kuduga mulai mencoba memeras Joko dengan alasan pajak bagi orang asing yang belanja di pasar tersebut. Joko sempat cekcok mulut dengan keduanya hingga Joko memilih pergi.

Akhirnya Joko batal beli burung. Namun, ketika melihat monyet didagangkan, Joko sangat tertarik dan ingin memiliki satu. Maka Joko pun membeli seekor monyet. Ketika monyet di tangan, Jambur dan Kuduga menghampiri Joko kembali.

Saat yang sama, Parsuto, Limarsih, Kusuma dan Kumisan tiba di pasar. Mereka berhenti ketika mendapati Joko sedang berselisih dengan dua anak buah Ki Lurah yang mengamankan pasar.

“Tidak bisa!” sentak Joko lalu menunjuk wajah bapak si penjual monyet dan berkata, “Bapak ini saja yang punya banyak ekor monyet tidak membayar!”

Bapak pedagang monyet jadi mendelik ciut, khawatir jadi ikut diminta bayaran.

“Tapi kau orang dari luar desa ini. Kau harusnya bayar atau kami tangkap dan bawa kepada Ki Lurah. Mau bayar atau tidak?!” ancam Jambur.

“Aku tidak akan bayar. Jikalau aturannya memang demikian, tetap aku tidak berhak bayar. Aku dari luar desa, tidak tahu ada aturan seperti itu. Seandainya aku tahu, maka tidak sudi aku berbeli di sini!” Joko berargumen.

“Kau tetap harus bayar!” bentak Jambur.

“Jangan mau, Joko!” seru seseorang tiba-tiba menengahi pertengkaran itu.

Orang itu adalah Parsuto. Ia datang menghampiri Joko, tanda bahwa ia dipihak Joko. Sementara Limarsih, Kusuma dan Kumisan memilih diam di tempat.

Kemunculan Parsuto membuat Jambur dan Kuduga kian gusar. Mereka berdua mengenal Parsuto sebagai pemimpin para berandalan desa yang suka membuat onar, menurut versi seluruh anak buah Ki Lurah.

“Tidak pernah ada aturan yang menyebutkan orang asing yang membeli monyet harus membayar pajak. Itu hanya akal-akalan mereka karena Ki Lurah kurang besar memberi upah untuk anak buahnya, jadi mereka menipu  orang asing!” ungkap Parsuto.

“Kurang ajar!” maki Jambur murka karena merasa ditelanjangi. “Kuduga, tangkap anak itu!”

Kuduga segera bergerak hendak memukul Parsuto, tapi Joko menghadang gerak tubuh berperut gendut itu. Tampak perbandingan besar tubuh yang begitu jauh antara Joko dan Kuduga.

“Jadi kau mau membelanya?” geram Kuduga.

“Dia temanku!” tandas Joko menantang.

“Sok jadi pahlawan, hah?!” bentak Kuduga sambil ayunkan tangan kanannya hendak memukul wajah Joko.

Nguk!

Joko cepat melempar monyet yang digendongnya ke wajah Kuduga, membuat si monyet menjerit dan Kuduga terkejut.

“Akh!” jerit tertahan Kuduga saat wajahnya dicakar oleh si monyet. Kian memuncak amarah Kuduga. “Ku bunuh, kau!”

Jambur pun kian marah. Ia langsung memburu Parsuto.

“Hup!”

Joko cepat melompat dengan kaki mengibas menghajar dada Jambur yang membuat larinya tertahan dan tubuhnya terdorong jatuh.

“Heaaa!” teriak Kuduga sambil ayunkan tangan kanan ke arah kepala Joko.

Dak!

Kuduga mendelik karena pukulannya ditangkis dengan mudahnya oleh si bocah. Tangan kiri Kuduga langsung meluruk menyusul. Dapat ditangkis juga.

Buk!

“Ughk!” keluh Kuduga tertahan saat perutnya mendapat tendangan keras dari kaki kanan Joko.

“Yeeee!” sorak Limarsih, Kusuma Dewi dan Kumisan di tempatnya menonton.

Bukan hanya ketiga pemuda itu yang menonton. Pedagang dan pengunjung pasar jadi ramai berkumpul menonton.

Mereka melihat Jambur menyerang dari belakang Joko.

“Rasakan ini!” seru Parsuto yang berlari menendang betis Jambur.

“Anak setan!” teriak Jambur lalu berbalik hendak menyerang Parsuto.

Parsuto cepat berlari kabur. Namun naas, saking buru-burunya, Parsuto tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur.

Buk!

“Hukh!”

Satu tendangan keras mendarat di lambung kiri Parsuto. Jambur mencengkeram leher baju Parsuto yang masih kesakitan. Parsuto dipaksa berdiri dan perutnya ditinju beberapa kali.

Tak!

“Aduh!” keluh Jambur sakit saat kepalanya dihantam batu yang dilempar oleh Kumisan hingga berdarah.

Parsuto dihempaskan ke tanah. Jambur mengelaki beberapa timpukan batu yang dilempar oleh Limarsih dan Kusuma Dewi, lalu berlari kepada mereka. Jambur telah mencabut goloknya.

Limarsih, Kusuma dan Kumisan seketika panik dan bubar berlari tidak karuan menjauhi Jambur.

Bak bak!

Joko melompat menerjang dada Kuduga dengan tendangan kaki bergantian. Kuduga terjengkang. Pandangan Joko beralih ke teman-temannya.

“Lepaskan!” pekik Kusuma Dewi yang berhasil tertangkap rambutnya oleh tangan kiri Jambur. Tangan kanan Jambur siap menebas golok.

Seram. Beberapa orang memilih menutup mata.

“Kusuma...!” pekik Limarsih dan Parsuto berbarengan.

Mati. Itulah yang terlintas di benak Kusuma dan mereka yang melihat ayunan golok Jambur. Joko yang berjarak beberapa tombak hanya bisa bergerak cepat di tempatnya.

Set! Tak!

“Akh!” jerit Jambur saat sebuah benda melesat cepat menembus genggaman tangan kanannya sehingga golok di tangannya lepas. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!