"Sayang, aku mau ngomong sama kamu. Tapi kamu janji jangan marah, ya?" kata Leon seminggu yang lalu.
"Ngomong aja! Kamu tahu, bukan? Kalau aku tidak pandai marah," balas Arini sambil tersenyum menatap suaminya.
Leon menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah lagi. Tapi aku janji akan berbuat adil terhadap kalian," ucap Leon dengan sungguh-sungguh.
Mendengar itu, Arini bagai di sambar petir. Ia yang sedang dalam tahap pemulihan pasca operasi, langsung lemas dan pucat. Beruntung ia tidak pingsan. Dia sangat tidak siap jika harus di madu.
Tapi setelah menimbang dengan baik-baik, akhirnya Arini menerima jika dirinya harus di madu.
Dan hari inilah pernikahan kedua suaminya akan di laksanakan. Ia duduk termenung di depan cermin meja rias. Pandangannya kosong. Tampak tak memiliki arah dan tujuan.
Hatinya begitu sakit, saat enam bulan yang lalu dirinya harus kehilangan rahim. Akibatnya ia tidak akan bisa memiliki anak. Lalu seminggu yang lalu suaminya berkata ingin menikah lagi.
"Sayang. Sudah selesai belum? Ayo kita berangkat!"
Itu adalah suara Leon dari luar kamar. Laki-laki itu sudah selesai dari tadi dan sekarang sedang memilih sepatu yang paling cocok untuk digunakan hari ini.
"Iya, ini sudah mau keluar, kok," sahut Arini dengan suara pelan.
Arini lalu keluar dari kamar dan mendapati suaminya sedang bingung memilih sepatu.
"Hei! Kamu cantik banget, sih," goda Leon begitu melihat Arini berdiri di belakangnya. Istrinya itu mengenakan gamis warna peach beserta hijab lebar berwarna senada.
Setelah selesai memilih sepatu, Leon lalu menggandeng tangan Arini untuk keluar dari apartemen dan menuju lakosi pernikahan.
Saat berada di depan pintu keluar, Leon menghentikan langkahnya dan menghadap Arini. "Aku bangga sama kamu. Dan makin sayang tentunya," ucap Leon sambil mencium mesra kening Arini.
Arini hanya tersenyum kaku.
"Aku janji. Setelah nanti menikah, akan adil," janji Leon sambil memegang pundak Arini dan menatapnya lekat-lekat.
Tanpa sadar air mata Arini mengalir deras. Ia tak ingin menangis, tapi entah mengapa tiba-tiba saja air matanya mengalir.
"Kamu kenapa, sayang?" Leon mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Arini. "Sampai kapanpun aku akan selalu sayang kamu," ucap Leon lembut. Ia memeluk Arini dengan erat. Seperti tak ingin melepaskannya.
Biar bagaimanapun, Leon menikah lagi bukan karena sudah tidak mencintai Arini. Hanya saja, ia memang sangat ingin memiliki anak.
"Jangan nangis lagi, oke! Aku sayang kamu," bisik Leon lembut. "Aku tidak akan kuat melihat wanita yang kucintai meneteskan air mata," lanjutnya sambil mengelap sisa air mata Arini menggunakan tisu.
Arini mencengkeram erat tali sling bag-nya. Berharap ia mendapatkan kekuatan entah dari mana saja. "Aku baik-baik saja. Ayo kita berangkat. Kalau kita terlalu lama di sini, bisa terlambat," ucap Arini lirih dengan suara bergetar menahan perih di hati.
Leon mengangguk dan menggandeng Arini keluar. Selamat perjalanan menuju parkiran, ia tak pernah melepas tangan Arini.
Cintanya kepada Arini masih tumbuh dengan subur hingga saat ini. Tapi hatinya mengatakan harus menikah lagi saat ini juga, karena untuk menjaga dirinya dari perbuatan zina terhadap Becca-- calon istri keduanya.
Leon tahu jika keputusannya menikah lagi akan melukai Arini. Apalagi saat ini Arini sedang dalam tahap pemulihan mental maupun fisik. Tapi Leon tak punya pilihan lain. Hatinya mengatakan harus menikah lagi sekarang. Karena saat ini ia sangat ingin segera memiliki anak.
Luka di perut Arini pacsa operasi belum kering, akan tetapi ia menambahkan luka di hatinya. Terkadang Leon merasa bersalah terhadap Arini. Tapi lagi-lagi ia tak punya pilihan lain.
Leon mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Biarpun ini adalah pernikahan kedua, tetap saja ia merasa gugup. Bahkan ini lebih gugup daripada saat ia ingin menikahi Arini tiga tahun lalu.
Leon datang ke pernikahan hanya berdua saja dengan Arini, karena kedua orang tuanya tinggal di Korea dan tidak bisa pulang karena urusan pekerjaan.
Sementara Arini, sedari tadi ia membuang pandangannya ke jendela kiri. Matanya kosong menatap jalanan. Ia tak ingin menghadiri pernikahan ini, akan tetapi Leon terus memaksa dengan dalih supaya ia dan madunya bisa akrab.
Arini tidak tahu perempuan seperti apa yang akan di nikahi Leon. Karena Leon belum pernah memperkenalkannya. Bahkan namanya pun, Arini tidak tahu. Yang ia tahu, calon madunya bekerja di perusahaan yang sama dengan suaminya.
"Sayang," panggil Leon saat mereka berhenti di lampu merah.
Arini menoleh tanpa mengucapkan kata apa pun. Bibirnya di paksakan menarik senyum, walaupun ia tahu senyumnya pasti gagal.
"Aku deg-degan. Bahkan lebih deg-degan daripada pernikahan kita dulu," kata Leon lirih sambil memegang dadanya.
Mendengar itu, Arini ingin sekali menangis. Hatinya terasa di cabik-cabik oleh Leon. Bagaimana tidak? Secara tidak langsung, Leon menganggap ia biasa saja, bukan? Buktinya tadi Leon mengatakan sendiri kalau pernikahannya dulu tidak se-nervous ini.
Arini tidak menjawab apa-apa. Hanya sebuah senyum kecil yang ia berikan kepada suaminya.
"Huft..." Leon menghembuskan nafas lalu menghirup udara pelan-pelan. "Sayang, lihat. Tanganku gemetar," kata Leon masih menatap Arini karena mereka masih di lampu merah.
"Sudah lampu hijau," ucap Arini pelan. Ia bersyukur karena lampu segera berubah menjadi hijau. Ia merasa terselamatkan karena tak perlu menanggapi kata-kata suaminya lagi.
Keduanya kembali terdiam. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing.
Dulunya Arini adalah seorang perempuan yang periang. Akan tetapi, semenjak ia mengetahui kalau suaminya akan menikah lagi, ia menjadi pribadi yang sangat pendiam dan tertutup.
Tapi hal tersebut tidak di sadar oleh Leon. Karena ia terlalu sibuk dengan pernikahannya, jadi ia tak menyadari perubahan sikap Arini.
Leon menghentikan mobilnya di sebuah rumah minimalis bernuansa bunga. Di halaman bahkan di pagar, banyak tumbuh bunga-bunga beraneka ragam.
"Ayo, sayang!" ajak Leon. Ia berjalan masuk terlebih dahulu. Dan Arini mengikutinya di belakang.
Sungguh Arini sangat ingin menangis. Bagaimana mungkin ia di suruh jalan sendiri tanpa di gandeng saat sedang rapuh seperti ini? Bahkan ia sudah merasakan matanya memanas.
Acara pernikahan Becca dan Leon diadakan sangat sederhana. Mereka hanya mengundang beberapa orang tamu saja. Yang terdiri dari keluarga dekat.
Suasana rumah pun tampak sepi karena hanya ada beberapa orang tamu saja.
"Arini, ya?" tanya seorang ibu paruh baya.
"Iya," jawab Arini sambil tersenyum kaku.
"Saya Rania, ibunya Becca. Ayo saya antar ke kamar Becca. Tadi Becca pesan, katanya kalau Arini sudah sampai, langsung saja di ajak ke kamarnya," kata Rania sambil menggandeng tangan Arini menuju kamar Becca.
Arini hanya bisa pasrah saja mengikuti langkah Rania.
Sesampainya di kamar Becca, perempuan itu sedang di touch up. Sepertinya acara make up telah selesai.
"Mbak Arini, ya?" tanya Becca sambil tersenyum ramah. "Ternyata lebih cantik aslinya daripada foto," kata Becca dan langsung cipika-cipiki kepada Arini.
Arini hanya bisa tersenyum canggung.
"Mama keluar dulu, ya. Mau lihat yang di luar," kata Rania dan di 'iyakan' oleh Becca.
Arini duduk di ujung kasur Becca, sementara Becca sendiri duduk di kursi rias. Sang make up artist masih men-touch up hasil kerjanya.
Becca hanya di make up oleh satu make up artist saja. Pernikahannya memang sangat sederhana.
Akan tetapi pakaian yang di kenakan Becca terlihat mewah. Kebaya modern dengan model yang sangat bagus, seperti yang sering di pakai artis ibu kota.
"Kita sama-sama pakai warna peach, Mbak," kata Becca sambil memainkan ponselnya. "Mbak Arini suka peach juga?" tanya Becca ramah.
"Iya," sahut Arini asal. Sebenarnya ia menyukai monokrom, akan tetapi Leon sering membelikannya pakaian warna-warni.
"Mas Leon sukanya makanan apa, Mbak?" tanya Becca.
"Soto betawi," jawab Arini singkat.
"Mbak Arini mau di tauch up?" tanya sang make up artist begitu ia telah selesai melakukan pekerjaannya.
"Tidak usah. Terima kasih," tolak Arini dengan diiringi senyum yang sangat di paksakan.
Becca terus saja mengajak Arini mengobrol apa saja. Karena ia ingin mencoba untuk melakukan pendekatan dengan Arini.
Tak lama, acara pernikahan pun di mulai. Sepanjang acara, Arini sering menunduk dan memejamkan mata, mencoba untuk tidak melihat ataupun mendengar saat suaminya mengucapkan ijab kabul.
"Arini sakit?" bisik Rania yang duduk di sebelah Arini.
"Tidak, Tante. Saya baik-baik saja," jawab Arini sambil memaksakan untuk tersenyum.
"Yakin?" tanya Rania dan di angguki oleh Arini.
Acara ijab kabul telah selesai, Becca sedang mencium punggung tangan Leon. Dan setelah itu Leon mencium kening Becca dengan mesra.
Tanpa sengaja tatapan Arini dan Leon bertemu. Arini langsung memutuskan pandangan itu lalu menatap lantai.
***
Selesai acara, Leon menyuruh Arini untuk pulang sendiri. Karena ia akan menginap di rumah Becca.
"Sayang, kamu pulang sendiri, ya! Aku pesanin taksi online buat kamu," kata Leon sambil merangkul pundak Arini. "Malam ini aku tidur di rumah Becca. Besok aku pulang," lanjutnya.
Pakaian kamu?
Hampir saja Arini bertanya seperti itu, tapi tidak jadi karena ia tahu pasti Leon dan Becca telah mempersiapkan semuanya dengan baik.
"Iya," jawab Arini singkat.
"Mbak Arini mau pulang, ya? Bawa mobil aku aja," kata Becca yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Menyadari kehadiran Becca, Leon langsung melepaskan rangkulannya di pundak Arini. Ia tak ingin membuat Becca cemburu.
"Arini jarang mau nyetir, Honey. Dia lebih suka naik taksi," jawab Leon.
Arini tersenyum kecut menatap lantai, ia tak menyangka nasib percintaannya akan seperti ini.
Ternyata mereka sudah memiliki panggilan sayang, kata Arini dalam hati.
"Sudah di order, mas? Kasihan Mbak Arini, mau istirahat," kata Becca.
"Sudah, kok. Sebentar lagi sampai," kata Leon sambil mengacak rambut Becca dengan mesra.
Melihat itu, hati Arini seperti di cabik-cabik lagi. Ingin rasanya untuk cepat-cepat pulang ke apartemen lalu menumpahkan semua air mata di atas bantal.
"Duduk, yuk! Jangan berdiri terus," kata Becca lalu berjalan menuju sofa.
Arini dan Leon mengikuti di belakang.
Belum sempat Arini duduk, taksi yang di pesan sudah datang. Ia lalu berpamitan kepada Becca, ibunya, dan Leon. Lalu setelah itu masuk ke dalam mobil.
Setelah di dalam mobil, Arini langsung menangis. Ia membuang wajahnya ke jendela kiri agar sang supir tak melihatnya.
Namun sayangnya sang supir mengetahui itu setelah tak sengaja melihat spion tengah.
"Mbak nangis?" tanya supir laki-laki yang kira-kira berusia kepala tiga.
"Oh. Tidak. Saya lagi sakit mata, Mas. Jangan di lihat! Bisa nular!" kata Arini sambil menunduk dan menghapus air matanya menggunakan punggung tangan.
Sang sopir hanya bisa mengangguk dan tak menanyakan apa-apa lagi. Ia tahu, costumer-nya sedang tidak ingin di ganggu.
Setelah sampai di apartemennya, Arini langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia menangis sejadi-jadinya. Guling ia jadikan sebagai objek untuk melampiaskan kekesalan.
Arini lalu duduk di atas kasur dan membantai guling malang tersebut. Di patah-patahkannya dan di pelintir guling tersebut.
Ia pernah membaca sebuah artikel, bahwasanya ketika kita sedang tidak baik-baik saja, lakukanlah pelampiasan terhadap bantal atau guling. Itu akan lebih baik daripada kita menyakiti orang lain.
"Mengapa hidupku seperti ini? Aku harus kehilangan rahim lalu harus di madu. Mengapa harus aku?" ucap Arini diiringi dengan tangisan pilu. Siapapun yang mendengar akan merasa tersayat mendengar tangisan Arini.
Bunyi nyaring di ponselnya tak membuat Arini berhenti menangis. Bahkan suara nada dering tersebut kalah oleh suara tangis Arini.
Ia terus melampiaskan kekesalannya pada guling, hingga busa guling tersebut patah menjadi beberapa bagian.
Setelah sedikit tenang, Arini duduk di lantai sambil menyadarkan kepalanya pada tempat tidur. Ia memejamkan matanya kuat-kuat sambil memijit pelipisnya yang berdenyut.
Suara kumandang adzan magrib menyadarkan Arini. Ia berjalan lunglai menuju kamar mandi lalu bersuci, dan setelah itu melaksanakan shalat magrib.
Selesai shalat magrib, Arini mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa panggilan video call yang tak terjawab dan sebuah pesan masuk dari Leon.
Leon: Sayangku, jaga kesehatan, ya. Aku sayang kamu.
Arini tak berniat membalasnya. Ia mengubah ponselnya menjadi mode silent lalu menaruhnya di atas nakas, setelah itu tidur.
Pukul dua dini hari, Arini terbangun karena lapar. Ia lalu menuju dapur untuk membuat roti bakar dan telur rebus. Setelah itu, ia makan dengan pelan.
"Aku harus ke psikolog. Jangan sampai aku setres gara-gara ini," gumam Arini sambil mengupas cangkang telur dengan gerakan sangat pelan sekali.
Entah mengapa sejak seminggu yang lalu ia telah kehilangan kekuatan. Ia sering mengerjakan sesuatu dengan gerakan sangat lambat. Terkesan tidak berniat.
Setelah selesai mengisi perut, Arini langsung menunaikan shalat isya dan tahajut. Karena tadi ia tidur belum sempat shalat isya.
Dalam hening malam, Arini khusyuk berdo'a. "Tolong lapangkan hatiku, Ya Allah. Buat aku menjadi wanita yang kuat," lirih Arini dalam do'a.
Air mata kepedihan mengalir deras. Membuat pandangannya mengabur. Ia lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
Setelah menunaikan ibadah dan berdo'a, hati Arini menjadi lebih tenang. Ia bisa melanjutkan tidur kembali.
"Bangun, Honey," ucap Leon dengan lembut sambil membelai wajah Becca yang masih terlelap. "Sudah siang," lanjutnya.
Becca masih terlelap dan tidak mendengar suara suaminya. Tadi malam mereka berdua begadang hingga pukul 2 dini hari. Oleh karena itu, pagi ini Becca masih terlelap dengan damainya.
"Kalau kamu tidak bangun juga, aku nakal, nih!" goda Leon masih dengan membelai wajah Becca.
Leon terus memandang wajah Becca yang terlelap dengan damainya. Becca memiliki wajah Arab. Keturunan dari ayahnya yang asli Arab. Hal itu yang membuat Leon tergila-gila dengan Becca. Ia sungguh terpesona akan kecantikan Becca.
"Kalau nanti kita punya anak, pasti cantik atau ganteng mirip kamu," gumam Leon sambil tersenyum lebar.
Perlahan-lahan Becca membuka matanya. Ia menyipitkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
"Jam berapa, Mas?" tanya Becca yang masih setengah sadar.
"Jam tujuh," jawab Leon sambil turun dari ranjang lalu membuka tirai. "Bangun, Honey!" katanya lagi.
Cahaya matahari mulai masuk ke dalam kamar, membuat Becca mau tidak mau harus bangun.
Ia jalan perlahan-lahan menuju kamar mandi. Karena kesadarannya belum seutuhnya penuh.
Hari ini Becca merasa kalau ia telah menjadi wanita seutuhnya. Ia begitu bahagia saat bangun tidur bisa melihat wajah Leon. Laki-laki yang sejak dua bulan lalu ia cintai secara diam-diam. Dan pada akhirnya, kemarin ia dan Leon resmi menjadi pasangan suami istri.
Sejak awal Becca tahu kalau Leon telah memiliki istri. Namun ketika ia tahu kalau istri Leon tidak bisa hamil, Becca langsung beraksi untuk meluluhkan hati Leon.
Semua terjadi sejak dua bulan yang lalu. Saat Becca mendapat promosi jabatan di kantor cabang Leon. Ketika pertama kali melihat Leon, Becca langsung jatuh cinta. Namun setelah ia selidiki, ternyata Leon telah memiliki istri.
Harapan kembali timbul saat Becca mengetahui ternyata Arini sudah tidak bisa memiliki anak. Ia lalu memberikan perhatian-perhatian kecil terhadap Leon, dan ternyata berhasil.
Sebenarnya ia bukanlah perempuan yang jahat. Di satu sisi ia masih menghormati Arini sebagai istri tua Leon. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia mencoba untuk ramah kepada Arini.
"Honey, jangan lama-lama mandinya! Kamu belum makan dari tadi malam. Nanti sakit," teriak Leon dari luar kamar mandi.
"Kamu sweet banget sih, Mas." Becca bergumam pelan sambil tersenyum lebar saking bahagianya.
"Iya, Mas," sahut Becca sambil terus melanjutkan mandinya.
Tak lama Becca telah selesai mandi dan bergantian dengan Leon yang menggunakan kamar mandi. Lalu setelah itu, mereka sarapan bersama.
Di meja ruang makan, telah tersaji banyak makanan yang di masak oleh asisten rumah tangga.
"Baru bangun, Ca?" tanya Rania sambil membawa tiga mangkuk salad dari arah dapur.
"Iya, Ma," jawab Becca sambil mengambil duduk di kursi meja makan.
Leon dengan sigap mengambilkan menu sarapan nasi goreng untuk Becca. "Makan yang banyak, Honey," kata Leon sambil tersenyum manis ke arah Becca.
Rania memperhatikan kedekatan Leon dan Becca seperti tidak ikhlas. Jujur saja, ia adalah satu-satunya orang yang menentang pernikahan Becca dan Leon. Bukan karena apa-apa, ia hanya tidak ingin anaknya menjadi pengganggu rumah tangga orang lain.
Rania tahu, perasaan Arini pasti luar biasa sakitnya mengetahui fakta suaminya harus menikah lagi. Karena ia pernah di posisi Arini, dan ia tidak sanggup. Akhirnya ia memilih untuk bercerai dan tinggal berdua saja bersama Becca sejak Becca berusia 15 tahun.
Namun mereka harus berpisah satu tahun saat Becca bekerja di luar kota, dan baru bersama lagi dua bulan lalu saat Becca di promosi jabatan ke kota kelahirannya.
"Mama ngelamun?" tanya Leon begitu melihat mertuanya hanya duduk termenung di meja makan.
"Ah, tidak," jawab Rania cepat. Ia lalu menyantap salad yang tadi ia bawa.
Sepanjang makan, Rania sangat tidak nyaman saat melihat Leon dan Becca bermesraan. Bukan karena ia lupa bagaimana rasanya muda. Hanya saja Rania bingung. Saat bermesraan dengan Becca, apa Leon tidak teringat Arini?
"Mama duluan. Mau langsung ke cafe," kata Rania. Ia langsung berlalu meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya. Lalu tak lama pergi meninggalkan rumah menuju cafe yang telah ia bangun beberapa tahun lalu.
Sementara itu di meja makan, Leon dan Becca yang sedang di mabuk cinta terus saja bermesraan.
"Kita jadi honey moon ke Turki, Mas?" tanya Becca sambil bergelayut manja di pundak Leon.
"Jadi, dong Honey. Kan tiketnya sudah aku beli. Hari ini packing, besok kita berangkat," jawab Leon mengelus puncak kepala Becca. Tak lupa ia mendaratkan kecupan kecil di kening istrinya.
"Aku bahagia, akhirnya kita bisa menjadi pasangan halal," kata Becca sambil tersenyum lebar. Saking lebarnya, sampai matanya menyipit.
"Apalagi aku," sahut Leon. "Semoga kita cepat di beri momongan. Aku sudah tak sabar menjadi seorang ayah," lanjutnya.
"Aku juga. Tidak sabar untuk menjadi mamud."
"Mamud?"
"Mamah muda," kata Becca sambil tertawa renyah.
"Ish! Gemesin banget, sih." Leon mencubit hidung mancung Becca.
Becca hanya tertawa renyah.
"Salad ini aku kasih Mbak Yuli ya, Mas?" tanya Becca sambil menunjuk semangkuk salad yang masih utuh dan diangguki oleh Leon.
"Mbak Yuli!" panggil Becca pada asisten rumah tangganya.
Yuli yang merasa di panggil, jalan tergopoh-gopoh dari arah belakang. "Iya, Bu?"
"Salad ini yang buat Mama, ya?" tanya Becca menunjuk semangkuk salad yang masih utuh.
"Iya, Bu," jawab Yuli.
"Ini buat Mbak Yuli aja. Saya sama Mas Leon sudah makan satu mangkuk. Mubazir kalau di buang," kata Becca sambil memberikan semangkuk salad kepada Yuli. Dan langsung di ambil oleh Yuli. Setelah mengucapkan terima kasih, lalu di bawa ke dapur oleh Yuli.
Selesai sarapan, keduanya lalu mempersiapkan barang-barang untuk honey moon. Becca memang sudah membelikan banyak pakaian untuk Leon. Agar saat suaminya menginap di rumahnya tidak perlu membawa pakaian dari rumah Arini.
"Kamu chat Mbak Arini, gih! Bilang kalau kamu belum bisa pulang sekarang. Kasih tahu dia, jangan nungguin!" kata Becca sambil memasukkan bajunya ke dalam koper.
Bagai kerbau yang di cucuk tanduknya, Leon langsung menuruti perintah Becca.
***
Arini sedang menyesap secangkir latte sambil menikmati pemandangan bangunan pencakar langit dari dalam kamar apartemennya.
Ponsel yang ada di sampingnya berdering menandakan ada sebuah chat masuk.
Ia lalu memeriksanya. Dan ternyata itu adalah sebuah chat dari Leon.
Leon
Sayang, aku tidak pulang sampai beberapa hari. Karena akan honey moon ke Turki.
Arini menghembuskan nafas berat sambil memejamkan mata kuat-kuat. Ia tak berniat membalas pesan dari Leon.
Bel di apartemennya berbunyi. Arini lalu turun ke lantai bawah untuk membuka pintu.
"Papa...," gumam Arini begitu melihat ayah dan adiknya.
"Kamu sendirian?" tanya Hamdani sambil berjalan menuju sofa.
"Iya, Pa," jawab Arini. Ia lalu menuju dapur untuk membuatkan jus strawberry kesukaan ayah dan adiknya.
Tak lama Arini kembali lagi dengan membawa dua gelas jus strawberry.
"Papa mau ngomong serius," kata Hamdani memasang wajah serius.
Arini mengangguk lalu duduk di hadapan ayahnya.
"Kamu yakin, sanggup di madu?" tanya Hamdani.
"Yakin, Pa," jawab Arini pura-pura tegar.
Hamdani hendak bersuara lagi, tapi di cegah oleh Aldi.
"Sudahlah, Pa. Percaya saja sama Rini. Semua keputusan dia, pasti yang terbaik buat dirinya sendiri," kata Aldi yang sedari tadi hanya diam saja.
Hamdani menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia sangat tidak terima anaknya di madu. Apalagi enam bulan yang lalu Arini baru mengalami musibah kehilangan rahim.
"Di minum, Pa!" kata Arini dengan suara bergetar hampir menangis. Namun ia masih beruntung, karena tidak sampai menangis.
Hamdani dan Aldi lalu mengambil jus yang telah di sajikan Arini, lalu meminumnya.
"Kapan kamu terbang, Rin?" tanya Aldi sambil menaruh gelas di atas meja.
"Besok," jawab Arini.
Hamdani dan Arini adalah seorang captain pilot di maskapai yang berbeda. Sedangkan Aldi, ia masih menjadi co-pilot di maskapai yang sama dengan ayahnya.
Arini sendiri hanya memiliki ayah dan seorang adik. Ibunya sudah meninggal sejak Arini masih berusia 10 tahun dan Aldi 7 tahun. Dan sejak saat itu hingga sekarang, ayahnya tidak berniat menikah lagi.
Hamdani dan Aldi tidak bisa berlama-lama di apartemen Arini, karena mereka harus segera ke bandara. Hari ini keduanya mendapatkan jadwal terbang bersama. Sebuah momen yang sangat langka. Dan baru akan terjadi sekali nanti.
Sepeninggal ayah dan adiknya, Arini kembali termenung. Ia duduk menatap layar televisi mati dengan pandangan kosong.
***
"Honey, aku ke supermarket sebentar, ya! Mau beli beberapa perlengkapan kita yang kurang," kata Leon saat melihat kaus kakinya kurang.
"Aku ikut, ya?" rengek Becca sambil bergelayut manja di pundak Leon.
"Di rumah saja, ya! Aku sebentar, kok. Tidak lama," bujuk Leon.
Akhirnya dengan terpaksa Becca mengangguk dan rela di tinggal sebentar.
"Jangan ke apartemen Mbak Arini loh, Mas! Kalau kamu ke sana aku marah, loh!" teriak Becca saat Leon hendak membuka pintu.
"Iya, Honey," sahut Leon mantap.
Sesampainya di supermarket, Leon langsung membeli beberapa kebutuhan yang ia perlukan. Seperti kaus kaki dan beberapa kebutuhan lainnya.
Namun saat ia hendak ke kasir, ia melihat Calina--- mantan pacarnya saat SMA yang sekarang sudah menjadi artis ibu kota yang sedang naik daun.
"Calina!" panggil Leon.
Calina yang sedang memilih kaus kaki langsung menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke belakang.
"Leon! Kau kah itu?" seru Calina antusias. Ia lalu menghampiri Leon dan langsung cipika-cipiki. "Apa kabar? Kita sudah lama tidak ketemu. Apa kau tidak merindukan aku?" goda Calina sambil mengerlingkan matanya jahil.
"Tentu saja aku sangat merindukanmu," sahut Leon dengan antusias.
"Bagaimana jika kita makan es krim? Kau masih suka es krim cokelat, bukan?" tawar Calina dan langsung di iyakan oleh Leon.
"Tentu saja aku masih menyukainya."
Mana mungkin Leon bisa menolak ajakan Calina. Ia sangat rindu mantan pacarnya yang satu ini. Karena sudah sangat lama mereka tidak bertemu.
Setelah membayar belanjaan di kasir, keduanya langsung menuju toko es krim langganan mereka yang terletak tak jauh dari supermarket.
Calina yang sekarang sedang naik daun, harus mengenakan topi dan kaca mata hitam serta masker supaya bisa berjalan dengan bebas.
Walaupun Calina sedang dalam penyamaran, Leon tetap mengenali Calina dari bentuk tubuhnya.
"Bagaimana kau tahu kalau ini aku? Padahal aku sedang dalam penyamaran. Bagaimana jika ini bukan aku? Pasti kau malu," kata Calina sambil tertawa renyah saat keduanya sudah duduk sambil menunggu pesanan mereka.
"Tidak akan. Aku tidak mungkin salah mengenalimu," sahut Leon percaya diri.
Obrolan keduanya sempat terjeda sejenak saat pelayanan datang membawakan es krim pesanan mereka. Es krim cokelat dengan toping beraneka macam.
"Kau tambah cantik. Suaramu tambah bagus. Aku selalu memutar lagumu saat berkendara," kata Leon sambil menikmati es krimnya.
"Benarkan?"
"Iya. Semua lagu-lagumu cocok di telingaku. Aku akan membeli albummu jika kau mengeluarkannya nanti," kata Leon sambil tersenyum lebar.
"Rencananya tiga bulan lagi aku akan mengeluarkan album. Kau janji akan membelinya?"
"Tentu saja."
Keduanya terus terlibat obrolan sambil menikmati es krim kesukaan.
Tanpa Leon sadari, Arini melihat ke akraban keduanya hampir mengeluarkan air mata.
Arini pernah membaca sebuah artikel, bahwasanya ketika kita sedang bad mood, es krim mampu membuat kita sedikit membaik. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk jalan kaki menuju kedai es krim yang tak jauh dari apartemennya.
Arini tidak tahu pasti artikel tersebut benar atau tidak. Tapi ia ingin mencobanya saja agar tahu kebenarannya.
Namun kejadian tak terduga membuatnya begitu sakit. Suaminya sedang tertawa bahagia dengan perempuan yang ia tahu sebagai penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.
Apa hubungan mereka? Teman? Pacar? Calon istri? Atau hanya sekedar kenalan saja?
Arini juga ingat. Saat di mobil, suaminya selalu memutar lagu Calina yang beraliran dangdut koplo. Padahal sebelumnya Leon tidak menyukai dangdut.
Atau jangan-jangan, itu calon istrinya lagi? tanya Arini dalam hati.
Arini hendak berputar arah dan kembali pulang ke apartemennya. Namun lebih dulu Leon melihat keberadaannya. Akhirnya Arini menunda keinginannya untuk pulang agar mengetahui bagaimana reaksi suaminya.
Arini berharap Leon akan menghampirinya dan mengatakan apa saja. Namun kenyataannya Leon hanya diam saja dan pura-pura tidak menyadari keberadaan Arini.
Mengetahui harapannya takkan pernah terwujud, Arini langsung pulang. Sepanjang jalan ia menangis. Pandangannya sempat mengabur dan ia harus berhenti sejenak untuk menghapus air matanya.
Beberapa kali ia di klakson oleh pengguna jalan karena jalannya yang serampangan.
"Kalau jalan yang benar, Mbak! Jangan ke tengah!" teriak seorang pengendara sepeda motor saat tanpa sengaja Arini hampir ke tengah jalan.
Arini berhenti sejenak untuk menenangkan fikirannya. Ia mengambil nafas perlahan-lahan lalu menghembuskannya dengan pelan.
Ia tak perduli menjadi perhatian pengguna jalan lain.
Setelah ia merasa dirinya sedikit membaik, Arini lalu berjalan lagi menuju apartemennya.
Sesampainya di apartemen, sebuah pesan chat masuk di ponselnya.
Leon
Sayang, kamu jangan salah faham. Calina itu bukan siapa-siapa. Dia teman SMA-ku. Aku sayang kamu.
"Omong kosong," gumam Arini sambil mengunci ponselnya lalu menaruhnya di atas nakas.
"Kalau bukan siapa-siapa, mengapa tidak berani menemuiku?" lirihnya sambil menangis pilu.
Pagi-pagi sekali Becca dan Leon sudah berada di bandara. Karena pesawat mereka akan terbang pukul 6 pagi.
"Rebecca Al Khanza... Istriku tercinta, kamu cantik sekali kalau sedang tersenyum sendiri seperti ini," kata Leon sambil mencubit hidung mancung Becca. "Lagi mikirin apa, sih? Sampai senyum-senyum sendiri seperti itu?"
"Sejak lama aku ingin ke Turki. Akhirnya hari ini bisa terwujud juga," kata Becca sambil tersenyum lebar saking bahagianya. "Waktu kamu sama Mbak Arini, honey moon ke mana, Mas?" tanya Becca.
"Hanya ke Bali," jawab Leon sambil merangkul pundak istrinya.
"Nanti kalau sudah sampai Turki, atau mau makan kebab yang banyak, ah!" kata Becca sambil menggambar kebab di kaca jendela. Gambarnya memang tidak terlihat karena kaca pesawat yang mereka naiki bersih dari debu.
"Gambar kebab, pasti!" kata Leon yang sudah bisa langsung menebak. Becca memang suka sekali kebab. Setiap istirahat kantor, ia selalu memesan kebab di restoran yang tak jauh dari kantor mereka.
"Seratus buat Mas Leonardo De Capricorn," kata Becca sambil terkekeh.
"Aktor Hollywod, dong," kata Leon bangga.
"Bercanda, kok. Maksudnya, Mas Leonardo Alexander."
Mereka terdiam saat sang captain pilot memberikan pengumuman.
Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Fly Airlains. Kita akan melakukan perjalanan ke Turki, bersama saya Captain Arini Safitri dan Co-Pilot Muhammad Bagaskara...
"Arini..." gumam Leon.
Ini kan, maskapai tempat Arini kerja. Mengapa aku tidak membeli tiket di maskapai lain saja? Pikir Leon dalam hati.
"Mbak Arini?" tanya Becca "Ini Mbak Arini, Mas?" tanyanya lagi.
"Iya," jawab Leon pelan. Ia merasa tidak enak saat bulan madu di antar oleh Arini. Bagaimana pun, ia masih peduli terhadap perasaan Arini.
Melihat Leon hanya diam seperti sedang memikirkan sesuatu, Becca juga ikut diam.
"Apa yang mau kamu lakukan sekarang?" tanya Becca saat mereka sudah sangat lama diam.
"Tidak ada. Sepertinya aku mulai mengantuk," kata Leon. Ia pura-pura mengantuk agar tidak di tanya-tanya atau di ajak berbicara oleh Becca, karena saat ini ia sedang ingin diam.
"Tidur, lah! Aku akan berjaga," kata Becca.
Tanpa di suruh dua kali, Leon langsung memejamkan matanya dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Sementara itu, Becca yang niatnya tak ingin tidur, malah tanpa sengaja tertidur karena rasa kantuk yang teramat sangat.
Melihat Becca sudah tertidur pulas, Leon yang sedari tadi hanya pura-pura tidur, membuka matanya. Ia menghembuskan nafasnya berat.
"Rini..." gumamnya lirih.
Ia berjanji, jika nanti pulang ke tanah air, akan langsung menemui Arini dan meminta maaf telah meninggalkaya beberapa hari.
Sementara itu di ruang kokpit, Arini dan sedang tertawa sampai menangis karena cerita lucu Bagas.
Bagas sendiri selain menjadi pilot, ia aktif di organisasi stand up comedy.
"Mau cerita lucu lagi, Rin?" tanya Bagas.
Arini sendiri yang mau di panggil nama dan tidak memakai embel-embel Capt atau Mbak. Oleh karena itu, hampir semua co-pilot memanggilnya nama. Kecuali yang umurnya jauh di bawah Arini, mereka memanggil Mbak.
"Iya. Mau!" jawab Arini antusias.
"Dulunya aku udik. Sangat... sangat... udik. Pertama kali masuk kelab, aku tidak tahu kalau di kelab tidak menjual jus. Kau pasti bisa menebak apa yang kupesan di kelab tersebut," kata Bagas.
"Pasti jus," jawab Arini spontan.
"Iya. Ini cerita asli pengalaman hidupku. Bukan karangan," kata Bagas.
Namun kali ini Arini tidak tertawa seperti tadi, karena menurutnya ini kurang lucu.
"Kau diam saja. Apakah ini garing?" tanya Bagas.
"Iya. Terlalu garing sampai gosong sehingga tidak bisa di nikmati," kata Arini sambil mengangkat dua jarinya. Telunjuk dan tengah.
"Nanti aku akan membuat materi yang lucu. Supaya kau bisa tertawa gratis," kata Bagas.
Ia dan Arini memang sering di tugaskan bedua, oleh karena itu keduanya sudah cukup akrab. Selisih umur keduanya juga tidak terlalu jauh. Hanya tiga tahun saja. Arini 33 tahun, sedangkan Bagas 30 tahun.
Bagas sekolah pilot saat usianya sudah cukup tua. Oleh karena itu, di usianya yang 30 tahun, masih menjadi co-pilot.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Arini dan di angguki oleh Bagas.
Arini lalu menuju toilet untuk mengambil air wudhu karena sekarang sudah masuk waktu dzuhur.
Namun hal tak terduga terjadi. Saat ia melewati bangku penumpang, ia melihat Becca sedang tertidur pulas di dalam pelukan Leon. Dan kedua tangan Leon membelai rambut panjang Becca yang terurai.
Kebetulan sekali tatapan Arini dan Leon bertemu. Namun Arini buru-buru memutuskan kontak dengan Leon dan langsung menuju toilet.
Leon sendiri ingin mengejar Arini, namun tidak bisa karena ada Becca yang sedang tertidur pulas di pelukannya.
Apakah Arini marah kepadaku? Tanya hati Leon.
Ia sungguh takut jika Arini mengajaknya berpisah. Bagaimana pun, Arini adalah istri idamannya.
Ia tahu Arini hanyalah manusia biasa, yang pasti akan capek melihat kelakuannya yang menyebalkan. Sudah terlalu banyak kesalahan yang Leon lakukan.
Menikah saat Arini sedang dalam pemulihan pasca operasi.
Ngobrol intim berdua dengan Calina.
Honey moon di antar Arini. Dan masih banyak lain.
Tak lama Leon melihat lagi Arini berjalan santai menuju ruang kokpit. Leon sangat ingin memanggilnya namun ia tak berani karena takut akan membuat Arini marah.
Sementara itu di ruang kokpit, Arini langsung melaksanakan shalat-nya. Setelah selesai, hatinya menjadi tenang. Tidak sepanas tadi.
Ia mampu menguasai emosinya dengan baik. Dan ia pun berjanji dalam hatinya sendiri.
Mulai detik ini, ia akan menjadi Arini yang cuek. Ia tidak akan perduli apa pun yang akan di lakukan Leon. Ia berjanji tidak akan cemburu ataupun marah.
***
Becca dan Leon telah sampai di hotel. Keduanya lalu membersihkan diri karena seluruh badannya terasa lengket.
Saat pesawat mereka mendarat, Becca langsung mengajak Leon untuk cepat-cepat turun supaya tidak bertemu dengan Arini. Karena ia tak ingin membuat Arini cemburu.
Namun yang tidak Becca ketahui, Arini telah mengetahui kalau dirinya menjadi pengantar suami dan madunya honey moon.
"Ada apa, Honey? Mengapa ekspresimu seperti itu? Kamu tidak suka hotel ini?" tanya Leon.
"Ah, tidak. Aku sangat suka hotel ini. Hanya saja perutku sangat lapar," kata Becca sambil mengelus perutnya yang memang lapar.
"Kita membeli makan di restoran hotel saja, ya? Sangat capek kalau harus keluar hotel," saran Leon.
"Baiklah. Aku setuju," jawab Becca.
Keduanya lalu menuju restoran hotel untuk melakukan makan malam. Sepanjang makan, Becca menjadi sedikit pendiam. Ia masih terfikirkan tentang Arini.
Sungguh mulia hati Arini, ia rela di madu dan lebih parahnya lagi, ia mengantar suami dan madunya honey moon. Tidak banyak perempuan seperti Arini, dan Becca semakin kagum kepadanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!