Sabila duduk dibelakang mobil bergoyang mengikuti alunan musik anak - anak yang disetel Asrul sang Ayah. Kania tersenyum senang melihat tingkah polah Sabila yang semakin aktif dan menggemaskan. Suasana malam di tanjakan menuju Lombok Timur tepatnya ketika keluar dari kawasan Narmada ramai lancar didominasi oleh truk dan sepeda motor. Asrul menguap beberapa kali, ia tak sempat istirahat sepulangnya dari kantor percetakan miliknya. Tubuhnya terasa pegal dan nyeri. Beberapa kali ia menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan agar rasa sakit yang ia rasakan menjadi hilang.
Malam ini keluarga kecil itu hendak menjeguk orangtua Asrul yang kabarnya sedang sakit keras. Ia berharap agar segera sampai untuk melihat keadaan mereka setelah empat tahun tak bertemu semenjak pernikahannya yang tidak direstui oleh keduanya.
Segar dipengingatannya bagaimana ia memeluk kaki Ayahnya merintih memohon restu. Ibunya menangis terisak menatapnya akibat penolakan atas perjodohannya dengan Tiara.
Tiba - tiba saja Ayahnya menendangnya hingga tersungkur. Asrul menatap Ayahnya dengan penuh amarah. Ia lantas bangkit dan berkata dengan kasar, "Aku tak butuh restu dari Bapak dan Ibu!" ia bangkit keluar dari rumah sekonyong - konyong tanpa tujuan. Senyum Kania yang terbayang dan janjinya pada gadis itu memberikan kekuatan pada jiwanya yang sakit. Ia berteriak sekeras - kerasnya didepan bendungan menumpahkan kesedihan dan kekecewaannya. Apa kekurangan gadis itu? Kania adalah gadis terbaik yang pernah hadir dalam kehidupannya. Hatinya terasa letih setelah berharap bertahun - tahun, berharap kedua orangtuanya akan luluh, tetapi semuanya sekarang sirna. Ia merasa sendiri. Tak ada siapapun di sisinya saat itu. Ia pun kembali pulang, tapi bukan ke rumahnya. Ia yakin pintu rumahnya telah tertutup rapat untuknya.
Tanpa ia sadari langkah kakinya berhenti dimuka pintu rumah Pamannya, saudara laki - laki dari Ayahnya, Mumtaz. Seseorang keluar dari rumah itu menatapnya menelisik.
"Asrul?" panggil Sita mencoba memastikan apakah ia benar adalah Asrul karena lampu penerangan didepan rumahnya agak redup. Ia pun mendekat. Asrul menatapnya dengan wajah sembab dan merah akibat tangisnya. "Ya Allah Asrul!" pekik Sita, "Kamu kenapa, Nak?!"
Sita mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terkejut setengah mati melihat keadaan keponakannya itu. "Masuk dulu yuk" ia membimbing Asrul menuju dalam rumah.
Asrul menceritakan semuanya kepada Mumtaz dan Sita. Mumtaz tak habis pikir dengan sikap Kakaknya yang begitu keras seolah hatinya terbuat dari baja. Mumtaz lantas duduk disampingnya dan merangkulnya, "Paman ada dipihakmu!"
Asrul menatapnya dan menangis seraya memeluknya. Ia merasa bersyukur karena ada dari pihak keluarganya yang mendukungnya.
Pagi harinya Asrul beserta Mumtaz dan Sita serta keempat anak - anaknya mempersiapkan seserahan yang akan mereka bawa untuk melamar Kania. Asrul sudah menghubunginya semalam. Kania kini sedang dirias oleh ibunya untuk acara lamaran didalam kamar. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ibunya menatapnya penuh haru. Akhirnya putri sulungnya itu akan segera dipinang oleh seorang lelaki berpendidikan dan terhormat.
Munah berusaha menyembunyikan air matanya dari Kania. Ia berpaling sejenak dan menyeka air matanya. Ia merasa bangga pada anak bungsunya itu. Ini kali pertamanya ia mendapat menantu berpendidikan tinggi dan dari keluarga terhormat setelah keempat putra-putrinya mendapat jodoh dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Ia merasa tak sia-sia menyekolahkan Kania hingga S1.
Pertunangan antara Asrul dan Kania pun berlangsung dengan khidmat. Satu minggu kemudian mereka menikah.
Asrul tersenyum mengingat semua itu. Sudah tak ada kepedihan dan rasa dendam di hatinya. Ia lebih mempercepat laju mobilnya. Rasa rindu yang tak tertahankan membuatnya tak sadar akan kecepatan mobilnya. Sekali lagi ia menguap. Kania menoleh menatapnya, ia tahu bagaimana perasaan suaminya saat ini.
Mereka tiba disebuah tikungan dengan turunan yang curam. Pandangan Asrul tiba-tiba buram, mobilnya hilang kendali ketika di tikungan dan menabrak tebing disisi kanan. Asrul dan Kania meninggal ditempat sementara Sabila yang baru berusia tiga tahun pingsan dengan pelipis membentur kaca mobil disamping kanannya.
Mumtaz dan Sita saat ini berada dirumah sakit Selong menjenguk Tiara yang baru saja mengalami keguguran. Tio memandangi mereka sinis dan merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Air mata Tiara hampir mengering karena sejak pagi ia menangisi janinnya. Sita membelai kepalanya dengan lembut, "Sabar," ucapnya menenangkan hati wanita yang hampir menjadi keponakannya itu. Tiara hanya terdiam, tenaganya sudah tak ada lagi akibat pendarahan hebat.
Jenasah Asrul dan Kania dibawa ke ruang jenasah sedangkan Sabila berada di UGD. Polisi mengecek identitas Asrul lewat KTP dan ponselnya. Hanya nama Mumtaz yang ditemukan kepolisian berstatus keluarga Asrul. Mereka kemudian menghubungi ponselnya.
Mumtaz merogoh kantong celananya, ia bingung dengan nomor asing di layar ponsel itu. Dengan ragu ia pun mengangkatnya, "Halo?" sapanya.
"Benar ini dengan bapak Mumtaz?"
"Iya, benar."
"Ada berita duka dari keluarga Bapak yang bernama pak Asrul. Beliau mengalami kecelakaan tunggal bersama istri dan anaknya. Sekarang pak Asrul dan ibu Kania berada dikamar jenasah rumah sakit Selong."
Mumtaz serasa disambar petir.... Tubuhnya langsung oleng dan ia terjatuh. Sita berteriak histeris, "Bapak kenapa?!" pekiknya.
Tio terperanjat dan bangkit.Tiara bersusah payah bangun untuk melihat Mumtaz. Tiba-tiba saja Mumtaz menangis meraung, "Asrul!!"
Sita melotot dan dan memeluknya erat dengan mata yang berkaca-kaca. "Ada apa Pak?! Apa yang terjadi?!" tanyanya berusaha menenangkan Mumtaz.
"Asrul meninggal!" jawab Mumtaz lemas.
Mumtaz seolah seperti orang yang hilang akal, ia bangkit dengan gusar, "mereka ada di kamar jenasah!" ucapnya kebingungan.
Mumtaz dan Sita serta Tiara dan Tio bergegas ke kamar jenasah. Tiara bersusah menguatkan dirinya diatas kursi roda untuk melihat keadaan Asrul dan Kania. Bertapa terkejutnya mereka ketika melintas jenasah Asrul dan Kania terbujur kaku. Dengan wajah sembab Sita pun mencari keberadaan Sabila kebingungan, "Mana Sabila?"
Polisi yang menghubunginya tadi mendekatinya dan memberitahukan bahwa Sabila berada di UGD.
"Aku akan melihat keadaan Sabila!"
"Aku ikut!" sergah Tiara.
Mereka lantas bergegas menuju UGD.
Sita langsung memeluk tubuh kecil Sabila yang masih belum sadarkan diri. Ia membelai pipi Sabila lembut dengan linangan air mata.
Tiara terenyuh menatap Sabila. Naluri keibuannya bangkit, ia pun berusaha berdiri dan menyentuh pergelangan kaki Sabila.
Perlahan mata Sabila terbuka, "Ma...." bisiknya.
Sita berusaha tersenyum, "Ini Nenek, Sayang," bisiknya.
Tiba-tiba Sabila menangis. Anak itu merasa trauma ketika mengingat kejadian yang menimpanya beberapa saat yang lalu. "Mama! Papa!" teriaknya.
Tiara berjalan tertatih ke sebelah kiri tempat tidurnya dan menyentuh kepalanya, "Sayang, ini Ibu," ucapnya lembut seraya tersenyum.
Sabila mengamati wajahnya dengan tangisan yang mulai mereda. "Ibu siapa?" tanyanya polos.
"Ibunya, Sabila." Kelembutan dari seorang ibu yang bertahun-tahun mendambakan seorang anak membuat Sabila merasa tentram di dekatnya.
Mumtaz menghubungi seluruh keluarganya dan keluarga Kania.
Jenasah keduanya disemayamkan dirumah orangtua Kania, tapi sayang Munah sudah tak ada lagi, ia meninggal satu tahun yang lalu akibat darah tinggi. Yang ada kini hanya ayah Kania yang terkulai lemah diatas kursi roda dalam keadaan struk. Beliau menangis pilu menatap putrinya dan anak menantunya. Sabila hanya terdiam menatap kedua orangtuanya di pangkuan Tiara, ia sudah paham bahwa kedua orangtua sedang beristirahat dan sebentar lagi akan pulang ke pangkuan Allah swt.
Mumtaz menatap sekelilingnya, ia benar-benar merasa kecewa terhadap seluruh keluarganya yang sama-sekali enggan untuk hadir, terutama kedua orangtua Asrul, luka yang di goreskan Asrul ternyata lebih dalam dari dugaannya.
Keranda jenasah diangkat dan lantunan kalimat tauhid dilantunkan mengiringi jenasah Asrul dan Kania ke liang lahat. Tiara mendekap erat tubuh Sabila di dalam mobil. Cuaca panas tak memungkinkan Sabila untuk berjalan menuju kuburan yang letaknya lumayan jauh. Terlebih ia tak ingin berpisah dengan Tiara yang masih dalam tahap pemulihan.
Sabila melambaikan tangannya tatkala Asrul dan Kania ditimbun tanah. Ia tersenyum seolah melepas kepergian kedua orangtuanya ketempat terindah.
Ketika hendak berpisah dengan Tiara diluar pemakaman Sabila memekik tak ingin lepas saat Sita akan mengambilnya dari pelukan Tiara. Sita merasa kebingungan, ia berkali-kali mencoba tetapi tetap saja Sabila tak menginginkannya. Tio hanya diam dengan wajah masam. Ia tak suka pada anak itu hanya karena ia adalah anak dari pria yang dahulu hampir menjadi suami dari istrinya. Kalau bukan karena penolakan Asrul, Tiara takkan pernah menjadi miliknya.
Sita menyerah, Sabila tersenyum dengan kemenangan kecilnya. Sopiah kakak tertua Kania pun mendekat kepada mereka,
"Kalau bisa bagaimana jika Tio dan Tiara menginap malam ini dirumah Amak (bapak)."
Tiara tersenyum dan menatap Tio meminta persetujuannya. Tio merasa tak enak hati dan hanya mengangguk sekali dengan wajah datar.
Tepatnya ba'da isya seluruh keluarga besar Kania berkumpul di ruang tamu rumah mungil itu. Sabila berputar-putar mengelilingi meja bermain dengan miniatur mobil yang diberikan almarhum ayahnya. Semuanya memikirkan nasib bocah malang itu.
"Siapa yang akan merawat Sabila?" tanya Sopiah.
"Tiang (aku) ingin sekali merawatnya, tetapi ndak mungkin karena tiang dan Bapak bekerja,'" timpal Sita.
"Andai Amak sehat, biar Amak yang merawat Sabila," ucap Markum (ayah Kania) terbata tak kuasa menahan air matanya.
Seluruh anaknya mendekat dan memeluknya.
Tiara kini sadar dengan kondisi keluarga itu yang serba salah. Ia pun berinisiatif untuk mengangkat Sabila menjadi anaknya, "Saya yang akan merawat Sabila."
Tio terkejut. Seluruh anggota keluarga juga merasa terkejut.
"Ngomong apa kamu!" pekik Tio tertahan sembari menyentuh pundaknya.
Tiara menatapnya penuh harap, "Aku mohon.... Kita juga belum dikaruniai anak, siapa tahu dengan kehadiran Sabila suatu hari nanti kita akan memiliki seorang anak. Aku sangat menyayangi anak ini. Aku tak mau berpisah dengannya walau sedetik pun," tukasnya lirih.
Tio selalu tak tega melihat sorot mata Tiara yang memelas. Ia sangat ragu. Melihat itu Sita tak enak hati dengan sikap keberatan Tio yang nampak jelas, ia pun dengan terpaksa hendak mengatakan akan mengurus Sabila, "A..." belum sempat ia melanjutkan ucapnya Tio mengangguk,
"Aku setuju," ucapnya sangat ragu. Mata Tiara berbinar dengan senyum yang begitu merekah. Ia tak pernah merasa sebahagia ini.
Seluruh keluarga saling pandang. Mereka ragu untuk menyerakan Sabila kepada Tiara dan Tio kecuali Mumtaz dan Sita. Mereka tahu benar seperti apa Tiara dan ketulusan hatinya.
"Saya akan membesarkan Sabila dengan penuh kasih sayang. Saya janji, saya akan sering - sering mengajaknya untuk mengunjungi keluarga di sini."
"Ibu!" teriak Sabila sambil berlari dan memeluk kaki Tiara. "Bila pengen ke mall!"
Tiara lantas mengangkatnya dan menaruhnya di pangkuannya. Ia mendekapnya dengan erat seraya mencium kepalanya, "Iya sayang, nanti kita jalan-jalan ke mall kalau sudah sampai di Mataram. Nanti kita tinggal rumah nenek, kita tinggal di sana."
Sopiah dan seluruh keluarga terheran. "Kalian akan tinggal di rumah Mas Tio?" tanya Iqbal, saudara laki -laki satu - satunya almarhumah Kania.
"Iya, karena kak Tio sudah beli ruko di sana untuk bisnis makanan cepat saji mulai minggu depan."
Tio sebelumnya adalah seorang pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah di wilayah Lombok Timur, tetapi sejak dua minggu yang lalu ia resign karena tabungan untuk membangun sebuah bisnis sudah terkumpul lebih dari cukup.
Perundingan alot lantas didiskusikan untuk mencari celah dan keputusan yang tepat agar tak akan ada persengketaan atas masa depan Sabila serta usaha milik kedua orangtuanya.
Akhirnya karena kakek dari Sabila mengizinkan cucunya diasuh oleh Tiara dan Tio seluruh anggota keluarga pun mengamininya. Dan rumah beserta aset Asrul akan dijual untuk tabungan masa depan Sabila.
"Soal biaya pendidikan Sabila saya akan menanggungnya," tukas Tio tanpa ragu sedikitpun. Tiara tersenyum lega dan merasa sangat bahagia. Ia tahu di balik sikap angkuh suaminya sesungguhnya ia memiliki hati yang mulia.
Fajar menyingsing. Sabila berlari keluar kamar setelah didandani Tiara.
Sabila memeluk kakeknya dengan erat, ia berbisik, "Nanti Bila bawain oleh - oleh es krim kalo pulang kemari."
Pak Markum menangis dan mencium berkali - kali wajahnya. Ia melepas kepergiannya dengan ridho seraya berdoa untuk keselamatannya. Dan akhirnya ia pergi. Mobil yang membawanya kian jauh dan menghilang dari pandangan Markum.
Tio, Tiara, dan Sabila kini telah sampai dirumah kontrakan mereka tepatnya dikawasan Labuan lombok. Tio heran melihat tingkah polah sabila yang tidak bisa diam. Gadis kecil itu terus bernyanyi dan menari. Tingkahnya sama seperti saat ia bersama kedua orangtuanya. Asrul dan Kania mengajari Sabila agar jangan jadi penakut dan jika ada kejadian yang tak berkenan menimpanya maka ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dan ternyata Sabila benar - benar menganggap kejadian mengerikan itu sebagai awal dari perjalanan kedua orangtuanya kembali ke pangkuan Allah swt.
"Ya Allah! Rumah Papa besar bingit!" teriaknya ketika akan memasuki rumah kost satu pintu itu.
Tiara tertawa geli, Tio diam - diam gemas dan tersenyum.
"Assalamualaikum!" seru Tiara dan Sabila saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
Hari ini pun berlalu dan bergantian menjadi malam yang sunyi. Ada sedikit rasa rindu dihati Sabila. Ketika tepat pukul satu dini hari ia terbangun dan menangis. Tio merasa bising dan menyumbat telinganya dengan bantal yang ia tiduri.
"Mama!" teriaknya. Sontak Tiara terbangun dan berlari memeluknya. Sabila merasa ketakutan karena ia tidur sendiri. Sebelumnya ia selalu tidur bertiga bersama kedua orangtuanya. Sementara saat ini ia tidur di ranjang kecil tak jauh dari Tiara dan Tio.
"Ibu! Takut!"
"Ibu di sini, Nak. Jangan takut."
Tiara tertidur disamping Tio sambil memeluk Sabila yang tertidur pulas setelah merasa tenang. Tio tak habis pikir kenapa istrinya mau bersusah payah membesarkan anak orang lain seperti ini. Kekesalannya mulai muncul tatkala melihat wajah polos Sabila.
12.00 wita:
Perjalanan menggunakan mobil dari Labuan Lombok ke kota Mataram cukup panjang dan menguras energi Tio. Sejak setengah jam yang lalu Sabila sudah tertidur karena kelelahan. Sesekali Tiara mengusap kepala Sabila yang kini ada di pangkuannya.
"Sekarang kita sudah ada di mana, Kak?"
"Alhamdulillah sudah masuk Cakra."
Tiara tak sadar dan ia segera bersiap - siap karena sebentar lagi mereka akan turun di rumah keluarga Salman.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di dalam sebuah kompleks perumahan elit. Pintu gerbang rumah keluarga Salman terbuka otomatis. Tio turun dan membukakan pintu mobil untuk Tiara.
"Tolong gendong Sabila."
Tio terlihat ragu.
"Kak!" sergah Tiara.
Tio memapah tubuh Sabila perlahan. Tiara turun dan mengambil Sabila dari pelukannya.
Mila dan Salman serta adik - adik Tio bangkit dan menyambut mereka tatkala Tio dan Tiara memasuki ruang tamu.
"Ya Allah, Tio!" pekik Mila seraya memeluk dan mencium wajah putra sulungnya itu. "Kamu kenapa semakin kurus!"
Sabila tiba - tiba terbangun dan mengusap wajahnya. "Udah dimana nih?"
Sontak seluruh adik - adik Tio tercengang. "Ini anak siapa sih, Kak?" sergah Salwa gemas. Ia mencubit pipi Sabila.
"Ini siapa Tio?" tanya Salman kebingungan.
"Nanti biar Tiara yang menceritakan."
Tiara sebal dengan sikap dingin Tio kepada Sabila. Ia lantas memeluk Sabila kian erat. "Ya, Abi. Biar nanti aku yang ceritakan," tukasnya.
Ibram, adik tertua Tio membawakan tas milik kakaknya kedalam kamar mereka. Tiara menidurkan Sabila diatas ranjang karena Sabila masih terlihat mengantuk. "Tidur saja, Sayang. Nanti kalau Sabila sudah ngantuknya hilang kita mandi."
Sabila memejamkan matanya dan kembali tertidur. Diam - diam Salwa dan Lia mengintipnya dari luar kamar. Mereka merasa senang karena memiliki teman baru. Maklum usia mereka tak beda jauh dengan Sabila, hanya selisih 4 dan 3 tahun.
Sore hari:
Hidup Tiara terasa lengkap dan berarti. Ia menggosok tubuh Sabila dengan lembut menggunakan sabun bayi yang tadinya akan ia gunakan untuk memandikan calon anaknya yang kini telah tiada. Senyumnya mengembang, ia bersyukur Allah swt memberinya kesempatan untuk menjadi seorang ibu sekali pun anak ini bukan terlahir dari rahimnya.
Sabila memukul - mukul air di bak mandinya hingga percikannya membasahi baju dan wajah Tiara. Tiara tertawa bersamanya. Tio yang mendengar tawa istrinya dari luar kamar mandi sedikit merasa bersyukur karena istrinya tak lagi bersedih karena kehilangan buah hati mereka. Ia pun keluar dari kamar menuju dapur. Ia duduk di samping uminya yang sedang memotong kacang panjang mempersiapkan makan malam.
"Istrimu mana?" tanya Mila.
"Di kamar, ia sedang memandikan si Kecil."
"Umi senang istrimu tak lagi fokus memikirkan soal anak. Tapi kalian tak boleh putus asa dan tetap berikhtiar untuk mendapatkan keturunan."
Tio mengangguk seraya mencomot kacang panjang itu dan mencoba memakannya, "Tak enak," ucapnya merem melek karena rasanya yang tak lazim. Salman memanggilnya dari ruang tamu. Ia menoleh dan bangkit menemuinya dan duduk di seberangnya. "Launching resto mu senin depan, apa semuanya sudah beres?"
Tio mengangguk mantap. "Seratus persen. Karyawan ku juga sudah cukup. Jadi tak ada kendala lagi."
"Kamu harus jeli mengikuti perkembangan pasar. Apa yang diinginkan konsumen dan apa yang sedang trend dari hari ke hari, kamu tak boleh lengah. Persaingan di dunia bisnis makanan sangat ketat. Setiap hari selalu ada yang baru baik itu dari segi makanan dan minuman."
Tio tersenyum, "Terimakasih, Abi."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!