Badai baru saja berlalu. Belakangan ini hujan lebat sering turun disertai dengan angin kencang yang tak segan segan merobohkan pohon-pohon besar dan menerbangkan atap-atap rumah yang rapuh.
Beberapa orang mulai tampak keluar rumah, memandangi beberapa pohon tumbang dan sampah-sampah bertebaran oleh hujan badai yang baru saja usai.
Mereka belum menyadari kehadiran sosok bayi menangis dalam keranjang di bawah pohon beringin di halaman rumah seorang janda tua yang bernama Nyi Kunyit. Mungkin seseorang telah menaruhnya di sana. Mungkin sejak badai belum berhenti. Tak ada seorangpun yang tahu setelah kemudian Nyi Kunyit tergopoh-gopoh keluar rumah karena mendengar suara bayi menangis.
Bayi dalam keranjang itu basah kuyup dan sedikit berlumpur. Nyi Kunyit sangat kaget dan tanpa berfikir panjang, ia buru-buru membawa bayi itu ke dalam rumah untuk dimandikan dan dibungkus dengan kain bersih agar badannya hangat.
‘Oh, bayi perempuan cantik yang malang, siapakah gerangan yang membuangmu’. Nyi Kunyit berkata dalam hati. Namun Nyi Kunyit diam-diam heran dan tak habis pikir, bagaimana bayi ini bisa bertahan dalam badai dan bagaimana bisa bayi ini tetap segar berseri dan mengeluarkan cahaya keemasan?
Ini merupakan pengalaman pertama Nyi Kunyit merawat bayi karena seumur hidup, ia belum pernah mempunyai anak sejak ia menikah hingga suaminya meninggal.
Sebetulnya usia Nyi Kunyit belum terlalu tua, kira-kira 45 tahun usianya. Namun kehidupannya yang susah membuatnya tampak terlihat tua dan rapuh.
Sejak dulu, ia dan mendiang suaminya selalu berharap agar memiliki keturunan, namun Dewata belum juga mengabulkan keinginannya. Sejak suaminya meninggal, Nyi Kunyit hidup sendiri dan ia juga tak pernah berfikir untuk menikah lagi.
‘Kenapa hari ini terasa menjadi hari yang serba kebetulan’, batin Nyi Kunyit. Semalam ia bermimpi akan mendapatkan seorang anak, dan hari ini ia menemukan bayi perempuan mungil yang cantik.
Yang ada dalam benak Nyi Kunyit adalah bahwa bayi itu adalah bayi perempuan biasa saja; seorang bayi mungil yang dibuang oleh orang tuanya. Ia tak tahu kalau bayi itu merupakan bayi yang istimewa.
Masalahnya, Nyi Kunyit tidak siap dengan kedatangan bayi yang tiba-tiba itu. Ia tak tahu harus merasa senang atau bingung. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah mencarikan susu dan meminta bantuan para tetangga. Tak mungkin ia merahasiakan kedatangan bayi itu.
“Gadis kecil, kuberi nama kau Batari Mahadewi” bisik Nyi Kunyit. Lalu bayi itu mulai menangis.
####
Nyi Kunyit menggendong Batari Mahadewi menuju ke rumah tetangganya yang kebetulan juga memiliki seorang bayi.
“Nyi Santan…Nyi Santan….” Nyi Kunyit memanggil tetangganya yang kebetulan baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu. Ki Janur, suami Nyi Santan membukakan pintu rumahnya. “Ada apa Nyi…astaga, bayi siapa ini Nyi Kunyit?” Ki Janur keheranan karena ia tahu bahwa tak mungkin Nyi Kunyit memiliki bayi.
“Panjang ceritanya Ki Janur, tapi bisakah saya minta tolong kepada Nyi Santan untuk menyusui bayi ini? Sepertinya ia sudah kelaparan. Saya menemukannya di bawah pohon beringin tadi setelah hujan.”
“Baiklah Nyi, mari silahkan masuk. Istri saya kebetulan sedang menemani anak kami di kamar.” Mereka berdua membawa Batari Mahadewi yang masih bayi itu ke dalam. Nyi Santan yang sedari tadi mendengar percakapan Ki Janur dan Nyi Kunyit segera menyambut bayi itu karena sangat penasaran.
“Oh, sungguh bayi perempuan yang cantik sekali…” Kata Nyi Santan yang kemudian bergegas menyusui Batari Mahadewi.
####
Tak ada seorangpun yang tahu bahwa bayi itu adalah perwujudan dari pusaka dewata yang kelak akan tumbuh menjadi gadis sakti yang ditakdirkan akan membunuh Kalapati, sang raja raksasa yang tak terkalahkan bahkan oleh dewa sekalipun.
Raksasa itu menjadi sangat sakti karena ia sedang menjalani tapa untuk 1000 tahun lamanya. Sebentar lagi, ia akan selesai dalam 1000 tahun pertapaannya.
Dalam pertapaannya itu, ia hanya ingin menjadi raksasa paling sakti yang tak bisa dibunuh oleh siapapun, bahkan para dewa. Tentu saja para dewa khayangan tahu maksud dan keinginan Kalapati itu bertapa selama 1000 tahun. Namun untuk menggagalkannya tidaklah mudah. Para dewa pantang menyerang siapapun yang bertapa, namun hanya bisa menggodanya agar ia gagal dalam bertapa.
Kalapati itu adalah raksasa yang teguh hatinya, ia tak tergoda sekalipun selama menjalani pertapaannya. Kalau sampai ia berhasil mencapai tujuannya, tentu dunia manusia dan dunia khayangan akan kehilangan keseimbangannya.
Selama raja raksasa itu menjalani pertapaannya, para dewa juga bersiap menciptakan penangkalnya, yakni sebuah senjata sakti yang kelak akan hidup layaknya manusia. Senjata itu bukanlah dewa, bukanlah manusia, bukanlah siluman, dan bukan juga raksasa; hanya sebuah senjata yang bernyawa dan hidup seperti dan dalam wujud manusia.
Tentu saja untuk menciptakan senjata dewata itu bukanlah pekerjaan mudah bagi para dewa, butuh 100 dewa sakti yang bekerja sama untuk menciptakannya, termasuk Dewa raja, dan dewa-dewa sakti lainnya.
Itupun, masing-masing dari para dewa harus menyerahkan separuh dari mustika dewanya untuk menciptakan energi pada senjata itu. Bagi para dewa yang telah memberikan separuh mustikanya, maka kekuatannya juga akan berkurang separuh. Butuh 100 tahun untuk memulihkan kembali kekuatannya seperti sedia kala.
Masalahnya, senjata para dewa itu selesai ditempa bertepatan dengan selesainya tapa sang raksasa. Senjata itu juga akan memiliki kekuatan penuhnya ketika semua segel energi dalam tubuhnya terbuka. Tak ada yang bisa membuka segelnya kecuali dirinya sendiri, entah berapa puluh tahun waktu yang diperlukan agar segel itu bisa terbuka semua. Dengan demikian, malapetaka yang akan segera terjadi tak bisa dihindari.
Tujuan utama raksasa itu bertapa adalah untuk menguasai khayangan dan mengenyahkan para dewa yang tinggal di sana. Sebentar lagi ia akan bisa mencapai mimpinya, membalaskan dendamnya sebagai bangsa raksasa yang selama ini selalu dijauhi dan disingkirkan, bahkan dibunuh oleh para dewata.
Dalam dunia yang telah diciptakan oleh sang penguasa semesta, dunia dewa atau khayangan merupakan dunia tertinggi. Di bawahnya, ada dunia tengah yang dihuni oleh para manusia, raksasa, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sementara dunia bawah dihuni oleh para setan dan siluman penghuni neraka.
Selama ini, dunia dewa merupakan dunia terkuat yang bisa menentukan nasib dunia di bawahnya. Para dewa membinasakan para raksasa bukan karena tanpa alasan. Namun demikian, para dewa tak bisa sepenuhnya memusnahkan semua raksasa. Apabila itu terjadi, maka seluruh dunia akan kehilangan keseimbangan, dan imbasnya adalah musnahnya dunia bawah, tengah dan dunia dewata itu sendiri.
Hal ini juga berlaku untuk semua dunia, para raksasa juga tak bisa memusnahkan semua manusia atau dengan kata lain, tak boleh ada satu pihakpun yang musnah, meski binatang sekecil semut sekalipun, karena semua unsur itu merupakan pilar-pilar yang menjaga keseimbangan dan keberlangsungan kehidupan dunia.
Lalu bagaimana jika Kalapati ini memusnahkan seluruh dewa untuk memuaskan dendamnya? Tentu ketiga dunia itu akan hancur, termasuk Kalapati itu sendiri. Inilah yang ditakutkan para dewa; Kalapati akan mendapatkan kekuatan dan kesaktian, namun bukan kecerdasan.
Ketika Kalapati selesai menuntaskan tapanya, seketika itu pula pusaka dewata juga selesai ditempa. Pusaka itu memiliki bentuk yang terus menerus berubah-ubah dengan kilau cahaya keemasan yang menandakan sebagai puncak energi.
Senjata itu tak bisa digunakan oleh siapapun. Senjata itu harus hidup dan membunuh Kalapati atas kehendaknya sendiri. Maka untuk menyamarkan keberadaannya, para dewa mengubahnya dalam wujud bayi manusia.
Senjata itu akan tumbuh dan hidup layaknya manusia. Apabila para dewa mengubahnya menjadi binatang, maka senjata itu hanya akan tumbuh menjadi binatang yang kuat dan tak memiliki kecerdasan. Dan apabila senjata itu diubah dalam bentuk raksasa, maka kelak ia akan menjadi raksasa pula yang justru akan menjadi musuh para dewata.
Demikianlah, bersamaan dengan naiknya Kalapati ke khayangan, salah satu dewa membawa pusaka yang berbentuk bayi tersebut turun ke dunia manusia dan akan tumbuh besar menjadi manusia hingga kelak ia mencapai kesempurnaannya yang sanggup membinasakan sang Kalapati.
Sementara Nyi Kunyit menemukan bayi tersebut, sang Kalapati telah memporak-porandakan seisi khayangan, membunuh sebagian besar dewa utama, dan memenjarakan raja dewa sebab sebagaimana raksasa itu, raja dewa tak bisa dibunuh oleh siapapun.
Selebihnya, para dewa yang selamat lari ke segala pelosok penjuru dunia. Menjalankan tugasnya secara diam-diam.
Tujuh tahun kemudian, setelah para raksasa menguasai khayangan, Batari Mahadewi telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik, sehat, kuat dan cerdas. Ia juga memiliki sifat-sifat manusia sebagaimana ia telah dibesarkan oleh manusia.
Batari Mahadewi bukan manusia biasa, sebab ia sejatinya adalah pusaka dewata. Di usianya yang baru menginjak satu tahun, Batari Mahadewi sudah bisa berlari. Tak hanya itu, ia juga sudah pandai bicara dan dengan mudah menghafalkan apa saja yang diajarkan oleh Nyi Kunyit, para tetangga Nyi Kunyit, dan orang-orang desa Cemara Seribu .
Orang-orang di desa Cemara Seribu hidup rukun dan tentram. Sudah menjadi tradisi bahwa semua warga harus saling bahu membahu dan tolong menolong.
Desa itu sebetulnya merupakan desa kecil dan sangat jauh dari pusat kota dan hanya memiliki penduduk yang sedikit yang semuanya menggantungkan hidupnya dengan bertani dan berburu di hutan atau mencari ikan di sungai.
Meski merupakan desa yang kecil, namun desa itu dipimpin oleh seorang sesepuh yang sangat sakti, Ki Gading Putih namanya. Dulu ia adalah seorang pendekar yang telah melanglang buana di dunia persilatan. Ia tak pernah kalah ketika harus menghadapi pendekar lain yang menantangnya. Menginjak usia ke 100, akhirnya ia mengundurkan diri dari dunia persilatan, dan mengasingkan diri di sebuah hutan seribu cemara.
Dari sanalah desa Cemara Seribu muncul. Mula-mula warga desa yang tinggal di sana adalah sekelompok pengungsi yang tersesat di hutan, lalu bertemu dengan Ki Gading Putih, dan memutuskan untuk tinggal di sana. Mereka adalah warga generasi pertama.
Sementara warga desa yang saat ini tinggal di desa Cemara Seribu adalah warga generasi ke tiga dengan jumlah yang jauh lebih banyak dari generasi pertama.
Ki Gading Putih adalah satu-satunya orang yang masih hidup sejak generasi pertama. Umurnya telah mencapai 300 tahun dan belum ada tanda-tanda bahwa ia akan mati. Ia masih terlihat seperti kakek-kakek yang berumur 70 tahun.
Ki Gading Putih bisa hidup selama itu karena ia rajin bertapa dan tak hidup sebagaimana warga desa lainnya. Namun demikian, ki Gading Putih selalu menjadi penolong dan satu-satunya yang selalu bisa menyelesaikan masalah di desa. Ia juga merupakan guru bagi generasi muda di desa itu.
Tentu saja, kehadiran Batari Mahadewi di tengah kehidupan desa yang damai itu tak luput dari perhatian Ki Gading Putih. Sejak awal tersebar berita bahwa Nyi Kunyit menemukan bayi perempuan di halaman rumahnya, Ki Gading Putih yang datang menjenguk telah melihat tanda-tanda yang tak biasa pada diri Batari Mahadewi.
“Kelak bayi ini akan tumbuh menjadi gadis yang luar biasa.” Kata Ki Gading Putih kepada Nyi Kunyit dan beberapa orang yang kebetulan ada di sana. “Jika usianya sudah 10 tahun nanti, aku akan menjadikannya murid, ia akan mendapatkan hak yang sama dengan semua anak laki-laki yang berguru padaku.”
Memang pada kehidupan itu, hanya anak laki-laki saja yang berhak untuk berguru. Sementara, anak perempuan hanya boleh belajar di rumah, membantu memasak, membersihkan rumah, dan bekerja di ladang. Hanya anak perempuan istimewa saja yang mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki, misalnya adalah putri raja atau pejabat kota.
Tentu saja, perkataan Ki Gading Putih tentang Batari Mahadewi membuat heran Nyi Kunyit dan orang-orang desa. Namun seiring perjalanan waktu, Batari Mahadewi memang tumbuh dengan cara yang tidak biasa, dan akhirnya orang-orang memahami alasan Ki Gading Putih akan mengangkatnya sebagai murid.
Suatu hari, ketika Batari Mahadewi berusia 2 tahun, Nyi Kunyit mengajaknya ke hutan untuk mencari kayu bakar.
“Ayo ibu, kita segera berangkat…”Batari Mahadewi memanggil Nyi Kunyit yang telah menjadi ibunya dengan penuh semangat karena hari itu merupakan pertama kalinya ia akan diajak pergi ke hutan. Sebelumnya, ia hanya dititipkan kepada tetangganya untuk bermain bersama Rangga Gede, anak Nyi Santan yang berusia seumuran dengan Batari Mahadewi.
“Tunggu ibu, Tari.” Kata Ibunya sambil tersenyum. Ada rasa khawatir sebetulnya yang terbersit dalam benak Nyi Kunyit mengingat hutan Cemara Seribu sangat luas, angker, dan banyak binatang buas.
Nyi Kunyit tak pernah mencari kayu bakar sampai ke dalam hutan karena ia takut. Terlebih sekarang Batari Mahadewi ingin ikut dengannya setelah sekian hari ia selalu merengek-rengek untuk ikut ke sana karena penasaran.
Yang membuat Nyi Kunyit sangat khawatir adalah perilaku Batari Mahadewi yang susah dikendalikan. Ia bukan bocah perempuan yang penurut, melainkan selalu bergerak ke sana kemari sesuka hati. Nyi Kunyit khawatir kalau-kalau Batari Mahadewi berlari masuk ke dalam hutan.
Benar sekali dugaan Nyi Kunyit. Kekhawatirannya terwujud. Baru sampai di pinggir hutan, Batari Mahadewi mulai
berulah. Mula-mula ia melihat kupu-kupu cantik. Selanjutnya ia mengejarnya sampai masuk ke dalam hutan.
Tentu saja Nyi Kunyit sangat panik. Ia berlari menyusul Batari Mahadewi. Tak mudah untuk menyusul Batari Mahadewi, sebab meski usianya baru 2 tahun, kemampuan fisik dan pikirannya setara dengan anak 5 tahun.
“Tari, kembali nak. Jangan jauh-jauh dari ibu…” Nyi Kunyit berteriak sambil berlari mengejar Batari Mahadewi yang sudah berada agak jauh di depannya.
AUUUMMM… Mendadak jantung Nyi Kunyit seperti lepas ketika ia mendengar suara auman harimau yang sangat keras. Pada saat yang sama, Batari Mahadewi berhenti belari dan berdiri mematung, memandangi sosok harimau besar yang muncul di hadapannya.
Baru kali ini Batari Mahadewi melihat harimau setelah sebelumnya ia hanya mengetahuinya dari cerita ibunya, cerita para tetangga, bahwa betapa mengerikannya binatang yang bernama harimau itu.
Jantungnya berdegup kencang, nafasnya mulai tak teratur. Ia sangat takut melihat harimau itu di usianya yang baru saja menginjak 2 tahun hingga ia tak bisa bergerak, bahkan untuk memanggil ibunya.
Sementara itu, Nyi Kunyit langsung berlari ke arah Batari Mahadewi. Naluri keibuannya menghilangkan rasa takutnya akan harimau itu. Ia berteriak lantang untuk mengusir harimau itu, namun sang raja hutan tak bergeming. Hanya berhenti sejenak, menatap tajam ke arah Nyi Kunyit, lalu mulai berjalan mendekati Batari Mahadewi dengan perlahan.
“HIYAAAA…” sekali lagi Nyi Kunyit berteriak untuk mengalihkan perhatian harimau itu. Ia menyahut ranting sambil berlari dan melemparkannya ke arah harimau itu.
Kini harimau itu mulai marah, ia mengaum keras. Jauh lebih keras dari auman pertamanya. Nyi Kunyit yang tinggal beberapa jengkal langkah dari Batari Mahadewi langsung tersandung karena sangat kaget mendengar auman itu.
Pada saat yang sama, Batari Mahadewi sudah mendapatkan kembali keberaniannya, ia berlari ke arah ibunya sambil berteriak, “IBUUUUU…”
Harimau itu seolah terlihat penuh kemenangan. Ia tahu, calon mangsa di depannya sudah tak berdaya dan sangat ketakutan. Harimau itu kembali berjalan perlahan dan bersiap menerkam. Kali ini ia tak mengincar Batari Mahadewi, melainkan Nyi Kunyit.
Tubuh Nyi Kunyit bergetar ketakutan. Ia mendekap Batari Mahadewi erat-erat, pasrah karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Harimau yang sangat dekat itu terlalu menakutkan baginya.
Harimau itu melompat dan pada saat yang sama, Batari Mahadewi berteriak kencang. Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan. Rasa takut yang amat sangat itu menimbulkan reaksi bawah sadar dalam tubuhnya dan dorongan energi yang sangat besar terlepas begitu saja, mengalir bersama suara teriakannya.
Sontak harimau sebesar anak sapi itu terpental jauh dan tak bergerak lagi. Suasana hutan yang sebelumnya terisi dengan suara burung dan serangga mendadak sunyi.
Batari Mahadewi masih gemetar, begitu juga dengan Nyi Kunyit yang bertambah heran dengan keajaiban yang baru saja ia lihat.
“Kau tidak apa-apa, nak?” tanya Nyi Kunyit. Batari Mahadewi mulai sedikit tenang, nafasnya mulai teratur. Cahaya keemasan yang mengelilingi tubuhnya perlahan memudar, lalu menghilang.
“Aku tidak apa-apa ibu, tapi aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku.” Jawab Batari Mahadewi. “Apa yang aku lakukan, ibu?”
“Ibu juga tidak mengerti nak. Tapi jangan sampai ada yang tahu tentang hal ini. Jangan bercerita kepada siapapun, kamu mengerti?” Kata Nyi Kunyit.
“Iya ibu, aku mengerti.” Jawab Batari Mahadewi.
“Ayo sekarang kita pulang. Mulai sekarang, kamu harus menuruti nasehat ibu.” Kata Nyi Kunyit.
“Iya ibu, maafkan aku…” Balas Batari Mahadewi.
Cahaya keemasan yang terpancar dari tubuh Batari Mahadewi saat harimau itu menerkam merupakan aura dari pusaka dewa. Semua kekuatan para dewa sepenuhnya tersegel dalam 12 bagian yang satu per satu akan lepas pada waktunya, ketika tubuh Batari Mahadewi sudah siap untuk menerima dan mengendalikan energinya.
Segel pertama ini merupakan energi dasar yang paling lemah sekaligus merupakan energi awal yang akan terus berkembang seiring dengan perjalanan usia Batari Mahadewi.
Kemampuan ini sangat berguna bagi Batari Mahadewi. Tentu saja kebutuhannya saat ini bukanlah kebutuhan orang dewasa. Bagaimanapun ia adalah anak-anak yang penuh dengan rasa ingin tahu. Dengan kemampuan tersebut, Batari Mahadewi memiliki cara yang tak biasa untuk menyerap pengetahuan.
Para dewa menyegel semua kekuatan itu ketika pusaka dewa tersebut diubah bentuknya menjadi manusia. Selain tak akan mungkin bayi bisa mengendalikan energi yang sangat besar, segel energi itu sekaligus juga berfungsi untuk menyamarkan keberadaan pusaka dewa tersebut.
Dengan terbukanya segel pertama itu, kemampuan nalar, bahasa, dan kemampuan fisik Batari Mahadewi meningkat drastis. Batari Mahadewi menyadari ada sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia tak tahu apa itu, namun ia merasa dunia yang ia hadapi saat ini jauh lebih terang dan jelas sehingga ia bisa mengetahui bahwa tiap-tiap benda di bumi ini memancarkan energi tertentu.
Awalnya hal ini sangat tidak membuat nyaman Batari Mahadewi. Sepanjang perjalanan pulang dari hutan itu bersama ibunya, ia melihat berbagai aura energi yang menyelubungi tiap-tiap hal yang ia lihat; bebatuan, pepohonan, rerumputan, binatang, manusia, bukit, gunung, sungai, manusia, dan bahkan debu-debu tipis yang tertiup angin.
Setelah pertemuannya dengan harimau hutan, Batari Mahadewi mengalami perubahan dalam banyak hal. Meski ia belum sepenuhnya memahami tentang kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, namun ia tahu bahwa ia berbeda dengan anak-anak lain di usianya.
Sejak saat itu, ia belum pernah lagi menginjakkan kaki di hutan karena Nyi Kunyit melarangnya. Ia tidak takut sebenarnya, dan justru penasaran. Ia hanya ingin menjaga perasaan ibunya.
Di usianya yang ke 7 itu, Batari Mahadewi terlihat jauh lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Segel pertama yang telah terbuka di usianya yang ke 2 tahun juga secara otomatis mempengaruhi kemampuan Batari Mahadewi dalam menyerap pengetahuan di sekitarnya.
Kadang ia merasa sedih dan kesepian. Ia tak pernah benar-benar memiliki teman. Ia tak bisa menikmati permainan anak-anak seusianya seperti Rangga anak Nyi Santan ataupun anak-anak dar tetangga lainnya. Terkadang ketika bermain dengan teman-temannya, ia lebih suka memperhatikan mereka, mengajari sesuatu yang belum mereka ketahui, atau memperingatkan mereka untuk berhati-hati.
Batari Mahadewi anak yang pemberani. dikala anak-anak lain tak berani bermain di tempat-tempat yang dianggap angker, ia justru malah datang ke sana, melihat-lihat, merasakan energi tertentu, dan mempelajari aksara-aksara yang muncul di tempat-tempat itu.
Batari Mahadewi sangat haus akan pengetahuan. Sayangnya, Nyi Kunyit dan orang-orang disekitarnya bukanlah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas. Mereka hanyalah masyarakat biasa sehingga tak banyak yang bisa dipelajari oleh Batari Mahadewi kecuali hal-hal dalam keseharian.
Ia lebih banyak belajar dari alam. Sedikit banyak ia memahami bahwa gerak tubuh binatang merupakan isyarat yang bisa dibaca. Pernah ia sesekali mencoba untuk berkomunikasi dengan binatang, namun sayangnya ia belum mampu melakukannya dengan baik. Ia hanya bisa memahami perilaku binatang.
Ia juga bisa merasakan bahwa tumbuh-tumbuhan juga memiliki indera yang jauh lebih banyak dari manusia dan jauh berbeda bentuknya. Apabila manusia bisa menggunakan telinga, hidung, lidah, kulit, dan matanya untuk merasakan dunia. Satu bagian tumbuhan seperti misalnya daun memiliki puluhan indera yang berbeda, namun fungsi dasarnya sama, yakni untuk hidup dan merasakan dunia.
Yang aneh, tumbuhan ini bisa merekam peristiwa yang terjadi di sekitarnya, sehingga pada dasarnya tumbuhan bisa memantulkan kembali segala hal yang pernah terjadi di situ.
Batari Mahadewi belum terlalu bisa membaca guratan tanda, misalnya pada pohon-pohon besar yang menyimpan sejarah panjang. Namun ia bisa dengan mudah mempelajari dan kemudian membaca aksara, baik aksara manusia ataupun aksara siluman. Hal ini mengalir begitu saja. Namun karena keterbatasan aksara yang bisa ia temui di lingkungannya, maka tak banyak hal yang bisa ia baca.
Itulah sebabnya, ketika Batari Mahadewi sedang sendirian, ia akan berjalan-jalan di sekitar pepohonan, mencari pohon-pohon besar yang berusia puluhan atau ratusan tahun, untuk belajar membaca sejarah masa lalu yang terekam dalam batang pohon itu. Kelak ketika ia dewasa, ia bisa sepenuhnya menafsirkan semua tanda yang tercatat dalam pepohonan, bebatuan, dan segala hal yang memancarkan energi.
Batari Mahadewi tak penah menceritakan kemampuannya yang di luar nalar ini kepada siapapun. Ia berfikir bahwa tak akan ada seorangpun yang mempercayainya.
Pernah pada suatu hari, seusai bermain dengan teman-temannya di sungai, ia tak lekas pulang. Hari hampir petang. Ia sedang asyik duduk di atas batu besar, memandangi langit yang mulai mengeluarkan guratan jingga, mendengar kecipak air, suara burung, dan merasakan desir angin yang tak putus menerpa tubuhnya. Ia lalu tertidur.
Dalam tidurnya itu, ia tak menyadari kehadiran seekor ular besar yang bergerak sangat perlahan mendekatinya. Tentu ular ini bukan sembarang ular, melainkan siluman ular yang berusia ratusan tahun. Maka energi dari segel pertama yang telah terbuka belum bisa merasakan kedatangan ular tersebut.
Dengan sangat perlahan, siluman ular itu membuka mulutnya dan menelan Batari Mahadewi secara utuh. Di dalam perut ular itu, Batari Mahadewi terbangun dari tidurnya. Ia kaget karena tiba-tiba ia berada di sebuah ruang kosong yang sangat luas.
Dinding-dinding dalam ruang kosong itu penuh dengan aksara siluman yang bentuknya jauh berbeda dengan aksara yang sering ia lihat di lingkungannya.
Aksara siluman di dalam ruang kosong itu merupakan segala pengetahuan yang mengandung kesaktian siluman ular. Setiap siluman akan menyimpan pengetahuannya dalam tubuhnya. Dari dalam perut ular itulah Batari Mahadewi mempelajari aksara siluman untuk pertama kalinya.
Selama tujuh hari Batari Mahadewi berada dalam perut siluman ular dan selama itulah ia belajar aksara siluman dan mempelajari segala pengetahuan dari siluman ular itu.
Lalu apa yang terjadi setelah siluman ular itu menelan Batari Mahadewi? Siluman ular itu merasakan sakit perut yang amat sangat karena tak bisa mencerna dan menyerap Batari Mahadewi dan juga tak bisa memuntahkannya. Ia tak menyangka bahwa ia akan salah memilih mangsa.
Sebaliknya, tubuh Batari Mahadewi terus menerus menyerap energi dari siluman ular itu dan ia sendiripun tak bisa menghentikannya selain merasakan begitu saja energi besar yang menerobos masuk dalam tubuhnya, mengalir dalam darahnya.
Setelah sepenuhnya menguasai ilmu dari siluman ular itu, lantas ia menyerap seluruh energi dari siluman ular lalu
mengeluarkannya dalam jumlah besar sampai perut siluman itu meledak. Inilah pertama kalinya Batari Mahadewi belajar ilmu beladiri dan belajar caranya mengelola energi; menyerap, menyimpan dan mengeluarkan dengan kekuatan tertentu.
Dalam waktu tujuh hari itu, warga desa Cemara Seribu gempar karena mendengar cerita hilangnya Batari Mahadewi. Mereka mencari ke seluruh pelosok desa dan hasilnya nihil. Nyi Kunyit lemas dan sempat kehilangan kesadaran beberapa kali serta tak henti-hentinya menangisi anaknya yang hilang.
Setelah keluar dari dalam perut ular, Batari Mahadewi bergegas pulang. Dari jauh, Nyi Kunyit yang melihat kedatangannya segera berteriak menyambut, “Anakkuuuuu….kemana saja kau nak?” seru Nyi Kunyit sambil menangis sesengukan.
“Maafkan aku ibu, beberapa hari ini aku tersesat di hutan.”Jawab Batari Mahadewi. “Oh anakku, kenapa kamu masih bermain di hutan? Bukankah ibu melarangmu?” balas Nyi Kunyit.
“Sudahlah ibu, jangan bersedih. Yang penting aku selamat.” Jawab Batari Mahadewi sambil tersenyum menenangkan ibunya. Ia tak mau orang yang paling ia sayangi itu terlalu khawatir atas keselamatannya. Bukankah ibu masih ingat di hutan waktu itu? Bahkan seekor harimaupun tak bisa melukaiku. Jadi ibu tak perlu mengkhawatirkanku. Aku pasti akan pulang dan bertemu ibu. Sampai kapanpun aku akan menjaga ibu."
Nyi Kunyit hanya bisa diam dan lega. Ia tahu benar akan kekuatan ajaib Batari Mahadewi dan ia tak pernah menceritakannya kepada siapapun tentang kejadian saat ia dan Batari Mahadewi bertemu harimau di hutan waktu itu yang menjadi sebuah pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!