Pemuda berpakaian serba hitam ini dengan semangat mengayuh sepeda model cewek yang di bagian depannya ada keranjang berisi beberapa botol jamu. Usianya 18 tahun. Di dada kanan baju hitamnya ada logo bordiran kuning bergambar dua batang tangan yang saling menyilang di atas tulisan bordiran putih berbunyi “Tapak Emas”. Pemuda berwajah cokelat sawo matang ini dapat dikatakan cukup tampan. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian silat dari Perguruan Tapak Emas. Ia sendiri bernama Firman Barayuda. Nama depan Firman menunjukkan bahwa orang tuanya adalah Muslim. Namun, karena bapaknya penggemar berat cerita kolosal dari negeri Hindi, yaitu Mahabarata, nama belakangnya diikuti “Baratayuda”, nama peperangan besar antara Pandawa dan Kurawa. Agar tidak mencolok, maka dirubah jadi “Barayuda”.
Meski senyumnya tidak lebar, tapi masih dapat dilihat bahwa ada senyum di bibirnya. Itu karena di dalam otaknya ada hologram wajah seorang muslimah manis, meski kulitnya agak hitam. Menurutnya, cocoklah dengan warna kulitnya, jadi kopi susu cokelat.
Setibanya di depan sebuah gang bergapura, gapura sisa buatan 17 Agustus 2015, Firman berhenti. Ia keluarkan ponsel yang dipinjamnya lalu membuka pesan yang tadi dikirim oleh si muslimah hitam manis.
“Gang H. Mukhlis II, air pam H. Abdul Qodir,” baca Firman, lalu memandang ke gapura.
Di sisi atas gapura tertera tulisan besar “Gg. H. Mukhlis II”. Firman segera menggoes lagi sepedanya, sementara keringat sore mengucur di dahi dan lehernya.
“Semangat, Firman!” teriak Firman dalam hati. “Buah manggismu sudah menunggu!”
Hitam, kulitnya hitam, tetapiii putih isinya
Itulah, manggis namanya
Hitam, orangnya hitam, tetapiii manis senyumnya
Itulah, pilihan saya
Hati dan pikiran Firman mendadak dangdut. Lagu Rita Sugiarto yang berjudul “Hitam” ciptaan Raja Dangdut H. Rhoma Irama tiba-tiba bernyanyi di dalam hatinya. Irama dangdut yang ceria membuat semangat Firman kian berhias warna-warni pelangi dan bunga-bunga kuburan.
Agak jauh masuk ke jalan gang yang cukup lebar, Firman belum juga menemukan tempat air PAM. Firman akhirnya memutuskan berhenti untuk bertanya.
“Maaf, Kong!” sapa Firman kepada seorang kakek yang asik duduk bersender di gardu siskamling, sambil menikmati sepuntung rokok yang tinggal beberapa hisapan lagi pasti habis riwayatnya. Maksudnya, riwayat si rokok. Meski sudah tua, tapi rambut putihnya tersisir rapi lurus ke belakang, seperti model sisiran Dewa Judi Chow Yun Fat yang tampak mengkilap. Aroma minyak rambut Tanco tajam merebak.
“Haiiit!” kelit si kakek tiba-tiba sambil kedua tangannya memperagakan gerakan silat, sementara kedua kakinya tetap melipat di lantai gardu. Respon spontan itu tercipta karena si kakek melihat Firman memakai seragam silat.
Firman agak tercekat pula mendapat respon satu gerakan jurus dari si kakek.
“Tenang, Kong!” seru Firman cepat sambil angkat kedua tangannya tanda tidak akan menyerang. “Situasi aman dan terkendali!”
“Mau ngapain, lu? Mau nantangin jawara Betawi 60-an?” tanya si kakek.
“Saya hanya mau bertanya, Kong, bukan mau duel,” kata Firman, dalam hati sedikit sewot.
“Ngomong dari tadi! Cuma maling yang datang kagak pakai salam!” rutuk si kakek lalu turunkan kuda-kuda silatnya. Ia lalu menghisap kembali rokoknya, dan terbukti, sekali hisap habislah riwayat rokok tersebut.
“Kena gua! Dikira gua maling,” rutuk Firman dalam hati, tapi wajahnya memberikan senyum cengengesan.
“Terus, lu ngapain pakai baju silat begitu, hah?!” tanya si kakek dengan lirikan tidak enak bagi Firman.
“Kebetulan pulang dari kondangan, Kong. Terus diundang ke air pam Haji Abdul Qodir,” kata Firman sekaligus menjelaskan tujuannya.
“Abdul Qodir itu gua!” kata si kakek setengah berteriak.
Terkejutlah Firman.
“Waduh! Alamat apes nih!” rutuk Firman dalam hati lagi.
“Bukan Haji Abdul Qodir, tapi Hasan Abdul Qodir. H-nya itu Hasan, bukan Haji!” kata si kakek dengan suara tinggi, seperti orang sedang ribut adu mulut, maksudnya adu kata-kata.
“Iya, maaf, Kong. Saya kira Engkong Hasan sudah naik haji. Hehehe!” kata Firman lalu cengengesan.
“Ya sudah dong! Sudah tiga kali!” teriak Engkong Hasan dengan sepasang mata merah yang mendelik. Namun, tiba-tiba ia bergerak cepat berdiri, lalu memasang kuda-kuda silat di atas siskamling. Ia marah kepada Firman, “Lu benar-benar ngajak gua ribut? Itu, itu sepeda cucu gua si Marni. Lah lah lah, itu jamu pesanan gua!”
Engkong Hasan menunjuk-nunjuk sepeda dan botol-botol jamu di keranjang sepeda. Terkejutlah Firman.
“Gawat! Bisa-bisa gua ribut benaran ini sama orang tua!” kata Firman dalam hati.
“Lu ngerampok cucu gua, hah?!” tanya Engkong Hasan.
“Tenang, Kong, tenang!” kata Firman yang jadi bingung sendiri menghadapi orang tua itu.
Dalam situasi genting bagi Firman itu, muncullah seorang gadis berjilbab merah muda yang datang berlari kecil mendekat ke pos siskamling. Gadis berkulit hitam, hanya agak hitam, tapi manis di mata.
Deg!
Sebuah cubitan mengejutkan jantung Firman saat matanya melihat gadis hitam manis itu, gadis yang lebih dari sejam lalu, ia hadang dan rampas sepeda cantiknya.
“Kong!” gadis berbaju putih itu memanggil Engkong Hasan setibanya di depan pos.
“Marni! Ini nih Si Pengki yang nyolong sepeda elu!” kata Engkong Hasan masih bernada tinggi sambil tunjuk hidung seksi Firman.
“Bukan, Kong,” sangkal gadis yang disebut Marni oleh Engkong Hasan itu. “Dia yang nyelamatin jamunya Engkong dari begal di pertigaan pangkalan Palapa.”
Perkataan Marni yang terakhir membuat Engkong dan Firman sama-sama mendelik.
“Busyet! Gua dibilang begal,” membatin Firman sambil tetap senyum memandangi Marni dari samping, kontras dengan wajah hatinya
Sementara Engkong Hasan kembali duduk sambil terkekeh.
“Oh gitu, hehehe!” ucap Engkong Hasan sambil terkekeh. Lalu katanya kepada Firman, “Jadi elu yang nyelamatin botol-botol jamu gua? Ngomong dari tadi, hahaha!”
Firman jadi ikut tertawa cengengesan, padahal dalam hatinya menggerutu, “Kalau bukan aki-aki, benar-benar gua ajak ribut dah.”
“Siapa nama lu?” tanya Engkong Hasan.
“Firman, Kong,” jawab Firman, tetap pasang senyum, pilih damai.
“Sebagai terima kasih gua, tolong deh elu beliin gua rokok Pria Sejati di warung itu tuh!” kata Engkong lalu menunjuk warung yang ada di seberang jalan. “Jangan lupa bayarin, warung itu enggak terima utangan.”
Kali ini hilang senyuman Firman. Marni yang justru tersenyum, sebab ia tahu kenapa senyuman pemuda itu lenyap.
“Iya, Kong!” kata Firman menurut.
Firman lalu menyerahkan sepeda cantik yang dipegangnya sejak tadi kepada Marni yang hanya tersenyum manis. Bahkan begitu manis di mata Firman yang memang sedang jatuh cinta.
Namun sayang, rasa bahagia Firman harus terganggu oleh urusan dengan Engkong Hasan. Bagi Firman itu adalah musibah.
“Dia terima kasih, tapi gua yang disuruh beli rokok. Mana uang gua cuma 20.000, pulangnya gua bisa jalan kaki,” pikir Firman sambil berjalan ke warung.
Firman lalu membeli rokok merek Pria Sejati dan memberikannya kepada Engkong Hasan.
“Kong, saya buatin jamunya, ya?” kata Marni kepada Engkong Hasan sebagai alasan untuk lepas urusan dari kakeknya itu.
“Iya. Madunya tambahin, jangan kayak kemarin, pahitnya masih berasa,” kata Engkong Hasan.
“Iya, Kong,” jawab Marni. Ia lalu mengajak Firman pergi, “Ayo, Bang!”
“Permisi, Kong!” kata Firman pamit, sedikit keras suaranya, seolah Engkong Hasan kurang normal pendengarannya.
Namun, baru saja Firman beranjak, Engkong Hasan memanggilnya.
“Kirman! Jangan malas main ke sini, jangan lupa ngasih salam, dan lu harus tahu kalau gua mainnya kagak pakai tangan kosong!” seru Engkong Hasan pakai salah sebut nama.
“Iya, Kong!” sahut Firman tersenyum kecut. “Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam, hehehe!” jawab Engkong Hasan lalu terkekeh sambil buka bungkus rokoknya.
Sementara Marni hanya tertawa, karena ia tahu benar karakter kakeknya tersebut.
“Engkong memang begitu, Bang,” kata Marni kepada Firman yang berjalan mengiringinya menuntun sepeda.
“Nama lu Marni, ya?” tanya Firman untuk menegaskan dan basa-basi belaka.
“Iya, Bang. Oh ya, bagaimana dengan pengejarannya tadi?”
“Oh, itu, hahaha!” Firman tertawa jumawa, seolah sudah memberikan jawaban jelas dari nada tertawanya saja. “Penyelamatan yang gemilang, Mar. Berkat sepeda ini, para penculik itu bisa gua kejar dan akhirnya para penculik dihakimi warga.”
Lebih satu jam yang lalu, Firman dan teman-teman seperguruannya mengejar para penculik seorang gadis. Karena pengejaran mereka terhambat oleh kemacetan, Firman memutuskan untuk menghadang Marni yang pada saat itu melintas dengan sepedanya. Dengan sedikit memaksa, Firman meminjam sepeda Marni. Sebagai jaminannya, Firman memberikan ponselnya kepada Marni.
Selain untuk memulangkan sepeda, kedatangan Firman saat ini yang utama adalah untuk bertemu lagi dengan Marni, yang pertemuan pertamanya memberi kesan-kesan percikan asmara dan cinta.
Setelah berjalan beberapa meter, Marni dan Firman berbelok masuk ke sebuah gang. Setelah berbelok itulah, Firman baru melihat keberadaan sebuah depot air PAM. Ada sebuah gerobak panjang sedang menunggu dan sebuah lagi sedang mengisi air PAM di tangki air yang besar. Setiap gerobak berisi belasan jirigen berwarna biru gelap.
“Oh, ini air PAM Hasan Abdul Qodir itu,” ucap Firman.
“Iya, Bang. Ini punya Engkong, tapi dikelola oleh orang tua saya,” kata Marni.
Depot air PAM itu terdapat di depan sebuah rumah yang biasa saja, tapi cukup luas. Di separuh teras sebelah kanan depan rumah, tampak tiga anak kecil sedang asik bermain. Usia mereka 3-5 tahun.
“Ummi datang!” teriak seorang anak laki-laki yang usia 5 tahun, saat melihat kedatangan Marni dan Firman.
Seketika dua anak perempuan lainnya menengok. Setelah melihat sosok Marni, semuanya segera bangkit dan berlari kepada Marni.
“Ummi!” seru mereka bersamaan seraya berlari mendapati keberadaan Marni.
Marni dengan senyum senang membiarkan kakinya yang berbalut rok merah gelap dipeluk oleh anak-anak. Anak laki-laki memilih naik ke boncengan sepeda yang dituntun gadis yang mereka panggil “Ummi”, panggilan Arab atau dalam budaya Islam yang berarti “ibuku”.
Kondisi itu membuat wajah Firman agak terkejut, bahkan sangat terkejut dalam hati. Ia seketika teringat seorang teman seperguruannya yang bernama Barada. Barada suka memanggil ibunya dengan sebutan “Ummi”.
“Hah! Ummi? Marni sudah punya anak tiga?” pekik hati Firman. “Oh, begitu cepatnya dia punya anak.”
Seketika harapan cinta Firman terpenggal oleh pedang sebelum terutarakan kepada gadis hitam manis itu.
“Ummi, Ina tadi beli kotak-kotak, dapat kuda ada sayapnya,” kata anak perempuan yang berusia empat tahun, kelancaran bicaranya seolah menunjukkan tingkat kecerdasannya.
“Wah, senang dong, Ummi bisa ikut naik kudanya dong,” kata Marni menanggapi dengan ceria.
“Tidak bisa, Ummi. Kata kudanya, sayapnya berat, jadi Ummi tidak muat. Ummi naik ayamnya Aca aja,” kata anak bernama Ina dengan wajah yang penuh keseriusan.
Marni pun tertawa mendengarnya. Demikian pula Firman, meski dalam hatinya putus harapan. Kini tujuannya tinggal mengambil ponselnya dari Marni. Usai itu ia akan langsung pulang.
“Ummi sedang ada tamu, namanya Om Firman!” kata Marni memperkenalkan.
“Assalamu ‘alaikum, Om! Semoga Allah menyelamatkan Om Firman!” salam ketiga anak itu serentak dan mengucapkan satu doa yang sama. Lalu mereka bergantian mencium tangan kanan Firman yang disalaminya. Anak di sepeda pun segera turun dan mencium tangan Firman.
“Hahaha!” Mendengar salam itu, secara ikhlas Firman tertawa. Lalu jawabnya, “Wa ‘alaikum salam, semoga Allah memberi kalian cokelat yang banyak!"
“Aan enggak mau cokelat, nanti gigi Aan rusak. Aan maunya permen yang banyak!” kata anak yang lelaki.
Tertawalah Marni dan Firman.
Sebuah sepeda motor terdengar memasuki gang dan mendekati posisi mereka.
“Ayah datang!” teriak anak lelaki bernama Aan saat melihat lelaki yang mengendarai motor besar hijau bermerek Ninja.
Firman kian terkejut mendengar anak-anak itu menyebut kata “Ayah”, meski keterkejutan itu ia sembunyikan rapat-rapat dari mata khalayak ramai. Sebutan “Ummi dan Ayah” adalah kejelasan yang sangat kuat bagi Firman. Meski Marni terlihat masih sedemikian mudanya, tapi jelas tidak terbantahkan bahwa Marni sudah milik lelaki lain.
“Hancur hancur hancur hatiku....” seketika hati Firman menyanyikan lagu almarhum Olga Syaputra.
Motor itu berhenti di dekat mereka. Pengendaranya adalah lelaki yang masih berhelm hijau gelap berhias warna putih. Berjaket kulit hitam dan menyandang tas ransel yang cukup banyak isinya.
“Assalamu ‘alaikum, Peri-peri Surga! Semoga Allah berikan kalian kecerdasan!” salam lelaki di motor kepada anak-anak.
“Wa ‘alaikum salam, Ayah! Semoga Ayah selalu bahagia!” balas anak-anak itu, lalu mereka bergerak menyalami tangan lelaki tersebut.
Marni pun lalu menyalami tangan lelaki tersebut dan menciumnya.
“Siapa, Mar?” tanya lelaki itu kepada Marni.
“Teman Marni, Bang,” jawab Marni.
Firman berinisiatif segera menyalami tangan lelaki itu seraya perkenalkan namanya, “Firman.”
“Abduh,” kata lelaki itu pula memperkenalkan namanya.
Pria bernama Abduh lalu melepas helmnya, sehingga tampak jelaslah wajahnya yang masih muda dan tampan berkulit agak putih. Rambutnya sedikit gondrong. Ada serangkum jenggot tipis di dagunya, memberi kesan kejantanan yang lebih mempergagah. Harus Firman akui bahwa usianya yang baru 18 tahun kalah matang oleh Abduh yang berusia 26 tahun.
“Alhamdulillah, izin Allah nih. Bawa ke rumah, Mar, saya mau menawarkan produk bagus buat Firman,” kata Abduh lalu menjalankan motornya dan parkir di teras.
Singkat cerita, Firman yang awalnya bertujuan utama bertemu kembali dengan Marni sekaligus memulangkan sepeda dan mengambil kembali hp-nya, justru kemudian menjadi calon konsumen bagi Abduh yang memiliki usaha sampingan memasarkan sepatu murah merek baru di pasaran.
Akhirnya, beberapa menit sebelum waktu Magrib, Firman pulang dengan membawa dua kabar buruk dan dua kabar menyenangkan.
Dua kabar buruk itu adalah ia pulang dengan berjalan kaki karena ia tidak punya kendaraan dan uangnya tidak cukup untuk naik kendaraan umum. Kabar buruk lainnya adalah ia pulang dengan membawa beberapa lembar brosur dan sekotak sepatu baru yang berstatus kredit atau utang.
Adapun dua kabar menyenangkan bagi Firman adalah Marni masih gadis dan belum menikah. Marni dipanggil “Ummi” oleh anak-anak karena dia adalah orang tua asuh bagi ketiga anak kecil tadi. Mereka adalah yatim piatu. Sedangkan Abduh adalah kakak laki-laki Marni yang juga orang tua asuh anak-anak tadi.
Kabar menyenangkan lainnya adalah, dengan utang kredit sepatu, Firman jadi punya alasan untuk datang lagi ke rumah itu dan bisa bertemu Marni dengan alasan bayar cicilan sepatu.
“Bodoh!” maki Firman sendiri di tengah jalan setelah berjalan sejauh 2 km. “Kenapa gua enggak naik ojek terus bayarnya pas di rumah?”
Firman benar-benar baru tersadar, seperti orang yang tersadar dari hipnotis asmara dan cintanya. Alangkah memalukannya, dia harus berjalan kaki dengan pakaian silat dan menenteng sekotak sepatu baru. Jelas, pakaian silatnya membuatnya jadi perhatian orang-orang di jalan. (RH)
Kamar kosong besar ini bisa disebut ramai, karena banyak wajah-wajah lucu dari boneka-boneka yang berbulu halus menatap kosong dari berbagai sudut. Di lemari, mereka bersender rapi dengan berbagai warna. Dari yang ukuran mini seperti seukuran kaos kaki hingga seukuran badan manusia.
Boneka Winnie the Poo berwarna kuning berbaju merah yang seukuran orang dewasa duduk bersender di sudut kamar. Di sudut kamar yang lain, boneka panda raksasa juga duduk bersender.
Di lemari rias yang ada di sisi kanan kepala ranjang, juga bercokol boneka-boneka mini tokoh dongeng kalangan kurcaci.
Di ranjang pun tidak luput dari boneka. Bantal dan guling termasuk jenis boneka. Seprai merah muda bergambar tokoh-tokoh kartun Walt Disney.
Di dekat pintu kamar yang tertutup rapat, ada rak kayu bagus yang berisi berbagai macam jenis sepatu. Rata-rata berwarna merah muda.
Keluasan kamar itu menjadi berkurang karena banyaknya lemari untuk barang-barang koleksi.
Pintu kamar mandi bergerak terbuka. Keluarlah seorang wanita muda cantik berambut pendek sebatang leher. Ia mengenakan pakaian tidur lengan panjang warna merah muda bermotif gambar Mickey Mouse. Ia bernama Rani Liota.
Tangan kanannya memegang stik kecil dan pendek berwarna putih, yang tidak lain adalah tespek atau alat tes kehamilan. Tampak raut wajah berkulit putih bersih itu terkulai sedih.
Dengan perasaan lemah, wanita berusia dua puluh tahun itu duduk di kursi depan lemari riasnya. Sejenak ia memandang bayangan dirinya di dalam cermin besar di rak rias.
Rani lalu mengambil ponsel android yang tergeletak di depannya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya meletakkan tespek di depannya. Garis yang ditunjukkan oleh alat pengetes air seni itu menunjukkan positif hamil.
Setelah menyentuh satu nama kontak bernama “Sayang”, Rani menempelkan ponsel itu di telinganya.
“Ya, Honey?” satu suara pria menjawab penuh kelembutan dan kasih sayang.
“San, gua hamil,” jawab Rani lemah.
“Hah?! Lu hamil?!” teriak pria dalam telepon terkejut. “Kok bisa? Lu enggak bercanda kan, Ran?”
“Enggak, San,” jawab Rani lemah, kontras dengan gejolak dahsyat di dalam dadanya setelah mendengar reaksi kekasihnya yang seolah tidak siap mendengar kabar itu.
Pria yang disebut “San” oleh Rani itu kembali berkata setengah marah, “Bagaimana bisa? Setiap kita berhubungan gua selalu pakai, elu tahu sendiri itu. Lu juga selalu pakai, kan? Kecuali lu....”
San tidak menyelesaikan kalimat akhirnya.
“Kecuali kalau gua main sama lelaki lain?” tanya Rani agak keras, melanjutkan kata-kata yang ingin diucapkan kekasihnya. Lalu teriaknya lebih keras di telepon, “Lu jahat nuduh gua begitu, San!”
Rani mematikan sambungan teleponnya. Tubuhnya tersentak sekali, lalu tangisnya pun meledak.
“Sando jahat!” jerit Rani sambil melempar ponselnya ke kasur.
Tangis yang dahsyat itu menunjukkan demikian sakit perasaan yang Rani rasakan. Tubuhnya sampai bergerak membungkuk hingga wajahnya setinggi dengan duduknya. Tetesan air mata jatuh ke lantai membentuk genangan.
“Bagaimana mungkin elu nuduh gua sama laki-laki lain, San?” tanya Rani kepada dirinya sendiri.
Tring ninong ninong...!
Terdengar irama dering dari ponsel Rani, tanda telepon masuk. Dari nama penelepon yang muncul di layar ponsel adalah “Sayang”. Namun, Rani mengabaikannya, hingga ponsel itu berhenti sendiri berbunyi.
Baru sepuluh detik berhenti, ponsel Rani kembali berdering dengan nama penghubung yang sama. Tetap saja Rani mengabaikannya. Hal itu terjadi hingga lima kali. Barulah ponsel itu benar-benar berhenti berbunyi.
Sementara Rani hanya terus menangis. Gambaran buruk tercipta di pikirannya.
“Bagaimana kalau Sando enggak mau bertanggung jawab?” tanya hati Rani.
Tiba-tiba....
“Hahaha....!”
Di saat kesedihan mendalam dirasakan oleh Rani, tiba-tiba ada suara ledakan tawa yang terdengar tidak begitu keras, karena berasal dari luar kamar. Namun, suara tawa lepas itu mengusik suasana kesedihan Rani.
Rani tahu, itu adalah suara tawa adiknya yang bernama Rina Viona, tapi suaranya ditemani oleh suara tawa perempuan lain yang Rani tidak kenal.
Akhirnya, Rani lebih memilih melanjutkan tangisnya.
Ciut ciut ciut!
Terdengar suara seperti kicauan burung dari ponsel Rani, sebagai tanda ada pesan yang masuk. Rani tetap tidak peduli. Ia memilih membuang tubuhnya tengkurap di kasur dan membenamkan wajahnya di bantal bermodel wajah tokoh kartun Tazmania Devil yang mulutnya menganga lebar.
“Hahaha!”
Kembali tawa keras meledak dari ruang di luar kamar. Tawa ini lebih heboh dari sebelumnya. Seolah tidak menunjukkan solidaritas kepada Rani yang sedang dilanda prahara duka.
Rani yang tangisnya sudah reda, menjadi penasaran. Jarang-jarang ia bisa mendengar adiknya itu tertawa lepas seperti itu.
Rani akhirnya memutuskan bangkit dan melangkah ke pintu kamar. Di sana ia berdiri bersender pada daun pintu yang dikunci. Dari sana ia bisa mendengar obrolan dua perempuan yang sedang makan di meja makan.
Kamar Rani memang terhubung langsung ke ruang makan di rumah megah itu.
Di meja makan, ada dua perempuan sedang santap malam sambil berbincang serius. Keduanya duduk saling berhadapan berseberangan meja. Di tengah-tengah mereka ada berbagai lauk pauk dan sekeranjang buah.
Gadis pertama cantik berwajah mirip dengan Rani, tapi lebih muda. Rambut ikal indahnya tergerai sebahu. Ia mengenakan T-Shirt warna putih. Ia adalah Rina Viona, adik Rani.
Di seberang meja adalah seorang gadis seumuran Rina. Ia mengenakan jilbab besar berwarna kuning. Meski parasnya tidak secantik Rina atau kulitnya tidak seputih sahabatnya itu, tapi lesung pipi yang dimilikinya membuatnya begitu manis. Lesung pipi itu muncul hanya ketika ia tersenyum. Ia bernama Barada, teman sekolah Rina, tapi beda kelas. Malam itu ia diundang khusus oleh Rina. Barada telah menyelesaikan makannya.
Setelah tawa keduanya reda, Barada melanjutkan ceritanya.
“Abang sih ngomongnya ke saya begini, bukannya menghina atau merendahkan cewek gemuk itu, tapi pas lihat wajahnya, mau tidak mau Abang harus istigfar yang kesekian ribu. Jadi, kecantikan yang sudah sempurna Allah berikan sesuai takarannya. Kamu paham kan maksud dari sesuai takarannya, Rin?” kata Barada kepada Rina.
“Ya,” angguk Rina sambil menurunkan kadar tawanya.
“Maksudnya pas-pasan tapi itu yang terbaik baginya. Si mbak itu mempercantik wajahnya lagi dengan tebalnya bedak, panjangnya bulu mata palsu dan ngejrengnya merah bibir yang rada belepotan, yang menurut Abang justru mirip badut. Abang benar-benar merasa kena musibah tiga kali.”
“Musibah apa?” tanya Rina jadi berhenti tertawa dan serius memandang wajah sahabatnya.
“Musibah pertama adalah cewek cantik seksi yang pertama duduk di sebelah Abang, yang buat Abang klepek-klepek. Yang kedua, cewek seksi yang astaghfirullah bikin geli itu. Dan musibah ketiga, bis sudah keluar dari Semarang, yang artinya tempat Abang harus turun sudah kelewat jauh.”
“Hahaha!”
Lagi-lagi tawa kedua gadis cantik itu meledak kencang. Sampai-sampai dua pembantu perempuan yang sedang sibuk di sisi lain di ruangan itu, jadi senyum-senyum berdua juga.
“Aduh, pipi gua pegel!” keluh Rina sambil terus tertawa hingga air matanya keluar.
Setelah tawa mereka berdua reda, barulah Barada kembali ke topik utama perbincangan mereka yang sudah berlangsung sejak di kamar Rina di lantai dua, sebelum mereka turun makan.
“Saya ingin contohkan bahwa cowok seperti Abang tidak suka dengan perempuan cantik yang terbuka. Abang itu hanya satu contoh lho. Masih banyak cowok-cowok seperti Abang,” kata Barada yang menceritakan tentang kakak lelakinya, yang diam-diam ditaksir oleh Rina. Barada melanjutkan perkataannya, “Kenapa kamu melihat, kesannya semua cowok sukanya yang cantik terbuka dan yang obral murah? Karena ikan air laut akan berenang bersama ikan air laut lainnya dan ikan air tawar bersama ikan air tawar. Di Al-Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, perempuan baik untuk laki-laki baik. Saya enggak hafal surat dan ayatnya. Komunitas laki-laki salih tidak akan mau mengambil wanita-wanita yang tidak salihah. Kalau kamu mau dapat cowok yang bagus dunia akhirat, tidak ada jalan lain, kamu harus jadi wanita yang baik menurut versi cowok salih itu, kecuali takdir bicara lain,” tutur Barada. “Sepertinya busa di lambung saya sudah penuh kebanyakan bicara.”
“Elu malam ini benar-benar jadi guru spiritual gua, Badar!” puji Rina dengan menyebut nama panggilan Barada. Tercipta senyum bahagia di wajah cantiknya, karena memang hatinya berubah bahagia setelah pikirannya terbuka dan tercerahkan oleh “kuliah” dari Barada. Lalu katanya lagi kepada Barada, “Tekad gua sekarang benar-benar jadi bulat sempurna.”
Rina lalu berdiri, demikian juga Barada, karena memang mereka sudah selesai makan.
“Badar, keranjang buahnya bawa aja ke kamar. Gua mau nyobain baju yang gua beli,” kata Rina.
Mendengar pemaparan Barada di meja makan, Rani yang menguping di balik pintu kamarnya, mendadak menangis lagi. Ia tidak bisa menahan dan mengendalikan kesedihannya, tapi ia berusaha menahan suara tangisnya.
“Di Al-Quran ada ayat yang menjelaskan bahwa perempuan yang buruk untuk laki-laki yang buruk, perempuan baik untuk laki-laki baik.”
Kalimat itu begitu mengenai pikiran dan hati Rani. Sebab ia sangat tahu, berhubungan badan dengan kekasihnya di luar ikatan pernikahan, jelas perbuatan tercela. Jelas perbuatan itu hanya dilakukan oleh perempuan yang sudah tidak mungkin dicap sebagai wanita yang baik lagi. Rani merasa, kondisinya sekarang ini jelas tidak akan membuatnya bisa mendapatkan lelaki yang baik, terbukti kekasihnya yang selama ini ia suplai dengan kenikmatan **** justru menuduhnya tidur dengan lelaki lain.
Namun, suara isakan Rani lolos juga ke telinga Rina dan Barada yang sudah berdiri hendak meninggalkan meja makan.
Rina segera mendekati pintu kamar Rani, sementara Barada berdiri diam di tempatnya sambil menenteng keranjang buah dan memandang apa yang dilakukan Rina.
Setibanya di pintu yang tertutup, Rina diam menyimak dengan pendengarannya. Ia mendengar suara tangis yang samar, tangis yang sepertinya ditahan agar tidak terdengar kencang.
“Ran?!” panggil Rina agak kencang lalu mengetuk pintu kamar yang memang dikunci.
Namun, tidak ada jawaban dari Rani, kecuali suara isak tangis yang masih terdengar oleh Rina.
“Rani, elu kenapa?!” tanya Rina agak berteriak. “Rani!”
Tetap tidak dijawab oleh Rani.
Rina akhirnya memutuskan meninggalkan pintu itu lalu mengajak Barada pergi dari ruangan tersebut.
Rani yang awalnya berdiri bersender di daun pintu, tersurut turun dan duduk berjongkok. Air matanya terus mengalir deras. Ia memeluk kedua lututnya lalu perlahan tubuhnya bergerak jatuh ke samping hingga ia terbaring meringkuk di lantai bersama kesedihannya yang begitu dalam.
“Rani nangis tuh di kamarnya!” kata Rina kepada ayah dan ibunya saat melewati keberadaan mereka di sofa depan TV.
“Hah!” kejut wanita bertubuh langsing berambut pendek yang duduk di sofa. Wanita berkulit putih bersih itu mengenakan pakaian tidur longdress lengan pendek warna merah muda. Riasannya membuat wajah usia 40-annya tampak lebih muda. Ia bernama Irma Lulubana, ibu dari Rani dan Rina, sekaligus nyonya besar di rumah itu.
Di sebelahnya duduk lelaki berusia 50-an berkepala agak botak bagian depannya, seiring rambutnya yang memang menipis kelebatannya. Ia mengenakan kaos oblong kuning, membuat perut gendutnya menonjol jelas. Ia memakai celana pendek gombrong hitam yang punya dua kantong belakang dan dua kantong kanan-kiri. Kulitnya putih bersih. Sebuah jam tangan emas melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia adalah Dedy Sirana, ayah Rani dan Rina sekaligus penguasa di rumah besar itu. Wajahnya terlihat dingin.
Irma kerutkan kening mendengar laporan putrinya. Ia lalu bangkit dan segera pergi masuk ke ruang makan lalu langsung menuju ke pintu kamar anak tertuanya. Sementara sang ayah tetap teguh dalam duduknya menonton acara dialog di televisi.
Tok tok tok!
“Rani!” panggil Irma setelah mengetok pintu. Ia memang mendengar suara tangis Rani yang ada di balik pintu.
Irma mencoba membuka handle pintunya, tapi dikunci.
“Ran, kenapa, Ran?” tanya Irma lagi. “Kasih Mama masuk, Ran!”
Tidak ada jawaban dari dalam kamar.
“Pasti ribut sama Sando lagi,” membatin Irma.
Akhirnya Irma memilih meninggalkan pintu kamar itu dan membiarkan Rani tenggelam dalam kesedihannya. (RH)
Pesan singkat yang dibaca oleh Dedy Sirana di ponselnya membuat pengusaha perhotelan itu pulang tiga jam lebih awal.
Sejak ia membaca pesan kiriman istrinya, kemarahan bercokol di hati dan otaknya, membuat wajahnya sangat tidak sedap dipandang. Wajah berkulit putih bersih itu tampak menegang dengan sorot mata yang galak. Saraf-saraf senyumnya seakan semuanya membeku.
“Rani sudah hamil.”
Itulah bunyi pesan dari Irma teruntuk suaminya. Hanya tiga kata, tapi membuat Dedy merasa wajahnya tercoreng oleh arang penggorengan yang dibakar di atas kompor minyak.
Kondisi jiwa Dedy berpengaruh pada cara ia membawa mobil. Sering kali ia membunyikan klakson kepada kendaraan di depannya yang dianggap menghalangi atau bergerak lambat. Rasa tidak sabarnya begitu tinggi.
Teeet!
“Mau mati lu!” maki Dedy saat sebuah sepeda motor menyalip lalu masuk ke depan mobilnya, membuat ia harus sedikit tiba-tiba mengerem. Padahal makiannya pun tidak terdengar hingga ke luar mobil.
Beruntung hari itu adalah Ahad, hari libur bagi kebanyakan penduduk Jakarta, sehingga kemacetan hanya terjadi di lampu merah ketika lampunya menyala merah.
Dedy yang sehari-harinya lebih banyak diam dan bersikap dingin, kali ini benar-benar seperti pecandu yang kehabisan stok narkoba.
Teet teet teet teet!
Setibanya di gerbang rumahnya yang mewah, klakson yang ia bunyikan melebihi porsi yang biasa ia bunyikan. Biasanya hanya sekali tekan saja.
Jumlah suara klakson yang tidak biasa itu membuat Iwan, pembantu lelaki di rumah itu berlari lebih kencang ke gerbang, hingga-hingga sendal jepitnya putus di leher.
Semasuknya mobil merek Rush biru tua itu ke depan garasi, Dedy langsung keluar dari mobil tanpa membawa lagi tas kerjanya. Pria berkemeja putih itu tidak lagi melepas sepatu kantornya masuk ke dalam rumah.
Kedatangan Dedy langsung disambut oleh Irma, istrinya yang tetap tampil cantik dengan dandanannya, meski di hari libur.
“Mana anak itu?” tanya Dedy dengan ekspresi wajah yang keras, menunjukkan bahwa kemarahannya tinggi.
“Papa!” sebut Irma sambil berusaha menahan langkah suaminya yang langsung menuju ke kamar Rani.
Dedy justru menepis tangan istrinya yang memegang tangannya mencoba menghentikannya.
Ternyata pintu kamar Rani tidak dikunci, sehingga Dedy bisa langsung masuk. Hal itu mengejutkan Rani yang sedang duduk daring (online) di kasurnya menghadapi laptop.
Plak!
Langkah Dedy yang cepat membuat Rani tidak bisa berkutik ketika tangan tua itu berkelebat menampar wajah putihnya.
“Papa!” pekik Irma melihat suaminya menampar putri mereka.
“Kamu pikir, semua yang diberikan oleh Papa Mama selama ini hanya untuk kamu hamil di luar nikah, hah?!” bentak Dedy dengan sepasang mata tuanya yang memerah. “Papa pikir kamu sudah berpikiran dewasa. ******* saja yang setiap hari melayani banyak lelaki, bisa tidak hamil. Papa tidak mau tahu, sebelum aib ini tersebar jadi bau bangkai, gugurkan anak itu!”
“Enggak! Rani enggak mau, apa lagi Sando sudah mau tanggung jawab!” teriak Rani yang seketika menangis setelah mendapat tamparan dari ayahnya.
“Papa maunya janin itu digugurkan dan Papa akan bunuh pemuda keparat itu!” tandas Dedy.
“Lebih baik Rani yang mati dari pada anak Rani dan ayahnya dibunuh!” teriak Rani.
Dengan cukup mengerahkan tenaga, Irma berjuang menarik suaminya agar keluar dari kamar. Seberhasilnya membawa suaminya hingga ke luar kamar, Irma berbisik serius seraya menatap fokus ke wajah suaminya.
“Papa tidak bisa berpikiran buta seperti itu. Bukankah ini yang dulu juga terjadi pada kita berdua? Papa dulu yang membela mati-matian untuk tidak menggugurkan kandungan Mama saat Rani dikandung di luar nikah. Bagaimana mungkin Papa bisa tidak memahami ketika kondisi yang sama terjadi kepada Rani?” kata Irma.
Dedy terdiam. Seketika itu juga ia teringat ke masa lalunya, saat ia harus benar-benar dituntut menjadi seorang pria yang bertanggung jawab karena telah menghamili Irma muda di luar ikatan pernikahan. Bahkan ia harus menentang keinginan keras orang tuanya dan orang tua Irma yang sepakat untuk menggugurkan janin di kandungan Irma. Sehingga, ia dan Irma memutuskan untuk kabur ke Tangerang meninggalkan pulau Kalimantan.
“Biarkan bayi itu lahir ya, Pa?” bujuk Irma. “Apa lagi Sando mau bertanggung jawab. Sore ini Sando mau datang dan bicara kepada kita.”
Dedy menghempaskan napas berat.
“Papa enggak mau ketemu dengan pemuda berengsek itu. Bilang ke dia, kalau Papa enggak mau ada pernikahan yang mengundang banyak tamu. Setelah itu, pergi jauh dari pandangan Papa!” ujar Dedy lalu melangkah pergi meninggalkan istrinya. Ia lalu berteriak kepada pembantu perempuannya, “Lina! Bawakan bir ke kamar!”
Irma segera menemui Rani dan memberitahukan keberhasilannya membujuk suaminya. Berita itu bisa meredakan tangis Rani.
Rani segera menelepon Sando, ayah dari janin di perutnya. Sementara Irma memilih pergi untuk menemani suaminya di kamar mereka.
Beberapa hari yang lalu, ketika Rani memberitahukan kehamilannya kepada Sando, pemuda itu awalnya tidak percaya bahwa Rani mengandung anak hasil dari hubungan mereka berdua. Setelah Rani tidak mengangkat teleponnya yang berulang-ulang, Sando akhirnya mengirim pesan yang menyatakan siap bertanggung jawab dan akan menikahi Rani sesegera mungkin.
“Ya, Honey?” kata cinta langsung menjawab telepon Rani.
“Di mana, San?” tanya Rani.
“Suara elu kok serak begitu? Lagi nangis ya?” Sando yang ada di ujung telepon balik bertanya.
“Enggak, sedikit sedih aja,” jawab Rani.
“Tenang, Honey, gua nanti malam datang kok. Ole-ole Sumbawa sudah siap untuk meluluhkan calon mertua, hahaha!” kata Sando.
Rani merasa sedikit terhibur dengan rencana kekasihnya itu.
“Pokoknya lu dandan yang cantik malam ini, yang perfect for me. Habis bicara sama mama papa lu, kita dinner, special for you. Oke?”
“Ee,” jawab Rani.
“Lu jangan mikir yang macam-macam. Gua akan datang sebagai pangeran berkuda elu nanti malam. I love you, Honey,” kata Sando untuk terakhir kalinya kepada Rani, setelah itu Sando menutup teleponnya.
Sando yang dalam perjalanan pulang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, kembali duduk tenang di dalam mobil.
Sando memang seorang pemuda tampan berambut pendek yang ujung-ujungnya mengumpul membentuk duri-duri yang kaku oleh olesan putih telur, resep rambut anak-anak punk. Ia mengenakan T-Shirt kuning berpola salur hitam biru di bagian perut baju. Dari perawakan ototnya, menunjukkan bahwa pemuda berkulit putih itu suka membentuk ototnya di tempat fitness, meski ototnya tidak begitu kekar.
Sementara itu, seorang pemuda yang terhitung tampan juga dengan sepasang alis tipis tapi panjang, duduk di sisi kanan Sando. Sambil memegangi lingkaran stir mobil Honda Rush hitam itu, pandangannya fokus ke jalan raya. Pemuda berkulit putih tersebut memiliki rambut lurus yang lemas, tapi rambut di kedua sisi kepalanya dicukur tipis. Ia hanya mengenakan kaos oblong merah yang di dada kanannya ada sablonan bertulis “billabong”. Ia mengenakan celana jeans hitam longgar yang ujungnya hanya lewat selutut dikit. Ia adalah Fito, nama aslinya Khalid Abdulatif. Ia mendampingi Sando sama-sama ke Sumbawa untuk melihat tanah dekat pantai yang perusahaan akan beli.
Tampak di kursi belakang, menumpuk tas dan berbagai barang sebagai buah tangan keduanya untuk keluarga.
“Jadi, positif lu mau nikahin Rani?” tanya Fito.
“Yaaa, walau masih ada keraguan kalau itu anak gua, tapi gua harus benar-benar tanggung jawab. Gua cinta sama Rani,” jawab Sando. “To, mampir dulu di depan, gua mau beli minuman!”
Fito lalu melambatkan mobilnya dan lampu sen kiri dinyalakan. Mobil berbadan besar dan lebar itu memasuki area parkir sebuah minimarket. Di parkiran hanya ada deretan beberapa jenis motor milik konsumen. Sebuah plang seng menempel di tiang depan minimarket. Pesan yang tertulis di plang itu berbunyi “Kunci kendaraan Anda! Kehilangan di luar tanggung jawab kami!”. Plang peringatan seperti itu menunjukkan, di minimarket itu tidak ada satpam dan tukang parkir. Parkiran memang terpantau jelas dari petugas minimarket yang ada di dalam. Di sisi pinggir kanan parkiran ada pedagang jus buah dan gorengan gerobak. Keamanan pun mengandalkan kamera cctv.
Sando bergerak turun dari mobil, sementara Fito memilih menunggu. Seturunnya dari mobil, terlihatlah bahwa Sando seorang pemuda yang memiliki tinggi tubuh agak pendek. Namun, otot tubuhnya yang berisi membuatnya terlihat cukup gagah.
Ia langsung menuju pintu kaca. Seiring itu, seorang ibu berjilbab hijau keluar dari minimarket sambil mengambil kunci motor dari dompetnya yang baru diisi beberapa lembar uang ratusan. Ia tidak membawa plastik belanjaan, menunjukkan ia hanya mengambil uang di atm.
Baru saja Sando masuk ke minimarket, Sando berhenti ketika melihat seorang lelaki berjaket hitam berlari dari pinggir jalan ke parkiran minimarket mengarah ibu berjilbab itu.
Ibu bertubuh agak gemuk berjilbab hijau sangat terkejut, ketika tiba-tiba dari belakang seseorang merampas kunci motornya dengan kasar. Ibu yang baru mau menaiki jok motornya tersebut, didorong keras hingga terjengkang di lantai batu parkiran.
“Hei!” teriak Sando yang seketika mengejutkan seluruh orang di dalam minimarket.
Sando langsung bergerak keluar dari minimarket dan berlari ke arah lelaki berusia 30-an yang mencoba merampas motor si ibu. Kejadian itu juga mengejutkan Fito yang berada di dalam mobil dan sangat dekat dengan titik serangan. Namun, Fito hanya bereaksi di tempat duduknya tanpa ada tindakan keluar dari zona amannya.
“Hei!” teriak Sando lagi.
Dor!
Baik orang-orang yang ada di dalam minimarket, di parkiran, pedagang, hingga mereka yang sedang melintas di jalan raya, terkejut mendengar suara satu tembakan. Bahkan beberapa orang sekitar segera merunduk dan berlindung di balik sesuatu yang bisa dipakai berlindung.
Pelaku perampasan motor yang ternyata membawa senjata api, dengan cekatan memutar balik posisi motor yang sudah ia kendalikan. Sebelum melesat pergi meninggalkan parkiran, begal itu kembali todongkan pistolnya.
Dor! Bremr!
Ibu berjilbab pemilik motor, tidak berdaya dalam ketakutan bercampur keterkejutan. Posisinya tetap berbaring di lantai parkiran yang berdebu tebal.
Seperginya begal itu, Fito buru-buru keluar dari mobilnya. Ia langsung berlari mendapati tubuh Sando yang terkapar bersimbah darah. Darah mengalir deras keluar dari dua lubang yang tercipta di sekitar dadanya.
“Sando! Sando!” teriak Fito panik bukan main sambil memeluk tubuh Sando yang meregang nyawa oleh dua peluru dari begal itu. “Tolong...!”
Di saat yang bersamaan, Rani sudah kembali ceria, kesedihannya telah sirna di wajahnya, meski penyesalan dan duka itu masih ada yang bercokol di sudut hatinya. Namun, nasib telah menjadi bubur, ia harus menikah dalam kondisi hamil. Ia harus mengakui, ia dan Sando bukanlah sepasang insan yang baik, terbukti mereka berhubungan badan beberapa kali sebelum menikah.
“Jika waktu bisa kembali diulang, gua janji akan mencari pria yang baik,” kata hati kecil Rani.
Namun, waktu tidak mungkin diputar ulang. Ia harus terima kenyataannya bahwa hari ini seperti itulah keadaannya. Tiada jalan lain, selain menikah dengan Sando. Tidak mungkin ia menikah dengann pria lain yang bukan ayah dari bayinya, padahal Sando masih ada dan hidup.
Rani menemui mamanya di dapur untuk memberi tahu tentang kepastian dari kedatangan Sando nanti malam.
Di sisi lain di dalam rumah itu, di dalam sebuah kamar besar nan mewah, seorang Dedy duduk di kursi sofa menghadapi meja kaca yang di atasnya berdiri gagah dua botol bir dan sebuah gelas putih ukuran sedang yang penuh oleh air bir.
Sementara air bir tergenang diam di dalam gelas, Dedy pun diam termenung. Tidak ada sedikit pun cahaya gairah di guratan wajah tuanya.
Setelah belasan menit lamanya diam termenung dengan pikiran sekalut benang layangan, mimik wajah Dedy tiba-tiba berganti mengekspresikan tangisan seorang ayah. Tidak ada air mata yang meluncur di kulit wajah tuanya, air bening hanya sebatas menggenang di pinggiran mata. Ekspresi tangis itu kemudian berubah sedih belaka.
Kehamilan Rani menjadi pukulan sangat keras baginya. Ia harus mengakui, hal itu juga tidak lepas dari kesalahan dan kelalaiannya sebagai seorang ayah, yang seharusnya bisa melindungi anak perempuannya hingga ke ijab kabul yang sangat sakral dalam pernikahan.
“Ya Allah....” ucap Dedy lirih.
Lama sudah ia tidak menyebut nama suci itu. Lebih lama dari tidaknya ia meneguk bir. Terakhir ia meneguk bir adalah empat bulan lalu. Entah, kapan ia terakhir menyebut nama Zat Yang Mahaagung.
“Baru saja Engkau membuatku gembira melihat Rina berubah baik dengan jilbabnya, tiba-tiba hari ini Kau seolah menghukumku atas dosa masa laluku. Aku tidak rela jika pemuda ******** itu memiliki anakku, menjadi ayah dari cucuku, aku tidak rela, ya Allah,” kata Dedy dalam hati.
Ia lalu mengangkat tubuhnya dari sandaran sofa. Tangan kanannya meraih gelas berisi minuman haram itu. Gelas itu ia angkat tinggi hingga sejajar dengan wajahnya. Ditatapnya bir dalam gelas dengan tatapan yang tajam dan dingin.
Lalu Dedy berkata dengan suara keras, “Aku bersumpah di depan bir ini, ya Allah! Andaikan Engkau memberikan Rani suami yang salih, memberiku menantu yang baik agamanya, maka aku akan membangun sebuah masjidmu!”
Bukannya meminum bir yang sudah terlanjur ada di gelas, tetapi Dedy justru menumpahkan bir di gelas ke lantai, di antara kedua sepatu mengkilapnya yang masih ia kenakan.
“Aaa!” teriaknya seraya melempar keras gelas bir itu ke dinding kamar.
Prakr!
Gelas hancur berantakan dan serpihan tajamnya bertebaran di lantai.
“Aaakr!”” teriak Dedy penuh emosi sambil melempar botol bir di atas meja ke cermin besar lemari pakaian.
Botol bir dan cermin bernasib sama, sama-sama pecah berantakan. Dan botol kedua pun dilempar ke tempat yang sama.
Sembilan jam kemudian.
Cukup jauh dari tempat kediaman Dedy, sama-sama di depan tegaknya botol-botol bir.
Delapan botol bir berdiri di atas meja di teras sebuah rumah yang halamannya bertaman. Kedelapan botol bir itu dihadapi oleh dua pemuda yang sudah menghabiskan satu botol bir untuk berdua. Salah satu pemuda itu adalah Fito, yang baru saja kehilangan seorang teman akrabnya untuk selamanya.
Pemuda yang bersamanya juga termasuk tampan dengan wajah yang dihiasi setitik tahi lalat di bawah sudut kiri bibirnya. Ia memelihara kumis tipis. Rambutnya yang gondrong ia ikat dengan karet gelang di belakang. Ia mengenakan kaos oblong kuning dan bercelana jeans biru yang pada bagian kedua pahanya sudah robek-robek, seperti memang sengaja dirobek. Ia bernama Gunawan, usianya 26 tahun, dua tahun lebih tua dari Fito.
“Lu harus tahu, To,” kata Gunawan yang belum ada tanda-tanda mabuk, sama seperti Fito. “Bukan elu doang yang cinta jatuh hati berat sama Rani, gua juga. Jadi, gua kagak bakalan ngebiarin elu jalan tenang sendirian buat meminang Rani.”
“Wah! Kejutan buat gua nih! Hahaha!” teriak Fito berlagak kaget. “Gua juga tahu elu naksir berat sama Rani, makanya elu ngejauh dari Sando sejak dia orang jadian. Tapi kita berdua, sebagai Sepasang Naga Pemabuk, harus fair. Apakah gua, atau elu, yang nantinya diterima oleh Rani, enggak ada dendam di antara kita. Kita tetap akan satu meja dan satu botol dalam menikmati nikmat minuman surga ini.”
Gunawan lalu mengambil sebotol bir yang masih tertutup. Dengan giginya dia membuka tutup botol itu.
“Ayo, kita deklarasikan perjanjian antara kita berdua!” kata Gunawan seraya mengangkat tinggi-tinggi botol di depan wajahnya.
Fito lalu mengambil pula satu botol baru. Dengan giginya ia membuka tutup botol.
“Kita sepakat, siapa pun yang berhasil mendapatkan Rani, enggak ada dendam di antara kita. Dan dengan ini pula, kita berkabung atas meninggalnya Sando!” teriak Fito.
Tang!
Keduanya mengetos botol yang masing-masing mereka pegang. Setelah itu keduanya menyumbat mulut mereka dengan mulut botol.
Glek glek glek!
Air bir mengalir turun non-stop melalui tenggorokan keduanya, seolah yang mereka tenggak adalah air kelapa segar.
Kedua sahabat ini memang terkenal jago mabuk. Di kalangan teman-teman sepergaulan, mereka dikenal dengan julukan “Sepasang Naga Pemabuk”. Sebotol dua botol bir tidak bisa membuat mereka mabuk.
“Hahaha...!”
Keduanya tertawa panjang setelah masing-masing berhasil menghabiskan satu botol.
“Siapa yang nanti pagi bangun di dalam ember, harus datang ke rumah Rani belakangan,” kata Gunawan.
“Setuju!” teriak Fito lalu kembali ambil botol baru.
Demikian pula dengan Gunawan. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!