NovelToon NovelToon

Antara Cinta Dan Benci

Jebakan (Salah Target)

...13 November...

Nathan melangkah keluar dari pintu utama rumah, ia berjalan sambil memutar kunci motor yang ada di tangannya. Pria itu menaiki motor, memakai helm, dan langsung melajukan motornya keluar dari halaman utama Kediaman Can Candra.

Malam itu, Nathan mendapat undangan dari salah satu temannya. Teman barunya itu, meminta dia datang ke sebuah Markas untuk merayakan pesta ulang tahun dj sana.

Teman baru Nathan adalah seorang ketua geng motor yang cukup terkenal di kota itu. Ia masih berusia 24 tahun saat itu, dan masih memiliki hubungan darah dengan seorang gadis dingin yang bernama Agnes Michelle. Pria itu bernama Marshall.

30 menit perjalanan. Sampailah Nathan di sebuah bangunan yang terlihat cukup ramai, dengan berbagai jenis motor yang terparkir di halamannya. Nathan memarkirkan motor, lalu melangkahkan kaki memasuki Markas.

"Selamat datang, Brother..." sapa seorang pria sambil merangkul bahu Nathan. Pria berambut abu itu tersenyum lalu mengajak Nathan memasuki sebuah ruangan yang menjadi tempat berkumpul mereka.

Nathan duduk di dekat seorang pria yang terlihat sudah terpengaruh oleh alkohol yang ada di depan mereka. Pria itu menuangkan satu gelas untuk Nathan. Namun, Nathan menolaknya dengan sopan.

"Sedikit saja...." bujuknya sambil mendorong gelas itu ke depan Nathan.

"Tidak, aku datang ke sini bukan untuk minum. Aku hanya ingin bertemu dengan Mars...."

Ucapan Nathan terpotong saat seorang pria lain memegang bahunya, sambil berkata.

"Sedikit saja, tidak ada pengaruhnya jika segini," ucap Reynal sambil memberikan gelas kecil pada Nathan. Nathan pun mengambilnya, lalu meminum hanya seteguk dari gelas itu.

Nathan benar-benar sudah masuk dalam jebakan licik pria-pria itu. Nathan merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya, ia berusaha untuk mengontrol diri. Dan mencoba untuk mengenali wajah-wajah pria yang tadi duduk di dekatnya. Pria-pria itu kini sudah berpindah dan duduk sedikit jauh dari Nathan.

"Reyn! Apa yang kau berikan padanya?!" tanya Gilang sambil menatap curiga pria itu.

"Menurutmu? Apa yang aku berikan padanya tadi?" Jawab Reynal lalu meneguk alkohol yang ada di depannya.

"Gilang?" Marshall menyentuh bahu Gilang, membuat Gilang sedikit terkejut.

"Apakah kalian melihat tamu spesialku?" tanya Marshall pada Gilang dan juga Reynal.

"Tamu? Emm...." Gilang menatap ke arah Nathan yang sudah terlihat gelisah. "Apakah pria itu yang kau maksud?" lanjutnya.

Marshall mengangkat wajahnya, menatap Nathan dengan tatapan bingung.

"Apa yang terjadi padanya? Apa yang kalian lakukan pada pria itu?!" Geram Marshall.

Marshall beralih menatap Gilang dan juga Reynal. Keduanya terlihat bingung dan juga tidak mengerti, kenapa Marshall malah geram seperti itu? Bukannya dia yang meminta mereka untuk mencebak teman barunya?

"Kalian salah orang, Bodoh!" Marshall bangkit lalu melangkah mendekati Nathan.

"Nathan? Apa kau baik-baik saja?" tanya Marshall sambil memegang bahu Nathan.

"Aku, aku merasa pusing, dan...."

"Ayo, kau bisa istirahat di kamarku. Percayalah padaku," potong Marshall. Marshall memapah tubuh Nathan, sampai ia dan Nathan sudah berada di dalam kamar miliknya.

'Aku harus menyelamatkan Nathan, aku harus mengurungnya, tidak boleh terjadi hal-hal aneh padanya!' Batin Marshall bertekad.

Marshall pun meminta Nathan untuk berbaring di atas kasur. Sementara ia keluar dan meminta teman-temannya untuk menjelaskan, kenapa mereka sampai bisa salah sasaran seperti ini?! Seharusnya bukan Nathan yang meminum obat tadi!

* * *

Agnes membuka gerbang belakang Markas Marshall, ia sengaja masuk dari gerbang belakang, agar memudahkan dirinya untuk sampai di ruang inti, yaitu kamar Marshall. Agnes datang untuk mengambil motornya. Namun, sore tadi, Marshall berpesan pada Agnes agar mengambil kunci motor di dalam kamar Marshall terlebih dahulu.

Agnes hanya bisa menggelengkan kepalanya, saat ia melihat, begitu banyak teman Marshall yang datang dan merayakan pesta ulang tahun pria itu. Ia pun melangkah mendekati kamar Marshall, dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Agnes menatap pria yang sedang berbaring di atas kasur dengan posisi tengkurap. Saat itu, Agnes mengira pria itu adalah Marshall, oleh sebab itu, ia tidak mengambil pusing dengan pria itu.

Agnes membuka laci, ia mengambil kunci motornya, lalu melangkah mundur menjauhi lemari. Langkah Agnes tiba-tiba saja terhenti, saat Nathan menarik tangannya, membuat dirinya terjatuh tepat di sisi Nathan

"Hei, apa yang kau lakukan, Mars!" Teriak Agnes. Agnes memukul bahu Nathan --- yang dia kira Marshall. Dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari cengkraman Nathan.

Nathan menatap wajah Agnes cukup lama. Membuat mata Agnes langsung membulat tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat.

Agnes mendorong tubuh Nathan yang sudah berada di atasnya. Namun, tenaganya tidak cukup untuk melakukan perlawanan pada pria yang sudah di bawah kendali obat itu.

Agnes kembali mencoba untuk yang kesekian kalinya, dan saat dirinya hendak berteriak, Nathan malah terlebih dahulu membungkam mulutnya dengan ciuman panas. Yang membuat air mata Agnes langsung mengalir membasahi pipinya. Bibir Nathan me lu mat bibir Agnes dengan begitu rakus.

Agnes menggeleng saat tangan Nathan mulai masuk ke dalam kaos yang ia kenakan. Gadis itu berusaha untuk melepaskan bibirnya dari Nathan. Namun, semakin Agnes memberontak, maka semakin ganas Nathan menikmati bibir dan tubuhnya. Tangan Nathan tak tinggal diam. Ia me re mas salah satu gunung kembar di hadapannya.

Air mata kembali mengalir di atas pipi Agnes. Agnes hanya bisa menangis dalam diam, ia ingin berteriak pun percuma. Karena, pria yang berada di atas tubuhnya itu tidak akan melepaskan bibirnya dan membiarkan dia mengeluarkan suara.

'Aku ternodai, aku tidak berharga lagi, aku....' Batin Agnes mengasihi dirinya sendiri.

Agnes menatap ke arah pintu kamar, ia berharap Marshall datang dan menyelamatkan dirinya. Walau ia sadar, semua sudah terlambat sekarang. Tidak ada lagi yang bisa ia selamatkan. Mahkota berharganya sudah diambil secara paksa oleh pria yang masih menyatukan diri dengannya.

Bermain dengan cukup kasar, tanpa kasih sayang apalagi cinta. Pria itu hanya mementingkan tentang nafsu dan gairahnya saja!

Sementara itu, Marshall yang masih sibuk dengan pesta, lupa akan keadaan Nathan yang tidur di kamarnya. Dan juga lupa dengan Agnes yang katanya ingin datang untuk mengambil motor di Markas.

Marshall dan kawan-kawannya juga meninggalkan Markas saat itu. Jadi, tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui apa yang sudah terjadi di dalam kamar yang berada di bagian belakang Markas mereka.

Di Mana Agnes?

Nathan membuka matanya secara perlahan. Matanya langsung menatap ke arah lantai kamar. Ekspresi wajah Nathan seketika berubah, saat melihat bajunya dan juga bantal yang tergeletak begitu saja di atas lantai itu.

Pria itu memegang dadanya. Dan bangun saat menyadari ia tidak memakai apapun sekarang, kecuali kain tipis yang menutupi area kejantanannya.

"Darah?" Nathan menatap bingung darah yang mengotori seprei yang ia tiduri. Ia terdiam sesaat, dengan otak yang mulai berkerja, dan berusaha untuk mengingat, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya semalam?

"Ya, Tuhan... Apa yang sudah kulakukan?" Nathan mengacak-acak rambutnya. Ia berteriak mengutuki kebodohan dirinya sendiri.

Nathan mengedarkan pandangannya. Mencari sosok wanita yang telah ia nodai semalam. Namun nihil, ia tidak menemukan siapapun di dalam kamar itu, kecuali dirinya dan juga barang-barang yang tergeletak begitu saja.

"Agnes...." bibir Nathan bergetar saat menyebut nama Agnes. Nathan benar-benar bingung sekarang. Ia bingung, apa yang harus ia katakan dan lakukan jika bertemu dengan Agnes nanti?

Nathan bangkit lalu menarik paksa seprei itu, sampai seprei itu terlepas, dan sedikik robek di ujung. Nathan memasukkannya ke dalam sebuah keresek, yang ia dapatkan di laci lemari, di kamar Marshall.

Nathan merapikan penampilannya, lalu berjalan dengan kepala yang masih terasa berat. Ia berjalan keluar dari kamar, langkah kakinya terhenti sejenak, saat teringat akan kesalahan yang ia lakukan terhadap Agnes semalam.

"Aku harus mencarinya, aku harus meminta maaf padanya!" gumam Nathan sambil mempercepat langkahnya. Nathan menaiki motor, dan melajukan motor kesayangannya itu keluar dari Markas Geng Motor Marshall.

* * *

Beberapa menit setelah kepergian Nathan.

Marshall melajukan motornya ke arah Markas. Ia kini dilanda rasa khawatir dengan kondisi Nathan. Dan ingin segera mengecek keadaan pria yang menjadi teman barunya itu.

Sesampainya di sana, Marshall langsung memarkirkan motornya. Ia terdiam sejenak, saat melihat motor Agnes tidak ada di tempat, seperti semalam.

"Mungkin Agnes sudah mengambilnya?" gumam Marshall sambil melangkahkan kaki memasuki Markas, dan langsung melanjutkan langkahnya menuju kamar yang terletak di bagian belakang Markas.

Marshall mematung di depan pintu kamarnya, otaknya terasa beku, dan tidak mampu menafsirkan, apa sebenarnya yang sudah terjadi pada kamarnya. Kenapa bisa terlihat seperti kapal pecah sekarang?

Marshall berlari mendekati meja. la membuka laci dan sedikit kaget karena tidak mendapati kunci motor Agnes di sana.

"Semalam?" Marshall langsung berlari keluar dari kamar. Ia berlari menuju gerbang belakang, dan langsung membeku ketika melihat gembok gerbang yang terbuka.

"Nggak mungkin! Aku yakin, itu nggak mungkin terjadi!"

Marshall kembali masuk dan berlari menuju halaman depan. Ia menaiki motor dan melajukannya ke arah kediamannya, yang tidak terlalu jauh dari Markas.

Marshall membuka pintu utama rumahnya, dengan napas yang masih belum beraturan, ia menaiki tangga menuju kamar yang digunakan Agnes jika menginap di sana.

"Mars? Apa yang kau cari?" tanya Jelita mengagetkan Marshall.

"Agnes, Ma? Apa dia datang ke sini?"

"Iya, kemarin dia datang, dan bukannya semalam dia datang ke tempatmu? Katanya mau ambil motornya di sana," jawab Jelita sambil menatap bingung wajah anaknya.

"Ini salahku.... Maafkan aku Agnes, maafkan aku...." lirih Marshall tertunduk lemas.

Marshall yakin dengan apa yang ada di pikirannya, ia yakin kalau Agnes dan Nathan bertemu selamam di kamarnya. Dan semua ini akibat kecerobohannya, karena tidak mengunci kamar sebelum Agnes datang!

* * *

Nathan membaringkan tubuhnya di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamar, dengan pikiran yang entah tertuju ke mana.

"Aku harus mencarinya ke mana? Aku tidak tau di mana rumahnya? Bahkan, aku tidak tau siapa nama lengkapnya," gumam Nathan. Saat itu, belum terlintas di pikiran Nathan tentang kedekatan Agnes dengan Davina. Membuat dirinya kesulitan untuk mencari keberadaan Agnes dan bertemu dengan gadis itu.

"Nathan?" panggil Keisha dari ambang pintu kamar Nathan. Keisha masuk ke dalam kamar putranya. Ia menatap Nathan yang sama sekali tidak menyadari kehadiran dirinya.

"Nathan? Apa kau sakit, Nak?" Keisha memegang kening Nathan, membuat Nathan langsung tersadar dari lamunannya.

"Istirahatlah, Mama akan menyiapkan sarapan untukmu." Keisha menghembuskan napasnya pelan, lalu melangkahkan kaki keluar dari kamar Nathan, putranya.

"Apa aku harus mengatakan semuanya pada Papa dan Mama?" gumam Nathan. Nathan merubah posisi tidur, ia menarik selimut sampai menutupi tubuhnya. Pria. benar-benar dihantui oleh rasa bersalah saat itu, membuat dirinya tidak pernah tenang, sebelum ia bisa bertemu dan meminta maaf pada Agnes. Walau Nathan sadar, kata maaf darinya tidak bisa mengembalikan apa yang telah ia renggut dari Agnes.

* * *

Aku Benci Padamu!

...14 November...

Kamar mandi itu menjadi saksi, betapa hancur dan sakitnya hati Agnes pagi itu.

Hanya terdengar isak tangis yang diiringi oleh aliran air yang mengalir membasahi tubuhnya. Ia terus menggosok leher, wajah, dan juga dadanya.

Agnes bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia merasa dirinya tidak istimewa lagi, tidak berharga lagi, dan tidak ada hal yang bisa lagi ia banggakan pada dirinya.

Agnes benar-benar sudah seperti orang yang hilang dari jasadnya. Ia tidak perduli lagi, dengan rasa sakit yang ia rasakan pada tubuhnya. Karena terlalu keras menggosok pada beberapa titik tertentu itu.

Agnes menumpahkan semua kesedihannya di dalam kamar mandi. Di saat itu, bayangan sang Ibu pun ikut muncul di dalam pikirannya. Agnes tidak bisa membayangkan, akan seperti apa, hancur hati Ibunya, apabila mengetahui dirinya seperti ini.

Dan di satu sisi, Agnes merasa beruntung, karena ia tidak akan pernah melihat wajah kecewa itu, karena sang Ibu sudah lama pergi meninggalkan dirinya. Meninggal begitu banyak kenangan pahit untuk dia dan juga sang Ayah. Sampai membuat ia harus kehilangan sang Ayah dan harus dibesarkan oleh Paman dan Bibinya.

Agnes menyeret kakinya menjauhi shower, ia meraih sebuah handuk, memililit tubuhnya dengan handuk itu. Ditatapnya pantulan wajahnya di sebuah cermin yang ada di dalam kamar mandi. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Matanya sudah tidak berbentuk lagi, bahkan sudah sangat bengkak, karena terlalu lama menangisi nasibnya.

Agnes menyentuh sebuah tanda merah yang ada di lehernya. Tangannya bergeser menyentuh tanda yang lainnya, dengan air mata yang masih mengalir begitu saja.

"Nathan... Aku benci padamu...." teriak Agnes. Agnes mematung cukup lama di depan cermin itu. Sampai ia merasa sedikit tenang dan juga lelah, barulah ia berjalan keluar dari kamar mandi dan membaringkan dirinya di atas kasur berukuran sedang.

Suasana yang sunyi itu seketika berubah, saat sebuah benda pipih yang berada di dekat Agnes terus berdering dan berdering. Entah, sudah berapa kali benda itu berdering. Namun, Agnes tak kunjung menyentuh atau melirik ke arahnya.

Karena lelah, Agnes pun tertidur dengan tubuh yang ditutupi selimut dan juga handuk yang masih melilit di tubuhnya.

* * *

Sementara itu, seorang gadis terus memperhatikan motor-motor yang masuk dan terparkir di parkiran kampus. Ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Namun, orang yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, atau mengangkat telepon dari gadis itu.

Pretty berlari menghampiri Davin, yang baru saja memarkirkan motornya. Tapi bukan Davina yang ia tunggu!

"Ada apa, Pretty? Kenapa wajahmu terlihat sekesal itu?" tanya Davin. Gadis itu merangkul Pretty, mengajak Pretty menjauh dari parkiran kampus.

"Aku kesal sama Agnes!" jawab Pretty sambil memutar bola matanya.

"Kenapa? Apakah Agnes membuat kesalahan padamu?"

"Aku sudah menunggunya sejak tadi, bahkan hampir lumutan karena berdiri menunggunya di parkiran!" Pretty mendengkus kesal.

"Coba telepon dulu, mungkin dia masih di rumah atau bagaimana." Davin melepas rangkulannya.

"Sudah, aku sudah menghubunginya. Tapi dia tidak menjawab ataupun membalas semua pesan yang kukirim padanya." Pretty kesal sendiri.

"Ya sudah, kita tunggu saja. Dia pasti akan datang nanti," ucap Davina tersenyum.

"Hmmm, semoga dia masuk."

Davin dan Pretty pun melangkahkan kaki mereka menuju kelas. Dan memutuskan untuk menunggu Agnes di sana.

* * *

Siang harinya.

Agnes terbangun karena perutnya yang terus berbunyi, ia memegang perutnya, lalu bangun dan mengambil pakaian ganti di lemari.

Usai memakai semua pakaiannya, ia berjalan mendekati kulkas, mencari makanan apa yang bisa ia makan untuk mengisi perut yang kelaparan.

"Setidaknya, aku masih bisa bertahan dengan semua makanan ini. Aku masih bisa bertahan sampai beberapa hari ke depan," gumam Agnes. Agnes mengambil beberapa lembar roti tawar, lalu mengoleskan selai coklat di atasnya.

Wanita itu kembali ke dalam kamar, saat ia sudah merasa cukup dengan isi perutnya. Agnes meraih Hp-nya, ia termenung, saat melihat begitu banyak panggilan tidak terjawab dari Davina, Pretty dan juga Marshall.

Bahkan, ketiga orang itu juga mengirim pesan padanya, dan menanyakan bagaimana keadaannya dan di mana dirinya sekarang?

Agnes meletakkan benda pipih itu di atas kasur, lalu membaringkan dirinya di sana.

"Aku baik-baik saja, kalian jangan khawatir padaku. Percayalah padaku." Begitulah pesan yang Agnes kirim untuk Davina dan juga dengan Pretty.

Sementara untuk Marshall, Agnes tidak merespons apapun. Ia memilih untuk menyembunyikan semua ini dari Marshall, dan juga dari Bibi dan Pamannya.

Ia tidak ingin menambah beban pikiran semua orang. Cukup, hanya dia yang merasakan kesedihan ini, jangan sampai Bibi dan Pamannya tau!

* * *

Siang itu, Nathan keluar dari kamarnya, ia berjalan menuruni tangga menuju ruang makan.

"Bagaimana? Sudah lebih baik sekarang?" tanya Keisha pada Nathan yang sudah duduk di hadapannya.

"Lumayan, Ma." Nathan menatap kursi kosong di samping Mamanya.

"Papa mana, Ma?" lanjut Nathan bertanya.

"Ada urusan di rumah Paman Aldy. Nanti sore pulang," jawab Keisha. Keisha menyendokkan nasi dan juga lauk untuk Nathan.

"Terimakasih, Ma."

Nathan tersenyum sakit, ia semakin merasa bersalah pada Agnes sekarang. Nathan berpikir, Mama Agnes pasti akan kecewa atas apa yang sudah terjadi pada anak gadisnya itu. Sebagaimana, Mamanya yang sering kecewa ketika dirinya membuat kesalahan.

"Nathan?"

Nathan mengangkat kepalanya, menatap Keisha yang juga menatap ke arahnya.

"Apa kau punya masalah, Nak?" tanya Keisha. Nathan menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Ayo makan, Ma."

Keisha pun tersenyum lalu memulai makan siangnya bersama Nathan. Keduanya makan dengan hening, tanpa ada yang berbicara atau hanya mengangkat kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!