NovelToon NovelToon

My Enemy Is My Soulmate

Nazar

Matahari sudah berada di puncak singgasananya, sinar teriknya bagaikan pemanggang yang tak ada ujungnya.

Di ujung sebuah restoran berbintang lima, duduklah sepasang suami istri yang berdampingan, tempat duduk mereka adalah tempat yang paling mahal di restoran itu, bukan kursi atau meja mereka yang membuatnya mahal, namun spot pemandangan yang disuguhkan lah yang membuat kursi mereka mahal.

Terlihat, sang suami sedang mengelus perut istrinya yang sudah buncit hamil empat bulan. Sang istri terus tersenyum dan tertawa kecil karena bayi di perutnya terus menendang saat sang suami mengelus perutnya.

Di atas meja mereka masih kosong tidak ada makanan ataupun minuman, padahal mereka sudah duduk di sana sekitar sepuluh menit lebih, sesekali sang suami melihat jam di pergelangan tangannya.

"Apa mereka lupa dengan janji kita hari, ini, Pah?" tanya sang istri dengan wajah cemas.

Sang suami mengelus punggung tangan istrinya, "Itu tidak mungkin, Mah. Hanya saja, kita yang terlalu awal datangnya," jelas sang suami, "Sepuluh menit lagi adalah jam janjian kita, dan mereka akan segera sampai, kamu yang sabar, ya, Mah," ucap sang suami sambil mengelus rambut halus istrinya.

Sang istri mengangguk mendengar penjelasan suaminya, "Iya, Pah."

Mereka berdua melanjutkan perbincangan hangat, semua pengunjung restoran bisa memastikan jika pasangan itu memiliki hubungan yang selalu harmonis dan bahagia, apalagi sang istri yang tidak lama lagi akan segera melahirkan buah cinta mereka.

Lima menit berlalu dengan cepat, dari pintu masuk restoran masuklah sepasang suami istri dengan seorang bayi laki-laki di gendongan sang istri.

Pasangan yang baru datang itu langsung mengerti di mana tempat duduk mereka karena lambaian tangan seseorang. Mereka bergegas menuju orang yang melambaikan tangan.

"Sorry, ya, Hen. Tadi macet banget, jalannya," ucap laki-laki yang baru datang sambil menarik kan kursi untuk istrinya, lalu dia menarik kursi untuk dirinya sendiri.

Sang suami yang sudah datang lebih awal adalah Hendri Yudistira, seorang pengusaha di bidang kuliner dan memiliki perusahaan turun menurun dari keluarganya. Ia di dampingi sang istri yang sedang hamil empat bulan, namanya Mitha Arambana, seorang ibu rumah tangga biasa di rumah megah suaminya.

Hendri tersenyum pada pasangan itu, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, "Tidak masalah, Yog. Aku dan Mitha juga baru sampai," balas Hendri dengan senyum yang tak pudar.

Seorang laki-laki yang baru datang adalah Yoga Wibawa, satu-satunya owner di perusahaan Wibawa, dia adalah generasi ketiga setelah menggantikan posisi ayahnya yang sudah tiada.

Dia datang bersama istrinya yang sudah melahirkan anak pertama mereka lima bulan yang lalu, namanya Putri Lestari, seorang nyonya besar di keluarga Wibawa.

Tidak lupa seorang bayi tampan di gendongan Putri, bayi tampan itu bernama Candra Wibawa, calon penerus dan generasi keempat di keluarga Wibawa.

"Kenapa kamu belum pesan makanan sama sekali, Hen? Apa kamu tidak kasihan dengan Istrimu? Atau jangan-jangan, kamu tidak mampu membeli seporsi makanan di sini?" tanya Yoga dengan maksud mengejek sahabatnya itu.

"Apa kamu bermaksud mengejekku? Tidak hanya seporsi, lima ratus restoran sekelas, ini, pun aku bisa membelinya," ucap Hendri sambil membenahi rambutnya yang sudah tertata rapi.

Ucapan Hendri membuat Yoga, Putri, dan Mitha tertawa lepas saat itu juga.

Sstt.. "Jangan keras-keras tertawanya, Candra baru mau tidur," ucap Putri setelah dia berhenti tertawa.

"Ya sudah, Kamu suruh Bik Ijah buat jaga Candra," ucap Yoga sambil mengangkat tangannya dan melambai ke seorang wanita di depan restoran.

Wanita yang lebih tua sedikit di atas Yoga datang menghampiri kedua pasangan itu, "Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Bik Ijah yang baru sampai.

"Ini, Bik. Tolong jaga, dan tidurkan Candra, ya, Bik," pinta Putri sambil mengayunkan Candra pelan dan berhati-hati.

Dengan sigap Bik Ijah mendekat ke Putri dan mengambil alih Candra dari gendongan Putri.

"Hati-hati, Bik," ucap Yoga setelah Candra berada di gendongan Bik Ijah.

Bik Ijah mengangguk dengan senyum di bibirnya, "Baik, Tuan."

Setelah itu, Bik Ijah membawa Candra keluar dari restoran. Di luar restoran, ada dua laki-laki berbadan kekar yang di tugaskan untuk menjaga Candra kecil.

Yoga kembali mengangkat tangannya dan melambai, tapi bukan untuk memanggil Bik Ijah ataupun pengawalnya, dia memanggil seorang pelayan untuk datang ke mejanya.

Seorang pelayan dengan cepat memenuhi panggilan Yoga, pelayan itu membungkuk sedikit untuk memberi hormat ke tamu istimewa restoran, "Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu setelah selesai membungkuk.

"Mana daftar menunya?" tanya Yoga sambil menyodorkan tangannya ke pelayan.

Dengan cepat pelayan itu memberikan buku menu restoran dan bersiap untuk mencatat pesanan Yoga dan yang lain.

"Apa ada tambahan lagi, Tuan?" tanya pelayan itu setelah selesai mencatat pesanan kedua pasangan itu.

"Tidak ada," jawab Yoga dengan senyum terpaksa di bibirnya.

"Baik, Tuan. Pesanan anda akan segera kita siapkan, mohon bersabar," ucap pelayan itu lalu pergi setelah mendapat anggukan dari Yoga dan yang lain.

Di sela menunggu pesanan mereka, Yoga membuka pembicaraan, "Hen, bagaimana jika kita membuat nazar?" ucap Yoga yang membuat Hendri dan yang lain bingung.

"Nazar apa, Yog?" tanya kebingungan Hendri dengan maksud temannya itu.

"Gini, jika istrimu, nanti, melahirkan anak perempuan, kita akan menjodohkan anakmu dengan Candra, bagaimana?" jawab Yoga.

Hendri sejenak berpikir, "Ya, kalau anak pertamaku perempuan, kalau anak pertamaku laki-laki bagaimana?" tanya Hendri.

"Ya, nazar kita batal, lah, Hen. Ya, kali, kita nyuruh anak kita jadi gay?" balas enteng Yoga dan disambut tawa oleh Hendri, Mitha dan juga Putri.

Setelah tertawa, Hendri dan yang hening sejenak, "Hen, gimana? Setuju apa tidak?" tanya Yoga, "Sekalian kita niatkan nazar perjodohan, ini, dengan mempererat tali persaudaraan kita," ucap Yoga.

Hendri kembali berpikir, kali ini cukup lama dia berpikir, "Em, kalau aku, sih, setuju dengan usulan mu, itu. Tapi, apa istrimu dan istriku setuju dengan hal, itu?" ucap Hendri sembari menoleh ke Mitha di sampingnya.

Yoga juga menoleh menatap Putri, "Bun, Bunda setuju atau tidak dengan nazar tadi?" tanya Yoga sambil menggenggam tangan lembut istrinya.

Putri ikut menoleh menatap sang suami, "Bunda setuju-setuju saja jika niatnya baik," balas Putri.

"Setuju," timpal Mitha sambil mengelus perut buncitnya.

"Sayang, aku belum bertanya padamu, kenapa sudah ikut-ikutan setuju saja?" tanya Hendri dengan bibir yang sedikit dia manyun kan.

Mitha menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, "Maaf, Pah. Entah kenapa tadi aku jadi semangat seperti, itu," jelas Mitha.

"Tanda-tanda anakmu adalah jodoh anakku, Hen, ini, sepertinya," ucap Yoga dengan tawa mereka semua.

Pada akhirnya, mereka berempat sepakat untuk menjodohkan anak pertama mereka nanti.

Tidak lama setelah itu, dua pelayan dengan meja dorong menghampiri meja mereka. Kedua pelayan itu membawa makanan dan minuman pesanan Yoga dan yang lain.

Setelah pesanan mereka sudah di atas meja semua, mereka mulai menikmati hidangan restoran itu, tidak lupa dengan candaan dan tawa mereka di sela makan siang mereka.

IG: @ahmd.habib_

Jangan lupa like, share, comment dan favorit ya 🤗 dan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mendukung dan mensupport author 🙏😘💙

Calon Mantu

Lima bulan telah berlalu sejak pertemuan yang menghasilkan nazar. Hari ini rumah keluarga Yudistira menjadi lebih riuh dari biasanya, bukan karena ada artis, pejabat atau pengusaha besar yang akan bertamu di rumah besar itu, namun mereka akan segera kedatangan bayi mungil yang sebentar lagi akan lahir.

Di lain tempat, Hendri melihat istrinya yang sedang berjuang untuk melahirkan anak pertama mereka. Dari hasil USG, Dokter menyatakan kalau anak mereka berdua adalah laki-laki.

Sebenarnya, hari ini Mitha melahirkan terlalu cepat dua hari dari perkiraan Dokter, untungnya Hendri dan Mitha sudah menyiapkan keperluan mereka dari awal mau melahirkan sampai nanti setelah anak mereka lahir.

Hendri merasakan perasaan yang campur aduk, antara takut, cemas, khawatir, dan bahagia, semuanya menjadi satu di hatinya.

Tangan Mitha menggenggam erat tangan Hendri, "Arrgghh ...." Mitha mengejan mengikuti instruksi dari Bu Dokter yang membantunya melahirkan..

Hendri mengelus rambut Mitha dan mengeratkan pegangannya dengan Mitha, "Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa !" ucap Hendri menyemangati Mitha.

"Ayo, Nyonya. Terus dorong !" seru Bu Dokter.

Mitha memejamkan matanya dengan napas yang sudah sangat berat, lalu dia menarik napas dan mengejan sekuat tenaganya, "Argghhh ...."

Oekk ... oeek ....

Tangis bayi yang baru saja keluar dari rahim Mitha.

"Selamat, Tuan. Nyonya Mitha melahirkan bayi perempuan yang sangat sehat, dan cantik," ujar Bu Dokter sambil menggendong bayi yang belum ada 5 menit menikmati dunia barunya.

"Terimakasih, Dok," balas Hendri.

"Sayang, kita sudah resmi jadi orangtua !" ucap Hendri dengan mata berbinar bahagianya, dia tidak merasa kecewa sama sekali saat prediksi kalau istrinya akan melahirkan anak laki-laki itu salah.

ucapan Hendri membuat Mitha menangis haru dan bahagia. Melihat istrinya menangis, Hendri langsung memeluk tubuh Mitha.

"Sayang, jangan menangis. Apa aku sudah menyakiti mu?" tanya Hendri.

Mitha menggelengkan kepalanya, "Aku sangat mencintaimu, Suamiku," lirih Mitha di telinga Hendri.

Hendri tersenyum mendengar ucapan istrinya barusan, "Aku lebih-lebih, dan lebih mencintaimu, Sayang," bisik Hendri dengan senyum di bibirnya.

Setelah Mitha sedikit tenang, Hendri melepas pelukannya dan menyeka air mata Mitha yang jatuh membasahi pipinya.

"Apakah kamu sudah punya nama untuk anak kita, Sayang?" tanya Hendri.

Mitha mengangguk sambil menahan tangis bahagianya, "Sudah, Sayang," jawab Mitha. Mitha menyeka air matanya, "Azila," ucap Mitha sambil melihat bayi kecil yang sedang dibersihkan oleh Bu Dokter.

Hendri manggut-manggut setelah mendengar nama putri pertamanya, "Hem. Azila? Nama yang cantik, persis seperti bayi kita, Sayang," balas Hendri sambil mengelus pucuk kepala Mitha.

"Apa kamu suka, dan setuju?" tanya Mitha dengan tatapan penuh harapan ke suaminya.

Senyum Hendri mengembang melihat wajah Mitha, "Itu adalah nama yang bagus, Sayang. Aku sangat menyukai nama, itu," jawab Hendri, "Azila Yudistira," lanjut Hendri sambil mengelus rambut indah milik Mitha.

Bu Dokter datang dengan bayi kecil yang sudah memakai selimut khusus bayi, "Permisi, Tuan, Nyonya. Silahkan Tuan Hendri mengadzani putri kecil anda," ucap Bu Dokter.

Hendri sedikit bergeser saat Bu Dokter akan membaringkan putri kecilnya di samping Mitha. Setelah Bu Dokter mundur, Hendri kembali mendekat ke istri dan anaknya.

Dengan penuh kebahagiaan, Hendri mengadzani Azila kecil. Suara Hendri membuat Mitha kembali menitihkan air matanya.

Setelah selesai mengadzani, Hendri menggendong dan menimang-nimang putri kecilnya.

Melihat wajah putrinya, Hendri teringat akan nazar yang telah diucapkannya bersama Yoga, jika anak pertamanya lahir perempuan, mereka akan menjodohkannya.

≈≈≈

Kabar bahagia tentang kelahiran Azila kecil telah sampai ke telinga Yoga. Kebahagiaan juga merasuki Yoga, apalagi dia mendapatkan kabar kalau anak sahabatnya itu adalah perempuan.

Yoga membuka ponselnya lalu membuka aplikasi sosial media miliknya. Ia memposting foto bayi mungil dan memberi kata-kata 'Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doa dan niat baikku dan sahabatku.'

Setelah membuat postingan tentang bayi, Yoga menelepon istrinya.

Tuutt..

"Halo, Yah. Ada apa?" tanya Putri dari dalam telepon.

"Bun, apa Bunda sudah tahu kalau Mitha sudah melahirkan?" tanya Yoga.

"Sudah, Yah. Kenapa?"

"Ayo, kita jenguk mereka di rumah sakit, Bun," ajak Yoga.

"Jangan sekarang, Yah. Candra lagi rewel, dia tidak mau ditinggal, ini. Nanti malam saja, ya. Setelah Candra tidur, kita berangkat," jawab Putri.

Memang Candra sekarang sedang pilek, dia selalu menangis saat Putri menurunkannya dari gendongan.

Wajah Yoga menjadi sedikit kusut, "Baiklah, Bun. Habis, ini, Ayah pulang, Bunda pasti capek ngurus Candra saat sakit," ucap Yoga.

"Selesaikan dulu pekerjaan mu, kalau sudah, nanti baru pulang," balas Putri, "Sudah dulu, ya, Yah. Bunda tutup dulu, Candra nangis lagi, ini," ucap Putri dan langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa meminta persetujuan dari Yoga dulu.

Yoga melihat ponselnya yang sudah terputus dari panggilan telepon dengan istrinya, "Aish, dimatikan. Ya, sudahlah, aku harus cepat-cepat pulang, kasihan Putri kalau mengurus Candra yang rewel sendirian," gumam Yoga sembari memasukkan teleponnya ke dalam saku jas dan beranjak pergi.

Hari sudah semakin gelap, jam juga sudah menunjukkan pukul enam sore. Yoga dan Putri sudah siap dan akan berangkat ke rumah sakit di mana Mitha melahirkan. Mereka tidak mengajak Candra karena kondisi Candra yang baru saja membaik dan sekarang masih tertidur.

Cukup setengah jam saja mobil yang membawa Yoga dan Putri sudah sampai di parkiran rumah sakit. Mereka berdua bergegas menuju kamar VIP tempat Mitha dan Hendri berada.

Tok tok tok,

Yoga mengetuk pintu kamar bersalin. Kurang dari lima belas detik, pintu tadi terbuka dan keluarlah Hendri di sana, "Oh, kalian, aku kira tadi Presiden yang datang," canda Hendri.

"Ekspetasi mu terlalu tinggi," balas Yoga.

Hendri tertawa kecil mendengar candaan Yoga, "Siapa tahu akan terwujud," balas Hendri, "Sudah, ayo masuk," ucap Hendri mempersilahkan kedua sahabatnya untuk masuk ke kamar persalinan istrinya.

Mereka bertiga sudah sampai di samping ranjang tempat Mitha berbaring, "Di mana putrimu?" tanya Putri ke Mitha.

"Dia sedang di ruang inkubator," jawab Mitha.

Putri menjadi sedikit cemas karena takut terjadi apa-apa ke bayi Mitha, "Ada apa dengan bayimu? Apa dia sakit?" tanya Putri.

"Tenang saja, dia lahir terlalu cepat, karena usia kandunganku kurang dari tiga puluh tujuh Minggu, makanya putriku butuh inkubator, agar dia bisa menyesuaikan suhu di luar rahim," jelas Mitha.

Hati Putri merasa lega setelah mendengar penjelasan Mitha, begitu juga dengan Yoga.

"Oh ya, di mana Candra? Apa kalian tidak mengajaknya?" tanya Hendri.

"Candra masih belum sembuh dari pileknya, sekarang dia masih tidur di rumah," jawab Yoga.

"Apa pileknya parah?" tanya Mitha.

"Tidak, sekarang sudah lebih baik. Dia tertidur karena kelelahan menangis dari tadi pagi," jawab Yoga.

"Syukurlah, kamu harus jaga calon menantu ku baik-baik, jangan sampai dia sakit lagi," ucap Hendri.

"Baik, Tuan Hendri. Dan sebaiknya engkau juga jaga calon mantuku, dan besarkan dia jadi wanita yang sangat cantik, agar Candra tergoda padanya," balas Yoga, dan tawa mereka semua pun pecah.

IG : @ahmd.habib_

Jangan lupa untuk like, comment, share dan favorit ya 🤗 dan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mendukung dan mensupport author 🙏😘💙

Pertengkaran

Waktu berputar begitu cepat, tubuh kecil bayi Azila dan si bayi rewel Candra telah tumbuh besar. Mereka berdua sudah berusia tujuh tahun dan masuk sekolah dasar yang sama.

Hari demi hari mereka lewati, namun mereka hanya saling tahu nama dan tidak pernah bermain bersama, bahkan mereka berdua bisa dibilang tidak pernah saling mengobrol.

Candra yang terlalu acuh dan cuek terhadap cewek, lebih sering bermain bersama laki-laki. Sedangkan Azila, dia tumbuh menjadi cewek yang galak saat ada anak cowok yang mengerjainya ataupun mencoba memainkan dirinya.

Detik terus berdetak, tahun demi tahun mereka lewati tanpa pernah bercakap, sampai mereka menginjak awal kelas enam. Seperti anak pada umumnya, mereka berdua juga berangkat pagi agar mendapat kursi barisan depan.

Walaupun Candra adalah anak laki-laki, dia lebih rajin dari anak-anak perempuan seumurannya, bukan karena dia takut dimarahi bundanya, tetapi dia memiliki obsesi yang besar dan cita-cita yang tinggi.

Saat Candra hendak berangkat, dia merasa kecewa karena ayahnya bangun kesiangan, dia tahu kalau ayahnya kesiangan gara-gara mengurus adik perempuannya yang baru lahir satu Minggu yang lalu, akhirnya Candra dengan wajah cemberut menunggu ayahnya selesai bersiap-siap. Walaupun tidak telat, tapi Candra sudah bisa memastikan kalau dia bakal mendapatkan kursi di deretan paling belakang.

Sedangkan Azila sudah berangkat pagi, dengan semangat paginya, Azila terus bernyanyi selama perjalanannya ke sekolah. Namun saat di tengah perjalanan, tiba-tiba salah satu ban mobil yang mengantarkannya bocor.

Azila hanya pasrah menunggu papahnya yang sedang menemani adiknya yang sedang sakit. Azila sudah memiliki adik yang berusia lima tahun, namanya Abyasa Yudistira, dialah yang akan meneruskan perusahaan dan semua usaha keluarga Yudistira, dan Azila tidak masalah akan semua itu, walaupun dia yang anak pertama.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Papah Hendri sudah sampai di tempat Azila menunggu, tanpa banyak bicara, Azila menyuruh papahnya agar cepat mengantarkannya.

07:00 WIB

Kriingg... kriingg....

Bel tanda masuk telah berbunyi, dan saat itu juga mobil yang mengantarkan Azila dan Candra juga baru sampai di depan gerbang.

Azila langsung turun tanpa berpamitan ke papahnya, sedangkan Candra mencium punggung tangan ayahnya terlebih dahulu dan baru berlalu pergi.

"Woy, Hen !" panggil Yoga yang berhenti tidak jauh dari mobil Hendri.

Hendri menoleh ke arah sumber suara, "Oh, Yog. Anakmu juga telat?" tanya Hendri sembari menghampiri Yoga.

"Iya, tadi aku bangun kesiangan gara-gara putri kecilku yang mulai rewel seperti kakaknya dulu," jawab Yoga.

"Maaf banget, ya, Yog. Aku sama istriku belum bisa jenguk putri kecilmu," ucap Hendri, "Jagoan kecilku lagi sakit," imbuhnya.

"Oh, Yasa lagi sakit, maaf juga, nih, aku sama istriku lagi kewalahan ngurus Dara. Maklum, Putri tidak mau pakai baby sitter seperti dulu," ucap Yoga.

"Tidak apa-apa, cuma sakit ringan," jelas Hendri, dan di jawab anggukan oleh Yoga.

"Kamu mau ke kantor kan? Aku mau pulang dulu, mau cek Yasa ke Dokter," ucap Hendri.

"Oke, titip salam buat Mitha, dan Yasa," ucap Yoga sambil kembali berjalan ke mobilnya, "Oh ya, Hen. Salam juga untuk calon menantu ku yang cantik tadi," imbuh Yoga.

"Oke, nanti akan aku sampaikan," jawab Hendri.

Setelah percakapan itu, Hendri dan Yoga pergi ke arah yang berbeda. Hendri pulang ke rumah, sedangkan Yoga berangkat ke kantornya.

≈≈≈

Di depan kelas, Azila berlari sekuat tenaganya karena sudah terlambat. Dari belakang Candra berlari dengan lebih cepat dari Azila. Saat sampai di depan pintu kelas, keduanya sampai bersamaan.

Mata mereka berdua langsung tertuju pada satu kursi yang masih kosong di deretan kedua dari depan, dengan cepat mereka berdua berlari dan berebutan kursi itu.

"Hei, cewek kurcaci, minggir sana, aku datang lebih awal dari kamu," ucap Candra.

Pada saat itu memang Azila yang paling kecil di kelas, dan hanya Candra saja yang berani manggil Azila dengan sebutan kurcaci.

"Apaan, jelas-jelas aku datang lebih dulu," balas Azila yang tak mau kalah.

"Yang masuk kelas, ini, duluan, itu, aku." Candra masih ngotot.

"Dasar, cowok batu, tidak punya perasaan kasihan ke cewek," dengus kesal Azila.

Dari luar kelas, Guru yang ditugaskan menjadi wali kelas mereka telah datang.

"Ada apa, ini, kenapa kalian berdua bertengkar?" tanya Ibu Guru yang baru masuk ke kelas.

"Ini, Bu. Si cowok batu tidak mau mengalah sama cewek," jawab Azila sambil menunjuk ke Candra.

"Candra, kenapa tidak memberi tempat duduknya ke Azila?" tanya Ibu Guru ke Candra.

"Kenapa aku harus memberi tempat dudukku ke cewek kurcaci, ini, Bu? Aku datang lebih dulu dari dia, Bu," jawab Candra membela dirinya.

"Candra, dengarkan Ibu. Candra adalah anak laki-laki, dan Azila anak perempuan. Jadi, Candra harus mengalah. Oke, Sayang. Candra kan anak pintar," tutur Ibu Guru ke Candra.

Mendengar perkataan Ibu Guru, Candra memasang wajah kesalnya, sedangkan Azila tertawa cekikikan.

"Sudah, berhenti bertengkarnya, karena kalian tadi ribut di kelas. Sekarang kalian berdua ibu hukum, berdiri di depan sampai kursi, dan meja tambahan diantar, ke sini," ucap Ibu Guru sambil mengangkat jari telunjuknya di depan muka.

"Apa ..!" teriak Azila dan Candra secara bersamaan.

"Sudah, cepat laksanakan. Murid yang baik tidak boleh membantah perintah gurunya," ucap Ibu Guru dengan senyum ramah.

Dengan muka lesu, mereka berdua berjalan maju ke depan dengan diiringi suara tawa teman sekelas mereka, lalu Azila dan Candra berdiri sampai kursi dan meja tambahan datang.

Azila mendengus kesal dalam hatinya, "Awas saja kamu, cowok batu. Sampai kapanpun, aku tidak anan mau bertemen sama dia."

Sambil membuang muka, Candra mengerutkan dahinya, "Dasar, cewek aneh. Enggak bakal mau aku kalau punya temen kayak dia," gerutu Candra dalam hatinya.

Sejak pertengkaran kecil itu, Candra dan Azila mengibarkan bendera perang, lebih tepatnya perang dingin. Mereka berdua tidak pernah saling sapa, saling pandang, ataupun saling lirik.

Mereka berdua menganggap tidak ada satu sama lain, Candra menganggap Azila tidak pernah ada di dunia ini, begitupun sebaliknya.

Setelah lulus SD, mereka dimasukkan ke SMP yang sama oleh kedua orangtua mereka. Perang dingin terus berlanjut sampai mereka lulus SMP. Saat masuk SMA, mereka berdua seperti orang asing yang tidak ingin saling kenal. Pada akhirnya, mereka berdua juga masih sama di satu universitas dan satu fakultas, walaupun beda jurusan.

Dua tahun telah berlalu sejak mereka lulus kuliah, mereka berdua sudah tidak pernah bertemu lagi sejak saat itu, dan sekarang mereka sudah masuk ke dunia kerja.

Azila dan Candra mulai membantu Papah dan Ayah mereka di perusahaan keluarga mereka masing-masing. Candra juga sudah mulai disibukkan oleh pekerjaan kantor, karena dia akan segera mewarisi perusahaan keluarga Wibawa tersebut. Sedangkan Azila hanya membantu papahnya, karena yang akan mewarisi perusahaan keluarga Yudistira adalah adiknya, yaitu Abyasa Yudistira.

Candra sudah berbeda dengan dulu, dia lebih penyayang walaupun sangat cuek. Saat melihat Azila, dia tersenyum, entah apa arti senyum itu, yang pasti dia masih asing dengan orang yang bernama Azila Yudistira.

Di lain sisi, Hendri dan Yoga merasa kalau rencana pendekatan Azila dan Candra berhasil, namun hasil yang sebenarnya adalah permusuhan di antara kedua anak mereka.

IG : @ahmd.habib_

Jangan lupa untuk like, comment, share dan favorit ya 🤗 dan terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mendukung dan mensupport author 🙏😘💙

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!