Jika kebahagiaan saat ini belum berpihak pada diri kita, yakinlah esok pasti akan tiba waktunya.
Rindang injali terpaksa mengubah mimpinya dalam sekejap, ia bercita- cita ingin menjadi seorang Designer terkenal, harus kandas setelah mengetahui ayahnya sakit gagal ginjal. Dan itu terjadi sudah selama dua tahun belakangan ini.
Setiap dua minggu sekali harus melakukan chek up dan rutinitas cuci darah. Tentunya semua itu mengeluarkan biaya perawatan yang besar, Sedangkan Ruko yang menjadi penghasilan utama keluarga sudah habis terjual. Harta satu-satunya tinggal rumah yang mereka tinggali saat ini. Sedangkan hutang pada keluarga Abimanyu sudah tak terhitung jumlahnya. Abimanyu adalah orang yang membeli Ruko miliknya, ia telah berbaik hati meminjami uang tanpa bunga saat keluarga Rin membutuhkan.
Jalan satu- satunya Rin harus bekerja di kediaman Abimanyu demi melunasi hutang keluarganya, dengan statusnya bekerja sebagai ART di rumahnya.
Hak hidup bahagia sebagai gadis remaja telah terampas sudah, ketika orangtuanya menyatakan kesediaan mengirimkan Rindang ke kediaman Abimanyu.
"Nak maafkan ibu, tak seharusnya ibu mematahkan cita-citamu seperti ini." Arumi dengan isak tangis tak tega melepas kepergian putri semata wayangnya. "Seharusnya kau bisa seperti teman temanmu yang lainnya, bisa melanjutkan kuliah. Bukan malah menjadi pembantu di rumah orang kaya itu. Imbuhnya lagi dengan air mata makin deras meleleh membasahi pipinya.
"Sudahlah Bu, jangan bersedih, Ibu do'akan saja Rin agar betah bekerja disana. Supaya Ibu bisa konsentrasi menjaga ayah dengan baik. Jika ibu membutuhkanku sewaktu-waktu kabari saja aku, Rin pasti akan minta izin untuk pulang." Rin berusaha setegar batu karang didepan ibu. Walau kenyataan menjadi pembantu memang seperti mimpi buruk dalam hidupnya.
"Baiklah Nak, jaga dirimu di sana" Arumi memeluk Rin erat, pipi dan keningnya tak luput dari kecupannya berulang kali. Mereka memang sudah sepantasnya bersedih, karena ini pertama kalinya harus berjauhan dengan putrinya. Hal sama yang dirasakan Bandrio. Namun apalagi yang bisa dilakukan pria sakit itu, selain melepas kepergian putri satu- satunya.
Setelah mobil keluarga Abimanyu datang menjemputnya, mobil itu berhenti tepat di depan rumah. Rin bergegas keluar memastikan itu mobil suruhan calon majikannya. Ternyata memang benar, asisten pribadi itu segera turun dan menanyakan barang-barang yang akan dibawa. Rin menunjuk koper kecil di sebelah pintu, Rendra segera mengambil dan menaruh ke dalam bagasi.
"Gimana Mbak? Sudah siap berangkat sekarang?" tanya Rendra dengan sopan. Rendra tetap memanggil Rin dengan sebutan ,Mbak. Walaupun ia tau usianya lebih tua dari Rin.
Selesai menutup bagasi Rendra segera mohon pamit pada Arumi dan Bandrio. "Nak, Ibu titip putri ibu, tegur dia jika sifat pemalas nya kambuh. Soalnya dia anaknya sangat manja, mungkin sehari dua hari ia akan kaget dengan semua pekerjaan berat menjadi ART disana," ucap Arumi memegang bahu Rendra dengan wajah mengharapkan hal baik pada pria itu.
"Ibu tenang saja Rendra akan menjaganya dengan baik, Bu," ucap pria dengan potongan rambut cepak ala tentara dengan enteng.
"Jadi namamu Rendra?" tanya Bu Arumi pada lelaki tampan di depannya.
"Benar, Bu. Saya disana bekerja sebagai Asisten pribadi jelasnya, Rendra segera meraih tangan Arumi dan Bandrio menciumnya bergantian.
"Hati-hati nak Rendra kalau mengemudi," ucap Arumi saat Rendra melepas tangannya.
"Rin pamit dulu, Bu," Sekali lagi Rin memeluk ibu dan ayahnya.
Arumi sedikit lega mengetahui Rendra sepertinya anak yang baik dan sopan jadi ia bisa sekalian menitipkan putrinya.
Sebelum roda melaju, Rin sekali lagi melambaikan tangan pada Arumi dan Bandrio. Ia menyembunyikan kesedihannya dibalik senyum. Tak ingin ibu dan ayah tau kalau ia sebenarnya juga berat meninggalkan dirinya.
Di jalanan mereka lebih banyak diam, selain mereka belum begitu akrab, Rin juga lagi malas untuk bicara pada orang yang belum dikenalnya.
Hanya satu jam setengah saja, mereka sudah sampai di kediaman Abimanyu. Rumah Elite lantai tiga, dengan pagar besi tinggi kokoh memutari seluruh halaman menandakan ia bukan orang sembarangan. Abimanyu anak tunggal dari keluarga Bagaskara ia seorang pebisnis kuliner sukses dan orang tuanya seorang pengusaha ternama. Rey Bagaskara pemilik PT KARUNIA ALAM yang bergerak di bidang produksi mie instan.
Pria itu nampak santai di ruang tamu menikmati batang rokok dan secangkir kopi, ditemani Maira calon istrinya.
Rin dengan langkah ragu, masuk ke rumah megah yang menurutnya asing baginya. Maira kekasih Abimanyu segera berdiri menghampiri calon ART barunya.
"Selamat datang di rumah kami Rin, semoga kau akan betah bekerja disini," ujarnya penuh basa basi.
Rin mengangguk sopan.
Abimanyu yang baru melihat Rin terlihat tak suka, menurutnya Rin pasti tak bisa bekerja dengan baik, karena dia terlihat masih anak kemaren sore dan pasti masih manja dan kolokan.
Ciih ... bocah kecil bisa apa dia, mungkin merebus air sama bikin telor ceplok juga sudah mentok.
Abimanyu menatap dengan tatapan sinis.
Rindang injali, gadis kulit putih, bermata indah memiliki tatapan teduh, bulu mata panjang lentik alami. Namun yang lebih menonjol darinya adalah bodynya bak gitar spanyol dengan tinggi badan 170. Dan setiap senyumnya akan memamerkan dua gigi kelinci di depan menambah poin kecantikannya. Membuat gadis itu sangat layak jadi wanita idaman bukan seorang ART seperti nasibnya saat ini.
"Yakin kau bisa kerja," ucap Abimanyu dengan acuh."
"Bisa, Tuan." Rin grogi di depan majikan mudanya.
Tadinya ia sempat berpikir kalau majikannya itu seseorang yang sudah tua. Namun siapa sangka ternyata dia masih sangat muda. Abimanyu Bagaskara 28 tahun, dengan perawakan tinggi Denpal, badan berotot tatapan Elang, rahang tegas namun tetap terlihat tampan. Sedangkan Maira kekasihnya 27 tahun, dia juga cantik, model majalah dewasa yang sedang naik daun tahun ini, wajahnya tak jarang muncul pada sampul majalah dewasa dan tabloid bahkan iklan di TV.
Abimanyu seringkali menginginkan agar berhenti bekerja saja, dengan bisnisnya memiliki beberapa Hotel, Resort dan banyak Restauran miliknya yang tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. Membuat Abimanyu cukup untuk memberikan semua keinginannya itu. Namun Maira tetep kukuh mempertahankan kariernya. Pasalnya ia hanya akan berhenti jika dirinya telah menikah nantinya. Abimanyu menyetujui, namun selama satu tahun penantian, Maira belum juga mau diajak menikah. ia lebih memilih status hubungan tak jelas seperti yang ia jalani saat ini.
"Rendra antar kan dia ke kamar, sekalian kamu bawakan barangnya, kamar yang disebelah Bibi Naya. Kamu mulai kerja besok saja, sekarang bisa istirahat dulu" ucapnya sambil duduk kembali di sebelah kekasihnya. mereka kembali bersenda gurau layaknya pasangan suami istri.
"Baik, Nona Maira." Rendra bergegas melaksanakan perintah.
Rendra menurunkan koper dari jok mobil, ia mengantarkan Rin ke kamar khusus pembantu yang ada di pojok belakang dekat dengan dapur.
"Disini kamu nggak usah merasa sendiri, Rin, Ada aku, jika kamu butuh sesuatu bisa minta tolong padaku. Aku pasti siap bantu kamu," ucap Rendra membusungkan dadanya. sambil meletakkan koper di samping almari.
"Siip."Rin menunjukan jempolnya setuju.
"Aku kembali keluar ya! Soalnya masih banyak tugas di depan." Dalam sekejap Rendra sudah menghilang dari pandangan. Ia kembali keluar untuk memarkir mobilnya di garasi.
Rin menghempaskan tubuhnya di kasur yang masih lumayan empuk, kamar pembantu ternyata tak seburuk yang ia bayangkan. Pernah terbersit di angannya ia akan tidur di kasur usang dan kamar yang sempit pengap, ternyata mimpi buruk itu tak terjadi. Kamar Rin masih dilengkapi AC. Walaupun mungkin AC butut bekas majikannya. ukuran kamar juga lumayan luas, ada kamar mandi satu di dalamnya.
Saat ia terlentang, tangannya merogoh ponsel di handbag nya. Rin segera menghubungi orang tuanya kalau ia telah sampai dengan selamat dan mulai bekerja besok pagi. Arumi lega sudah mendapat kabar dari putrinya.
Sebelum istirahat, kini Rin beralih memindahkan bajunya dari koper kedalam lemari satu persatu. tak lupa ia memasang satu foto keluarga pada paku yang sudah menancap sejak semula di dinding. foto keluarga itu akan terlihat di depannya saat ia sedang tidur terlentang.
"Hoaaaaaam .... ."Rin berkali kali menguap. Berlahan ia membuka matanya yang masih setengah sadar.
"What? God....!" pekiknya.
Ngantuk nya hilang seketika, melihat jam yang menempel di dinding, tepat di depannya sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Rin segera menyingkap selimut tanpa melipatnya dan bergegas ke kamar mandi, mencuci muka untuk mengusir kantuknya.
Rin, gila kamu, hari pertama sudah seperti ini, kamu itu kerja disini, bukan numpang hidup enak.
Rin segera menyusul Naya di dapur yang hilir mudik menyiapkan sarapan untuk majikannya.
"Bi, apa yang harus aku kerjakan?" Tanya Rin canggung. Tapi untung saja Naya orangnya baik tidak perhitungan soal pekerjaan.
"Rin, tolong ini kamu antar ke meja makan duluan, di sana Tuan Bima pasti sudah menunggu." Naya menyerahkan secangkir kopi plus creamer kesukaan majikannya, Kemudian Naya melanjutkan memindahkan capcay yang sejak tadi mengepulkan aroma sedap ke dalam mangkuk.
"Baik, Bi." Rin yang masih memakai piyama, segera mengantarkan kopi panas kepada majikannya yang sedang duduk santai.
Abimanyu sudah rapi dengan hem dan celana slim fit, serta sepatu fantofel. Terlihat rambutnya basah. Kalau rapi sepagi ini pertanda ia akan mendatangi urusan amat penting. Ia menunggu kopi panas dan Maira keluar dari kamar. Sambil santai Abimanyu mengusap usap layar benda pipih di tangannya.
Yang jelas terlihat aura tak suka melihat Rin bangun kesiangan dihari pertama ia kerja."Apakah kasur di rumahku terlalu empuk? Hingga kau begitu nyenyak, tak mengerti kalau ini sudah mau siang."
Kata-kata pedas Abimanyu membuat Rin semakin grogi, ia terlalu konsentrasi dengan kopi di tangannya, hingga tak menyadari kakinya tersandung oleh kaki meja di depannya.
"Pyaar ... !!!" Cangkir terjatuh kelantai. sebelum pecah, kopi panas tadi sempat tumpah di paha dan percikannya mengenai hem serta celana yang di pakai Bima.
"Gila, apa kau nggak punya mata, hah ?!!
"Kau...!!" Abimanyu melotot tak terima, sambil kepanasan mengipas- ngipas pahanya dengan tangannya. ia sangat geram melihat pakaian yang baru menempel di tubuhnya sudah terkena noda kopi. Padahal pagi ini ia sudah janji akan membuat pertemuan dengan arsitek yang akan mendesain restauran yang akan ia bangun.
"Ma... maaf Tuan, aku nggak sengaja ." Suara Rin lirih, dengan wajah sangat ketakutan. Sedangkan Bima emosinya pagi ini sudah berapi api, seperti puncak merapi yang siap meletus.
"Bisa kerja, nggak sih, sepertinya untuk jadi pelayan saja, kau terlalu bodoh!" bentaknya dengan nada suara tinggi.
Rin sibuk memunguti pecahan, tak berani sedikitpun mendongak, menatap wajah kecewa majikannya.
Aku kan sudah minta maaf tadi, aku benar nggak sengaja melakukannya, Tuan saja yang agak tuli.
Abimanyu pergi dari tempatnya semula, ia ingin segera mengganti bajunya yang terkena noda kopi.
"Kerja, nggak pecus!" Ia masih tetap ngedumel hingga di depan kamarnya
"Kenapa Mas? Masih pagi kau sudah kesal saja" Tanya Maira sambil memakai lotion di tubuhnya. Sesekali ia mendekatkan wajahnya ke cermin memastikan bulu mata palsunya sudah rapi, atau memastikan warna lipstik yang ia kenakan sudahkah cocok dengan bajunya.
"Ini karena pelayan bodoh itu, kenapa kau memilih dia untuk kerja di sini?!" ucapnya lagi dengan suara masih kesal
"Udahlah, Mas, kamu jangan marah, dia masih baru disini, kalau tidak mengganti dengan tenaganya, akan pake apa lagi keluarganya akan melunasi hutangnya pada kita." Maira beralih memasukkan beberapa potong bajunya kedalam tas ransel.
"Kamu ada betul nya, tapi dia anak- anak, belum bisa apa-apa, merepotkan sekali." Abimanyu sibuk jari- jarinya membuka tiap helai baju, memilih dari beberapa yang paling ia sukai di dalam almari.
Maira mendekatinya. Membantu memilih hem yang paling keren untuk kekasihnya, setelah Abimanyu memakainya, Maira membantu memasang kancing. "Aku, hari ini ada pemotretan satu minggu di Bali, Mas."
Mengambil nafas panjang. "Baru saja dua hari di rumah, pergi lagi satu minggu." Menyingkirkan tangan maira dari dadanya. Bima makin kesal, mengingat dirinya lebih sering ditinggal, Mamun ia sudah terlanjur membuat kesepakatan membiarkan Maira mengejar kariernya. Ketenaran bagi Maira lebih dari segalanya, bahkan dari pada uang yang ia terima dari hasil kerjanya.
"Mas, kamu nggak suka gitu sih?" Maira meraih tangan Abimanyu dan membimbing agar melingkar di pinggangnya. Ia sudah hafal Abimanyu pasti akan menunjukkan cicit tak suka jika ia akan pergi lama.
"Bisa nggak sih, minggu ini kamu jangan pergi, sekali saja utamakan aku daripada kariermu itu." Abimanyu memohon kepada maira agar melupakan niatnya ke bali. "aku ini calon suamimu,"
"Maaf Mas, aku akan tetap pergi, aku akan pulang secepatnya."
"Maira apa kamu tak mencintaiku"
"Aku sangat mencintaimu Mas, tolong berikan aku waktu satu bulan saja untuk memikirkan pernikahan kita." Maira tetap kukuh dengan keinginannya.
Aku tak bisa, Mas. Kau kan sudah tau aku sangat menyukai pekerjaan ini, dan karierku saat ini lagi naik, kau tentu tak ingin membuat aku kecewa.
"Karier lagi, karier lagi, bagaimana denganku?" Mendesah frustasi.
"Kan ada Bi Na, yang sudah hafal dengan kebutuhanmu. Lama-lama Rin juga akan bekerja dengan baik. Tentunya kamu nggak ingin , melihat aku terjatuh dengan usahaku selama ini. Kamu jangan lupa Mas, dengan janji kamu. Dengan membiarkan aku tetap bekerja sampai aku hamil." Maira keras kepala.
Konyol kau Maira, kau pikir aku hanya butuh makan saja, kau tak mengerti aku sering kesepian tanpamu.
Abimanyu acuh, memilih memalingkan muka. Agar membuat calon suaminya tak marah kini maira mencium bibir Abimanyu dengan ganas. Hingga lipstik yang tadinya menempel sempurna. Kini belepotan kemana mana dan sebagian pindah ke bibir Bima. Mendapat perlakuan panas di pagi hari, hati Bima kembali luluh.
Merasakan tubuh diantara mereka sudah sama-sama memanas. "Sudah Mas, aku berangkat dulu, teman teman pasti sudah menunggu. Tak ingin calon suaminya bertindak lebih jauh yang hanya akan membuat dirinya terlambat.
-
Setelah mendaratkan satu kecupan dipipi Bima. Maira bergegas keluar kamar membawa tas ransel yang sudah ia siapkan sejak tadi. Segera menelepon Rendra agar menyiapkan mobil untuk mengantarnya ke kantor.
Abimanyu masih duduk mematung di pinggiran ranjang. Langkahnya berat mengikuti Maira keluar. Ia mulai memikirkan penolakan keluarganya saat memutuskan akan menikahi Maira. Karena profesinya yang bergelut di bidang pembuatan majalah dewasa. Cinta Abimanyu dan keras kepalanya waktu itu tak tergoyahkan oleh apapun. Ia lebih memilih menjauh dari orangtuanya dan memilih membeli rumah sendiri untuk ia tinggali.
****
Rendra sudah stanby di tempatnya. Segera membuka pintu belakang untuk calon majikan wanitanya, tanpa menunggu sebuah perintah lagi. "Kita akan kemana sekarang, Nona?"
-
"Antarkan aku ke kantor saja, karena teman- temanku sedang menunggu disana." ucap Maira pelan. Maira ingat dengan sikap tak rela Bima. Ia menoleh ke arah pintu keluar. Maira menyadari Abimanyu tak mengantarnya keluar. Hal yang biasa ia lakukan saat hatinya merajuk.
-
"Baik Nona," jawab Rendra patuh. Rendra segera mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman, membelah jalanan kota. Hari-hari Maira sangat bebas dan bahagia saat ia bersama dengan teman dan kruwnya.
Sementara ini Maira bisa bebas dari Abimanyu yang selalu mendesaknya untuk segera menikah, mungkin status pacaran akan lebih leluasa untuk Maira dan akan berjalan sampai yang ia mau. pernikahannya dengan Abimanyu hanya menjadi kerikil yang akan menghalangi usahanya menuju puncak.
Rin segera membereskan pecahan beling, mengumpulkan ke tempat yang di sediakan di halaman belakang. Karena khusus untuk beling dan kaca Ia tidak membuang sembarangan.
Rin menghempaskan tubuhnya pada kursi kayu,Tanpa sadar pikirannya telah melayang layang jauh diterpa oleh hembusan angin.
Hari pertama bekerja sudah bikin masalah, dapat amarah, gimana besok lusa dan seterusnya. Huff...! Jadi pembokat sedih amat rasanya. Coba aja kalau ayah tak sakit, masih bekerja, pasti hidupku tak akan sesedih ini. Aku bisa berkumpul bersama keluarga dan teman-teman, ternyata dengan berangkat sekolah, minta uang saku yang banyak itu sangat menyenangkan.
-
"Hei...! Mana kopi?"
"Hari ini kenapa nggak ada yang bikin kopi?!"
Terdengar teriakan dari dalam rumah. Abimanyu turun dari tangga teriakannya hampir memenuhi seluruh ruangan, bahkan sampai terdengar oleh gendang telinga Rin yang berada di belakang.
"Upss...., aku lupa belum menggantinya dengan yang baru." Rin tersadar, bergegas masuk ke dapur. Segera merebus air dan memasukkan dua sendok gula pasir dan dua sendok kopi, menurutnya ini pasti takaran yang paling bagus untuk secangkir kopi. Sebelumnya tadi ia sudah mengedarkan pandangan ke sana kemari ingin bertanya. Namun Narni tak ada di dapur. ia pasti sudah mengerjakan pekerjaan lainnya.
Rin membawa nampan kecil di tangan, mencari- cari keberadaan Abimanyu, ternyata pria itu sedang duduk di depan televisi sambil mengusap usap layar handponenya. Kejadian tadi takut terulang lagi. Ia memilih menaruh kopi di tempat yang jauh dari jangkauan dan menggesernya dengan pelan. Terlihat tangannya gemetar hingga terdengar bunyi tutupnya.
"Mau kemana? Duduk!" Hardiknya.
" Mmm... mau beres- beres lagi, Tuan"
"Duduk dulu."
Rin menurut saja, ia duduk di sebelah Bima dengan jarak satu kursi di tengahnya. Masih belum berani menatap wajah galak majikannya.
Pria itu membuka tutup cangkir dan mulai meniup kemudian menyeruput kopi. Keningnya berkerut dan menutup kembali. Rin sudah tau pasti ada yang salah dengan minuman buatannya.
Emang berapa sih perbandingan yang benar? Apa salah kalau satu banding satu, atau dua banding satu mungkin. Kemana juga bi Na tadi? menghilang segala.
"Ini kamu saja yang habiskan." Bima menyodorkan cangkir tepat di depan Rin, "Ayo minum."
Tak punya pilihan lagi selain meminumnya, Rin mulai meniup dan mencecap nya.
"Gimana?" Tanya Bima penasaran.
" He... he... Enak kok." Walaupun rasanya pahit, Rin meneguk habis, dan menjulurkan lidahnya memutari bibir atas dan bawah. menjilat sisa- sisa kopi di bibirnya sampai bersih.
"Selain kau pemalas, kau juga pintar bohong rupanya." Bima memiringkan bibirnya, sambil melempar salep untuk kulit ke pangkuannya.
"Salep kulit, buat apa, Tuan??"
"Nie...!" Bima menyingkap celana pendeknya tinggi-tinggi. Hingga terlihat pahanya hingga pangkal.
"Tidaaak !!" Rin Spontan menutup mata dengan dua telapak tangannya sekaligus.
"Hei, jangan teriak, emang suara kamu bagus apa!"
"Tuan Bima, kenapa membukanya tinggi sekali, Aku belum cukup umur untuk melihat pemandangan syur begitu."
"Mana yang syur? Perhatikan dengan benar, jangan berpikir aneh-aneh. lihat ini gara-gara kamu siram pakai kopi tadi pagi!" Menunjukkan pahanya sebagian berwarna merah namun syukur tidak sampai melepuh.
"Kamu yang membuatnya begini, harus bertanggung jawab, untuk mengobati. Coba kalau tadi nggak ceroboh pasti ini semua tak ada." Mimik mukanya tiba-tiba kesal.
"Gara- gara kamu lagi, jadi batal menemui Arsitektur hari ini." Masih menggerutu.
Kenapa jadi aku lagi, bukannya gara- gara ditinggal Nona Maira ke Bali. Menyebalkan.
"Ayo buruan kasih salepnya!"
Ya tuhan mimpi apa semalam, sekarang aku harus menyentuh kulit banyak bulu-bulu seperti ini. Geli aku lihatnya.
"Aaaa... " Abimanyu memekik keras. Saat Rin menyentuhkan ujung jari telunjuknya sambil meratakan salep kulit tadi dengan pelan.
"Sakit ya, Tuan?"
"Nggak"
"Kenapa berteriak."
"Dingin," jawabnya singkat dan pendek.
Oh kukira, kalau cuma dingin, kenapa
berteriak.
Rin ingin tertawa dengan tingkah konyol majikannya namun tetap ia sembunyikan, kelihatan galaknya minta ampun, ternyata ia tidak bisa menahan sakit luka sekecil ini."
"Sudah selesai, Tuan." Rin menaruh salepnya di meja. Ia hendak beranjak pergi.
"Mau kemana?" Abimanyu mencekal pergelangan tangan Rin kedua kalinya.
"Ke belakang, emang ada kerjaan lagi buat saya, Tuan?" Rin kaget dengan sikap Abimanyu, yang tiba- tiba memegang tangannya.
"Iya, buatkan aku susu. Aku tak mau minum racun seperti tadi."
Rin bergegas masuk, segera membuat susu yang diminta oleh Bima. Namun tiba-tiba merasa mual pada perutnya, sebenarnya ia tak pernah minum kopi sebelumnya. Asam lambungnya akan kambuh jika ia memaksa mengkonsumsi barang satu itu. Namun semua sudah terlanjur gara-gara Abimanyu tadi mendesaknya.
Rin segera kembali ke tempat Abimanyu berada tadi, dengan satu buah gelas besar berisi susu coklat, namun majikannya sudah tak ada di tempatnya.
Ia memanggil- manggil sambil mencari setiap sudut ruangan yang ada di lantai bawah namun tak ditemukan. Rin mencoba mencari di lantai atas, lebih tepatnya kamar dan ruang pribadi Bima. Karena selama beberapa hari tinggal Rin belum sekalipun melihat ruang atas.
"Tuan....!"
"Tuan Bima!" Rin memanggil-manggil dengan suaranya yang merdu.
Rin menghentikan langkahnya di kejauhan, ia terkejut melihat Abimanyu sedang melakukan kegiatan angkat barbel.
Mengetahui Rin mengamatinya dari kejauhan, Abimanyu semakin bersemangat memamerkan otot trisep nya.
Wooow ... otot tuan, luar biasa keren
"Cepat bawa kesini kok malah bengong disitu?" ucap Bima tanpa menghentikan aksinya, mengangkat barbel.
"I-iya." Rin gugup seakan majikannya tau isi hatinya.
"Kenapa? Kagum dengan otot-otot kekar milik saya ya?"
"E- enggak. Cuma angkat benda kecil begitu, saya juga bisalah, Tuan." Rin memiringkan bibirnya mengejek.
"Bener, bisa?"
"Iya benar, siapa takut." Rin segera menaruh nampan berisi susu tadi di meja kecil yang ada di dekatnya.
Ia menerima alih barbel yang baru saja berada di tangan Abimanyu.
"A-a-a aaaa, tolooong." Rin hampir terjatuh karena beban di tangannya bukan main- main beratnya.
Abimanyu segera menangkap tubuh Rin ke pelukannya dan meraih barbel yang ada ditangan agar tak jatuh mengenai kakinya. Tangan mereka akhirnya bertemu di satu tempat menyangga benda berat itu.
"Deg- deg deg." Jantung Rin berdegup kencang, baru kali ia berada di dekapan seorang pria selain ayahnya dengan jarak sedekat ini.
"Makanya jangan sok, kuat!" ucap Bima membuyarkan ketegangan yang terjadi, sambil mengambil benda berat itu, dan menurunkan ke lantai.
Bima meraih segelas susu buatan Rin, dan meneguknya hampir habis.
Susu hangat itu pasti enak, aki paling jago kalau buat yang satu itu tuan.
"Gimana, Tuan?" Tanya Rin penasaran.
"Enak," Bima menaruh kembali gelas diatas nampan. "ini baru benar. Eh tunggu kenapa badanmu berkeringat begitu? Apa kamu sakit?"
"Enggak Tuan." Rin berdalih sambil menyeka keringatnya.
"Ya, sudah kamu istirahat sana."
Rin menurut ia pergi meninggalkan Abimanyu seorang diri. Abimanyu menatap lekat leher pembantunya yang putih dan rambut yang selalu ia tali agak tinggi hingga menyerupai ekor kuda.
Gadis polos, kadang kasian juga kalau aku terlalu sering memarahinya.
Abimanyu melanjutkan Aksinya bermain-main dengan barbel sebentar, dilanjutkan dengan push up. Kemudian duduk santai. Sungguh hari yang sangat membosankan baginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!