NovelToon NovelToon

LAKI-LAKI DI PERSIMPANGAN JALAN

1. Pandangan pertama

Hujan pagi itu membangunkan tidur Rere. Desah angin melalui jendela menyeruak masuk dalam kamar. Rere menggeliat, mencoba membetulkan selimut. Jam menunjukkan pukul 03.00. Masih gelap. Sepi.

tik tik tik air hujan menetes di genting. mata Riri membelalak menikmati nada-nada air hujan. tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar.

tok tok tok

"Re.. Rere bangun bangun salat malam yuk temenin mamah."

"Masih ngantuk mah, mamah duluan aja nanti Rere nyusul."

Akhirnya Mama pergi ke belakang membersihkan diri dan ambil air wudhu. lalu Mama menggelar sajadah. mama kusuk dalam salatnya. air mata berderai, teringat papa yang sudah pergi lagi.

"papa papa jangan tinggalkan aku..."

selesai salat Mama mendekati Rere dan mencoba membangunkan.

"Rere bangun Re, kamu kenapa?

Rere terbangun dan mengucap astaghfirullahaladzim. Matanya mengerjap melihat kiri dan kanan. Mama mendekati Rere dan memeluknya.

"Mama... aku kangen papa. tadi datang dalam mimpiku."

"Tenanglah Re...besok kita ke makan Papa ya."

Rere mengangguk, wajahnya terlihat murung. Adzan subuh berkumandang, mereka bergegas siap-siap ke masjid. Selepas subuh mereka tidak masak. Mereka berdua langsung menuju makam yang letaknya tak jauh dari rumah. Mungkin kalau diukur sekitar lima km.

Tak sampai lima menit mereka sudah sampai makam. Tanah masih basah oleh hujan semalam. Rumput yang semula kering kembali menghijau. Daun jati, pohon Kamboja muncul daunnya.

Rere membersihkan makam ayahnya yang meninggal 17 tahun yang lalu. Saat itu Rere masih berusia satu tahun.

"Nduk, papahmu itu orang baik. Beliau sangat sabar dan disiplin ganteng lagi."

Sembari cerita mama mencabuti rumput yang tumbuh liar di sekitar makam. Udara pagi masih segar. Jauh dari polusi. Titik-titik embun bergoyang-goyang di pucuk-pucuk daun.

"Mah, kenapa Papah meninggal?"

Mama melihat wajah Rere, dipeluknya dan diciumnya. Air mata mengembang di sudut mata mama.

"Papah sakit sayang. Mamah gak bisa menolong dia."

"Sakit? sakit apa mah...?"

Mata mama menerawang jauh ke depan. Teringat semua kisah dengan papah Rere.

***

Di sebuah kampus ternama, banyak mahasiswa yang sibuk dengan tugas mata kuliah dan praktek. Dio adalah cowok ganteng idola para mahasiswi. Ketua senat mahasiswa, dengan segudang prestasi. Bintang basket, Taek Wondo dan Malimpa (mahasiswa pecinta alam). Cewek mana yang tidak tergila-gila dengan dia.

Adalah Sofi, juga seorang mahasiswi yang cantik dan menarik. Segudang prestasi juga diraih. Juara satu lomba penulisan artikel tingkat kampus, lanjut antar kampus sampai tingkat Nasional. Dia sangat pendiam, tidak suka jalan-jalan dengan temannya. Tempat favoritnya adalah perpustakaan.

Ada mahasiswi cantik dan seksi bernama Rubby. Dia paling terkenal di kampus karena suka gonta-ganti pacar. Hampir semua orang mengenal dia. Hobbynya shoping dan traveling. Kata orang dia anak Borjuis. Papah mamahnya seorang pengusaha. Perusahaan papanya tersebar di mana-mana.

Siang itu di kampus. Dio, Sofi dan Rubby bertemu di aula,. kebetulan ada kegiatan temu mahasiswa.

"Hai, namaku Rubby..."

Tangannya menggamit Dio.

"Eh, maaf. Aku Dio, kamu ambil fakultas apa?"

"Ekonomi Management dong, kamu?"

"Teknik Sipil, maaf saya ke depan dulu ya."

Dio meninggalkan Rubby dan Sofi.

"Hai... siapa namamu? Aku Rubby dari Fak Ekonomi Management. Kamu jurusan apa??"

Mata Dio menoleh ke arah Sofi sekejap. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Deg... hati Sofi bergetar. Mata Sofi menatap Dio dari belakang, sampai hilang tertelan para mahasiswa yang hadir di aula tersebut.

Rubby mengulurkan tangannya ke tangan Sofi. Suasana aula makin panas. para mahasiswa makin penuh sesak.

"Eh, iya aku Sofi, dari FKIP Bahasa Indonesia. Kamu kos atau di rumah?"

"Rumah, Deket kok. paling setengah jam dari rumah. Kalau kamu?"

"Aku kos di belakang kampus. Kapan-kapan mampir ke tempatku."

"Ia oke. kapan-kapan ya. Eh, kamu kenal sama itu, Dio."

"Enggak, aku baru tahu tadi. Kalau dia ketua senat."

"Dia ganteng ya. Seleraku banget tuh."

"Hem, kalian sepertinya cocok."

"Benarkah?"

"Iya. Kamu cantik, Dio ganteng. Klopp kan."

"Kita tos dulu. bantu aku ya..."

Sofi mengangguk, mereka masih asyik mendengarkan penjelasan dari bidang akademik, untuk kegiatan semester ini. Kegiatan berlangsung selama tiga jam. Para mahasiswa masih setia menerima penjelasan dari kampus. Sampai akhirnya kegiatan berakhir. Para mahasiswa membubarkan diri.

Sofi dan Rubby keluar bersamaan. Mereka diam, entah apa yang mereka pikirkan. Tiba-tiba Rubby teriak.

"Dio...tunggu aku."

Kulihat Dio berkelebat jalan menuju kantin. Sofi hanya diam menatap mereka berdua.

"Eh, Rubby. Mau ikut? Mau cari makan di kantin."

"Iya nih, kebetulan lapar banget. Nanti biar aku yang traktir deh."

"Eh, itu temanmu ya, kenapa nggak sekalian diajak? Kan seru."

"Eh, iya ya...temen baru kenalan tadi."

Rubby menghampiri Sofi dan menggamit tangannya.

"Yuk ah, ikutan. daripada bengong di kos. gak ada kuliah kan?"

"Enggak, nanti sore ada."

Mereka bertiga masuk kantin dan duduk di pojokan yang kebetulan masih kosong.

"Mbak, bakso tiga sama... Sofi...kamu mau minum apa?"

"Teh tawar aja."

"Kamu Dio?"

"Sama dengan dia."

Dio menatap Sofi, senyumnya tersungging.

"Okey, mbak dua teh tawar sama es jeruk ya... Gak pakai lama ya.??"

Sementara mbak Kantin melayani, kami ngobrol.

"Eh, namamu siapa? Aku Dio."

Dio mengulurkan tangannya pada Sofi.

"Eh, iya. Saya Sofi."

"Kalian belum kenal ya. Udah... Dio...lepasin tangan Sofi."

"Eh, maaf maaf..."

Dio melepaskan genggamannya. Sofi tersipu malu.

"Maaf juga."

Mereka berdua jadi salting. Dio hanya senyum-senyum. Sedangkan dada Sofi bergemuruh. Seluruh tubuhnya bergetar, gemetar. Entahlah. Baru pertama ini merasakan sesuatu yang luar biasa. Badan Sofi panas dingin.

"Hidangan sudah siap, silakan menikmati."

Mbak Kantin meletakkan pesanan di meja. Rubby duduk jajar dengan Dio, sedangkan Sofi berhadapan. Duh... gimana nih, aku jadi grogi. Mengapa harus berhadapan dengan Dio?? Batin Sofi.

Suasana kantin makin siang makin ramai. Mungkin mereka sudah merasa lapar. Suara dentingan sendok dan garpu beradu dengan mangkuk menambah nikmatnya sensasi bakso kantin.

"Eh, Dio, kamu kos atau tinggal di rumah?"

"Aku tinggal di kos. Sebelah timur kampus. Kalau dari rumah jauh."

"Memangnya rumah kamu di mana?"

"Jauh, lima jam dari sini."

"Iya, mana?"

"Mau ke rumahku apa?? Kamu bakal nggak kuat."

"Oke, kalau gak mau ngaku. Besok pasti aku tahu."

"Sofi, kamu gak pulang. Besok kan libur."

"Enggak Rub, banyak tugas yang harus diselesaikan Minggu ini. Juga kegiatan yang lain. Aku sudah kabari ibuku koq."

"Kapan-kapan aku boleh ya ke tempat kosmu?"

"Boleh, silakan. dengan senang hati."

"Kalau aku, boleh Ndak ke rumah Sof..?"

"Em, boleh. Tapi...sama Rubby ya...."

Mereka tersenyum bahagia. Selesai makan bakso mereka berpisah, pulang ke tempat masing-masing. Rubby pulang dengan mobil Honda jazz warna putih. Sedangkan Sofi jalan kaki menuju kos. Dio juga sama, jalan kaki.

***

Bersambung

2. Persahabatan Dio, Rubby dan Sofi

Sejak pertemuan ketiga orang itu, mereka selalu bersama. Di mana ada Dio pasti ada Rubby dan Sofi. Ketika di kampus saat tak ada perkuliahan atau sebelum kuliah.

Ahad pagi, Dio menghampiri Sofi dan Rubby. Mereka membuat rencana jalan-jalan ke car free day. Setibanya di rumah Sofi.

"Assalamualaikum."

Dio mengetuk pintu. Ibu kost keluar. Wajahnya sumringah, baju warna ungu wnada dengan kerudung warna ungu muda.

"Wa Alaikum salam, eh ada tamu. mari silahkan masuk. Mau cari siapa?"

"Eh, anu Bu. Sofi ada? Saya Dio teman satu kampus."

"Oh, sebentar. Sepertinya dia sedang keluar. Tunggu sebentar ya. Paling lima menit lagi dia balik."

Dio duduk di teras depan. Diambilnya gawai di tasnya.

Tring

Ada chat masuk.

[Pagi Dio, kamu lagi dimana? Aku sudah di TKP nih. Lama amat.]

[Sebentar, aku masih di rumah Sofi. Dia baru keluar. Bentar, paling lima menit lagi]

Dug dug dug... Ada langkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa.

"Eh, maaf... maaf. Hari ini aku mesti pulang. ibuku... ibuku...."

Suara Sofi mengejutkan Dio.

"Eh, duduk dulu. ibumu kenapa??"

Sofi duduk di kursi sebelah Dio. Nafasnya memburu. Keringat bercucuran di balik kerudung warna pink. Tiba-tiba ibu kost keluar membawa teh manis.

"Eh, Sofi. Kamu kenapa? Ini minum dulu biar tenang."

Ibu kost mengangsurkan segelas teh pada Sofi. Matanya memandang ke arah Dio. Diterima segelas teh dari tangan ibu kost. Dicecapnya teh manis itu setengah.

"Ibumu kenapa Sof?"

"Ibuku masuk rumah sakit. Kata adikku beliau kritis."

Air mata Sofi tak terbendung lagi. Sofi memeluk ibu kost. Tubuhnya terguncang. Pikirannya sudah pulang ke rumah sakit, tempat ibunya dirawat.

"Kalau begitu aku antar kamu ke sana Sof."

Dio menawarkan diri. Ibu kost membujuk Sofi agar mau diantarkan Dio. Sofi memandang Dio, mencoba meyakinkan diri. Apakah Dio bisa dipercaya atau tidak.

"Terus kita naik apa? Rumahku jauh lho."

"Bawa motor ibu saja. Nanti beli bensin dulu."

Ibu kost menawarkan motornya untuk dipakai.

"Baiklah Bun, saya ikut aja. Maafkan Sofi Bun, selalu merepotkan."

Sofi melepaskan pelukannya. Ibu kost mengelus punggung Sofi.

"Sabar ya nduk. Semoga ibumu Ndak papa."

Sofi mengangguk takzim, kemudian masuk kamarnya untuk bersiap. Motor Honda Vario warna hitam putih dikeluarkan Dio dari garasi. Sementara nunggu Sofi siap, Dio memanaskan mesin. Sofi keluar kamar, Jean warna hitam, kaos merah hati dipadu jilbab warna pink menambah keanggunan Sofi.

Mata Dio membelalak. Cantik juga nih anak, anggun dan menawan, batin Dio.

"Yuk berangkat nanti keburu siang."

Suara Sofi mengagetkan Dio.

"Eh, anu. Kamu sudah siap."

Dio menjawab dengan gugup. Salah tingkah. Tiba-tiba degub jantung Dio berdebar kencang.

"Eh, sudah mau berangkat. Hati-hati di jalan ya. Dio, tolong jaga Sofi ya..."

Ibu kost mengantarkan mereka sampai pintu gerbang.

"Bismillahirrahmanirrahim, berangkat dulu Bun."

"Assalamualaikum Bun."

Sofi melambaikan tangan pada ibu kost. Sepeda motor melangkah pelan. Dio merasa kikuk. Baru pertama kali dia memboncengkan seorang gadis, setelah ibu dan kakak perempuannya.

"Aoww... pelan-pelan Dio. Konsentrasi dong."

"Maaf, maaf."

Motor melewati lubang yang cukup lebar. Untunglah tidak jatuh. Di sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Mereka asyik dengan pikirannya masing-masing.

Ting

Ting

Ting

Ada chat masuk. Sofi membuka gawainya.

[Sofi, kamu dimana? Kakak sudah di rumah sakit nih. Cepat. Ibu makin kritis. Beliau memanggil namamu terus.]

"Dio, bisa cepat dikit. Ibu makin kritis."

Seperti dikomando, Dio langsung tarik gas.

"Kamu pegangan yang kuat Sof."

Mata Sofi terpejam, tangannya melingkar di pinggang Dio. Jaket kulit yang membatasi tubuh Sofi dan Dio. Mulut Sofi tak henti-hentinya berdzikir mohon keselamatan.

Pssssssst.., tiba-tiba ban oleng karena bocor.

Braaakkk....

Sepeda motor ambruk di pinggir jalan. Dio dan Sofi jatuh terlempar.

"Astaghfirullahaladzim... ya Allah. Aow..."

Sofi menjerit. Kakinya terluka. Dio tersadar dia jatuh. Dicarinya Sofi.

"Sofi, kamu Ndak papa kan?"

"Alhamdulillah, gak papa. Cuman lecet dikit. Kamu Gana Dio."

"Alhamdulillah, gak papa. Maafkan aku ya."

"Kamu gak salah, bannya yang bocor. Untunglah Ndak ada mobil lewat."

Mereka berhenti di bawah pohon. Sudah setengah perjalanan. Masih setengah jam lagi.

"Kita istirahat sebentar ya."

Sofi mengangguk. Matahari makin tinggi. Jam menunjukkan pukul 10.00. Angin siang berhembus pelan.

Tring ada chat masuk.

Dio membuka gawainya.

[Dio, kamu dimana??? Saya nunggu sampai kering nih!!! Kalian pada kemana sih! Sebel.]

"Astaghfirullahaladzim, Sofi. Bukankan tadi janjian sama Rubby?"

"Ya Allah."

Sofi menutup mulutnya. Kaget setengah mati. Dio dan Sofi saling pandang.

"Rubby wa, aku jawab apa?"

"Jawab jujur aja. Kalau kita pergi. Ada hal penting."

Dio menjelaskan semuanya pada Rubby. Rupanya Rubby tidak bisa menerima alasan mereka. Semua chat Dio tidak dibalas. Dio berusaha menelpon, tapi Rubby bergeming.

"Gimana Rubby?"

Dio mengangkat bahunya.

"Biar aku yang jelaskan nanti. Kita lanjutkan yuk. Bentar lagi sampai."

Mereka melanjutkan perjalanan setelah menambahkan ban. Kebetulan ada tambal ban di dekatnya. Perjalanan dipercepat, tidak sampai setengah jam mereka sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju ruang ICU. Kakak Sofi mengabarkan ibunya dirawat di ICU.

"Sofi..."

Sofi menoleh, kakaknya mendekati sambil menangis. Mereka berpelukan sambil menangis. Dio melihat dari kejauhan.

"Gimana keadaan ibu mas?"

"Masih kritis. Namamu selalu disebut. Kamu cepat masuk sana. Semoga ibu tahu kehadiranmu."

Sofi melihat Dio. Dengan bahasa isyarat, Sofi mohon ijin masuk ruang ICU. Dio hanya mengangguk. Mas Noval mendekati Dio. Dia mengulurkan tangannya ke Dio.

"Kenalkan, aku Noval kakaknya Sofi."

"Dio, teman satu kampus Sofi. Tapi beda fakultas."

Noval dan Dio duduk berdekatan. Mereka ngobrol. Sementara Sofi sudah berada di ruang ICU. Bau khas rumah sakit menyeruak. Bau obat, pembersih ruang, AC yang sangat dingin, suara deteksi jantung silih berganti.

"Sofi.... Sofi...."

Sofi mendekati bad tempat ibu dirawat. Selang infus, selang oksigen, alat deteksi jantung dan tensi terpasang. Sayup-sayup terdengar suara ibu menyebut namanya.

Air mata Sofi tak terbendung. Dipegang tangan ibunya yang lemah. Diciumnya, sambil menyebut namanya.

"Ibu...ini aku, Sofi Bu.... Sofi...."

Tangan ibu bergerak-gerak, seakan tahu kehadiranku. Kelopak mata ibu bergerak-gerak. Mulut Sofi tak henti-hentinya berdzikir, berdoa. Pelan-pelan mata ibu terbuka. Matanya langsung melihat wajah Sofi.

"Sofi....Sofi....Sofi...."

"Ibu...."

Sofi memeluk ibunya. Tangisnya makin pecah. Perawat berusaha menenangkan.

"Mbak, biar Ibu istirahat dulu. Tadi kritis. Tidak sadarkan diri. Ini mukjizat. Ibu mbak sadar kembali."

Dengan berat Sofi melepaskan pelukannya. Matanya masih basah oleh air mata.

"Sofi.... Sofi... Sofi...."

bersambung

3. Rubby Ngambeg

Melihat ibunya sudah sadar, Sofi langsung sujud syukur. Air mata bening mengalir di pipinya. Hijabnya basah. Sofi melihat ibunya yang diperiksa oleh dokter. Pelan-pelan Sofi keluar menemui kakaknya dan Dio yang menunggu di luar.

Aroma ruang ICU berubah wangi. Mungkin perasaan Sofi yang bahagia, suasana menjadi berubah. Sesampai di luar, Sofi menemui kakaknya.

"Bagaimana keadaan ibu Dik?"

"Iya gimana keadaan ibu sekarang Sof?"

Kak Noval dan Dio mencecar dengan pertanyaan. Sofi duduk di sebelah kak Noval. Dengan tenang dan wajah tersenyum.

"Alhamdulillah, masa kritis ibu telah lewat. Ibu sudah sadar Kak, Dio."

"Alhamdulillah..."

Kak Noval Dio mengungkapkan hamdhallah bareng. Mereka langsung sujud syukur. Suasana ruang tunggu ICU makin ramai. Banyak pembesuk yang bergantian menunggu.

"Kak, biar Sofi nunggu Ibu ya... sampai ibu sehat kembali."

"Gimana dengan kuliahmu? Gak ganggu?"

"Kebetulan jeda semester Kak, jadi kosong dua minggu."

"Baiklah kalau Ndak gaanggu kuliahmu."

"Dio, saya bisa minta tolong."

"Bisa, bisa...apa yang bisa saya bantu Sof?"

"Tolong ambilkan aku baju ganti, nanti saya wa temen sekamar biar menyiapkan semuanya. Besok tinggal ambil."

"Oke, siap... Karena sudah sore saya pamit dulu ya. Besok baju gantinya saya bawakan."

"Oke. Makasih ya, sampaikan ke Ibu kost. Aku nunggu ibu di rumah sakit."

Dio mengangguk, langsung berpamitan dengan kak Noval. Di sepanjang perjalanan Dio banyak memikirkan Sofi. Dia wanita yang sangat kuat dan cerdas.

Ting

Ting

Ting

Ada telepon masuk. Dio menghentikan motornya di pinggir jalan yang sepi. Diambilnya gawai di saku jaket. Ada sepuluh panggilan tak terjawab. Diangkat telepon terakhir. Rubby???

"Hallo.... . Assalamualaikum..."

"Salam, Dio...!!! Kami di mana sih! Ditelepon berkali-kali Ndak diangkat. Penting ini."

Rubby langsung mencecar dengan pertanyaan. Kemarahan yang meledak-ledak seperti petasan. Telinga Dio rasanya terbakar.

"Aku ke rumahmu ya. Sekarang. Kamu sedang di rumah kan?"

"Iya! cepetan. Ada hal penting banget."

Klik

Gawai langsung dimatikan oleh Rubby. Sabar sabar... menghadapi perempuan harus ekstra sabar. kata Dio dalam hati.

Dio langsung memacu motornya menuju rumah Rubby. Tapi sebelumnya mengabari ibu kost Sofi, kalau ada urusan penting. Jadi pulang agak malam. Pikiran Dio tidak tenang. Dia tidak ingin menyakiti siapapun. Sofi dan Rubby adalah sahabat yang disayanginya. Keduanya sama-sama baik.

Setengah jam berlalu, Dio sampai di rumah Rubby. Suasana rumah sepi. Taman yang asri, banyak bunga-bunga tertata rapi. Kolam koi di pojokan menambah kesejukan taman. Aroma wangi melati tercium. Segar. Dio memencet bel yang terletak di sebelah pintu rumah yang terbuat dari kayu jati.

Tak tak tak

Ada langkah-langkah kaki mendekati pintu. Sesosok kepala menyembul di balik pintu. Perempuan paruh baya, mungkin pembantu.

"Nyari siapa???"

"Rubby ada mbak?"

"Eh, Non Rubby baru keluar sebentar, katanya tadi kalau mas Dio datang suruh nunggu. Mas Dio kan?"

"Oh, iya iya...saya Dio."

"Silakan masuk, saya buatkan minum sebentar."

Dio duduk sendirian di ruang tamu. Diambilnya gawai di saku jaketnya. Dio menghubungi Rubby.

[Rub, kamu dimana. Saya sudah sampai rumahmu.]

Centang satu. Artinya Rubby off. Mbak Sum pembantu Rubby menyuguhkan teh manis dan cemilan.

"Silakan diminum Mas, saya tinggal dulu."

"Makasih mbak, saya tunggu Rubby."

Dio masih menunggu Rubby dengan sabar. Semenit, setengah jam, satu jam sampai dua jam. Kesabaran Dio sedang diuji. Pikiran Dio mulai gelisah. Malam beranjak. Sebentar lagi Magrib. Dio berdiri, jalan ke sana kemari.

Ting

Ting

Ting

Ada telepon masuk. Dari Rubby.

"Assalamualaikum."

"Wa Alaikum salam, kamu dimana Rubby? Sudah dua jam aku nunggu. Kapan pulang."

"Eh, maaf Dio. Saya Ndak bisa pulang. Aku keluar kota, pulang besok. Maafkan aku ya Dio. Tadi acaranya mendadak. Jadi Ndak sempat ngabarin kamu."

"Ah, kamu Rubb. Ya sudah, saya pulang dulu. Besok kabari kalau sudah pulang."

Klik.... Rubby langsung mematikan gawainya.

Dio langsung berpamitan dengan mbak Sum. Azan magrib berkumandang, Dio bergegas pulang. Dipacu motornya menuju tempat kost Sofi. Perasaan Dio jadi kacau balau.

Sesampai di tempat kost Sofi, ibu kost sudah menunggu di teras. Setelah memarkir motor Dio langsung mendekatinya.

"Maafkan saya Bu, tadi ke rumah Rubby dulu. ternyata dia pergi. Maafkan saya Bu."

Dio menunduk, mohon maaf pada ibu kost.

"Gak papa, yang penting kamu selamat. Gimana keadaan ibunya Sofi?"

"Alhamdulillah masa kritis sudah lewat. Tadi setelah bertemu Sofi, ibunya langsung sadar."

"Alhamdulillah... syukurlah kalau sudah membaik. Semoga cepat pulih kembali."

"Aamiin... Alhamdulillah. Sofi mohon ijin untuk menunggu sampai beliau sembuh."

"Iya... Biar ibunya ayem.. Sepertinya Sofi adalah anak perempuan satu-satunya. Jadi sangat dirindukan."

"Iya Bu, saya juga disuruh mengambilkan baju gantinya. Rencana besok saya antarkan ke rumah sakit."

"Iya, tadi teman kamar Sofi sudah menyiapkan semuanya."

"Baiklah Bu, saya mohon ijin dulu. Besok saya antarkan baju ganti Sofi."

"Ya sudah, hati-hati di jalan ya. Ohya Dio, besok pakai motor ini lagi gak papa."

"Inggih Bu, makasih."

Dio pulang ke kost yang letaknya tak jauh dari kost Sofi. Gimana keadaan ibu Sofi sekarang? Batin Dio. Nanti wa dari rumah. Mending sekarang pulang, mandi dan istirahat.

***

Sementara itu di rumah sakit, Sofi bisa istirahat dengan tenang. Perkembangan kesehatan ibunya makin membaik. Tekanan darah mulai stabil. Mungkin hari ini bisa pindah ke bangsal perawatan. Sudah tiga hari Sofi menemani Sofi.

Benar. Hari ini ibunya Sofi pindah ke bangsal perawatan. Kondisinya makin membaik. Tekanan darah sudah stabil. Oksigen sudah tidak terpasang lagi. Sofi membereskan semua barang untuk dipindahkan ke bangsal perawatan. Bangsal Flamboyan 3 no 15A.

Perawat sudah menyiapkan semuanya. Ibu dibawa mereka menuju bangsal perawatan. Sofi dan Kak Noval mengikuti dari belakang.

Siang itu suasana masih agak sepi. Mungkin karena belum jam bezok. Jam menunjukkan angka 08.30. Benar juga, jam bezok 10.00 sampai 13.00. Makanya masih agak sepi.

Tap tap tap

Ada langkah mengejar.

"Sofi...."

Sofi berhenti, dilihat Dio mendekati.

"Hah...hah...ha.... (nafas Dio terengah-engah) Gimana keadaan ibu?"

"Alhamdulillah sudah membaik. Ini pindah di bangsal perawatan."

"Alhamdulillah syukurlah. Sini aku bantuin bawa."

Dio mengambil tas besar yang dibawa Sofi. Kak Noval meninggalkan mereka berdua. Dia takut mengganggu mereka. Ibu dan kak Noval sudah sampai di kamar, selang beberapa menit Sofi dan Dio menyusul.

Sofi merapikan barang-barang di bangsal Flamboyan. Suasana terasa lebih nyaman dibanding di ICU. Dio memperhatikan kecekatan tangan Sofi. Tampak terlihat tidak canggung. Dia bukan tipikal perempuan manja.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!