Nayla seorang gadis lugu nan polos harus bertemu dengan Gion sang kasanova dengan sejuta keagungan yang ada lewat sebuah peristiwa memalukan yang membuat ia selalu menghindarinya.
Namun sialnya Gion adalah Presdir ditempat ia magang yang membuatnya harus bertemu setiap hari dengan orang yang dia benci.
Apalagi saat Gion beranggapan jika Nayla itu takdirnya dan akan melakukan apa saja agar Nayla jatuh cinta padanya.
"Untuk mendapatkan cinta aku itu tidak mudah, ada syaratnya?" kata Nayla.
"Apa syaratnya? Katakan pada ku? Aku akan berikan apa pun yang kamu minta, asal kamu bisa mencintai ku dan selamanya bersama ku." Pinta Gion.
Nayla tersenyum licik ke arah Gion yang ada di depannya.
"Jika kamu bisa menimbun Selat sudah dan membuat lapangan kaki disana? Aku akan mencintai mu dan selalu berada di sisih mu. Apakah kamu sanggup memenuhi syarat ku?" Tantang Nayla pada Gion.
******
Selamat membaca
Dua orang gadis sedang duduk di sebuah kantin salah satu kampus ternama di Indonesia. Keduanya saling diam dengan posisi yang sama kedua tangan berada di atas meja menopang dagu mereka.
Tampangnya menjelaskan kalau keduanya tengah setres berat, padahal saat ini kuliah sedang libur semester, namun kedua gadis itu masih juga berkunjung ke kampus dengan wajah kusut.
Keduanya menghela nafas kasar, mencoba melepaskan beban yang sedang dipikul bersama udara yang dikeluarkan lewat mulut mungil mereka, mengharap sesuatu yang baik akan terjadi setelahnya.
Sedangkan Smart Phone mereka tergeletak begitu saja di atas meja, tampaknya kedua gadis itu tidak berniat lagi menyentuh benda pipih yang sedari tadi mereka mainkan.
“Elo apaan?” tanya seorang gadis cantik dengan rambut kuncir ala ekor kuda yang biasa dipanggil Nayla pada sahabatnya.
Gadis yang bernama Faya menatapnya dengan malas, “Emak minta kiriman duit, Bapak lagi sakit.” Dia menjelaskan masalah yang dihadapinya. “Elo sendiri apaan?” gadis manis dengan rambut ekor kuda itu balik bertanya pada Nayla yang duduk di depannya.
“Ibu belum bisa kirim uang, soalnya gaji bapak dipakai buat daftar SMA Aldi juga berobat nenek," Jawabnya sedih.
“Terus?”
Gadis yang bernama Nayla mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu, kemudian ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja,
pasrah. Beberapa menit kemudian ia mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Faya, “Elo sendiri gimana?” ia balik bertanya kepada sahabatnya.
“Sama, kagak tahu juga," Jawab Faya sambil menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, memikirkan cara untuk memecahkan masalah yang mereka alami.
“Gimana caranya gue bisa bayar kost dan kuliah ya?” Nayla mencoba mengungkapkan apa yang terlintas di kepalanya, bingung.
“Entah lah, gue juga bingung gimana caranya bisa dapat banyak uang untuk dikirim ke rumah.”
Keduanya mengangkat kepala dan menghela nafas berat.
“Susah ya hidup jadi orang miskin, mau ngapain saja mesti pusing dulu," ujar Faya sambil mengacak rambut kuncir kudanya yang membuat jadi berantakan.
Nayla mengangguk, setuju dengan apa yang diucapkan sahabatnya.
“Gimana kalau gue kerja saja Fay?” Tanya Nayla pada Faya
“Ide bagus tuh Nay, emang elo mau kerja apa?” tanya Faya antusias.
Nayla terdiam, ia bingung harus menjawab apa, karena memang tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untuknya. Ia juga tidak memiliki keahlian khusus, terlebih memang tidak pernah bekerja sebelumnya, “Belum tahu Fay, kira-kira kerjaan apa ya yang cocok buat gue?” Nayla balik tanya, “Entar deh gue pikirin dulu, nanti bantuin cari kerja ya Fay?” pinta Nayla.
“Heem," jawab Faya sambil mengangguk setuju dengan permintaan temannya.
“Kerjaan yang enak, yang tidak capek, terus gajinya banyak ya?” Pinta Nayla mengajukan syarat.
“Heem,” jawab Faya lagi. Aneh-aneh saja nih anak mana ada kerja enak yang gajinya banyak, pikir Faya namun dia enggan merusak mood Nayla yang sudah berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Lalu keduanya saling bertatapan dan terkikik geli melihat tampang kusut satu sama lain. Kemudian kedua gadis itu bangkit dan meninggalkan kantin yang sudah mereka singgahi sedari tadi.
*
*
*
*
Faya dan Nayla, kedua bersahabat kini sedang berada di kamar kost Nayla. Faya sedang tiduran di sofa, sambil sebelah tangannya memainkan remot TV yang tengah menyala. Memindahkan dari chanel yang satu ke chanel yang lain sesuai yang dia mau. Sedang pemilik kamar tengah duduk di lantai dengan tumpukan baju yang menggunung.
“Elo sudah bilang sama Farel mengenai situasi elo saat ini?” tanya Faya pada Nayla yang sedang menyetrika baju di depannya.
Nayla menggeleng.
“Kenapa? Siapa tahu dia bisa bantu?”
“Elo kan tahu, hubungan gue sama Farel gak sebaik dahulu lagi, setelah merayakan satu bulan kita jadian, sampai sekarang dia selalu menghindari gue. Tidak tahu apa salah gue, tapi setiap gue telpon dia selalu bilang kalau lagi sibuk dan kalau gue ajak ketemuan juga kagak bisa, katanya dia lagi sibuk lah, ini lah, itu lah, entah sibuk apa dia itu. Heran gue!”
“Emang kalian ada masalah?”
“Tidak?”
“Berantem?”
“Gak juga,” Nayla menggeleng,
“Sejauh ini kita baik-baik saja, cuma kagak tahu kenapa tuh si Farel tiba-tiba berubah. Seolah menghindar dan menjauh dari gue. Bahkan sudah lama gue tidak ketemu dia. Terakhir gue lihat dia, pas kemarin saat kita habis UAS. Setelah itu kagak ada kabar sama sekali. Jadi bagaimana gue mau cerita tentang kondisi gue sama dia. Dia juga kagak pernah nongol.”
Faya mengangguk, seolah dia paham dengan situasi Nayla saat ini.
“Mungkin dia bosan Fay pacaran sama gue? Elo sendiri kan tahu gue kalau pacaran kagak aneh-aneh, paling banter cuma pegang tangan dan gandengan doang. Jadi mungkin dia merasa bosan pacaran sama gue. Pengen putus tapi tidak tega. Takut gue sedih, makanya dia mengantungkan hubungan ini begitu saja. Menunggu saat gue mutusin dia.”
“Lalu? Apa elo ada rencana buat mutusin dia?” tanya Faya sambil duduk di sofa
“Gue juga gak tahu? Kalau menurut elo, gue harus bagaiman? Gue yang putusin Farel atau nunggu dia yang mutusin gue?” Nayla balik bertanya pada Faya.
“Gue juga gak tahu, tapi saran gue sih elo tunggu saja, siapa tahu saat ini Farel memeng beneran sibuk dan gak bisa ketemu sama elo. Takutnya kalau elo ngambil keputusan langsung mutusin dia tanpa tahu situasi yang sebenarnya terjadi, nanti bisa timbul salah paham.”
Nayla mengangguk setuju dengan apa yang baru saja diucapkan Faya. Ia memang tidak tahu apa yang terjadi pada Farel saat ini, jadi ada bagusnya jika Nayla menunggu keputusan Farel terlebih dahulu, toh meskipun jarang bertemu Farel masih menelponya sekedar untuk bertanya kabar meski itu sekali dalam seminggu.
“Jadi gimana?” tanya Nayla pada Faya, seraya menatap wajah sahabatnya.
“Gimana apa nya?” Faya balik tanya.
“Pekerjaan buat gue? Sudah dapat belum?”
Faya menggeleng, “Belum, di tempat gue kagak ada lowongan Nay. Kemarin gue sudah tanya sama bos dan saat ini dia belum membutuhkan karyawan baru. Coba nanti gue tanyakan ke teman-teman yang lain siap tahu ada yang butuh karyawan."
Nayla meng ‘iya kan’ kata-kata Faya. Bagi Nayla tidak harus mendapat gaji banyak dalam bekerja yang penting ada penghasilan tambahan karena orang tua juga belum tahu kapan akan kirim uang.
Mengingat orang tuanya yang saat ini tengah kesulitan, tentu tidak tega jika Nayla harus melaporkan kepada mereka kalau duit sakunya hampir habis.
Tapi nyatanya mencari kerja di Jakarta tidak semudah di kampung. Mungkin karena jumlah penduduk yang padat, sehingga lowongan pekerjaan selalu sulit, meski hanya sekedar menjaga konter atau toko kecil.
Sudah hampir tiga minggu Nayla dibantu Faya memasukan lamaran pekerjaan di daerah sekitar kost, namun tidak ada satu pun yang memberi respon.
Sedang Farel pacarnya, kini sedang sibuk dengan kehidupan pribadinya sendiri, sehingga Nayla merasa tidak enak hati jika harus menceritakan masalah yang menimpanya pada pria itu, apa lagi meminta bantuan untuk mencari kerja. Sedangkan chatnya saja beberapa hari ini tidak dibalas oleh Farel.
Faya menepuk bahu sahabatnya, “Sudah jangan sedih. Gue pasti bantuin elo kok, sampai elo dapat kerjaan," Ujarnya menenangkan, “Jangan biarkan semua ini jadi beban, karena ada banyak jalan menuju Toma,” Faya mencoba menghibur Nayla yang wajahnya sudah berubah menjadi mendung.
“Jika tidak hari ini, kan masih ada hari esok. Yang jelas gue akan menghubungi teman-teman yang lain, minta bantuan mereka buat carikan elo kerjaan, ok!”
Nayla mengangguk setuju.
“Kalau begitu gue mau siap-siap buat kerja dulu ya.” Ujar Faya sambil meninggalkan kamar kost Nayla.
*
*
*
*
Ini ilustrasi sosok Nayla.
Yang nama lengkapnya Nayla Thalita Firliany.
Usianya 21th. Mahasiswi semester enam. Jurusan manajemen, Universitas Indonesia.
Setelah lebih dari dua minggu tidak memberi kabar akhirnya Farel mengubungi Nayla juga. Cowok itu mengatakan jika dia ingin bertemu dengan Nayla karena ada hal penting yang mau dibicarakan.
Kini Nayla sudah menunggu kedatangan Farel di depan kost sedari tadi. Wajahnya nampak cemas. Gadis itu mulai menerka-nerka tentang apa yang akan dikatakan sang pacar. Apakah Farel akan minta putus? Atau mengenalkan wanita lain?
Jika itu sampai terjadi, maka ia tidak akan pernah pacaran lagi. Kalau memang harus menikah, ya nikah saja tidak usah pacaran, pikirnya.
Karena sudah hampir dua minggu ini Nayla merasa gelisah dan hatinya tidak tenang, seolah akan ada kejadian buruk yang kelak menimpanya dan perasaan itu semakin hari kian parah, apalagi saat dirinya sedang menunggu Farel dengan ketidak kepastian seperti saat ini, membuat hatinya semakin resah dan gelisah.
“Assalamualaikum nona cantik!” Suara seseorang membuyarkan lamunannya, “Ngelamunin apa sih kok tampaknya serius banget, sampai kagak denger aku panggil?” tanyanya lagi.
Nayla tersenyum senang melihat siapa yang menyapanya, “Ngelamunin siapa lagi, kalau bukan pacar aku yang molornya kayak karet ban,” Jawab gadis itu dengan kebahagian terpancar jelas di wajahnya, melihat kedatangan orang yang sedari tadi ia tunggu.
“Maaf, tadi ada urusan sebentar jadi agak terlambat. Maaf ya?” pinta sang cowok. Seperti biasa dengan sikap yang manis dan baik. “Sebagai permintaan maaf ku kali ini, aku punya hadiah buat kamu,” Farel menyerahkan sebatang mawar merah berhiaskan pita merah kepada Nayla.
Nayla menerimanya dengan senang hati, “Kok cuma satu bunganya?” protesnya lagi.
Farel membisikan sesuatu ke telinganya, “Karena harganya mahal, kalau aku beli banyak-banyak takut nanti uang ku gak cukup buat beli makan malam kita berdua," ujarnya sambil nyengir.
“Dasar pelit!” Nayla memukul bahu Farel dengan bunga yang ia pegang.
“Yuk, kita pergi! Aku sudah lapar nih!” pinta Nayla sambil memegangi perutnya.
“Emang kamu belum makan?” tanya Farel tampak cemas.
“Belum, kan katanya kamu mau traktir aku makan enak, jadi aku nunggu traktiran kamu dong biar bisa makan banyak," jujur Nayla tanpa malu.
“Dasar, kamu memang gak bisa lihat aku punya uang banyak," Farel menyentil hidung Nayla gemas.
Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan halaman kost Nayla dengan motor Vixion kesayangan Farel.
*
*
“Memang kita mau kemana Rel?” tanya Nayla sambil memeluk erat tubuh Farel guna menghalau dingin yang mulai menyusup dibalik jaket jins miliknya.
“Ada deh, kalau aku kasih tahu nanti tidak surprise dong.”
“Pakai rahasia segala sih kamu. Kayak orang aja.”
"Kan biar romantis dikit."
"Ya deh, aku ngikut."
Farel terkikik mendengar kepasrahan Nayla.
*
*
Setelah lebih dari empat puluh menit mereka berkendara menerobos padatnya kota metropolitan, kini Farel membelokan motornya pada sebuah Cafe yang tidak pernah mereka kunjungi sebelumnya. 'BRIAN CAFE & RESTO' itu tulisan yang tertera pada sebuah papan nama berbentuk segi panjang dengan kelilingi oleh lampu warna warni.
“Farel ngapain kita kesini? Bukanya kita mau makan malam ya?” Tanya Nayla yang mengikuti Farel dari belakang, sambil lihat kiri kanan takut jika ada orang yang menuduh mereka akan mencuri.
“Iya, memang.”
“Tapi cafe ini kan tutup?” tanyanya karena melihat cafe di depan mereka yang menampilkan tulisan Close pada pintunya.
“Ya gak masalah, kalau tutup malah bagus, kita bisa berduaan, gak ada yang menganggu,” jawab Farel sambil mengerlingkan matanya genit.
Dan sebuah cubitan mulus mendarat di punggung cowok itu, sampai dia meringis kesakitan, “Ganjen amat sih jadi cowok,” Omel Nayla.
“Sudah ah, yuk masuk!” Pinta Farel sambil mengandeng tangan Nayla menuju pintu masuk.
Farel mendorong pintu kaca yang tampak gelap itu dan mempersilahkan dirinya masuk kedalam.
Ketika meraka berdua sudah masuk, tiba-tiba seseorang keluar dari arah dalam dengan sebuah kue yang berhiaskan lilin kecil yang tengah menyala di atasnya, sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang di iringi dengan dentingan piano, entah dari mana asal alunan itu karena semua tampak gelap.
“SELAMAT ULANG TAHUN NAYLA!!!” ujar seorang cewek dengan wajah tertutup topeng sambil memengang kue yang kini sudah berdiri di depannya.
Nayla tampak terkejut, dengan buru-buru ia meniup lilin kecil itu lalu,
'Byyaaarrr.... ' lampu menyala terang, dan
'Cetak'
'Cetak'
'Cetak'
Beberapa orang menembaki dirinya dengan kembang api kertas warna warni yang membuat ia terkejut sekaligus terharu. Nayla melihat sekelilingnya. Ternyata teman-teman sekampus dan juga anak kost yang lain sudah ada di cafe itu.
Pantas saja mereka tidak banyak komen saay dirinya membatalkan acara makan malam bersama anak kost, karena mereka sudah mendapat undangan secara pribadi dari Farel.
Ini adalah pesta ulang tahun pertama bagi Nayla. Karena biasanya jika ultah, ia hanya akan merayakan dengan makan-makanan bersama keluarga dan teman dekatnya saja tidak pernah sampai membuat party.
“Ok temen-temen semua, karena sekarang acara ulang tahun pacar gue yang cantik ini, jadi semua tamu yang datang boleh makan dan minum sepuas kalian secara gratis.
Jika kalian butuh sesuatu, silahkan langsung pesen saja sendiri. Kalau ada yang main game atau bilyard bisa datang ke lantai atas, dan jika kalian mau nongkrong atau ngobrol-ngobrol, silahkan datang ke belakang cafe. Disana kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari," Farel memberi instruksi kepada pengunjung dan para tamu undangan yang sebagian besar adalah teman-teman mereka berdua.
“Ok!!” jawab mereka kompak sambil mengacungkan jempol.
Setelah itu, Farel mengandeng tangan Nayla, “Yuk say kita juga makan! Katanya kamu sudah lapar.”
“Tunggu! Farel!” Nayla menahan tangan pria itu untuk berhenti sebentar.
“Ada apa?” Tanya Farel ketika tahu Nayla tampak mencari sesuatu.
“Faya, apa dia tidak datang? Atau tidak kamu undang?” Tanya Nayla.
“Faya?”
Nayla mengaguk, “Iya.”
“Bukanya dia yang ngasih kue ke kamu tadi ya?” tanya Farel pada Nayla.
“Masak iya sih?” Nayla tidak percaya.
“Emang kamu tidak tahu, kalau yang nyuruh kamu tiup lilin dan potong kue itu Faya?”
“Tidak.”
“Duh Nayla, tapaknya pacar ku ini beneran sudah lapar sampai tidak bisa ngenalin sahabatnya sendiri," Goda Farel, sambil mengacak rambut Nayla.
“Sudah ah, yuk! Kita makan dulu, nanti kamu keburu pingsan kalau lama-lama berdiri di sini,” ajak Farel sambil mengandeng tangan Nayla untuk menuju ke halaman belakang. Mereka berdua menuju sebuah meja yang sudah dia siapkan terpisah dari tempat pesta.
Nayla mengamati seluruh isi meja itu, yang semua menu favoritnya, “Aku boleh makan ini semua?”
“Yes. Gimana, suka gak?”
“Tak usah di tanya. Aku suka banget!” jawabnya dengan semangat empat lima, girang layaknya anak kecil dikasih balon.
“Cicipi dong! ini semua aku yang masak loh, khusus untuk kamu?”
“Beneran?” mata Nayla berbinar, dengan senyum lebar. Namun seketika senyumnya menghilang karena setahu Nayla, Farel tidak bisa masak. Pasti bohong.
“Hemm... enak banget,” ujarnya sambil mengacungkan jempol, "Bumbunya pas, pedasnya juga pas," kata gadis itu, ketika ia mencicipi sepotong udang balado bikinan Farel.
“Ok, kalau begitu silahkan menikmati makan malamnya tuan putri!” perintah Farel sambil menarik sebuah kursi dan meminta Nayla duduk.
"Aku masih tidak percaya kalau kamu bisa masak beginian?" Tanyanya tak terlalu yakin.
“Kenapa?”
"Karena kamu kan memang gak bisa masak."
"Hehehe... Aku delivery.”
“Nah kan, berarti kamu bohong sama aku.”
“Duh Nayla, apa susahnya sih ngasih pujian kalau aku ini memang sosok cowok yang sempurna.”
“Iya deh. Makasih ya Farel ku sayang, karena sudah bikin pesta dan makan malam sepesial untuk ku,” tutur Nayla tulus.
Farel tersenyum, “Kok kayak gak ikhlas gitu ya ngomongnya.”
“Hehehe, gak kok, aku beneran ikhlas juga penuh ketulusan.”
“Kalau gitu boleh dong, sebagai balasannya nanti aku dikasih sun pipi sini," Ujar Farel sambil menunjuk pipi kanannya.
Nayla manyun, “Tuh kan, Malasnya aku ngasih pujian ya gitu, ujung-ujungnya ngelunjak minta lebih.”
“Hehehehe... namanya juga cowok normal, wajar lah.”
"Iya deh, yang sekarang sudah jadi cowok normal, makanya kalau pacaran minta cium segala," Goda Nayla, "padahal kemarin-kemarin janjinya kalau pacaran gak mau yang aneh-aneh, eh.... sekarang malah minta cium segala," Sindirnya lagi.
Farel terkekeh mendengarnya.
"Oh ya, makasih ya udah bikin pesta buat aku. Untuk semua ini, pasti kamu mesti ngeluarin banyak uang,” tutur Nayla sedih.
Farel menghentikan aksi makanya, lalu kedua tangannya menggenggam jemari Nayla, “Aku yang harusnya makasih karena kamu udah mau jadi pacar aku.
Kamu tahu kan, bagiamana senangnya aku saat kamu bilang mau jadi pacarku. Kamu bisa menerima aku apa adanya, dengan berbagai prinsip hidup yang di terapkan oleh keluarga ku, itu saja sudah membuat aku sangat bersyukur. Bisa menemukan sosok gadis seperti kamu. Dan semua yang aku lakukan ini, seolah tidak cukup untuk melukiskan betapa beruntungnya aku bisa memiliki kamu.”
“Tapi Farel.”
“shett, aku sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari Nayla, dan aku sudah menabung untuk semua ini dari beberapa bulan yang lalu. Bahkan aku sampai kerja sampingan juga. Jadi aku minta kamu tidak usah sungkan menerima semua ini.”
“Jadi, selama ini kamu menjauhi aku karena kamu kerja sampingan?” Suara Nayla meninggi tanda ia terkejut.
“Maksud kamu?”
“Maksud aku, beberapa bulan ini kamu kerja gitu?”
Farel mengaguk, “Kok malah nangis Nay?” tanyanya ketika dia melihat Nayla menangis.
Buru-buru dihapusnya air mata itu, “Kenapa kamu menangis gini? Kamu tidak suka aku kerja?”
Nayla menggeleng, “Aku pikir, kamu menghindari ku karena sudah bosan pacaran sama aku dan ingin kita putus. Aku gak tahu harus gimana saat kamu bilang sibuk, selalu bilang ada urusan. Karena itu, aku menyiapkan hati ku, jika sewaktu-waktu kamu bilang putus dan ingin mengakhiri hubungan kita,” Tangis Nayla makin kenceng. Air matanya tak terkontrol, karena ia sudah berfikir bodoh tentang pacarnya.
Membuat Farel harus memeluk Nayla guna memenangkan kekasihnya yang sedang sedih.
“Kamu tahu kan, kalau ini pertama kalinya aku pacaran. Jadi aku gak tahu harus gimana saat kamu tiba-tiba menjauh dari ku?” Nayla menjelaskan.
“Maaf. Maaf, karena aku sudah kelewatan selama ini. Aku hanya terfokus menyiapkan suprise buat kamu sampai gak memikirkan perasaaan mu. Sehingga gak tahu kalau selama ini aku udah bikin kamu jadi sedih. Maaf ya?”
Nayla mengangguk.
“Udah, nangisnya?”
Nayla mengangguk lagi.
“Kalau sudah lanjutkan makanya, kan aku udah siapkan makanan segini banyaknya khusus untuk kamu.”
Kini Farel sudah kembali duduk di kursinya semula.
“Oh ya Nay, aku punya sesuatu buat kamu,” Ujar Farel sambil mengeluarkan sebuah kotak dari bawah meja lalu menyerahkan kepada Nayla.
“Apaan ini?”
“Buka dong, itu hadiah buat kamu.”
Nayla membuka kotak berwarna pink di depannya dan melihat isinya, “Ya Allah Farel! ini kan sepatu yang kita lihat waktu di mall dulu.” Nayla histeris, ketika melihat sepatu yang ia taksir kini ada di depan mata.
Saat itu mereka baru selesai nonton bioskop dan Nayla meminta Farel menemaninya untuk membeli sepatu, namun ketika melihat sepatu yang ia taksir ternyata uangnya tidak cukup karena itu ia gagal beli.
Rencana Nayla menunggu barang KW nya saja, biar harganya bisa lebih murah.
“Farel, maksih ya....” ujar Nayla tersenyum senang, “Cinta ku jadi bertambah deh sama kamu, kalau lihat sepatu yang bagus gini ada di depan mata.”
“Dasar cewek matre,” komen Farel sambil berdiri lalu menjitak kepala Nayla yang ada di depannya.
Kemudian keduanya terkekeh bahagia.
*****
ilustrasi tentang sosok Farel (Nayla boyfriend)
Nama Farel Faiz Diningrat
Usia 22th. Mahasiswa semester enam. Jurusan manajemen, Universitas Indonesia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!