Hai perkenalkan namaku Andini, umurku 25 tahun. Aku kuliah s2 dan bekerja di sebuah coffee shop sebagai pekerja paruh waktu. Aku berasal dari keluarga yang sederhana, anak satu satunya. Dan aku sebenarnya hanyalah anak angkat dari rumah panti asuhan di Semarang. Orangtua angkatku membawaku ke ibu kota, tinggal dan menetap dikota besar ini.
Aku sangat menyayangi mereka seperti orang tua kandungku sendiri. Mereka sumber kebahagiaanku. Aku tidak akan pernah mengecewakannya.
Satu hari tepat hari Minggu, ada sepasang suami istri yang bertamu ke rumah kami. Rumah kami berada di sebuah gang, rumah padat penduduk.
Mereka adalah teman kedua orangtuaku sewaktu kuliah dulu. Nasib mereka berbeda dengan kami yang sederhana. Mereka sukses dan memiliki beberapa usaha kuliner baik di jakarta maupun dikota kota besar lain di indonesia.
Pada pertemuan pertama itu, aku ada dirumah dan berkenalan dengan mereka, berbincang bincang. Tipe orangtua yang sangat hangat, ramah dan penuh kasih sayang. Kamipun mulai akrab.
Setelah dua minggu berlalu, mereka kembali datang dengan anak laki laki mereka yang bernama Dama, usianya 30 tahun. Membantu mengelola usaha kuliner orangtuanya. Laki laki dengan tinggi diatas rata rata, tampan, pendiam dan juga mapan. Semua wanita pasti akan kagum melihatnya.
"Andika..aku datang kembali dengan maksud ingin melamar Andini untuk Dama anakku" om Tama, ayah Dama berterus terang. Sebenarnya Ayah terkejut karena lamaran itu. Lamaran tiba tiba.
Ayah menatap Ibu lalu beralih menatapku. Aku hanya menunduk. Aku berpasrah dan akan menyetujui segala keputusan Ayah dan Ibu.
"Baik, aku terima lamaran ini" ayah menjabat tangan om Tama tanda persetujuan. "Terimakasih sudah menerima lamaran keluarga kami" memeluk.
"Jeng Andina juga setuju kan?" tante Sindi menanyakan pada ibu.
"Iya jeng, saya mengikuti apa kata suami saja. Semua pasti yang terbaik untuk Andini. Iya kan nak?" ibu bertanya padaku. Aku menggangguk saja dan tersenyum. Tapi...Dama laki laki yang akan menjadi suamiku nanti hanya diam saja tanpa ekspresi, seperti terpaksa. Aku mengerti, akupun juga begitu karna belum mengenal satu sama lain.
"Untuk waktunya bagaimana kalau minggu depan?" om Tama bertanya kembali pada Ayah.
"Apa tidak terlalu cepat Tama?" kali ini ayah yang bertanya.
"Tenang saja Dika, semua akan aku urus. Acara sederhana saja, yang terpenting sah" jawab om Tama.
"Tapi apa kata orang pada putri kami? kami takut mereka berpikiran buruk karena pernikahan dadakan ini" Ayah khawatir.
"Bukankah lebih cepat lebih baik? aku ingin segera memiliki cucu. Putra putri kita sudah cukup matang. Tidak perlu dengarkan apa kata orang. Kenyataannya memang tidak terjadi apa apa bukan?" om Tama mencoba menenangkan Ayah.
"Baiklah" jawab Ayah menyetujui.
"Kalau begitu, besok...Dama akan menjemput Andini untuk memilih pakaian pernikahan mereka nanti" om Tama kembali berbicara dan menepuk punggung Dama putranya. Laki laki itu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Baik Tama, besok biar Andini cuti kuliah dan cuti bekerja" jawab Ayah mengusap bahuku. Aku tersenyum.
Tidak lama, setelah mereka melamarku, mereka berpamitan pulang.
Aku membantu ibu membereskan gelas dan makanan kecil di meja tamu. Saat aku mencuci gelas dan piring, ibu menghampiriku dan bertanya.
"Nak, apa kamu senang dengan lamaran keluarga nak Dama?" ibu berdiri disampingku.
"Insya Allah bu, apapun itu asalkan ayah dan ibu bahagia, Andini juga pasti bahagia bu" aku tersenyum sambil membilas piring dan gelas.
"Ibu ingin kamu juga bahagia nak. Sepertinya nak Dama anak yang baik dan bertanggung jawab" mengusap punggungku lembut.
"Iya bu...sepertinya begitu. Semoga saja" aku meletakkan piring dan gelas di rak.
"Semoga semua lancar ya nak?" aku mengangguk dan memeluk ibu.
"Amin...bu. Andini ke kamar dulu, mau istirahat" melepas pelukan.
"Iya nak".
Aku berjalan masuk ke dalam kamarku yang kecil berukuran 3x3m, tanpa pendingin ruangan, cukup kipas angin. Melepaskan kerudungku kemudian berbaring diatas kasur busa yang tidak terlalu tebal.
Membuka laci lalu kuraih buku diaryku. Berkeluh kesah tentang keseharianku, termasuk lamaran yang tiba tiba tadi, tanpa aku tau bagaimana sifat dan tingkah laku calon suamiku sebenarnya.
Dalam doaku, semoga laki laki itu memang baik. Untuk soal cinta, semua pasti akan tumbuh dengan sendirinya. Lembar demi lembar kucurahkan semua dalam buku diary. Tak terasa mataku lelah dan tidur tengkurap diatas buku diaryku, masih memegang pulpen ditangan kanan.
*****
Siang ini, aku sudah berada di mobil Dama. Duduk disebelahnya. Kami masih sama sama diam dari awal berangkat tadi. Canggung...
Sampai di butikpun kami masih tidak berbicara. Masuk ke dalam butik, berjalan masing masing.
Di dalam butik calon ibu mertuaku sudah menunggu. Penampilannya selalu membuatku kagum. Sederhana tapi berkelas. Semua yang melekat ditubuhnya, sudah pasti barang barang mahal dan bermerk. Yang aku suka dari tante Sindi adalah keramahannya tanpa memandang status, derajat ataupun pekerjaan. Dan seorang ibu yang penyayang.
"Andini anakku" sapa tante Sindi padaku, merentangkan kedua tangannya. Aku menghambur ke pelukannya.
"Iya tante..Assalammualaikum" aku mencium tangannya.
"Walaikumsalam..Panggil aja bunda" tante Sindi tersenyum lalu menarikku untuk duduk.
"I-ya bunda" jawabku.
"Tadi ngobrol apa saja di mobil sama mas Dama?"
Aku bingung harus menjawab apa. Karena memang, kami tidak berbicara satu katapun. Dia diam, aku juga diam.
"Kok diam saja?" tanya bunda padaku kemudian beralih menatap Dama.
"Kami belum sempat ngobrol tan eh bunda" jawabku jujur saja.
"Kenapa nak? masih malu ya?"
Aku mengangguk.
"Yasudah, besok janjian lagi aja sama Dama. Jalan jalan ke Mall. Iya kan mas?" bunda memberi kode pada Dama.
"i iya bun" Dama menjawab ragu ragu, mungkin dia terpaksa.
Setelah pembicaraan singkat itu, aku mencoba gaun muslimah warna putih untuk akad nikah dan warna abu untuk resepsi. Begitupun dengan Dama, setelan jas warna biru navy untuk akad dan warna abu untuk resepsi.
"Cantik dan ganteng calon manten" pemilik butik memuji kami. Aku tersenyum, Dama masih sama saja, dingin tanpa ekspresi.
"Mas Dama kok diam aja sih dari tadi?" bunda mungkin merasa kalau Dama tidak memiliki ketertarikan soal pernikahan ini. Aku bisa apa?
"Gak papa bun. Maaf bunda, Dama ada urusan dikantor. Dama pergi dulu" Dama pergi terburu buru tanpa berpamitan padaku dan bunda.
"lho kok Andini ditinggal mas?" bunda berteriak saat Dama berjalan cepat keluar butik.
"Bun, gak papa. Nanti Andini bisa naik ojol" aku tersenyum.
"Jangan nak..sama bunda aja ya?! nanti sopir jemput kita" bunda merasa tidak enak hati denganku karena sikap putranya yang dingin itu.
"Iya bun" aku tidak berani menolak. Bunda memang ibu yang baik dan sabar. Alhamdulillah aku mendapatkan calon ibu mertua yang sangat baik, sholehah dan cantik. Dan juga menyanyangiku.
Bersambung...
******
**Author : Hai teman semua 👋👋👋 Judul ini karya keduaku tentang kehidupan cinta segitiga antara Andini, Dama dan Rania. Cerita kehidupan yang seperti apa, tetap ikuti bab bab berikutnya ya 😉
Terimakasih banyak 🙏 Jangan lupa like dan Komennya 😊**
Aktifitas pagi hari selalu disambut oleh kemacetan di ibu kota. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah ataupun bekerja. Semua memulai kegiatan pagi dengan bermacam macam suasana hati. Untuk suasana hatiku sendiri? entahlah. Dibilang senang tidak juga, dibilang sedih tidak juga.
Aku memakai helm oranye khas ojol di jakarta, membonceng lalu berangkat ke kampus UPJ 2 di daerah kebon mangga. Membutuhkan waktu kuranglebih 45 menit untuk sampai.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Magister Ilmu Ekonomi
Melepaskan helm oranye itu, membayar abang ojol dan masuk ke dalam fakultas. Aku terus berjalan melewati lorong dan taman yang berada di tengah antara gedung inti dan kelas. Masuk ke dalam kelas, menarik kursi dan duduk dibarisan kedua dekat jendela.
"Andini" sahabatku Rina berteriak memanggilku lalu duduk disebelahku.
"Hai Rin" sapaku pada Rina.
"Selesai kuliah ngemall yuk?" ajaknya.
"Maaf Rin, aku gak bisa. Sudah ada janji" aku menolak ajakan Rina.
"Sama siapa? pacar ya" tebakannya tepat sekali.
"Emm..calon suami Rin" aku menunduk malu.
"Calon suami? wah kok gak cerita cerita sih. siapa?" Rina terlihat sangat antusias untuk tau siapa calon suamiku.
"Aku juga belum kenal terlalu dekat Rin. Dia anak teman kuliah orangtuaku dulu" aku memberitahukan pada Rina yang sejujurnya.
"Ooo, dijodohin?" Rina membulatkan bibirnya.
"Gimana ya? enggak juga sih, orangtuanya datang langsung ngelamar aku. Minggu depan kami menikah" tersenyum kecil.
"Cepet banget din" Rina heran.
"Iya Rin. Aku ikut aja apa kata mereka" mengambil buku dan pulpen di dalam tas.
"Tapi kamu seneng gak?" Rina masih saja terus bertanya.
"Asalkan orangtuaku seneng, aku juga seneng Rin. Mereka berdua sumber kebahagiaanku" menatap Rina.
"Memang orangtuamu baik banget Din, sayang banget malah. Aku ikut seneng dengan kabar ini. Jangan lupa undang aku ya?" menepuk bahuku.
"Insya Allah Rin, nanti aku whatsapp aja ya undangannya"
"ok, siap"
*******
Saat kuliah tadi, Dama mengirimkan pesan akan menjemputku didepan kampus. Kebetulan hari ini coffee shop tempatku bekerja sedang libur, jadi aku bisa pergi jalan dengan Dama ke mall sesuai perintah bunda kemarin. Ya aku tau, Dama melakukan ini karna desakan bunda. Aku mengikuti saja.
Aku menunggu Dama di loby kampus. Sudah lewat 15 menit dari waktu yang dia janjikan tadi. Berkali kali melihat jam ditangan kiriku dan mengusap layar handphone, tak ada tanda pesan masuk satupun dari Dama.
Apa dia lupa? atau mempermainkanku? sepertinya memang dia tidak berminat untuk jalan denganku. Huftt...kubuang dengan kasar nafasku.
kring kring
dering nada handphoneku berbunyi, kulihat nama Dama yang menelfon. Kugeser tombol hijau keatas.
"Halo Assalammualaikum mas" sapaku saat mengangkatnya.
"Walaikumsalam...kamu dimana? aku didepan gerbang" jawab Dama dengan nada sedikit kesal.
*A*ku yang menunggu...Kenapa dia yang marah?
"Aku di loby mas, sebentar ya. Aku kesitu" aku berjalan cepat menghampiri dimana Dama sudah menunggu.
tut tut tut
telfon langsung diakhiri oleh Dama.
Kudapati Dama yang sedang berdiri bersandar di mobilnya dengan kacamata hitam dan memakai kemeja kerja. Aku lihat banyak mahasiswi yang terus menatap dan membicarakannya.
Memang Dama laki laki yang tampan, keren, matang dan mapan. Semua wanita pasti banyak yang mengantri. Aku hanya beruntung saja dilamar olehnya karna keinginan kedua orangtua.
"Mas Dama, maaf sudah menungguku lama" aku berbasa basi. Padahal dia yang telat datang.
"Masuk!" ketus. Langsung menyuruhku masuk ke dalam mobilnya. Membuka pintu mobil sendiri dan memasang sabuk pengaman pun sendiri.
Berharap seperti pasangan lain yang akan menikah, romantis. Tapi lagi lagi, ini kan keinginan orangtuanya. Siapa tau sebenarnya dia sudah punya pacar.
"Maaf mas, udah ngrepotin ngajak aku jalan jalan. Kalau mas gak mau, gak papa kok. kita pulang aja" aku bingung karna Dama tidak mengeluarkan sepatah katapun, terlihat tidak nyaman pergi denganku.
"Ada yang mau aku omongin juga tapi nanti" tetap fokus menyetir.
"Apa itu mas?" tanyaku penasaran.
"Kamu mau makan apa?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah balik tanya mau makan apa.
"em..apa aja mas"
"ok"
Hanya itu yang kami bicarakan didalam mobil menuju Mall. Tak banyak yang bisa aku lakukan. Menatap ke luar jendela, melihat kendaraan padat merayap. Belum terlalu macet, karna masih jam 4 sore.
Dama memarkirkan mobilnya di basement Mall. Kami turun dari mobil berjalan masing masing tanpa bergandengan tangan ataupun aku yang memegang lengannya. Ya kita kan belum muhrim.
Berjalan mengikuti Dama dari belakang, lalu masuk ke sebuah restoran khas makanan Jogja. Aku duduk berhadapan dengan Dama. Memesan nasi gudeg krecek, ayam suwir dan es teh manis.
"Kamu kuliah s2?" Dama membuka percakapan dulu.
"iya mas" jawabku.
"Banyak uang dong" kata kata yang ambigu untukku, mengejek atau apa?
"Mmm..beasiswa mas" aku tersenyum dan menunduk.
"Kenapa menunduk? hebat dong dapet beasiswa" ucapannya terdengar sarkas.
"Tidak juga mas, hanya beruntung saja dapat beasiswa" merendah.
"Ooo...beasiswa karna tidak mampu?"
seketika dadaku bergemuruh menahan kesal. Memang kami dari keluarga sederhana tapi apa pantas kata kata itu keluar dari seorang yang berpendidikan?
"Kenapa diam? kamu marah karna aku bilang begitu?"
"enggak kok mas" menunduk.
"Yaudah dimakan! dibawah gak ada uang jatuh, nunduk terus" ketus.
Lalu aku mulai makan nasi gudeg dan minum es teh manis, menghabiskannya tanpa sisa karna memang aku lapar. Terakhir makan tadi pagi sebelum berangkat ke kampus.
"Udah selesai makannya kan?" tanya Dama padaku setelah aku menghabiskan minumanku.
"Iya mas"
Dama mengeluarkan secarik kertas dengan materai 6000. Aku belum tau apa maksud dan isi kertas itu.
"Ini surat perjanjian pra nikah antara kita"
Aku langsung membulatkan kedua mataku saat mendengar ucapan Dama. Kenapa harus memakai surat perjanjian? ada yang janggal.
Isi surat perjanjian pra nikah :
Dilarang ikut campur masalah pribadi masing masing.
Tidak adanya kontak fisik.
Dilarang memberitahukan kepada kedua orangtua.
Pernikahan hanya berjalan tidak lebih atau kurang dari satu tahun.
Tidak adanya harta gono gini.
Kubaca satu persatu isi surat pra nikah, ada rasa kecewa. Aku pikir pernikahan ini memang bukan keinginan kami tapi harus dijalani dengan selayaknya orang menikah. Tapi semua isinya tidak mencerminkan itu. Aku mencurigai ada sesuatu dibalik Dama sengaja membuat perjanjian ini.
"Untuk masalah nafkah, aku akan memberikannya setiap bulan tapi untuk nafkah batin seperti berhubungan badan tidak ada! Bagaimana?"
Aku masih bingung harus bagaimana, harus setuju atau tidak. Sedangkan aku tidak mungkin membuat kedua orangtua kecewa.
"Baiklah mas, aku setuju" dengan berat hati aku menyetujuinya.
"Tanda tangan disini" Dama mengarahkan aku untuk menandatangani surat tersebut.
Semoga Allah kasih jalan yang terbaik untuk rumah tangga kami. Doaku dalam hati sebelum membubuhkan tanda tangan diatas materai.
"ok..sudah kan. aku simpan surat perjanjian ini. Jangan sampai kamu mengadu pada kedua orangtua kita ataupun orang lain!" ancamnya.
"iya mas"
Bersambung....
Setelah pertemuan di Mall kemarin, isi dari perjanjian pra nikah itu masih berputar putar dikepalaku. Pernikahan macam apa yang akan aku hadapi nanti?
Aku sangat menyayangi ayah dan ibu, walaupun aku bukanlah anak kandung mereka. Aku tak sampai hati untuk membuat mereka kecewa.
Hari pernikahanpun tinggal satu hari lagi. Aku dan Dama tak bertemu kembali setelah menyepakati surat perjanjian pra nikah waktu itu. Bertukar pesanpun tidak. Dan akupun masih masuk kuliah dan bekerja part time di coffee shop miliki teman SMAku.
Sore hari adalah waktu dimana coffee shop ramai. Untuk hari ini tugasku melayani dan membersihkan meja. Menurutku pekerjaan yang tidak terlalu berat dibanding dengan mencuci piring dan bekakas lainnya. Hanya saja terkadang melayani pelanggan rasanya campur aduk. Ada yang baik dan ramah tapi ada juga yang jutek dan banyak maunya. Menguatkan mental itu kuncinya.
Setelah mengantarkan pesanan di meja 5, aku bergegas membersihkan meja 4 yang ada disisi kiriku. Membawa gelas dan nampan ditangan sebelah kiri, sedangkan tangan kananku mengelap meja. Merapihkannya kembali.
Pintu coffee shop terbuka, aku melihat calon suamiku Dama sedang bergandengan tangan dengan wanita sexy, cantik dan bermake up tebal. Aku mencoba menelan salivaku perlahan. Pemandangan yang membuat jantungku berdesir aneh. Rasa cemburu menyeruak dari dalam hati, meskipun memang kami akan menikah tanpa cinta. Rasanya sesak sekali.
Yang terlintas diotakku, ternyata memang dia sudah punya pacar. Tapi kenapa mau menikah denganku? pasti ada sebabnya.
Dama melihatku dengan tatapan acuh, padahal aku mau menyapanya tapi ku urungkan karna aku teringat isi perjanjian itu.
Nomor 1: Dilarang ikut campur masalah pribadi masing masing.
Oke, baiklah. Aku mencoba profesional dengan berpura pura tidak mengenalnya. Itu yang dia mau. Tidak masalah hanya berakting saja.
"Permisi, ini pesanannya" aku meletakkan 1 caramel macchiato panas, 1 mocha frappuccino dingin dan 1 red velvet cake diatas meja Dama. Tanpa menatap wajahnya langsung membalikkan badanku dan pergi.
Saat aku berbalik aku mendengar wanita itu memanggil Dama 'sayang'. Sudah jelas, sudah pasti wanita itu memang pacar Dama.
Baiklah...Aku tahan rasa cemburuku ini. Jangan sampai aku jatuh cinta padanya, bisa bisa aku patah hati dan kecewa. Tidak tidak...jangan sampai.
Setelah meletakkan nampan dan gelas di pantry, aku pergi ke toilet. Tiba tiba saja perutku sakit.
"Tunggu!" Dama menarik tangan kiriku saat aku baru saja keluar dari toilet. Karna aku tak siap, aku terhuyung dan menabrak dada Dama.
"Ah..maaf..maafkan saya Tuan" aku merapihkan kerudungku dan mengusap wajahku yang sakit setelah menabrak dada Dama.
"Jadi kamu bekerja disini?" aku mendongakkan wajahku ke atas. Tinggi kami memang lumayan jauh bedanya. Dama kira kira 180an lebih dan aku hanya 160pun tak sampai.
"Mas Dama? i iya aku bekerja disini" jawabku adanya.
"Kenapa tadi pura pura tidak mengenalku?" pertanyaan yang membuatku ingin tertawa. Orang aneh.
"Kenapa senyum seperti itu? jawab!" laki laki ini memang sangat menyebalkan, jutek dan suka membentak.
"Apa mas Dama lupa dengan isi perjanjian kemarin? nomor satu : dilarang mencampuri urusan pribadi masing masing" aku memberanikan diri untuk terus menatap matanya.
MasyaAllah...benar benar tampan ciptaanMu ya Allah. Ah tunggu, kenapa malah aku terpukau melihat tatapannya. Jangan sampai andini, jangan pakai hatimu.
"Ok..aku ingat. bagus kalau kamu mengerti. Besok jangan sampai telat!" dia mengingatkanku kalau besok pagi, kami akan menikah dan mengucap janji. Dama pergi meninggalkanku dan aku melihatnya menarik tangan wanita itu kemudian memegang pinggangnya dengan posesif.
Aku melanjutkan pekerjaanku sampai waktu siftku selesai.
******
Dama POV
Malam ini aku duduk dimeja kerjaku, melihat satu undangan pernikahanku besok pagi dengan Andini. Gadis berkerudung, muda, cantik, dan sholehah. Sangat bertolak belakang dengan Rania. Rania memang tipe wanita yang kusukai. Cantik, sexy dan pintar.
"Sayang...cup" Rania memelukku dengan menggoda, mengecup pipi kiriku.
"Kamu sudah mandi?" tanyaku.
Kini Rania hanya memakai jubah mandi kimono yang diikat tak terlalu kencang. Duduk dipangkuanku dan menggelayutkan tangannya ke pundakku. Aku tau dia sedang menggodaku.
"Kenapa tidak menungguku?" tanyaku kembali.
"Gak papa, aku hanya ingin berendam sendiri. Menyiapkan hatiku untuk hari pernikahanmu besok" aku tau dari matanya jelas ada kesedihan.
"Maafkan aku sayang..sabar ya, ini hanya satu tahun tidak lebih. Kamu tau, kenapa aku harus menikah dengan Andini. Itu semua hanya karna syarat dari ayah dan bunda. Menikah dengan gadis itu dan perusahaan aku yang ambil alih sepenuhnya" aku memeluk Rania dengan erat dan mencium puncak kepalanya.
"Iya aku tau, aku akan berusaha tidak mengacaukan semua. Tapi ingat, jangan sampai kamu jatuh cinta pada gadis itu dan no sex. oke? kamu hanya milikku, Dama Sakti. cup"
Rania mencium lembut bibirku. Aku sungguh tak pernah bisa menolak tiap sentuhan yang diberikan olehnya. Selalu membuatku bergairah.
"Kita lanjutin dikamar aja ya" bisiknya padaku manja. Aku langsung membawanya dalam gendonganku tanpa melepas pagutan panas kami. Membuka pintu kamar dan langsung kujatuhkan Rania ke atas ranjang.
"Malam spesial sebelum kamu besok menikah dengan gadis itu sayang" Rania membuka ikatan jubah mandinya. Dan kami memulai semua dengan panas tanpa tau kapan kami akan mengakhirinya.
*******
Astaghfirullah, kenapa dadaku berdegup kencang seperti ini? aku tidak bisa memejamkan mata sebentar saja. Memikirkan esok pagi, pernikahanku dengan Dama. Apa yang harus aku lakukan? surat perjanjian itu benar benar membuatku pusing. Apa aku siap dengan semua keburukan yang akan terjadi?
Setelah satu tahun, aku akan menjadi janda di usia muda. oh tidaaakkkk...bagaimana kata orang nanti? bagaimana perasaan ayah dan ibu jika mereka tau? ahhh....aku mengacak acak rambut hitamku yang tergerai.
tok tok tok
"Andini" suara ibu memanggilku. Untuk apa selarut ini ibu ke kamarku?
"kamu sudah tidur nak?" suara ibu kembali memanggilku.
"Ada apa bu?" tanyaku pada ibu didepan pintu kamar.
"Ibu lihat lampu kamarmu masih menyala. Kenapa belum tidur? sudah tengah malam nak. Besok kamu harus bangun pagi dan berhias" ibu mengusap pipiku lembut.
"Belum bisa tidur bu" jawabku jujur.
"Kamu grogi besok mau menikah ya?" ibu mencoba menggodaku.
"I iya bu" jawabku jujur. Memang aku cemas, tapi karna memikirkan surat perjanjian itu juga.
"Sudah nak tidak usah grogi gitu, ayo tidur. Jangan sampai telat besok" ibu menepuk bahuku lalu mengusapnya.
"Iya bu" aku mengangguk lalu menutup pintu kamar dan mematikan lampu kemudian merebahkan badanku ke atas kasur.
Semoga esok berjalan lancar. Kuatkan hati menghadapi segala kemungkinan baik ataupun buruk setelah menikah nanti.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!