AFIFA FATHIMA MUMTAZA
Seorang gadis berhijab berasal dari kota Bandung, berusia 21 tahun, kuliah di salah satu Fakultas Pendidikan Negeri di Bandung semester 6.
Berparas manis, dengan kulit nya yang putih bersih, berlesung pipit dengan bulu mata lentik dan tebal tanpa maskara membuat orang tak pernah bosan memandangnya.
Dia lahir dari keluarga sederhana namun sangat memperhatikan pendidikan putra-putrinya, Afifa adalah anak pertama dari 3 bersaudara, adik pertamanya seorang laki laki duduk di bangku SMA kls 11, dan adik perempuannya kls 6 SD.
***
FAUZI RAHMAN RAMADHAN
Seorang pria tampan dari kota Bandung, usia 28 tahun, berasal dari keluarga berkecukupan, dia memiliki sebuah toko mebel lumayan besar di kota Bandung warisan dari orang tuanya.
Dia memiliki masa lalu yang kelam sampai akhirnya dia masuk ke pondok pesantren 8 tahun yang lalu.
***
AHMAD FARID AL-GHIFARI
Cinta pertama Afifa semasa SMA. berusia 23 tahun, tinggal di Semarang, Namun sudah 4 tahun tak ada kabar berita.
***
SOFIATUN NAZA
Teman Afifa sejak SMA hingga kuliah, memang penguntit haha...😀
***
SARI
Teman kuliah Afifa dan Sofi.
***
WULAN
Perempuan dari masalalu Fauzi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hai readers.... maaf ya kalau banyak typo dan salah-salah kata, serta tata cara penulisan yang jauh dari kata sempurna, ini adalah karya pertamaku, mohon kritik saran dan masukannya 😉😊
Suara azan Maghrib sayup-sayup terdengar di sepanjang jalan yang dilalui Afifa. Senja sudah hampir habis, langit jingga perlahan berubah kelam. Semilir angin sore menusuk, mengibas jilbabnya di balik helm yang menutupi kepala. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Waktu Maghrib sebentar lagi habis,” batinnya cemas. Ia melajukan motornya, berharap bisa sampai rumah sebelum waktu salat benar-benar sempit.
“Ah, dosen killer… jam enam baru bubar,” gerutunya dalam hati, mengeraskan sedikit tarikan gas. Perjalanan tiga puluh menit terasa begitu panjang.
Begitu sampai di halaman rumah, Afifa mendadak mengerem motornya. Matanya langsung tertuju pada mobil hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.
“Siapa ya? Ada tamu?” pikirnya, sedikit heran.
Ia masuk lewat pintu depan yang terbuka lebar.
“Assalamualaikum,” sapanya pelan. Suaranya terdengar lelah, seperti tubuhnya yang sudah habis oleh seharian aktivitas.
“Waalaikumussalam,” jawab semua orang di ruang tamu hampir bersamaan. Senyum ramah menghias wajah mereka.
Afifa mencoba membalas senyum itu. Meski begitu, ada gurat bingung di wajahnya. Ia menunduk, mencium punggung tangan Umi dan Abinya, merasakan kehangatan yang selalu menenangkannya setiap kali pulang ke rumah.
“Sini, Nak,” panggil Umi, suaranya lembut. “Ini Paman Sanusi dan Tante Rani. Masih ingat, kan? Ayo, kasih salam.”
“Oh…” Afifa mengangguk pelan. Wajahnya mulai mengingat. Tentu, itu adik sepupu Uminya. Sudah tiga tahun lebih mereka tidak bertemu, terakhir kali saat pemakaman kakeknya.
Ia bersalaman, mencium punggung tangan paman dan tantenya dengan sopan. Sekilas, matanya menangkap sosok pria tampan duduk di samping Paman Sanusi. Ada sesuatu di wajah itu. Sesuatu yang terasa… familiar.
“Ini keponakan Paman, namanya Fauzi,” jelas Paman Sanusi, seolah tahu isi hati Afifa.
Pria itu hanya tersenyum. Sebuah senyum yang entah mengapa membuat Afifa sedikit salah tingkah.
Ia mengangguk pelan, melipat kedua tangannya di dada.
“Kok seperti kenal, ya… tapi siapa?” pikirnya, mencoba menggali memori. Namun ia segera menggeleng pelan. “Sudahlah. Yang penting salat dulu,” batinnya.
“Afifa ke belakang dulu ya, Mi,” pamitnya. Uminya hanya mengangguk, memberi izin.
Di kamar, ia bergegas mengambil air wudhu. Setiap tetes air yang membasuh wajahnya membawa ketenangan, seolah menghapus lelah dan rasa penat di dadanya. Salat Maghrib ia tunaikan dengan khusyuk, berusaha menenangkan hati yang entah kenapa terasa sedikit berdebar.
Usai berdoa, Afifa keluar kamar sambil membawa handuk. Baru saja berniat membersihkan diri, suara Umi memanggil.
“Afifa…”
“Iya, Mi…” sahutnya, sedikit terkejut.
“Kemari, Nak.”
Afifa meletakkan handuknya, lalu melangkah ke ruang tamu. Ia duduk di kursi kosong di samping Umi, berusaha menjaga ekspresi meski hatinya dipenuhi tanda tanya.
“Paman dan Tantenmu sengaja datang untuk bertemu kamu, lho,” kata Umi sambil menatap putrinya dengan senyum lembut.
Afifa menunduk, sesekali tersenyum kikuk. Ada rasa gugup yang tak bisa ia jelaskan. “Kenapa, ya? Kok sampai jauh-jauh ke sini? Kita kan nggak terlalu dekat. Atau jangan-jangan…” pikirnya, jantungnya makin berdebar.
“Afifa,” suara Tante Rani yang lembut memecah lamunannya. “Sebenarnya Tante ke sini ingin mengenalkan kamu dengan keponakannya Paman Sanusi ini. Namanya Fauzi—tepatnya, Fauzi Rahman Ramadhan.”
“Deg…” Seolah ada sesuatu yang mengetuk memorinya. Nama itu. Wajah itu. Semua terasa familiar.
Lalu, seperti kilasan film, bayangan masa SMP muncul. Sosok kakak kelas yang sering ia lihat di pesantren, dengan senyum teduh dan sikap ramah.
“Ah! Kak Aji…?!” serunya refleks, matanya membesar penuh semangat. “Kak Aji kan? Yang pernah mondok dulu?”
Tanpa sadar, ia memetik jari, mengarahkan pandangan cerah ke Fauzi dengan ekspresi sumringah, seolah baru menemukan teman lama.
“Eh, udah lama banget nggak ketemu, ya, Kak… sekitar lima tahun… eh, enam tahun malah. Kakak kok beda sekarang? Lebih…”
Ucapan itu menggantung di udara. Afifa baru sadar semua mata kini tertuju padanya, seolah menunggu lanjutan kata-katanya. Pipinya memanas.
“Ups…” ia buru-buru menutup mulut dengan kedua tangannya. “Maaf…” ucapnya malu, menunduk dalam-dalam. Hatinya berdegup hebat, antara malu dan tak percaya deNgan ucapannya sendiri.
Suasana yang tadinya tegang mendadak mencair ketika Fauzi tersenyum hangat dan berkata, suaranya tenang,
“Ternyata Afifa baru ingat, ya.”
“Wah, wah…” Paman Sanusi ikut tertawa lebar. “Rupanya kalian sudah saling kenal. Kenapa nggak bilang dari awal?”
Tawa kecil terdengar di seisi ruang tamu, membuat suasana mendadak terasa hangat dan akrab. Afifa melirik ke sekeliling, sedikit heran dengan kebahagiaan yang tergambar di wajah mereka. “Kenapa semua terlihat bahagia, ya?” gumamnya dalam hati.
“Saya juga baru tahu, Paman,” jawab Fauzi singkat, tetap dengan senyum yang sama.
“Bagus, dong,” ucap Paman Sanusi sambil menatap Abi Afifa. “Kalau sudah saling kenal, ini awal yang baik. Iya, kan, Kak?”
Abi hanya mengangguk pelan, senyumnya tipis namun penuh arti. Beliau memang bukan orang yang banyak bicara, tapi sorot matanya hangat, seolah mengiyakan harapan yang tengah tumbuh di ruang tamu itu.
Bersambung… ❤
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
salam readers... maaf ya kalau banyak salah... mohon masukannya 😊
Apa maksudnya “awal yang baik”? gumam Afifa dalam hati.
Tatapannya sekilas beralih ke arah Abi, lalu ke Paman Sanusi dan Tante Rani yang masih berbincang ringan. Apa mereka… berpikir menjodohkan aku dengan Kak Aji?
Dadanya berdebar kencang. Kak Aji memang tampan… dan terlihat begitu dewasa. Tapi… bagaimana dengan Farid?
Pikiran Afifa mulai melayang. Masa depan dan masa lalunya berkelindan, memenuhi benaknya. Farid… cinta pertamanya semasa SMA.
Ia teringat, kala itu dirinya masih duduk di kelas sebelas, sementara Farid sudah kelas dua belas. Di penghujung tahun ajaran, Farid menyatakan perasaannya lewat sepucuk surat, rapi dibungkus dengan sampul manis berwarna biru pastel. Surat sederhana, tapi menggetarkan hati gadis polos sepertinya.
Di sekolah, mereka memang sering bertemu. Sama-sama anggota PMR membuat interaksi mereka kerap terjadi. Tapi… mereka tidak pernah pacaran. Mana mungkin? Mereka tinggal di pondok pesantren, di mana batasan-batasan begitu jelas.
Hubungan mereka hanya berlangsung dua bulan. Dua bulan singkat, namun sangat membekas di hati Afifa. Farid yang kalem, tulisannya yang indah, dan caranya merangkai kata di setiap surat yang dikirimkan, membuat hati Afifa luluh sepenuhnya.
Sampai sekarang, Afifa masih menyimpan setiap lembar surat dari Farid. Setiap goresan tinta itu, bagi Afifa, adalah potongan kenangan yang tak tergantikan.
Ia teringat jelas hari itu. Hari ketika Farid harus meninggalkan pesantren karena diterima kuliah di Jakarta. Dari kejauhan, Afifa hanya bisa berdiri diam, menggenggam erat surat terakhir yang diselipkan Farid ke tangannya sebelum pergi.
Tanpa sadar, air mata menetes. Perih terasa, meski ia berusaha menahan tangis di depan teman-temannya. Mobil yang membawa Farid perlahan menjauh, membawa separuh hatinya ikut pergi.
Setelahnya, Afifa berlari ke kamar mandi, mengunci pintu, dan membuka surat itu.
“Untuk Afifa,
Jika Allah menginginkan kita bersatu,
tak satu pun penghalang yang mampu menahannya.
Yakinlah… jodoh sudah ditentukan oleh-Nya.”
Tangisnya pecah. Ia terisak sejadi-jadinya, memeluk surat itu seakan memeluk harapan.
*
“Sayang…!” Suara lembut Umi membuyarkan lamunannya. “Kok kamu diam saja?”
Afifa tersentak. Ternyata cukup lama ia melamun, sementara obrolan di ruang tamu terus berlanjut, sebagian besar membicarakan dirinya.
“Ah… iya, kenapa, Mi?” Afifa tersenyum, sedikit dipaksakan, mencoba mengusir bayangan masa lalu yang menyesakkan.
“Mereka mau pamit pulang,” ujar Umi lembut.
“Oh, iya…” sahut Afifa agak gugup, menyadari betapa aneh sikapnya tadi.
Paman, Tante, dan Fauzi mulai beranjak. Fauzi berjalan lebih dulu menuju mobil, mengambil posisi di kursi pengemudi. Paman Sanusi menyusul, sementara Tante Rani sempat berhenti di hadapan Afifa.
“Afifa… boleh Tante minta nomor HP kamu?” tanyanya ramah, sambil menyodorkan ponselnya.
Afifa sempat terdiam sejenak. Ada keraguan yang menahan gerakannya, tapi akhirnya ia mengangguk, mengambil ponsel itu, lalu mengetik nomor ponselnya dengan hati-hati.
“Terima kasih, ya,” ucap Tante Rani sambil tersenyum hangat, kemudian berjalan menyusul suaminya.
Mobil hitam itu perlahan melaju, meninggalkan halaman rumah sederhana yang kini terasa berbeda.
Umi dan Abi masih duduk di ruang tamu, senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah mereka.
“Afifa…” panggil Abi lembut. “Duduklah…”
Afifa menuruti, duduk di hadapan Abi. Ada perasaan tak tenang yang menggelayuti hatinya.
“Sejak kapan kamu mengenal Nak Fauzi?” tanya Abi, nada suaranya tenang.
“Sejak SMP, Bi…” jawab Afifa pelan.
Abi terdiam, menunggu kelanjutan cerita.
“Waktu Afifa kelas delapan, Kak Aji masuk pondok. Waktu itu dia sudah keluar SMA sekitar dua tahun,” jelas Afifa, suaranya semakin mengecil.
“Oh…” Abi mengangguk pelan. Pandangannya menerawang, seolah sedang menghitung jarak usia. “Berarti… usia kalian terpaut tujuh tahun, ya.”
Afifa hanya mengangguk, tak berani menatap.
“Sudah cukup dewasa,” lanjut Abi pelan, matanya beralih ke arah jendela.
Afifa mengerutkan kening. “Memangnya kenapa, Bi?” tanyanya hati-hati.
Abi menoleh, tatapannya lembut namun dalam. “Abi mengenal ayahnya Nak Fauzi. Beliau orang terhormat, terkenal dengan kebaikannya. Banyak membantu sesama…”
Ia menghela napas, lalu tersenyum penuh harap. “Jika Allah mengizinkan kalian berjodoh, Abi yakin… kamu akan bahagia.” Tangan Abi terulur, menepuk pelan pundak putrinya.
Afifa tercekat. Hatinya penuh suara, ingin menjelaskan tentang Farid, tentang perasaannya yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Namun melihat wajah Abi yang begitu bahagia, senyum yang jarang sekali muncul sehangat itu, membuatnya bungkam. Kata-kata yang hendak keluar, terhenti di ujung lidah.
“Kalian bisa ta’aruf dulu,” sambung Abi, seolah memahami kegelisahan putrinya. “Abi tidak akan memaksa… tapi kenalilah dulu orangnya. Bukankah begitu lebih baik?”
Afifa hanya mengangguk pelan. Senyumnya tipis, menutupi badai yang bergejolak di dalam dadanya.
Bersambung… ❤
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Mohon masukan nya 🙏😊
Makasih banyak sudah membaca. Jangan lupa Like, komen dan vote, biar tambah semangat nulisnya
Love you All ❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!