Regina, gadis cantik berlesung pipit. Rambut hitam panjangnya selalu menemani hari-harinya. Bagi seorang wanita, rambut adalah salah satu bagian tubuh yang cukup penting dan harus dirawat agar selalu sehat dan berkilau. Di luar rumah, Regina tidak pernah mengikat rambutnya, dia membiarkan rambut hitamnya tergerai. Regina bekerja di perusahaan milik Surya Wijaya, papinya sendiri. Sejujurnya dia sangat tidak tertarik dengan dunia bisnis, tapi karena sang papi memaksa, Regina pun terpaksa menurutinya.
Surya berpikir, jika bukan regina lalu siapa yang akan meneruskan perusahaanya ini karena Regina anak tunggal di keluarga tersebut.
Regina makam malam bersama papi dan maminya. Di tengah makan malam tersebut, papi Regina membuka obrolan.
“Re, apa kamu tidak bisa menuruti apa kata papi?”
“Maksud, Papi? Bukannya Regina sekarang sudah bekerja di kantor, Papi?” jawab Regina halus.
“Bukan itu, Re.”
“Lalu apa, Pi?”
“Tentang Anton, Re.”
Regina menjatuhkan sendok dan garpunya hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras.
“Pi, aku tidak ingin membahas ini! Sudah berapa kali Regina mengatakannya, aku mencintai dia. Sampai kapanpun Regina tidak akan mau berpisah dari Anton!” teriak Regina.
“Regina, Bicara yang sopan! Papi ini orangtua kamu. Papi ingin kamu bahagia, kamu tau sendiri Anton itu lelaki seperti apa. Dia tidak akan bisa membahagiakanmu!” Surya ikut emosi.
“Pi, sudah jangan membahas masalah ini di meja makan. Kita membahasnya nanti,” pinta Mami Ira dengan lembut.
“Anakmu ini semakin lama semakin susah diatur semenjak mengenal Anton!”
“Cukup, Pi, Anton itu baik, tidak seperti apa yang, Papi, pikirkan selama ini!” Regina beranjak pergi ke kamar meninggalkan meja makan.
“Regina! Papi belum selesai bicara. Regina!” teriak Papi Surya.
Regina tidak menggubris teriakan papinya. Dia tetap berjalan ke kamar lalu membanting pintu dengan cukup keras.
“Pi, kenapa selalu seperti ini jika menyangkut masalah Anton. Anak kita mencintainya, Pi, biarkan saja Regina bersama Anton, yang penting anak kita bahagia,” lembut Mami Ira.
“Mi, Kalau Anton itu pria yang baik. Dia pasti akan menemui kita untuk kelanjutan hubungannya dan Regina. Pria itu pasti akan meminta Regina secara baik-baik kepada kita. Tapi, apa ini? Sejak kuliah sampai sekarang pria itu tidak pernah berniat menemui kita. Sudahlah, Mi, sampai kapanpun papi tidak akan merestui hubungan Regina dan pria itu!" Papi Surya beranjak pergi menuju ruang kerjanya.
Mami Ira menghela napas panjang melihat suami dan putrinya yang selalu bertengkar jika menyangkut masalah Anton.
Ira menuju kamar Regina berniat ingin menghibur putrinya tersebut.
“Mau kemana kanu, Re?” tanya Mami Ira yang melihat Regina sudah rapi seraya mengambil tas jinjingnya.
“Aku mau ke apartemen Jessica, Mi.”
“Tapi, Re, ini sudah malam. Besok saja ke apartemen Jessica. Besok kan weekend.” Pinta Mami Ira pada Regina.
“Regina akan menginap di sana, Mi.”
“Tapi—”
Regina memotong ucapan maminya. “Mi, Aku mohon. Regina tidak ingin berdebat dengan papi lagi.” Regina memeluk maminya.
“Baiklah, berhati-hatilah.” Mami Ira mengantar Regina hingga ke pintu utama. Sia kembali masuk setelah dirasa mobil Regina sudah tak terjangkau dari pandangannya.
Regina menghentikan mobilnya di pinggir jalan, dia menelpon Anton sebelum ke apartemen Jessica.
“Sayang, kamu dimana?” tanya Regina pada Anton.
“Aku di rumah, Re, ada apa?” tanya balik Anton.
“Bisakah kamu menemuiku sekarang?”
“Kamu dimana?”
“Aku di jalan X.”
“Baiklah, aku akan kesana.”
Tidak butuh waktu lama, Anton datang mengendarai mobilnya. Regina yang melihat Anton pun segera turun dan mendekati Anton.
“Ada apa, Re?” Anton juga mendekat pada Regina.
Tanpa berkata sepatah kata Regina langsung memeluk tubuh Anton.
“Ada apa?? apa masalah papi lagi?” tanya Anton dan Regina mengangguk.
Anton melepaskan pelukan Regina.
"Re, sudahlah kita akhiri saja hubungan ini, sampai kapanpun papimu tetap tidak akan merestui hubungan kita. Aku sudah lelah jika harus seperti ini terus menerus.”
“Anton jangan mengatakan itu, aku sangat mencintaimu,” ucap Regina yang bersamaan dengan bulir bening yang mulai jatuh di pipinya.
“Lalu aku harus bagiamana, Re? Aku sudah lelah, sejak kuliah sampai sekarang papinu tetap tidak menyukaiku.”
Regina kembali memeluk erat tubuh Anton, dia semakin menangis mendengar ucapan pria itu. “Aku akan tetap berusaha agar papi merestui kita, aku berjanji.”
“Baiklah, sekarang kamu mau ke mana malam-malam begini?” Anton melepaskan pelukan Regina.
“Aku ingin ke apartemen Jessica.” Regina menghapus sisa air mata di pipinya.
“Baiklah, hati-hati.” Anton berlalu meninggalkan Regina.
Selalu seperti itu. Anton sudah lelah, sangat lelah. Lelaki itu merasa, keluarga Regina sama sekali tidak menghargainya. Ya, Regina memang lahir dari orang tua yang serba berkecukupan. Dan itu semua membuat Anton berpikir, mungkin keluarga Regina merasa tidak pantas jika mempunyai menantu seperti dirinya—yang tidak sepadan. Sangat memuakkan.
Berdebat dengan orangtua, pergi dari rumah untuk menemui lelaki yang dia cintai, berharap mendapat ketenangan hati. Namun, nyatanya Regina tidak pernah mendapatkan hal itu dari Anton. Tentu, bukan sekali ini saja. Namun, berkali-kali. Lelaki itu selalu marah jika mendapati Regina menangis karena berdebat dengan orangtuanya. Dan, dengan bodohnya, Regina tidak bisa melihat itu semua. Bahwa Anton tidak peduli kepadanya.
***
Berkali-kali Regina menekan bel apartemen sahabatnya, Jessica. Namun, pintu apartemen tersebut tak kunjung terbuka.
“Apa dia sedang pergi?” gumam Regina. Dia merogoh tasnya, mengambil benda pipih miliknya untuk menghubungi Jessica.
Mendengar suara bel pintu, Jessica yang sebenarnya sudah tidur itu pun beranjak dari tempat tidurnya. Membukakan pintu untuk orang yang ia rasa tidak sopan. Sebab, bertamu disaat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
“Regina? Ada apa kamu ke sini malam-malam?” tanya Jessica yang terkejut saat membuka pintu.
“Menyingkirlah!” Regina masuk dan langsung duduk di sofa ruang tamu sebelum dipersilahkan Jessica.
“Selalu seperti itu, belum dipersilahkan sudah main masuk saja.”
Regina bersandar sembari memejamkan matanya. Jessica yang tau Regina sedang ada masalah bergegas kembali ke kamarnya menuju kamar mandi, mencuci wajahnya agar rasa kantuknya menghilang. “Minumlah.” Ada apa, Re? Papi lagi?" tanya Jessica seraya menyodorkan minuman kaleng dingin untuk Regina.
Regina mengangguk, menerima minuman itu dengan tangan kanannya.
“Apa kamu sudah berbicara dengan Anton tentang masalah ini?”
“Sudah.”
“Lalu apa kata Anton?”
“Dia sudah lelah, dia ingin mengakhirinya.”
“Benarkah?” nada suara Jessica terdengar sangat senang.
“Kamu kenapa seperti itu, Jes? Apa kamu senang jika Anton dan aku berpisah?” Regina menatap tajam pada Jessica.
“Bukan begitu, Re, maksudku lebih baik kau menikah saja. Kan, beres,” kata Jessica, lebih tepatnya mencari alasan.
“Kamu benar, Jes, aku harus menikah dengan Anton. Lagi pula umurku juga sudah cukup untuk menikah. Tumben otakmu bisa berpikir. Terima kasih, Jes." Regina berlalu masuk ke kamar Jessica.
“Aku bicara apa tadi? Dasar Jessica! Bisa nekat Regina. Huh!" Jessica memukul kepalanya berkali-kali menyesali apa yang sudah dia katakan pada sahabatnya itu.
Jessica tinggal sendiri di apartemennya, dia lebih suka tinggal di apartemen dari pada tinggal satu rumah dengan keluarganya. Dia tidak ingin tinggal bersama mamanya. Setelah papa Jessica meninggal, mama Jessica menikah kembali dan mempunyai seorang anak laki-laki. Saat itu umurnya masih 10 tahun. Bagi anak di usia Jessica, tentu ia tidak bisa berkata apapun saat sang ibu memutuskan menikah kembali.
Saat Jessica sudah bekerja dan dirasa gajinya cukup untuk membiayai hidupnya sendiri, dia memutuskan untuk tinggal di apartemen yang sudah diwariskan mendiang papanya dulu.
Regina dan Jessica bersahabat dari masa SMA, mereka tidak pernah berpisah. Bahkan saat kuliah pun mereka memilih kampus yang sama meskipun berbeda jurusan.
***
Pagi ini Regina bangun terlebih dahulu dari Jessica. Setelah membersihkan badannya, dia hanya bisa memakai baju Jessica sebab tidak membawa baju gantinya kemarin.
Regina berjalan menuju ke dapur, matanya mendapati dapur Jessica yang sangat berantakan dan kotor. Piring dan gelas yang entah sudah berapa hari tidak dicuci.
Regina berdecak kesal, setiap kali dua menginap di apartemen Jessica, sia selalu disuguhi pemandangan seperti ini.
Tanpa pikir panjang, Regina segera mencuci semua peralatan makan Jessica dan membersihkan setiap sudut di dapur tersebut. Regina tidak risih melakukan semua itu meskipun dia seorang anak dari pengusaha yang sukses. Maminya selalu mendidik Regina bahwa setinggi apapun derajat seorang wanita, dia tetaplah seorang istri dan ibu. Seorang wanita tidak boleh melupakan kodratnya.
Tidak heran Regina dengan cekatan melakukan pekerjaan rumah dan memasak tanpa khawatir tangannya akan kasar.
Regina membuka lemari es berniat mengambil bahan makanan untuk dimasak. Namun lemari es Jessica kosong, tidak tersedia sayuran atau bahan makanan lain. Yang ada hanya spagethi. karena merasa lapar Regina pun segera memasak spagethi itu.
Wangi masakan Regina membuat Jessica terbangun. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menyusul sahabatnya.
“Kamu sering-sering saja menginap di sini, Re, supaya ada yang memasakkan aku setiap hari,” ucap Jessica seraya mengambil air putih.
“Enak saja!” seru Regina.
Jessica tertawa mendengar Regina. Tidak lama spagethi yang Regina masak sudah matang, dengan cepat Jessica merebut piring yang berisi spagheti itu dari tangan Regina dan berniat ingin langsung memakannya.
“Berhenti! Kamu belum mandi, belum mencuci muka lalu dengan seenaknya sendiri kamu mau sarapan? Pergilah mandi!” Regina kembali merebut piring itu dari tangan Jessica.
“Cerewet! Iya, aku akan mencuci muka.”
Jessica bergegas menggosok gigi dan mencuci mukanya saja lalu kembali ke dapur untuk menyantap sarapan bersama Regina.
***
Dengan tekad yang sudah bulat, Regina harus segera membicarakan masalah pernikahan dengan Anton. Menurutnya, itulah satu-satunya cara agar papinya bisa menerima Anton.
“Kamu mah pergi kemana?” Jessica bertanya. Dia melihat Regina sudah rapi. “Bekerja?” tanyanya lagi.
“Menemui Anton, memebahas masalah pernikahan,” jawab Regina seraya menyisir rambut panjangnya.
“Maksudmu apa, Re?”
"Ya, aku mau menikah dengan Anton.”
Jessica tentu saja terkejut. Tetapi, gadis itu juga merasa kesal dengan dirinya sendiri. Entah mengapa semalam dia bisa mengatakan sial pernikahan kepada Regina. Dan, beginilah akhirnya. Regina ingin segera menikah dengan lelaki itu.
“Tapi, papimu tidak menyukai Anton. Jangan gila,Re, jangan membuat masalah.”
Regina merasa kesal, “kamu harusnya mendukungku, Jes. Sahabatmu ini akan segera menikah. Tapi, kamu justru—”
“Re dengarkan aku dulu,” tukas Jessica. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku mendukung apapun yang bisa membuatmu bahagia. Tapi, setidaknya kamu harus bisa melihat situasinya. Setidaknya kamu dan Anton bisa meyakinkan papi, supaya papi merestui hubungan kalian. Ajak Anton bertemu dengan papi sama mamimu untuk membicarakan masalah ini. Kedua orang tuamu masih ada, Re, jangan sampai kamu membuat mereka kecewa."
Sejenak Regina terdiam. Memang benar apa yang dikatakan sahabatnya ini. Memang lebih baik Anton berbicara dengan papi dan mami.
Regina memeluk erat tubuh Jessica.
“Terima kasih Jes, kamu selalu ada, selalu mengingatkan jika aku salah mengambil jalan. Sekali lagi terima kasih.”
“Memangnya aku ini GPS apa? Selalu mengingatkan jika salah jalan!” seru Jessica sembari melepas pelukan Regina.
“Ya, kira-kira begitulah.” Regina dan Jessica tertawa karena celetukan mereka sendiri.
Regina segera melajukan mobilnya menuju cafe yang sudah disepakati, untuk bertemu dengan Anton. Waktu berlalu, namun lelaki itu tak kunjung datang. Nomor ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Regina tidak berniat pergi, dia tau, Anton pasti datang.
“Kok, lama?” tanyanya begitu Anton datang setelah satu jam Regina menunggu.
“Maaf, Re, jalannya macet. Ada apa kamu mendadak ingin bertemu di sini?” Anton mendudukkan tubuhnya di kursi yang berseberangan dengan Regina.
Baiklah, tidak perlu berbasa-basi. Regina mengatakan niat hatinya untuk menikah, dan Anton harus segera menemui orangtuanya. Mata Regina berbinar bahagia tatkala mengatakan niat hatinya tersebut.
“Hah? Menikah?” Anton membelalakkan matanya mendengar ucapan Regina. Keringat dingin tiba-tiba mengalir perlahan di keningnya. Jantungnya seakan berhenti begitu mendengar kata pernikahan. “Se-sekarang?” tanyanya dengan gugup.
Regina mengangguk pasti. Nanti malam, dia meminta Anton untuk datang ke rumahnya.
“Re, ini terlalu mendadak. Aku juga harus memberitahu orangtuaku. Lalu bagaimana kita menyiapkan pernikahan dengan waktu sesingkat ini?”
***
Antin mencoba memberi pengertian, bahwa pernikahan bukan perkara sepele. Ada banyak keperluan yang harus disiapkan. Apalagi, Regina adalah anak satu-satunya, mana mungkin orangtuanya setuju untuk melangsungkan sebuah pernikahan sederhana sebab persiapan yang terlalu singkat.
“Baiklah, nanti malam aku ke rumahmu. Sendiri. Karena orangtuaku masih di luar kota, Re.”
Regina mengiyani. Baginya, yang terpenting adalah Anton menemui orangtuanya. Masalah keluarga kedua belah pihak, itu bisa dibicarakan nanti seiring waktu berjalan. Dengan langkah pasti, senyuman yang selalu menghiasi wajah cantiknya, Regina melangkah masuk ke rumahnya, mencari keberadaan orangtuanya.
“Nona, sudah pulang? Tuan dan nyonya ada di taman belakang nona.”
“Iya, Bi, terima kasih.” Regina meninggalkan asisten rumahtangganya begitu mendapat jawaban.
Ira melihat sang putri, dia berdiri untuk menyambutnya. “Kamu sudah pulang, Re?” Tangannya menyentuh lembut pundak Regina. Senyumannya ikut terpancar begitu melihat putrinya juga tersenyum.
“Ada apa, Re?" Tanya Papi Surya.
Mengatakan bahwa nanti malam Anton akan datang ke rumah, ada sesuatu yang akan disampaikan lelaki itu. Begitulah yang dikatakan Regina.
Papi Surya tersenyum kecut mendengar ucapan Regina. Bukan karena bahagia, Surya ingin melihat bagaimana kesungguhan Anton. Di dalam hatinya, dia tetap tidak akan mau merestui hubungan putrinya dengan lelaki yang menurutnya tidak bertanggungjawab seperti Anton.
“Baiklah. Papi tunggu dia datang.”
Regina dengan bersemangat membantu maminya di dapur memasak makan malam untuk kedatangan Anton nanti malam. Biarpun kekasihnya itu datang seorang diri, Regina tetap ingin menjamunya dengan baik. Dia yakin, kali ini papinya akan luluh dengan apa yang disampaikan kekasihnya. Menikah. Tidak ada orangtua yang tidak ingin melihat putrinya menikah, bukan?
***
Malam pun tiba. Bulan terlihat sangat cantik, ditemani bintang-bintang yang seolah ikut menemani kebahagiaan di hati Regina. Berdiri dibalik jendela, menatap langit yang memancarkan keindahan. Regina memejamkan mata, merasakan terpaan angin sejuk yang membuat hatinya terasa tenang.
Dengan langkah kaki perlahan, Anton memasuki sebuah rumah yang sangat menakutkan, baginya. Regina menyambutnya, melingkarkan satu tangan ke lengannya.
Duduk dengan kaki, keringat tak henti mengucur dari pelipisnya. “Om, Tante, saya tidak akan berbasa-basi lagi.” Anton berbicara dengan nada suara yang terdengar gemetar. Rasanya, ada sesuatu yang mencekat di tenggorokannya. “Saya dan Regina sudah berhubungan cukup lama, kami ...,”
Anton menoleh, menatap Regina yang berada di sampingnya. “Kami ingin ke arah yang lebih serius, Om.”
“Kamu mau menikahinya?” tanya Papi Surya.
Cukup lama untuk Anton mengiyani pertanyaan calon mertuanya tersebut.
“Tapi, bagaimana jika saya tetap tidak mengijinkan kamu menikahi anak saya?”
“Papi!” teriak Regina. Dia takut jika Anton merasa tersinggung dengan ucapan papinya. Mami Ira mencoba menenangkan putrinya, menunggu apa yang akan dikatakan papinya.
Anton menunduk, dia tidak berani menatap mata Paling Surya.
“Kamu yakin bisa menjaga anak saya?”
“I-iya, Om.” Anton menjawab.
Sunyi. Tidak ada yang bersuara. Namun Ira memandang suaminya penuh tanda tanya, begitupun dengan Regina. Anton menunggu, dia ingin mendengar jawaban dari calon mertuanya. Iya, atau tidak.
“Begini.” Papi Surya membuka suara. “Dari awal kalian menjalin hubungan, saya tidak pernah setuju. Dan sekarang, kamu berniat ingin menikahi anak saya. Jawaban saya pun tetap sama. Saya tidak akan merestui hubungan kalian. Berpacaran saja tidak, apalagi menikah!” ujarnya dengan tegas.
Anton meradang. Lelaki itu mengepalkan tangannya. Malu sekali, sangat malu. Dia menuruti Regina sebab wanita itu begitu meyakinkannya. Namun pada kenyataannya, dia tetap tidak diterima.
“Seharusnya aku tidak datang ke sini, Re!” Anton beranjak, dengan amarah yang menyelimuti hatinya. Panggilan dan tangisan Regina tidak bisa menghentikan langkah kakinya.
“Papi, kenapa menolak Anton?” Regina merasa sangat kecewa dengan papinya. “Dia sudah datang baik-baik. Tapi, Papi, tetap saja tidak mau merestui hubungan kami. Kenapa, Pi??”
“Buka mata kamu, Re! Dia tidak akan bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Dia tidak pernah—”
“Aku benci, Papi!” Regina berlalu pergi, berlari menuju ke kamarnya.
Senyuman serta kebahagiaan yang awalnya memenuhi relung hati, kini berganti dengan rasa kecewa dan air mata. Regina sama sekali tidak menyangka, jika papinya akan berbuat senekat itu. Dia berpikir, papinya akan luluh karena rasa sayang terhadapnya, putrinya sendiri. Tetapi tidak, papinya tetap tega menyakiti hatinya.
“Re, dengarkan mami, buka pintunya.” Ira terus mengetok-ngetok pintu kamar Regina. Ibu mana yang tidak khawatir melihat putrinya hancur karena sebuah cinta.
“Regina ingin sendiri, Mi. Regina mohon.” Suara teriakan terdengar.
Setelah beberapa saat, Ira memutuskan untuk memberi waktu kepada Regina. Agar hati putrinya bisa tenang. Menuruni anak tangga, menghampiri suaminya yang duduk di sofa denah santainya. Meminta penjelasan, mengapa tidak tersirat sedikitpun rasa kasihan melihat putri mereka menangis dan kecewa.
“Mi, papi tau Anton itu pemuda seperti apa. Biar saja Regina menangis untuk saat ini, daripada jika sudah menikah dan dia terus saja menangis selama pernikahannya, bukankah itu lebih menyakitkan untuk kita?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!