NovelToon NovelToon

Ibu Untuk Tuan Muda

Welcome baby El

Mohon maaf jika masih banyak typo dan kalimat yang tidak sesuai, novel ini masih proses editing.

Happy Reading

💐💐💐💐💐💐💐

"Sssshhh ... Sakit sekali," rintih Metta merasakan perutnya semakin kencang. Kontraksi yang awalnya 10 menit kini bertambah. 5 menit, lalu 3 menit dan setiap menit.

"Sabar, Sayang, kamu pasti kuat untuk bayi kita," ucap Henry. Ia terus mengusap peluh sang istri sambil sesekali mengecup lembut keningya.

"Arrrrghhh ... Saaaakiiittt ...." erangnya lagi. Rasa sakit itu semakin intens.

"Iya sayang kamu boleh lakukan apa pun untuk mengurangi rasa sakit yang kamu rasakan."

"Dokter tolong! Kenapa istriku kesakitan kalian diam saja," sentak Henry. Ia sangat marah mengetahui istrinya kesakitan ia pun merasakan sakit yang sama.

"Baiklah, saya cek sebentar," ucap dokter.

"Sekarang sudah pembukaan 10. Nyonya boleh mengejan ketika bayinya merangsang."

"Arrrrghh ... SShhhh ...."

"Mettaaaaaaa... Saaaayangg ...." teriak Henry panik.

Metta kehilangan kesadarannya, Henry juga panik melihat kondisi Metta dengan mata terpejam.

"Cepat persiapkan alat operasi. Tuan mohon kerjasamanya. Silakan tunggu di luar." Dokter dibantu suster segera mempersiapkan semua keperluan operasi dengan cekatan.

"Kamu menyuruhku keluar? Kamu tidak lihat istriku sekarat, hah!" Henry menarik kerah baju dokter Alvin. Dia sangat kalut dan takut melihat istrinya.

"Kalau mau istri dan anakmu selamat tolong keluar. Saya mau kerja," sentak Dokter Alvin. Ia melupakan bos dan bawahan, saat ini nyawa ibu dan bayi yang utama.

Henry diseret keluar oleh asisten dokter dan pengawal yang berjaga. Dia berusaha melawan tetapi tenaganya kalah. Di  luar Nyonya Amel sudah menangis, ia langsung memeluk putranya.

"Tolong jangan seperti ini. Biarkan dokter yang menangani." Ia memeluk erat putranya, memberikan dukungan agar tetap tenang.

"Hiks ... hiks .... "

"Metta ... Sayaaang kamu harus bangun!"

"Kamu sudah janji, kita akan merawat anak kita bersama. Sayang bangunlah!" Henry terus meraung memanggil nama istrinya. Sangat menyayat hati. Mereka berpelukkan, saling menguatkan.

Tak lama terdengar suara bayi menangis. Seketika suasana menjadi berubah. "Mom, anakku sudah lahir," ucap Henry dengan wajah berbinar, ia beranjak dari duduknya.

"Iya. Itu suara uucuku." Tampak raut wajah bahagia dari Henry dan Nyonya Amel serta semua yang ada di sana.

"Terima kasih, Sayang. Terima kasih kau sudah memberiku kebahagiaan yang tiada habisnya." Henry berucap syukur. Sekarang ia telah menjadi seorang ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan Metta--sang istri.

Pintu ruang operasi dibuka. Nampaklah Dokter Alvin bersama seorang perawat menggedong bayi.

"Selamat, Tuan Henry. Bayi Anda laki- laki, ia sangat sehat dan tampan." Dokter Alvin mengulurkan tangan, memberikan selamat dan disambut hangat oleh Henry.

"Ah ya, bolehkan aku menggendongnya?" ucap Henry. Ia tak sabar untuk menimang putra tampannya.

"Silakan, Tuan." Perawat wanita itu memberikan bayi yang ada dalam gendongannya.

"Welcome my baby boy," ucap Henry seraya mengecup wajah mungil duplikat dirinya sewaktu kecil.

"Cucuku."

"Bawa sini biar aku gendong," ucap nyonya Amel.

"Berikan padaku." Tuan besar pun tak kalah antusias memnyambut cucu pertama mereka.

"Bagaimana kondisi Metta, Dok?" tanya Nyonya Amel seraya menggendong cucu tampan.

"Saat ini Nyonya Metta masih belum sadarkan diri. Kita bisa bicara di ruangan, saya jelaskan."

Mereka bertiga mengikuti Dokter Alvin. Sebelumnya memberikan bayi itu kepada suster untuk dibawa ke ruangan bayi.

"Tuan dan nyonya, sebenarnya ada hal yang harus saya sampaikan." Dokter Alvin menghela napas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kodisi Nyonya Metta saat ini tidak baik-baik saja. Dia meminta saya merahasiakan hal ini dari semua orang, tapi saat ini saya harus berkata jujur." Nyonya dan Tuan Besar saling melempar pandangan.

"Nyonya Metta mengalami gangguan pada ginjalnya. Dan itu baru diketahui pada kehamilannya saat usia 20 minggu--"

"Apa? Mengapa kamu tidak memberitahuku? Hal sepenting ini kamu bisa sembunyikan dariku. Apa kamu sudah tidak ingin bekerja lagi, hah?" Henry sangat marah. Ia menggebrak meja dengan kerasnya. Nyonya Amel terus menangis dipelukkan suaminya.

"Tolong jangan seperti ini, kita biarkan dia bicara," ucap Nyonya Amel. Henry kembali duduk dengan muka merah padam menahan amarah.

"Saya sudah sampaikan kepada Nyonya Metta. Bahwa dia harus menggugurkan kandungannya. Demi menyelamatkan nyawanya. Namun dia bersikeras ingin melanjutkan kehamilannya. Walaupun nyawanya sendiri yang menjadi taruhan. Karena bayi ini sudah lama dinantikan kehadirannya."

"Saya berniat memberitahukan hal ini kepada Tuan Henry, tetapi Nyonya Metta melarang saya. Dia mengancam saya dan terpaksa harus menuruti keinginan Nyonya Metta saat itu."

"Apa tidak ada jalan lain selain mengorbankan salah satunya?" ucap Tuan Abimanyu--suami Nyonya Amel.

"Maaf, Tuan. Keadaan Nyonya Metta sudah stadium akhir. Dan saat ini hanya dukungan dan doa dari keluarga yang bisa menyelamatkannya."

Suasana kembali berduka. Nyonya Amel terus menangis di samping putri mantunya. Henry memilih diam tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia menatap kosong pada wajah pucat istrinya.

Kenapa kamu bisa merahasiakan hal sebesar ini dariku, Sayang. Aku tak bisa memilih diantara kamu dan bayi kita, tetapi ini berurusan dengan nyawa. Sayang, bangunlah! Aku mohon bangunlah! Dia, bayi kita, putra kita sangat membutuhkan kamu sayang. Kita rawat dia bersama.

Metta menggerakkan ujung jari dan membuka matanya perlahan. Hal itu dirasakan oleh Henryeda, sedari tadi ia tak melepaskan genggaman tangannya.

"Sayang, kamu sudah bangun?" Henry beranjak dan mengecup wajah Metta.

"Di ... Dimana a-nak ki-ta?" ucap Metta dengan suara sangat pelan dan terbata, namun masih terdengar.

"Sebentar Mommy panggilkan suster," ucap Nyonya Amel.

Suster datang menggendong bayi yang sedang menangis. Henry mengambilnya dan mendekatkan pada Metta.

"Sayang lihatlah!, Henry Junior kita. Sangat tampan, aku kalah tampan darinya," ucap Henry memaksakan senyumnya.

Metta mengulas senyum di bibir pucatnya. Ia mengecup wajah tampan bayi merah yang baru saja ia lahirkan. Bayi yang sedari tadi menangis sekarang sedang tersenyum imut dengan mata bulatnya.

"To-tolonng ja-ga dia," ucap Metta memohon.

"Iya sayang aku pasti akan menjaganya. Kita akan menjaganya bersama. Kita akan menamakan dia siapa, Sayang?" ucap Henry.

"Melviano Ansell Syahreza. Apa kau setuju?"

"I-iya," ucapnya, Ia melepas selang oksigen dari hidungnya.

" Bo-bolehkah a-ku men-cium la-gi?"

Dengan segera Henry mendekatkan bayi itu, Metta terus mengusap wajajh bayi yang baru dilahirkannya itu hingga napasnya mulai tersengal.

Henry segera menjauhkan bayi itu, Nyonya Amel segera memasang kembali selang oksigen Metta. Baby El menangis sangat kencang seolah tak mau berpisah dari Metta.

To Be Continue

Terima Kasih

Hanya Mimpi

Happy Reading

💐💐💐💐💐💐💐

Dokter Alvin beserta tim dokter masuk dengan tergesa, mereka semua digiring keluar. Dengan sigap melakukan penanganan.

Baby El masih terus menangis dalam dekapan Nyonya Amel, mereka semua panik juga sedih mengingat keadaan Metta yang kembali kritis.

"Nyonya, biarkan saya menenangkan Baby El," ucap seorang perawat membawa dot bayi.

Nyonya Amel masih terus menangis, membuat tangisan bayi El semakin kencang. Tak tega bagi siapa pun yang mendengarnya.

Henry lebih memilih diam, ia terus mengusap punggung Mommy Amel. Padahal hatinya sendiri sangat hancur mengetahui istrinya melawan maut di dalam sana.

Sementara itu, di dalam ruang ICU, tim dokter bergerak kesana kemari.

"Dok, detak jantung pasien semakin menurun," ucap dokter spesialis jantung. Yah, beberapa dokter spesialis diikutkan dalam penanganan atas permitaan Tuan Besar, Abimanyu. Namun, dokter adalah manusia biasa, semua kehendak ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya.

"Dok pasien kritis," ujar seorang dokter.

"Siapkan alat pemacu jantung."

Semua saling bekerja sama. Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya mereka berhasil. Metta melewati masa kritisnya, namun ia masih memejamkan matanya.

"Bagaimana keadaan istri saya?" tanya Henry.

"Nyonya Metta berhasil melewati masa kritisnya," ucap dokter Alvin.

"Syukurlah." Semua anggota keluarga berucap syukur.

"Tapi sebaiknya biarkan pasien beristirahat."

"Tapi aku harus menemani istriku."

"Tuan, nyonya baru saja melewati masa kritisnya. Jadi saya mohon kerja samanya."

"Dia sendiri di dalam sana, biarkan aku masuk," rengek Henry masih bersikeras ingin menemani sang istri

"Baiklah tetapi hanya boleh satu orang saja, selebihnya masih tetap di luar."

"Baiklah." Dengan berat hati Dokter Alvin membiarkan Henry masuk.Henry segera menerobos masuk. Ia harus menggunakan pakaian steril.

Di pandangnya wajah cantik istrinya. Meski sedikit pucat namun masih terlihat cantik, damai seperti orang yang tertidur.

Henry mengecup wajah sang istri. Membisikan doa, mengajaknya berbicara tentang rencana bahagia mereka. Metta masih bergeming, ia hanya bisa meneteskan air matanya.

Henry tak beranjak sedikit pun dari samping istrinya. Hingga akhirnya ia tertidur dalam posisi duduk. Kepalanya disandarkan di atas tangan yang tak henti menggenggam tangan sang istri.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Henry.

"Iya, Sayang. Aku sudah lelah terus tertidur," ucap Metta.

"Sayang aku sangat bahagia. Aku mewujudkan keinginanmu menjadi seorang ayah. Apa kamu bahagia, hmm?" Metta membelai pipi Henry. Namun aneh tangan Metta terasa sangat dingin.

"Tentu saja aku bahagia sayang. Kamu sumber kebahagiaanku. Kenapa tanganmu sangat dingin, Apa kau merasa tidak nyaman?" tanyanya.

"Tidak apa sayang, aku hanya ingin jalan-jalan. Melihat taman bunga yang sangat indah. Tolong kau jaga Baby El, ya. Sayangi Henry Junior kita.".

"Tapi sayang. Kau mau pergi? Aku akan menemani kamu. Dan juga baby El akan ikut bersama kita."

"No. Sayang tetaplah di sini. Bersama baby El, kau harus berjanji padaku, hmmm."

"Tidak. Please sayang jangan tinggalkan kami. Lihatlah baby El menangis, dia butuh kamu sayang. Dia butuh ibunya." Henry semakin kalut, Ia sudah berderai air mata dengan baby El dalam dekapnya.

"Sayang, please... Jangan pergi!"

Akh ... Henry tersentak. Ia bermimpi, mimpi yang seperti kenyataan. Dipegangnya kedua pipinya, ada jejak air mata yang mulai mengering.

Syukurlah. Tuhan... Ini hanya mimpi belaka, tapi kenapa aku menangis sungguhan?

Henry tetap berpikir positif, ia bangun dari duduknya. Suasana diluar sudah gelap, ia pasti kelelahan karena semenjak kemarin malam tidak tidur. Bahkan tidak makan apapun, ia merasa sangat haus dan beranjak keluar.

Sayang aku pergi sebentar ya. Hanya ingin meminta air. Tolong tunggu ya, aku tak akan lama.

Ceklek!

Pintu dibuka, di sana masih ada beberapa pengawal. Sedangakan tuan dan nyonya besar beristirahat di kamar sebelah yang sudah disulap menjadi kamar tidur.

"Anda memerlukan sesuatu, Tuan?" tanya seorang pengawal.

"Ya, berikan aku air minum, aku sangat haus," ucap Henry.

"Baik, Tuan." Pengawal itu segera bergegas mengikuti perintah Henry. Tak lama ia kembali dengan sebotol air mineral.

"Ini. Silakan, Tuan"

"Hmm ...."

"Henry bagaimana keadaan Metta sekarang?" tanya Tuan Abimanyu.

"Masih sama, Dad. Ia belum sadarkan diri," ucap Henry dengan wajah sedih.

"Dimana mommy? Apa dia baik baik saja?" tanyanya kemudian.

"Ya, Mommy sedang beristirahat. Ia sangat kelelahan."

Tiba-tiba alarm berbunyi dari dalam ruang perawatan. Suster jaga yang menyalakan alarm tersebut. Dokter Alvin dan beberapa orang berlari masuk.

"Ada apa lagi ini, Dad? Aku harus lihat kondisi Metta." Henry hendak masuk. Namun ditahan Tuan Abimanyu dan beberapa pengawal.

"Kau tetaplah di sini. Biarkan para dokter bekerja," bujuknya lagi.

Henry sudah mendesah, ia mondar mandir tak jelas seperti setrikaan baju. Rambutnya kusut, pakaian jangan ditanya lagi semenjak pagi dia memakai pakaian yang sama.

Dokter Alvin menghampiri Henry. Mengajaknya masuk ke dalam uang perawatan Metta. Dokter yang lain masih berjaga. Di sana Metta sudah membuka matanya. Henry berlari, menghambur dalam pelukan istrinya.

"Sayang, kau membuatku takut. Apa yang kamu rasakan? Bagian mana yang sakit? Apa ada yang perlu aku lakukan sekarang agar kau merassa lebih baik? Bagian mana yang sakit? Ayo katakan padaku. Biar kubuang semua dokter tak berguna itu. Mereka membiarkanmu merasakan kesakitan," ujar Henry mencecarnya dengan pertanyan.

Astaga, Tuan. Sikapmu terlalu berlebihan. Sultan sih sultan, main buang, awas saja kalau nanti membutuhkan kami.

"Ssttt ... " Metta menutup mulut Henry dengan telunjukknya.

"Aku tak apa sayang. Percayalah, dan mereka melakukan yang terbaik," ucapnya pelan.

"Ya, itu harus."

"Sayang berjanjilah padaku kau tak akan menangis. Apapun yang terjadi, Kau harus menyayangi Henry Junior kita."

Deg!

Perkataan ini sama persis seperti yang ada dalam mimpiku.

"Tanpa kau minta aku pasti melakukannya, Sayang." Henry mengecup tangan sang istri yang ada dalam genggaman.

Metta tersenyum. Perlahan matanya mengerjap, rasa haru, sedih juga bahagia bercampur menjadi satu.

"Dimana bayi kita?" ucapnya lirih.

"Dia sedang tertidur di ruangan bayi. Kau jangan banyak bicara dulu. Dokter bilang, Kau harus banyak beristirahat." Henry menarik kursi dan duduk menghadap sang istri yang terbaring dengan peralatan medis di tubuhnya.

"Itu benar, Anda harus banyak istirahat. Kondisi Anda masih belum sepenuhnya pulih," ujar Dokter Alvin.

"Aku lelah, sudah istirahat terlalu lama."

"Hssst, menurutlah! Kau ingin cepat sembuh?" Metta mengangguk. "Kau ingin melihat bayi kita?" Metta kembali mengangguk. "Kau harus menuruti apa kata dokter. Supaya kita bisa bersama-sama nantinya."

"Baiklah."

Metta hanya bisa menurut ucapan Henry. Memang tubuhnya serasa sangat lelah. Ia hanya ingin memejamkan matanya saat ini. Seperti ada lem yang menempel. Tak lama, Metta kembali terlelap, juga pengaruh obat yang dokter berikan padanya. Agar Metta mengistirahatkan tubuh dan juga pikirannya.

To Be Continue

Tak Tega Melihatnya Menderita

Happy Reading

💐💐💐💐💐💐

Henry tetap diam. Ia memalingkan wajahnya ke samping kaca jedela. Menikmati air yang terus mengalir dibaliknya. Di luar hujan turun dengan derasnya. Seolah mengerti kesedihan Henry, Dua hari sudah semenjak Metta melahirkan. Tetapi masih belum ada perubahan mengenai kesehatannya. Justru kesehatannya semakin menurun.

"Son, apa Kau mendengarku?" Henry tersentak, setiap kali ia teringat mimpinya yang terasa begitu nyata. Bahkan semalam ia kembali bermimpi, mempimpikan Metta benar-benar meninggalkannya. Henry mengusap wajahnya kasar, dia masih dirumah sakit keadaan Metta masih sama, belum menunjukkan perubahan sama sekali.

"Dad, Aku takut."

"Apa yang bisa membuatmu takut?"

"Aku takut mimpiku benar-benar nyata. Bahkan hampir setiap malam Aku memimpikan Metta meninggalkanku dan baby El." ujarnya dengan wajah tertunduk. Setiap mengingat hal itu, membuatnya tak dapat memejamkan matanya setiap malam.

"Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengaturnya. Kita hanya bisa menerima dan menjalaninya. Kau jangan putus asa, Tuhan tak akan menyukai hambanya yang mudah menyerah." Tuan Abimanyu berusaha menghibur putranya. Ia tahu betul kesedihan yang Henry rasakan.

Tak hanya itu, keadaan baby El juga menurun. Bahkan sekarang harus menetap diruang isolasi khusus untuk dipantau.

"Kau benar, Dad. Tetapi baby El membutuhkan Metta, Mommy yang telah melahirkannya. Ia masih terlalu kecil, Dad. Aku tak sanggup melihat mereka berdua menderita." Kedua sudut matanya kembali basah. Melihat dua orang yang disayanginya terbaring tak berdaya, dengan berbagai peralatan medis yang melekat ditubuh keduanya.

"Kau harus kuat. Kau harus terus semangat untuk melanjutkan hidupmu. Dengan atau tanpa Metta, baby El tak bersalah. Ia terlahir suci, membawa kebahagiaannya sendiri."

Henry tak dapat berkata-kata. Suaranya tercekat di tenggorokan. Semakin ia bicara, maka pasokan oksigen yang mengaliri paru-parunya terasa semakin berkurang.

*****

Baby El masih terus menangis, hingga suaranya nyaris tak terdengar. Perawat dan dokter sudah melakukan berbagai macam cara agar membuatnya tenang. Namun semua tak ada yang berhasil.

Adellia hendak mencari toilet. Namun langkahnya terhenti. Ia tak sengaja mendengar pembicaraan dokter Alvin dan seorang dokter lain.

Perasaannya mengiba. Ia sangat sedih mendengar suara bayi menangis. Jiwa keibuan dalam dirinya terbangun. Terlebih ia baru saja kehilangan bayinya dua minggu yang lalu.

"Bolehkan saya bertanya Tuan?" tanya Adel mendekat.

"Iya Nona ada yang bisa saya bantu?" ucap dokter Alvin menoleh.

"Emm...' Adel berpikir sejenak, mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan keinginan.

"Apakah Saya boleh membantu menenangakan bayi yang Anda maksud?" Ia menundukkan kepalanya.

Di saat bersamaan seorang dokter anak keluar membawa baby El yang masih menangis. Melihat itu dokter Alvin merasa bimbang.

"Biarkan dia melakukanya," ucap Nyonya Amel tiba-tiba.

"Ba-baiklah Nyonya." Ucap dokter anak seraya memberikan baby El.

Adel segera meraih dan mendekap bayi itu. Seketika baby El terdiam. Ia terus menatap wajah Adel. Semua orang merasa heran dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa? Mungkin itulah pertanyaan setiap orang dalam benaknya.

"Hai, Sayang. Kau sangat tampan dan imut," ucap Adel. Baby El menyambutnya dengan tersenyum.

"Senyum kamu sungguh menawan," puji Adel tanpa mengalihkan perhatiannya dari mata bulat yang memebuatnya begitu indah.

"Sepertinya dia menyukaimu?" ujar Nyonya Amel. Adel hanya diam saja. Ia masih fokus dengan bayi yang ada dalam dekapan.

"Nona, bolehkan Anda memberikan ini?"

Seorang perawat yang semula membawa El, ia menyodorkan dot susu padanya. Namun baby El menolak, tangis bayi itu kembali pecah saat Adel memberinya dot berisi cairan putih.

"Nyonya, kalau boleh saya memberinya ASI?" Adel menundukkan kepalanya. Ia takut ditolak permintaanya. Namun diluar dugaan, Nyonya Amel menyetujuinya.

"Lakukanlah apapun yang membuatnya tenang." Dijawab anggukan dari Adel.

Suster tersebut membawa Adel beserta baby El keruang laktasi. Sesampainya disana. Adel segera memberikan baby El ASI. Adel terus membelai wajah gembul baby El.

Di luar ruangan sudah ada Tuan Abimanyu. Sebenarnya dia ingin mengabarkan kondisi Metta yang sudah stabil. Namun diurungkan. Nyonya Amel menceritakan semua kejadian mengenai Baby El padanya.

Tuan Abimanyu tak tinggal diam. Ia menyuruh orang kepercayaannya untuk menyelidiki latar belakang Adellia. Ia tak mau sembarang orang yang bisa menyentuh keluarganya. Terlebih penerus keluarga Syahreza.

"Mom, kau yakin dengan keputusanmu?" Tuan Abimanyu masih tampak ragu.

"Dad, Mommy tak tega membiarkan baby El menderita. Tuhan sangat baik pada kita, mengirimkan wanita itu untuk membantu kita."

"Tapi Kau biasanya tak mudah percaya dengan orang lain."

"Ini mendesak, Dad. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu baby El. Kau tau sendiri keadaan Metta. Setidaknya wanita itu bisa menjadi pengasuh El nantinya. Membantu menantu kita merawat si tampan ini."

Nyonya Amel menatap iba pada bayi tampan yang baru terlelap. Ia merasa nyaman dengan adanya Adel. Mungkinkah ini yang dinamakan jodoh? Adel hadir saat baby El membutuhkannya. Seperti superhero disaat masa kritis.

"Baiklah, Mom. Daddy ikuti kemauanmu. Semoga saja Metta bisa bertahan dan ya. Daddy ada kabar baik, Metta sudah sadar. Dia ingin bertemu Baby El." Tuan Abimanyu mengulas senyum tipis. Menampakkan sisa-sisa ketampanan di masa mudanya.

"Benarkah? Kenapa tak mengatakan sejak tadi? Tapi, Baby El baru tertidur. Kasihan kalau sampai terbangun."

"Biarkan dia tidur. Ada suster yang menjaganya. Kita lihat Metta dahulu."

"Hmm." Nyonya Amel menuruti sang suami. Ia meninggalkan Baby El bersama perawat dan dokter anak yang menjaganya. "Bye, cucu sayang." Tak lupa mendarat lkan kecupan dikening Baby El sebelum ia meninggalkannya.

Nyonya Amel begitu bersemangat mendengar keadaan Metta sudah membaik. Ia berharap  Metta dapat melewati masa kritisnya. Dan bisa secepatnya pulih. Berkumpul bersama anggota baru keluarga mereka. Baby El.

To Be Continue

TERIMA KASIH.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!