NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Pria Tak Dikenal

Pernikahan Sementara

"Seharusnya ini malam membahagiakan untuk kita sebagai pasangan. Tapi, itu tidak akan terjadi. Aku tidak mencintaimu, begitu pula denganmu pastinya. Mari jalani pernikahan ini dengan status pernikahan sementara. Setelah selesai kuliah, silakan pergi dariku dan rumah ini."

Dirga menoleh kepadaku sebelum akhirnya dia benar-benar keluar dari kamar yang disediakan untuk kami.

Aku menggigit bibir. Tak menyangka bisa menikah dengan pria yang tak ku kenal sebelumnya. Seandainya waktu bisa kembali ke masa itu, pernikahan ini tidak mungkin terjadi.

Semua terjadi karena keluguan yang ada pada diriku. Jebakan Alea Margaretha membuatku harus menanggung segala resiko yang terjadi. Seharusnya Dirga bisa menolak permintaan ayahnya. Hanya saja, ancaman Pak Beni Yudistira membuatnya tak bisa mengambil sikap apapun. Dia hanya bisa berkata 'iya' dan menjalankan segala permintaan ayah angkatnya.

Aku menatap kasur yang masih rapi. Bunga mawar merah bertaburan di atasnya. Malam ini, tak ada pernikahan impian selayaknya pasangan yang saling mencinta. Di dalam kamar berukuran besar, hanya ada aku dan kenangan pahit beberapa bulan lalu.

Di atas kasur berukuran besar itu, aku menumpahkan air mata yang mendesak keluar. Senyum palsu di atas panggung tadi sudah hilang. Kini tinggal kenyataan pahit yang harus dijalani hingga setahun ke depan.

Jika boleh berharap, aku tidak ingin dipertemukan dengan perempuan bernama Alea Margaretha itu. Berkat jebakan yang dilakukan untukku, akhirnya aku terjebak dalam rumah besar ini.

Aku pun tak ingin menikah dengan pria yang tak kukenal sifat dan karakternya. Namun, karena kondisi paksaan akhirnya aku harus menuruti kemauan Pak Beni Yudistira.

Menikah dengan putranya demi menjaga rahasia. Pak Beni tidak mau membebaskan ku begitu saja. Dia tidak mau jika suatu saat istrinya akan mengetahui alasan mengapa dia harus mendatangi tempat haram itu.

Bahkan hingga kini rahasia itu harus aku jaga sebaik mungkin agar hubungan Pak Beni dan istrinya akan terus baik-baik saja.

Pernikahan ini hanyalah sementara hingga waktunya tiba dan kami akan berpisah.

.

.

.

Sementara di kamar Dirga

Dirga memegang ujung pelipisnya. Wajahnya kusut. Tidak tampak ada guratan bahagia di hari pernikahan.

Tak semestinya dia harus menerima imbas dari perempuan bernama Anna Khairunnisa yang kini sah menjadi istrinya. Hanya karena mereka satu rumah lalu mereka harus dinikahkan. Seharusnya papahnya mengambil sikap membiarkan perempuan itu keluar dari rumah ini.

Sampai kapanpun aku tidak akan mencintaimu gadis jalanan. Gumam Dirga kesal.

Dia menyesal dengan yang telah terjadi. Jika bukan karena ancaman papahnya, dia tak mungkin menikah dengan perempuan yang tak jelas asal usulnya itu.

Mereka tak pernah bertegur sapa sebelumnya. Semenjak kedatangan perempuan itu, hidupnya menjadi kacau. Papah dan mamahnya sangat perhatian dengan perempuan yang katanya korban perampokan di pinggir jalan menuju rumahnya.

Dirga merasa itu hanyalah tipu muslihat perempuan jalanan itu saja agar bisa tinggal di rumahnya. Lalu papah mamah mengangkatnya menjadi anak. Seperti dia yang telah diangkat menjadi seorang anak karena mamah Hana tak bisa memiliki keturunan.

Sekarang dia harus menerima nasib kalau perempuan jalanan itu sekarang telah menjadi istri dan menantu di rumah ini.

"Lucu sekali jalan kisah jodohku. Dasar perempuan jalanan."

Dirga melempar bantal sofa ke arah pintu. Dia kesal mengapa harus dinikahkan secara paksa padahal kuliahnya belum selesai. Kuliah saja masih sering bolos, bagaimana bisa dia harus menjadi kepala rumah tangga, menjadi suami, atau bahkan menjadi ayah. Oh, itu tidak mungkin terjadi. Kami sudah melakukan perjanjian bahwa tak akan melakukan hal selayaknya suami istri hingga pernikahan ini akan berakhir di waktu yang telah ditentukan.

~~

~Dijebak

Siapa sangka aku bisa berada disini.

Di dalam kamar berukuran luas, aku meringkuk di sudut dinding bersama selimut kegelapan. Langkah kaki seseorang semakin mendekat mengarah pintu kamar yang aku tempati sekarang. Sudah bisa tertebak bahwa dia adalah laki-laki yang menjadi tamu ku malam ini.

Badanku semakin bergetar saat mendengar ketuk langkah sepatunya. Entah dosa apa yang telah aku perbuat hingga Tuhan menghukum seberat ini. Bagaimana bisa aku memuaskan hasrat seseorang, sementara bersentuhan dengan pria saja belum pernah. Dalam hitungan jari, pria itu akan masuk ke dalam ruangan dan berbaur bersamaku.

Gagang pintu dibuka diiringi derit suara pintu. Kemudian pintu ditutup dan dikunci.

Ceklek

Dia menekan saklar lampu di dekat pintu masuk. Saat lampu menyala, dia menjelajahi pandangan ke segala ruangan. Dia menatap ranjang berukuran besar yang masih rapi. Lalu dia menatap gorden yang tak jauh dari sisi ranjang. Dia menatap ke arah pintu kamar mandi berharap ada suara gemericik air di sana. Tak ada. Dia tak mendengarkan siapapun.

Dia belum menemukan ku yang tengah terduduk di samping nakes, di bawah lampu tidur yang setinggi orang dewasa.

Ingin menyapanya tapi lidah terasa kaku. Hingga akhirnya dia mengulangi pandangannya. Saat dia ingin melangkah menuju nakes, dia pun sontak terkejut melihatku meringkuk seperti anak malang di tepi jalan.

"Siapa kamu?" tanyanya terkejut. Matanya membulat lalu mencari perempuan yang akan melayaninya malam ini. "Dimana dia? apakah kamu melihat perempuan selain kamu disini?"

Aku menggeleng tak mampu menatapnya.

"Aku adalah perempuan yang kamu pesan," jawabku datar menahan bulir kesedihan yang mendesak keluar.

"Jangan bercanda, Nona. Aku sudah memesan perempuan cantik bertubuh indah dengan bayaran mahal. Kamu? Ah, kamu justru malah terlihat badut yang dipakaikan kerudung."

Mendengar ucapannya, darahku mendidih menahan amarah. Namun jika aku menampakkan amarahku, bagaimana bisa keluar dari tempat ini.

"Aku hanya perempuan dekil yang terjebak dalam tempat ini, Om. Jika berkenan, kamu bisa mengeluarkan ku dari sini dengan mengganti perempuan yang lebih cantik."

Mendengar ucapan barusan, seketika dia berhenti tertawa.

"Terjebak? Bagaimana bisa kamu terjebak di sini," tanyanya penasaran.

Kini pembicaraan kami mulai serius. Aku pun menceritakan semua kejadian hingga akhirnya bisa berada di dalam kamar yang dia pesan.

Wajahnya semakin menampakkan rasa iba. Ingin membantu. Ingin segera mengeluarkan ku dari sini.

"Tolong aku, Om. Tolong. Aku hanyalah anak rantau yang kuliah dan mencari rejeki di tanah ini. Siapa lagi yang mampu menolongku jika bukan dirimu, Om," menangkupkan tangan ke depan dada seraya memohon bantuannya.

Pria berpenampilan rapi dengan usia sekitar empat puluh tahun itu berpikir. Alisnya mengkerut. Kedua tangannya bersilang depan dada. Dia duduk di atas kasur, sementara aku masih betah duduk di lantai. Berat tubuh menyatu dengan berat beban yang menimpaku. Berdiri pun sudah tak sanggup lagi.

Aku menatap pria yang duduk di hadapanku. Perawakan gagah dengan rambut mulai memutih karena uban. Matanya sipit dengan sedikit kerutan. Penampilannya rapi dengan kaos polos berwarna hitam yang ditutupi jaket parasut biru dongker. Jika dilihat, dia sudah menua tapi penampilan layaknya seperti anak muda. Ditambah lagi lingkar cincin di tangan manisnya menandakan dia sebenarnya telah memiliki pasangan.

Dia masih terdiam. Sama sepertiku yang bingung harus berbuat apa. Uangnya mungkin telah dibawa oleh Alea, sementara yang ia dapatkan justru perempuan lusuh yang tak menggairahkan sama sekali.

"Saya bukan pelayan birahi, Om. Saya hanya mahasiswi biasa yang ingin mengabulkan doa orang tua di kampung sana. Mereka sudah renta. Mereka bergantung kepadaku agar bisa mewujudkan impian melanjutkan mengelola ladang pertanian. Tega kah aku menghancurkan mimpi mereka sementara mereka lelah letih mendoakan keberhasilanku di sini." ucapku lirih. Mataku berkaca-kaca, mencoba bangkit lalu duduk di hadapannya.

Kini aku bersimpuh di depan pria itu. Mengemis pertolongan.

"Tolonglah aku, Om. Aku akan sangat berhutang Budi kepadamu jika Anda membantu keluar dari tempat ini."

Melihat aku bersimpuh, sontak pria tersebut menunduk mengangkat bahuku.

"Tolong jangan seperti itu. Berdirilah." Menyentuh bahu ku dan meminta berdiri di hadapannya.

"Aku mohon, Om. Berikan jalan keluar untukku agar bisa keluar dari tempat ini." Tak tahu lagi harus menangis seperti apa. Airmata mulai mengering kehabisan cara agar bisa terbebas dari perangkap.

Dia terdiam sejenak seperti tengah berpikir. Mungkin nominal yang dikeluarkan sangat banyak. Seharusnya dia bisa menikmati malamnya dengan puas bersama perempuan yang akan dikencaninya.

"Apakah kamu tak mau mencobanya?" tawarnya kepadaku. Barangkali dengan menerima ajakannya membuat ketakutan ku hilang. Itu sama saja keluar dari perangkap buaya, masuk ke perangkap harimau.

Mendengar itu rasa dihujani bebatuan dari langit.

"Aku harus membayarmu berapa, Tuan?" suaraku melemah sembari berlutut di hadapannya.

Setelah berpikir, dia menatapku lagi. Tatapannya mengandung banyak pertanyaan. Bisa saja dia melakukan hal tak senonoh kepadaku, toh kami hanya berdua di kamar. Siapa yang akan menolong jika dia meminta tubuhku. Dia telah membayar sejumlah rupiah. Seharusnya dia bisa saja memaksaku karena itu adalah haknya.

Di tengah deru nafas ketakutan, aku masih berharap dia adalah pria yang masih memiliki hati nurani meskipun sedikit. Tuhan bisa membalikkan hati seseorang dalam sekejap. Berharap dia bisa berpikir normal dan mau berbaik hati meski harus hutang budi.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya dia angkat bicara.

"Baiklah. Sebenarnya tidak mudah untukmu bisa keluar dari sini. Ada banyak gigolo yang akan menerkammu di setiap sudut pintu kamar luar. Mereka akan menunggu di sana hingga memastikan tak ada yang berbuat curang bahkan kabur dari lokasi ini."

Mendengar itu, aku semakin pesimis.

"Tapi, kita bisa beradu akting. Aku akan berpura-pura telah memakai mu, lalu akan berpura-pura ingin berkencan dengan mu lagi di luar kota. Pastilah aku akan membayar nominal yang tidak sedikit, hanya saja ini demi keselamatanmu. Aku kasihan padamu."

Aku kasihan padamu. Akhirnya kata iba yang aku tunggu dari tadi keluar dari bibir tipis pria di hadapanku saat ini.

~~

Akhirnya pria berusia sekitar empat puluh tahun itu mengajakku keluar. Kami beradu akting seolah-olah telah terjadi sesuatu.

"Aku masih berpikir bagaimana caranya supaya kamu bisa keluar dari sini. Masuk di tempat ini seperti perangkap harimau."

Pria itu mengajakku mencari jalan keluar. Di dalam ruangan tadi dia sudah mengajakku beradu peran. Aku seolah-olah diajak ke pintu luar lalu akhirnya aku bisa kabur nantinya.

Setelah itu dia akan mengambil mobilnya untuk menolongku.

"Aku akan membawamu ke rumahku. Anggap saja aku menolongmu. Tapi, tolong jangan ceritakan kejadian ini kepada istriku dan anakku. Dunia malam begitu kejam. Tapi ini hiburan bagi orang kesepian. Apalagi tak memiliki anak kandung sepertiku."

"Maksudnya? Ini hanya hiburan Om saja?"

"Ya, begitulah. Tapi setelah kejadian ini, om janji tidak akan pernah menginjakkan kaki di sini lagi."

Setelah obrolan singkat kami, om itu memintaku keluar dan berlari. Mungkin nanti akan ada yang mengejar tapi aku akan berupaya keluar dari tempat jahanam ini.

Benar saja, baru keluar dari pintu, seseorang bertubuh besar mengejar dari belakang. Aku harus berlari sejauh mungkin sampai bertemu dengan mobil pria yang menolongku tadi.

Rekayasa cerita dimulai. Pria itu akan berpura-pura menolongku dengan dibantu isterinya seolah dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat jahanam itu.

Semua akan dibuat seolah-olah kebetulan.

Saat ini aku tidak bisa berpikir panjang. Entah bagaimanapun kejadiannya nanti, aku pasrah. Setidaknya om yang belum ku ketahui namanya sudah mau menolongku.

Kejam sekali dunia malam. Bahkan tempat ini bisa menjadi pelampiasan dari kejenuhan.

 

~Berawal dari Bujukan Sahabat

Sebelum Kejadian Buruk Terjadi

Setelah mengikuti perkuliahan, aku melanjutkan aktivitas bekerja di toko. Seperti biasa, aku melayani pelanggan yang mau memesan undangan. Memperlihatkan contoh undangan yang telah dicetak dari toko kami. Memberi penjelasan dan menarik minatnya untuk memesan di toko kami. Jika berhasil, aku akan lembur dengan gaji yang lumayan bisa menambah tabungan membayar biaya kuliahku.

Ada banyak pelanggan hari ini membuatku sangat sibuk. Di toko ini kami sudah memiliki peran masing-masing. Peranku sebagai konsultan bagi orang yang mau membuat undangan terbaik untuk acaranya.

Jam sudah hampir menjelang magrib. Toko hanya buka sampai jam enam sore. Aku pun bersiap untuk pulang kembali ke kosan.

Baru saja merapikan kertas yang berserakan, suara dering telepon dari tas ranselku berbunyi.

Panggilan datang dari kak Alea. Ada apa ya?

[Assalamualaikum, iya kak? ada apa ya?] tanyaku penasaran.

[Kamu dimana, dek?] tanyanya menanyakan keberadaanku.

[Saya masih di tempat kerja, sebentar lagi akan pulang]

[Kalau begitu, kakak tunggu di kosan ya] ucapnya lalu menutup telepon.

Aku semakin penasaran. Tidak biasanya kak Alea menelpon dan menanyakan keberadaannya. Apakah ada sesuatu yang penting? Batinku semakin penasaran.

Setelah pekerjaan selesai, aku berpamitan dengan koh Acan sang pemilik toko.

Laju motor lebih cepat dari biasanya. Aku khawatir kak Alea sakit dan butuh bantuan. Suara di telepon tadi terdengar panik.

Setelah tiba, aku membuka pagar lalu memarkir motor di tempatnya kembali. Tak lupa pintu pagar kututup rapat lalu mempercepat langkah menaiki anak tangga.

Setiba di depan kamar, aku membuka pintu dan menjelajahi ruangan. Kak Alea sedang di kasurnya. Dia sudah dandan cantik seperti akan pergi ke suatu tempat.

Melihatku datang, dia lantas menyimpan gawainya dan meminta duduk di sampingnya.

"Aku butuh bantuanmu, Ann," ucapnya panik seperti sesuatu tengah terjadi.

"Ada apa kak Al?" dahiku mengkerut penasaran.

"Kamu ... kamu bisa gak ikut kak Alea ke suatu tempat. Begini, kak Alea tadi ada janjian sama teman. Hanya saja dia berhalangan hadir. Kak Alea kebingungan mencari penggantinya, waktunya sudah sangat mepet, Ann karena kakak sudah terlanjur menggunakan uangnya."

"Kemana, kak?" aku makin penasaran kemana akan dibawa.

"Kamu akan tahu nanti. Sekarang pertanyaannya kamu mau bantu kakak gak, Ann?"

"Oke, iya kak Al. Tenang dulu kak. Aku akan bantu kakak. Hanya saja, aku penasaran tempatnya itu seperti apa? dimana?" aku tak kalah cerewet menanggapi permintaan kak Alea.

"Tempatnya itu semacam kafe gitu, Ann. Tenang saja, ini tempatnya aman. Jadi jangan khawatir," ucapnya berusaha meyakinkanku.

"Aku sebagai apa?"

"Se-bagai, se-se-bagai ... " kak Alea berpikir keras mencari jawaban, menambah rasa penasaran dan kekhawatiranku.

Kring kring

Telepon kak Alea berbunyi

[I-iya, ini mau kesana. Tunggu, ya tunggu saja] ucap kak Alea gugup. Tatapannya mencurigakan tapi berusaha aku tepis.

"Ayo, Ann. Kita berangkat," Kak Alea menarik tanganku, tapi aku melepasnya. Rasaku ganjal kenapa mendadak seperti ini.

Wajahnya mengiba kepadaku sekali lagi sehingga aku mengiyakan dan nurut saja apa kemauannya.

~~

Motor melaju kencang. Aku duduk sambil memeluk pinggang kak Alea. Aneh kenapa kak Alea terlihat gusar. Ku lihat wajahnya di kaca spion. Aku belum bisa menebak apa dan mengapa tiba-tiba kak Alea memaksa ikut. Bahkan aku juga tidak tahu mau kemana sebenarnya.

Semakin lama, semakin gelap kami menyusuri tempat dan perjalanannya. Mau kemana?

Remang-remang dan tak ada cahaya yang bisa menyilaukan sepanjang perjalanan. Minimal aku bisa menebak arah tujuan Kak Alea kemana sebenarnya?

Hingga semakin masuk ke dalam gang, rasa penasaranku mulai terjawab. Suara alunan musik semakin lama semakin terdengar. Orang kanan kiri dengan pakaian minim berjalan tanpa malu menggandeng pasangannya.

"Kak Al, kita nggak nyasar 'kan? Kenapa kita tempat begini?" tanyaku saat turun dari motor.

"Maafkan kakak ya, Ann. Aku tahu kamu itu perempuan agamis. Tak sepantasnya aku membawamu kesini. Tapi, tapi kakak sudah terlilit hutang dengan seseorang."

"Hutang? Lalu apa hubungannya denganku?"

"Gini, Ann. Maaf, mungkin kakak gak punya banyak waktu menceritakan ke kamu bagaimana awal mulanya. Kakak terlilit hutang dengan nominal banyak. Kakak tak punya siapa-siapa dan hanya punya kamu."

"Terus?"

"Kakak minta maaf, bisa kan kamu tolong kakak kali ini saja. Ada seseorang yang akan bertemu denganmu nantinya. Aku menj**lmu dengannya."

"Astagfirullah, kak Alea."

"Kali ini bantu aku, Ann. Siapa lagi yang bisa menolong kalau bukan kamu."

"Atau gini aja, aku bisa minta dia menikahimu lalu kalian sah menjadi pasangan suami istri. Bukankah begitu lebih baik, Ann."

"Aku gak tau harus berucap apa kak. Tega sekali kak Alea begini. AKU GAK MAU!"

"KAU HARUS MAU! please Ann, kau harus mau bantu aku kali ini saja. Gimana bisa hutangku lunas kalau..."

"Dengan menggadaikan aku ke pria hidung belang?! Iya?!!! Hutang kak Alea lunas tapi gimana dengan aku?"

"Aku akan gantikan nominal berapapun kamu minta. Tapi nggak sekarang, Ann."

"Aku mau pulang!"

"Nggak, Ann. Kamu harus tetap disini orangnya sudah nunggu."

"Hah! Kenapa gak kak Alea saja yang menggadaikan diri. Kenapa harus aku yang dikorbankan?"

"Karena dia mau perempuan baik-baik. Sementara aku? Kau tau aku gimana, hidupku nggak karuan harus kerja di dunia kelam begini."

Aku terisak. Badanku gemetar. Rasanya ingin pergi tapi kakiku kaku.

"Maafkan kakak, Ann. Tapi, demi kakak, tolong bantu kakak malam ini saja. Selanjutnya terserah padamu, Ann. Kamu mau benci kak Alea, silakan. Itu hakmu, tapi ... " mulai mengeluarkan air mata menambah kekacauan dalam pikiranku.

"Tapi apa kak?" Aku mengguncang tubuh kak Alea.

"Tolong layani pria hidung belang, malam ini, Ann. berikan mahkotamu untuknya Ann. Kita sama-sama perempuan. Hidup di kota ini sangat susah mendapatkan uang halal. Tempuh lah jalan ini Ann demi kamu bisa bayar biaya kuliahmu," ucap kak Alea tanpa dosa.

"Nggak! NGGAAAK!!!!" Aku mundur perlahan menjauhi tubuh kak Alea. Namun perempuan itu semakin maju.

Aku masih ada kesempatan untuk berlari di tengah kegelapan. Minimal aku ada usaha menyelamatkan diri.

Satu, dua, tiga

Aku berbalik badan menuju jalan gang kecil pada saat masuk tadi, lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat jahanam tersebut.

Tanpa malu dengan tatapan orang sana, tanpa rasa gentar sedikit pun aku berlari mencari jalan keluar. Tanpa tahu jalan apa yang kutempuh sekarang. Hanya ada gelap pekat di sepanjang mataku. Aku berusaha berlari sekuat tenaga mengalahkan rasa takutku. Jika perlu lebih baik meregang nyawa malam ini daripada harus melepaskan mahkotaku demi nafsu birahi laki-laki hidung belang.

Aku merasakan ada yang mengejar dari belakang. Ternyata Alea membawa pasukan. Suara pria yang meminta menghentikan langkahku. Disusul suara Kak Alea memerintah seseorang untuk terus mengejarku. Dimana hati nuranimu kak? Aku dengan separuh nyawa terus berlari. Bergantung pada keajaiban Tuhan agar bisa menyelamatkanku. Air mata dan peluh menyatu membasahi sekujur tubuh. Aku terus berlari kencang, hingga tak sengaja melihat derum besar di sebelah kanan, saat keluar dari gang sempit tersebut. Langsung saja sigap berlari ke arah sana lalu bersembunyi di belakangnya.

Gemetar berlindung di sana. Tempat yang tidak aman sama sekali. Namun percaya sepenuhnya bahwa Tuhan Maha Melindungi. Suara pekik memencar sedang mencariku. Kak Alea berteriak untuk menelusuri segala tempat agar jangan sampai lolos. Aku menggigit bibir, memejamkan mata berharap tengah bermimpi buruk. Masih terbayang suara lembut kak Alea yang selalu membangunkanku saat tertidur. Mengelus rambutku. Menganggap bahwa aku adalah adiknya. Mengapa kamu seperti ini kak?

Suara mereka perlahan menjauh, semakin jauh lalu hening. Tak ada lagi suara kak Alea yang meneriaki anak buahnya untuk mengejar ku.

Mataku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru lokasi. Memastikan makhluk tak berhati itu telah pergi dari tempat dia berdiri.

Tak ada siapa-siapa selain aku dengan segala kelusuhan di sekujur tubuh sambil memeluk lutut begitu erat.

Hingga suasana benar-benar aman, aku mulai menumpahkan bulir airmata kesedihan sekaligus kekecewaanku.

Kak Alea, sosok wanita cantik yang tak alpa membangunkan subuh ternyata hanyalah topeng selama ini. Tak menyangka inilah pekerjaan sampingan yang dimaksudkan kepadaku. Dengan pundi-pundi rupiah yang ditukar menjadi tubuh yang terasa lelah.

Aku masih terus terisak di balik derum besar yang tak jauh dari club malam itu. Masih takut melangkah pergi karena mereka pasti masih mengintaiku dengan segala caranya.

Dan Tiba-tiba dari arah belakang seseorang memegang lenganku. Aku diseret kembali ke tempat tadi. Aku teriak tapi kekuatanku sudah habis. Tak ada kekuatan untuk melawan, tapi aku percaya Tuhan tidak tidur.

~~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!