Dipadu dengan udara dingin dari gelapnya malam, juga rintikkan hujan yang mulai datang. Alunan musikku lah yang mampu menghipnotis siapapun yang mendengarkan. Di dalam cafe bergaya Indonesia-Belanda ini, aku kembali menghibur para pengunjung. Tak tanggung-tanggung, ternyata cafe ini selalu ramai oleh pengunjung. Tempatnya yang strategis, dan juga nyaman ini membuat banyak remaja betah berlama-lama disini.
"Wir, kamu pulang sama siapa?" tanya seseorang yang menghampiriku dengan membawakan sekantung plastik makanan.
"Kak Wildan, katanya tadi dia lagi di jalan."
"Ohh, hati-hati. Diluar hujannya mulai lebat."
"Iya, makasih kak." kuukir segaris senyum tipis yang menghiasi wajahku.
Kulangkah kan kakiku menuju pintu masuk cafe, dan saat diluar benar saja. Hujan nya lebat, andai aku tahu hujan nya akan selebat ini, aku pasti akan membawakan tas untuk biolaku. Tapi sayangnya aku tak tahu.
Kutaruh kantung plastik itu di kursi depan cafe, dan aku berjalan ke perbatasan lantai. Tanganku terulur kedepan menikmati dinginnya air hujan. Senyuman kecil terukir di bibirku saat aku mengingat kembali kenangan dulu. Tapi semua itu tak tertahan lama, seseorang menyenggolku dari belakang hingga aku terjatuh kedepan. Kutatap biola milikku yang terpental tak jauh di depanku.
Ayolah, tak apa jika aku yang harus terjatuh dan kehujanan. Tapi aku tak akan rela jika biolaku juga mengalami hal yang sama, dan sekarang bukan hanya terpental, tapi juga jembatan biola itu patah.
"Sorry, temen gue gak sengaja." ucap seseorang berhoodie maroon yang membantuku bangun dan mengambil biola milikku.
"Makasih, kak." ucapku yang kemudian menatap seseorang yang bergeming dan menatap datar diriku.
"Niel, minta maaf," bisik lelaki berhoodie maroon itu.
"Ngapain gue minta maaf? Orang gue gak salah, kok." ketusnya.
"Lo udah nyenggol dia tadi,"
"Dia yang salah, ngapain coba diem di sana."
"Meminta maaf gak akan membuat seseorang menjadi rendah kok, kak." ujarku yang tersenyum miris pada orang itu.
Aku menatap mobil hitam yang memasuki perkarangan cafe, mobil itu milik kak Wildan. Dengan segera aku mengambil plastik di kursi dan berlari menuju mobil kak Wildan.
Tak ada yang menyangka, ternyata itulah pertemuan kecil kami yang membawa kami pada takdir yang rumit.
Dia, Daniel Carlent Satria Pratama.
Seseorang yang akan memberikan bagian-bagian penting dalam hidupku.
Bagi sebagian siswa maupun siswi mungkin hari paling menyebalkan itu hari senin. Di pagi harinya semua siswa-siswi harus berjemur karena upacara bendera, apa lagi yang kelas pertamanya di isi oleh pelajaran matematika atau fisika. Itu yang paling menyebalkan, bukan?
"Wir, lo kemana aja sih? Lama banget, kita nungguin lo dari tadi." gerutu Agatha yang menatap kesal diriku.
"Maaf, tadikan aku abis pinjem buku di perpus."
"Dasar kutu buku."
"Gak papa, daripada kutu cinta."
"Emang ada, ya?" tanya Renata.
"Ada-adain ajalah."
Aku mengambil semangkuk mie ayam yang sudah Renata pesankan untukku tadi, beruntung aku punya teman seperti Renata dan Agatha, mereka baik juga perhatian.
"Wir, lo tadi di cariin sama kak Ayla." ujar Renata.
Aku menghentikan gerakkan makanku, aku kembali menaruh sendok dan garpu itu ke asalnya. Dan kini fokusku pada Renata yang terlihat serius.
"Siapa?"
"Kak Ayla."
"Iya aku juga udah dengar namanya Ayla. Tapi maksudnya kenapa nyariin? Emang kita udah pernah kenalan? Aku kan baru aja seminggu sekolah disini."
Aku kembali melanjutkan aktivitas makanku yang terhenti tadi, aku kira sepertinya ini tidak begitu serius.
"Dia kenal sama lo."
"Lah terus?"
"Lo gak punya masalahkan sama dia, Wir?" selidik Agatha yang menatap intens diriku. Itu membuatku risih.
"Apaan sih, nggaklah. Orang aku aja gak kenal."
"Yaudahlah, lupain aja." ucap Renata yang menyudahi.
Dan sekarang aku benar-benar makan dengan nikmat. Pelajaran fisika tadi membuat tenagaku terkuras habis, di tambah lagi dengan pak Ilan yang menyuruhku untuk mempelajari materi-materi penting di perpus tadi. Benar-benar sangat memusingkan hingga membuatku sangat lapar.
"Eh, Wir. Nanti sore jadikan?" tanya Renata yang langsung di angguki oleh Agatha.
Aku mengernyitkan dahiku tak tahu. Pasalnya mereka seringkali membuatku pusing dengan pertanyaan dan pernyataan anehnya itu.
"Kemana?"
"Lo gak baca pesan dari gue, ya?"
Aku hanya menggeleng lalu tanganku mengambil handphoneku di saku rokku, namun kenapa tidak ada? Aku kembali meronggah saku bajuku, dan lagi-lagi tak ada. Kemana perginya? Ah, ralat. Kemana hilangnya?
"Eh, kalian liat handphone aku gak?"
"Lah, bukannya tadi pas mau ke perpus lo bawa, ya?"
Perpus. Dengan gerakan cepat aku berdiri dari tempat dudukku, namun saat akan melangkah, langkahku justru tertahan oleh orang yang menghalangi jalanku.
"Handphone lo?" tanya laki-laki di depanku dengan mengacungkan handphoneku.
Senyumku merekah, cepat-cepat aku merenggutnya dengan kasar dari tangan laki-laki itu.
"Maka---" ucapanku terpotong, aku menatap intens laki-laki itu. Wajahnya sama. Mungkin laki-laki ini orang yang sama yang telah merusak biolaku malam itu.
"Apa lo liat-liat, suka? Gue tahu gue ganteng, tapi cewek kayak lo bukan tipe gue." ketus lelaki itu.
Wajahnya mungkin tampan, namun cara bicaranya sungguh menampar. Pedas dan ketus.
"Kamu yang malam itu nabrak aku, kan? Yang bikin biola aku patah." tuduhku dengan mengacungkan telunjukku kearahnya.
"Gak usah tunjuk-tunjuk, dasar pendek."
"Dasar cowok gak berperasaan."
"Lo cewek yang gak tahu sopan-santun, dasar pendek."
"Orang ketika salah itu minta maaf, bukannya nyolot."
"Gue gak salah, jadi buat apa gue minta maaf."
"Cowok songong, belagu kayak kamu itu gak pantes di hormatin ternyata."
"Lo---"
"Niel, udah ayo." ucap laki-laki di samping laki-laki ketus itu.
Tak lama kemudian merekapun pergi, pergi menghilang dari hadapanku. Aku kembali duduk dan menghela nafas kasar.
"Lo punya masalah sama dia, Wir?" tanya Agatha penasaran.
"Iya, dia rusakkin biola aku!" ucapku dengan nada tinggi.
"Wir, jangan ngegas. Tenang ya?" tenang Renata.
"Lo hebat, baru kali ini ada cewek yang seberani itu sama dia. Selain Ayla, gak ada lagi cewek yang deket sama dia."
"Aku gak deket sama dia."
"Tapi lo harus tahu. Daniel gak pernah baik sama cewek, apalagi nganterin handphone lo kayak tadi."
"Bodoamat."
"Tha, udah dong. Wirda lagi emosi." relai Renata yang membuat Agatha hanya memutar bola matanya malas.
Aku sendiri tak habis pikir, masih ada spesies laki-laki semacam itu ternyata, yang tak mau minta maaf meski dia yang salah. Sombong dan ketus, mungkin saja kebiasaannya adalah merendahkan orang lain dengan kata-katanya itu. Baru kali ini aku bertemu dengan lelaki macam itu, bahkan kak Wildan sendiripun tak pernah bersikap demikian pada wanita meski dia playboy. Dan siapa namanya tadi, Daniel?
"Wir, handphone lo bunyi." ucap Renata yang membuyarkan lamunanku.
Cepat-cepat aku melihat nama yang tertera di layar handphoneku, dan ternyata nama kak Wildanlah di sana. Baru saja aku memikirkannya, dia sudah menelpon duluan.
"Hallo, kak." sapaku.
"Pulang sekolah nanti, kita kerumah sakit."
"Tapi aku ada janji sama temen." aku melirik Agatha dan Renata silih bergantian.
"Tunda dulu aja, ini lebih penting Dah."
"Yaudah deh." putusku, dan dengan sepihak aku langsung mematikan sambungannya.
"Ren, Tha. Kayaknya nanti sore kita tunda dulu deh acaranya." pintaku dengan rasa tak enak.
Kak Wildan memang paling menyebalkan.
"Yah, Wir. Masa di tunda sih? Kita kan udah janji." kesal Agatha.
"Iya, tapi tadi kakak aku bilang kalo aku harus ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit, Wir?" tanya Renata dengan penasaran.
"Manusia."
"Iya, manusianya siapa?"
"Kepo banget sih."
"Biarin."
"Iyain aja, biar cepet kan."
"Tapi besok jadi, kan?" tanya Agatha, kali ini nada suaranya tidak seperti tadi yang terdengar kesal.
"Iya."
"Yaudah, ke kelas yuk! Udah mau bel." ajak Renata dan langsung di angguki olehku dan Agatha.
Senang rasanya memiliki teman seperti mereka. Renata yang paling sabar dan dewasa, hingga Agatha yang paling emosional namun penyayang.
Jadi tak tega rasanya jika aku jujur sekarang tentang apa yang aku sembunyikan selama ini pada banyak orang.
...***...
Mencari ketenangan, memanglah harus dilakukan. Aku dengan novelku kini berpindah ke taman belakang sekolah. Biasanya tempat ini sepi, tapi entah kenapa hari ini jadi banyak sekali orang yang berada disini. Entah itu untuk tidur, makan siang, ataupun berdandan. Bisa kucirikan orang-orang yang tidur dibawah pohon dengan alas rumput itu orang-orang yang membolos pelajaran terakhir tadi.
Kutusukkan sedotan pada susu kotak milikku lalu meminumnya setengah. Setelahnya aku kembali membaca novel. Tak akan aku sia-siakan suasana menenangkan dengan hembusan angin yang sesekali menamparku ini, rasanya aku tak ingin pergi dari sini.
"Wirda!" panggilan nyaring memekikkan telingaku. Suara yang sudah bisa aku pastikan jika itu suara Agatha.
"Wir, lo kok ngilang gitu aja sih?" kesal Agatha yang duduk di sampingku, namun tak kuindahkan kata-katanya.
"Wirda Citra Nadira!" panggil Agatha lagi, sekarang di sertai dengan tangannya yang merenggut novel di tanganku.
"Apaan sih, Tha?"
"Lo dengerin gue gak sih? Gue ngomong sama lo."
"Iya, ada apa?" tanyaku mulai melembut.
"Gak ada apa-apa sih." ucap Agatha sembari membenarkan posisi duduknya,"Tapi, kan harusnya lo bilang dulu kalo mau pergi, bukannya nyelonong aja kayak tadi."
"Iya, maaf." aku kembali merenggut novelku, dan kembali membukanya.
"Ihh, Wirda." Agatha kembali merenggut novelku, dan menjauhkannya dari diriku.
Jika terus seperti ini, maka Agatha tak akan pernah mengalah, dia akan terus merecoki diriku yang sedang membaca ini.
"Udah selesai ngomongnya?" tanyaku dengan rasa malas.
"Belumlah, orang dari tadi lo nya aja gak fokus sama gue."
"Yaudah, iya. Aku fokus nih."
"Tadi lo di panggil pak Ilan."
"Ngapain?"
"Balikkin buku."
"Kemana?"
"Menurut lo?" tanya Agatha sewot.
"Perpustakaan."
"Lo pinter kok lemot sih, Wir."
"Ya, maaf."
Aku mengambil kembali novelku yang ada di tangan Agatha, juga buku-buku pelajaran yang ada disampingku, yang sejak tadi aku abaikan. Lalu setelahnya beranjak pergi.
"Mau kemana?" tanya Agatha keherannya.
"Balikkin buku."
"Oh iya. Yaudah sana."
Aku hanya menurut saja, lagi pula tak ada baiknya juga jika harus berlama-lama dengan Agatha, menyebalkan. Setidaknya nanti di perpus aku bisa kembali membaca buku.
Aku berjalan menunduk menuju perpus. Semenjak kejadian kemarin bersama laki-laki bernama Daniel itu, aku jadi sering menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan aku benci itu.
Setelah sampai aku langsung berbicara dengan penjaga perpus di sana, kemudian menaruh kembali buku-buku yang sudah kupinjam waktu itu.
"Hai." sapa seseorang yang berdiri di sampingku.
"Hai."
"Lo Wirda, kan?"
"Iya."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya kearahku,"Gue Redgar, kelas 12 IPA 1."
"Wirda." balasku yang kembali menjabat tangannya.
"Nyari buku?"
"Eh, bukan kak."
"Balikkin?"
"Iya."
"Kalo gak salah, kemarin lo yang berantem sama Daniel di kantinkan?"
Oh, ayolah. Kenapa harus dia lagi yang di bahas?
"Kok tiba-tiba jadi banyak yang ngomongin aku sama kak Daniel, ya?" tanyaku keheranan. Jujur aku sudah mulai tak nyaman jika membahas makhluk yang satu itu.
"Lo bikin sekolah gempar. Sebelumnya Daniel selalu gak tertarik sama cewek. Tapi sama lo dia baik."
Baik apanya? Laki-laki dengan mulut ketus itu pantas di panggil baik? Ah, sepertinya kakak kelas di depanku ini sedang kurang sehat, atau mungkin lupa minum obat.
"Emang ketus termasuk baik, ya?" gumamku pada diri sendiri.
"Hah?"
"Gak jadi."
"Redgar." panggil seseorang yang berlari kearah kami.
"Ay."
"Kamu kemana aja sih? Dari tadi di cariin gak ketemu-ketemu." omel gadis itu.
"Ay, jangan berisik. Ini perpus."
"Ish."
Sejenak kami saling menatap, wajah yang tadinya terlihat kesal itu berubah menjadi terkejut saat melihatku. Ekspresinya seperti melihat makhluk gaib. Ah, lupakan.
"Lo Wirda, kan?" tanya gadis itu dengan antusiasnya.
Aku di buat bingung olehnya, tadi ia bersikap seakan terkejut melihat hantu. Sekarang ia antusias menatapku. Sikapnya aneh.
"Kenalin, gue Ayla. Kakak kelas lo, sekaligus pacarnya Redgar."
"Wirda."
"Gue tahu kok. Lo yang kemarin bikin heboh sekolah, kan?"
"Hah?"
"Lo cocok kok sama Daniel."
"Ay." panggil Redgar yang seakan sedang menegur gadis bernama Ayla itu.
"Kenapa? Aku salah?"
"Bukan itu."
"Yaudah, terserah aku dong. Wirda juga gak tersinggung kok. Iya kan, Wir?" tanyanya yang kemudian menatapku.
"I-iya kak." jawabku terbata. Bukan terbata, namun tak ikhlas rasanya mengatakan jika aku tak tersinggung dengan ucapannya.
"Yaudah, kalo gitu gue pergi ya, Wir. Maaf Ayla emang kayak gitu orangnya." ucap Redgar yang di sambut senyuman simpul dariku.
Aku menatap kepergian dua orang itu, perlahan mereka menghilang dari balik pintu. Namun pintu kembali terbuka, dan sekarang menampilkan dua makhluk yang akan membuatku pusing. Ya, siapa lagi jika bukan Renata dan Agatha. Mereka berjalan kearahku.
"Wir, ini ada titipan buat lo." ujar Renata yang kemudian menyodorkan sebatang cokelat kearahku.
"Buat aku?"
"Iyalah."
"Dari siapa?"
"Baca aja note nya."
Aku mulai membuka note yang ada di belakang cokelat itu. Namun nama pengirim yang tak aku harapkan malah tercetak di sana.
"Dari kak Daniel?"
"Iya."
"Kalian kok mau sih di suruh sama cowok itu?"
"Itu ada di meja lo."
Aku menatap Renata dan Agatha dengan intens, benar disana tidak ada kebohongan. Setelah itu aku mulai melangkah untuk mencari laki-laki ketus itu. Mungkin sekarang dia ada di kantin.
...***...
"Lo berdua pada tahu kagak?" tanya Albi dengan semangatnya.
"Apaan?" tanya Angga dengan mimik serius.
"Gosip yang gue bagiin kemarin jadi trending topik, bro."
"Astagfirullah, lo gak takut dosa, ya? Nyebarin gosip kayak gituan? Nyebut, Al." sarkas Angga.
"Santai boss, yang jadi bahan gosip aja gak sesewot lo. Iya gak, Niel? Iyalah pastinya." ucap Albi dengan bangganya.
Yang di tanya hanya diam, perlahan tapi pasti, dia tersenyum miring. Senyuman itu masih sulit di artikan oleh teman-temannya. Namun bisa di pastikan jika Daniel memang tidak masalah soal gosip itu.
"Niel, lo gak marah sih sama Albi yang udah ngegosipin lo?" tanya Angga dengan wajah terheran-heran.
"Yaaa, sebenernya sih bukan gue yang marah. Tapi mungkin bentar lagi ada."
"Kak Daniel!" panggil Wirda dengan lantangnya. Dan yang di panggil hanya tersenyum.
Wirda datang tepat waktu. Baru saja Daniel bicara tentangnya, dan sekarang orangnya sudah datang. Bisakah di katakan, panjang umur?
"Ini dia artis pendatang baru kita." sambut Albi dengan hebohnya kearah Wirda.
Wirda menatap sekilas Albi, juga Angga. Lalu fokusnya kembali pada Daniel. Ia menyodorkan kembali cokelat yang di berikan Daniel untuknya.
"Widih, sekarang tokoh utamanya ngasih cokelat guys." ucap Albi lagi. Dan kali ini mendapat tatapan horor dari Daniel.
Itu membuatnya diam.
"Maksud kak Daniel apa?" tanya Wirda dengan nada tinggi, bahkan dia mengundang banyak pasang mata yang menatap mereka sekarang.
"Cokelat?"
"Kalo aku tahu ini dari kak Daniel. Aku gak akan pernah mau nerimanya."
"Yaudah tinggal buang aja kali. Gampangkan?"
"Kak Daniel!"
"Apa?!"
"Cowok yang gantle itu, cowok yang mau mengakui kesalahannya dan minta maaf dengan tulus, bukannya ketus."
"Lah, gue kan udah minta maaf. Masih kurang?"
"Bukan masalah kurang atau nggaknya kak."
"Ya terus?"
"Jangan pernah minta maaf kalo kakak sendiri gak tahu dimana letak kesalahan kakak."
"Gausah nasehatin gue."
"Aku gak nasehatin kok, cuman ngasih tahu kak Daniel gimana caranya minta maaf dengan tulus."
"Tulus atau enggaknya, itu tergantung Pikiran lo sebagai penerimanya. Gue baik-baik aja kok, jadi gak usah ribet."
"Emang ya, kak Daniel itu cowok yang gak berperasaan."
Wirda menaruh kasar cokelat itu di atas meja. Lalu ia berjalan meninggalkan kantin dengan emosi yang masih memburu.
Benar saja, setelah ucapan Wirda tadi, Daniel jadi merenungkan dirinya yang selama ini selalu berbuat sesuka hatinya itu.
Dan sekarang benar apa adanya. Wirda memang bisa membawa pengaruh baik untuk perubahan Daniel. Mungkin Daniel akan sedikit berubah jika di nasehati oleh orang yang sama keras kepalanya seperti Wirda.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!