NovelToon NovelToon

Miranda Anak Yang Disisihkan

hari ke lulusan sekolah

Miranda Aditama beberapa hari lagi akan berusia delapan belas tahun. Kulitnya kusam dan kurang terawat untuk seorang anak miliarder, pakaiannya sederhana bahkan sedikit lusuh. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu, ia melangkah mendekati ayahnya, Handoko Aditama, yang sedang sibuk dengan tabletnya. Handoko merupakan seorang kontraktor sukses dengan aset miliaran.

Hari ini adalah hari bersejarah bagi Miranda. Ya, hari ini adalah hari pembagian ijazah. Diantar orang tua tentu saja menjadi sebuah kebahagiaan, dan tampaknya itu hal yang sangat mahal bagi Miranda Aditama. Meski sepertinya ayahnya tidak akan datang, Miranda tidak mau menyerah. Ia harus mencoba.

“Maaf, Ayah, menganggu,” ucap Miranda pelan.

Handoko meletakkan tablet dan kacamatanya.

“Ada apa?” tanya Handoko sambil menatapnya.

“Ayah, bisakah hari ini Ayah datang ke sekolah? Hari ini hari kelulusan aku,” ucap Miranda dengan suara yang sedikit gugup.

“Baiklah, Ayah siap-siap dulu,” ujar Handoko akhirnya.

Betapa senangnya hati Miranda. Ternyata ayahnya bersedia datang mengambil ijazahnya.

Miranda duduk di teras dengan senyum ceria.

“Kenapa Neng bahagia sekali hari ini?” tanya Pak Agus, tukang kebun di rumah itu.

“Ayah mau ambil ijazahku, Mang,” jawab Miranda sambil menahan haru. Ada bulir bening jatuh dari kelopak matanya.

Pak Agus ikut merasa bahagia. Nona mudanya ini pasti sedang sangat gembira. Dalam hati ia berdoa semoga Pak Handoko akan berubah.

Tak lama kemudian Handoko datang dengan jas mahal dan sepatu mengilap. Miranda merasa bangga sekali.

“Ayo, Nak. Kebetulan Ayah ada meeting. Ayah cuma punya waktu tiga jam. Cukup, kan?” kata Handoko.

“Cukup, Yah. Cukup sekali,” jawab Miranda cepat.

Handoko dan Miranda hendak melangkah ke mobil, namun tiba-tiba terdengar jeritan.

“Sayang, Lena pingsan!” teriak Miranti, ibu tiri Miranda.

Handoko langsung berbalik arah dan menuju kamar Lena. Bukan hanya dirinya, Lusi, putri tertua Handoko sekaligus kakak kandung Miranda, juga bergegas ke kamar tersebut. Amar dan Amir, anak kembar Lusi, turut berlari menghampiri kamar Lena.

Miranda menelan ludah lalu menyusul dengan langkah gontai.

“Sayang, bangun,” ucap Miranti sambil menepuk-nepuk pipi Lena.

“Mamah, ada apa dengan Lena?” tanya Lusi dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Apa karena Miranda?” tanya Amar dengan nada menyalahkan.

“Bukan, bukan karena Miranda. Miranda mau berangkat sekolah. Tadi ketika Mamah ke kamar, Lena sudah pingsan,” jelas Miranti.

“Ayah, ayo bawa ke rumah sakit,” pinta Lusi.

Amar dan Amir membantu mengangkat Lena ke mobil. Lusi tampak bergegas ke kamarnya untuk bersiap. Miranti memandang semua orang dengan panik, sementara Miranda hanya terdiam seribu bahasa. Lena adalah anak angkat Handoko, sedangkan Miranti adalah istri kedua Handoko. Miranti wanita mandul dan tidak bisa memiliki anak, sebab itu anak-anak Handoko menerima keberadaannya. tak lama setelah nurmalinda meninggal Handoko menabrak seorang anak perempuan bernama Lena. Lena mengaku yatim piatu dan terluka parah, membuat Handoko merasa iba hingga mengangkatnya sebagai anak.

“Ayah, ayo ke sekolahku,” pinta Miranda dengan hati-hati.

“Dasar gila,” bentak Amar. “Lu tidak lihat Lena pingsan? Ayah harus ke rumah sakit!”

“Kan ada Mamah Miranti dan Kak Lusi juga,” balas Miranda dengan suara kecil.

“Tidak bisa. Kami semua harus merawat Miranti. Dasar anak sial, pembawa masalah,” ujar Lusi dengan kalimat yang menyayat hati.

“Hari ini hari kelulusanku. Bisakah di antara kalian datang sebagai wali?” tanya Miranda dengan suara bergetar.

“Tidak,” jawab ketiga kakaknya serempak.

Miranti menatap ke arah mereka dan bertanya dengan lembut, “Ada apa ini?”

“Ini Miranda minta Ayah ke sekolah untuk ambil ijazah. Padahal Lena sedang sakit,” jawab Amar sambil melirik sinis.

Miranti memalingkan wajahnya ke arah Handoko. “Sayang, kamu ambilkan ijazah Miranda, ya. Biar Lena sama aku dan anak-anak,” ucap Miranti sambil mencoba tersenyum kecil.

“Tidak usah. Tidak penting ijazah anak sialan ini,” ujar Lusi dengan nada marah. “Lu itu anak sial, penyebab kematian ibu. Lu masih hidup saja sudah untung. Jadi jangan pernah mau hidup enak, ya,” kata Lusi kesal.

Serasa diremas hati Miranda. Ia menahan air mata agar tidak tumpah, namun ia tetap berusaha tidak menyerah.

“Ayah, Mamah sudah izinkan. Ayah, sekali ini saja, ya. Waktu SMP Ayah tidak ambil. Sekarang mau, ya, Yah?” pinta Miranda dengan suara memohon.

“Maafkan Ayah, Miranda. Kamu pergi sendiri saja,” ucap Handoko pelan, sebab jika ia mengikuti keinginan Miranda, ia tahu anak-anaknya akan memusuhinya.

“Tuh, dengarin, Lu. Anak pembawa sial,” ujar Amir dengan nada tajam.

Tidak ada pembelaan apa pun dari Handoko saat anak bungsunya dihina saudara-saudaranya.

“Minggir,” desis Amir kesal sambil mendorong tubuh Miranda seolah dirinya hanyalah sampah.

Mereka semua akhirnya pergi meninggalkan Miranda sendirian. Langkah mereka menjauh, suara pintu mobil tertutup, lalu rumah itu kembali sunyi seperti menelan dirinya bulat-bulat.

Miranda berdiri mematung di lorong. Nafasnya tercekat, namun ia tidak bergerak. Ia memandang lantai yang terasa semakin jauh dari jangkauan seolah tubuhnya melayang tanpa arah. Tidak perlu bertanya apa yang baru saja terjadi. Ia sudah terlalu hafal semuanya.

Lena pingsan lagi. Tepat pada hari pentingnya.

Selalu begitu.

Miranda menelan ludah pahit sambil memejamkan mata. Ingatannya mengalir satu per satu, seperti potongan film yang terus diputar ulang tanpa ia minta. Saat ulang tahunnya, Lena pingsan. Saat Miranda akan mengambil ijazah SMP-nya, Lena pingsan. Saat peringatan kematian almarhum ibunya, Nurmalinda, Lena juga pingsan.

Seolah dunia sengaja memilih hari-hari miliknya untuk runtuh.

Miranda mengusap sudut matanya, mencoba menghalau perih yang menumpuk di dada. Pikirannya kembali ke masa lalu, ke hari yang selalu membuatnya susah bernapas.

Waktu itu sekolah mengadakan kegiatan kemping. Miranda meminta dijemput oleh ibunya. Hanya ingin pulang bersama, bercerita tentang tenda yang roboh dan marshmallow gosong. Tapi Nurmalinda tidak pernah sampai ke sekolah. Mobil yang membawanya terguling, dan petugas datang membawa kabar itu dengan wajah sendu.

Hari itu tubuh kecil Miranda membeku, sementara dunia orang dewasa sibuk menuduh di sekelilingnya. Amar, Amir, bahkan Lusi yang saat itu sudah remaja, semuanya memandangnya seolah ia penyebabnya. Seolah dia yang memanggil maut itu datang.

Padahal Miranda baru berusia sepuluh tahun.

Sejak saat itu, kebencian itu tidak pernah benar-benar hilang. Setiap Mata Lusi seperti pisau, setiap kalimat Amar seperti tamparan, dan setiap diamnya Handoko seperti pengakuan bahwa mereka benar membencinya.

Lalu Lena datang.

Gadis kecil yang manis, cantik, polos, dan selalu tersenyum. Lena yang tidak pernah membuat kesalahan. Lena yang selalu dipeluk, selalu dibela, selalu dijaga. Dalam hitungan hari, Lena menjadi pusat rumah itu. Segala kasih sayang yang dulu pernah menyentuh Miranda mengalir begitu mudah kepada anak yang baru mereka kenal.

Sejak hari itu, Miranda merasa rumahnya bukan lagi tempat pulang. Ia hanya tamu yang tidak diundang.

Ia hidup di bawah satu atap, tetapi seperti tidak benar-benar ada.

Di hadapan pintu yang tertutup rapat, Miranda menghela napas panjang. Hari kelulusannya seharusnya menjadi hari bahagia. Namun ia kembali berdiri sendirian, sama seperti bertahun-tahun sebelumnya.

pak Agus dan bi Mirna

Miranda duduk lemas di teras. Cahaya pagi yang biasanya menenangkan kini terasa menyakitkan. Harapannya baru saja runtuh. Ayahnya kembali gagal menemani dirinya mengambil ijazah.

“Kenapa, Neng?” tanya Bi Mirna, suaranya lembut.

“Ayah tidak jadi ambil ijazahku, Bi,” ucap Miranda lirih, hampir tidak terdengar.

Bi Mirna langsung memeluknya. Di rumah itu, hanya Bi Mirna dan Pak Agus, dua art yang sudah bekerja sejak sebelum Nurmalinda menikah dengan Handoko, yang benar-benar peduli padanya. Bagi mereka, melihat Miranda sama seperti melihat Nurmalinda. Mereka menyayangi Miranda seperti anak sendiri.

Mereka yang merayakan ulang tahunnya ketika keluarga lain melupakannya. Mereka yang menghiburnya setiap kali Miranda menangis diam-diam. Mereka yang patungan membeli baju dan sepatu sekolah agar Miranda tidak merasa berbeda.

“Bi, kenapa Ayah tidak peduli sama Miranda?” isak Miranda, suaranya pecah.

Bi Mirna tidak menjawab. Ia hanya menepuk-nepuk pundak Miranda, mencoba menenangkan tanpa kata.

“Kenapa nangis?” tanya Pak Agus dari kejauhan.

Namun Bi Mirna memberi isyarat halus agar ia diam, membiarkan Miranda menangis dalam pelukannya.

“Mang, bisa antar aku ambil ijazah?” tanya Miranda dengan suara pelan.

“Tentu saja,” jawab Pak Agus tanpa ragu sedikit pun.

“Maaf, Bibi tidak bisa ikut. Rumah tidak ada yang jaga,” ucap Bi Mirna dengan nada menyesal.

“Ya, Bi. Makasih selalu ada untuk Mira,” balas Miranda.

Ia memeluk Bi Mirna erat-erat. Andai tidak ada perempuan itu, Miranda tidak tahu seperti apa hidupnya sekarang. Di relung hati terdalam, ia mencatat nama Pak Agus dan Bi Mirna sebagai dua orang yang harus ia perjuangkan kebahagiaannya.

“Ayo, Neng, berangkat,” ajak Pak Agus.

Ia sudah siap dengan motor bebek tuanya. Bi Mirna memasangkan jaket ke tubuh Miranda, lalu mengikat helm dengan telaten seperti seorang ibu yang merawat anaknya sendiri.

“Makasih, Bi,” ucap Miranda lembut.

“Yang sabar, Neng. Bibi yakin kamu bisa. Hidup memang keras, tapi kita harus kuat,” katanya sambil mengusap lengan Miranda.

Miranda mencium tangan Bi Mirna, lalu berjalan menuju Pak Agus. Mereka menaiki motor bebek yang sudah lama menemani banyak cerita keluarga itu. Angin pagi menerpa wajah Miranda, membuat rambutnya melambai pelan. Pak Agus mengendarai motor dengan hati-hati, seolah takut angin pun menyakiti nona kecil kesayangannya.

Kasihan sekali kamu, Neng, batin Pak Agus. Sebagai anak bungsu, harusnya kamu yang paling banyak mendapat kasih sayang. Namun justru kamu yang paling sering dilupakan.

Dulu, saat Miranda SMP, Pak Agus selalu menjadi walinya. Dari mendaftar sekolah, mengambil rapor, sampai mengambil ijazah, hanya Pak Agus yang hadir di hari-hari penting itu. Sementara ayah Miranda selalu saja memiliki alasan untuk tidak datang.

Sesampainya di SMA Pelita Ilmu, Miranda langsung disambut teman-temannya.

“Miranda, cepat masuk!” seru Reno dengan wajah antusias.

“Ayo, Miranda. Sebentar lagi giliran kamu,” tambah Lukman sambil memberi isyarat agar Miranda bergegas. Acara hampir berakhir, dan seperti biasa, nama Miranda selalu berada di urutan terakhir.

Anehnya, meski Miranda selalu yang terakhir, tidak ada satu pun teman yang merendahkannya. Tidak ada bisikan mengejek, tidak ada pandangan meremehkan. Semua justru menatapnya dengan penuh respek.

Kenapa?

Karena Miranda bukan murid peringkat terakhir karena dia bodoh. Ia memilih berada di urutan itu. Teman-temannya bisa mendapatkan nilai tinggi justru karena bantuan Miranda. Hampir setiap hari sepulang sekolah, ia mengajar mereka pelajaran yang sulit. Diam-diam, Miranda adalah otak di balik nilai-nilai bagus mereka.

Teman-temannya tahu itu.

Dan mereka menghormatinya.

“Dan urutan ke tiga puluh dari tiga puluh siswa adalah Miranda,” ucap seorang guru.

Hening sejenak. Lalu seluruh murid berdiri. Tepuk tangan menggema memenuhi aula. Guru-guru saling menatap bingung, sementara para orang tua mencari-cari siapa yang sedang dipanggil.

Pemandangan itu benar-benar aneh bagi sekolah lain, tetapi tidak bagi SMA Pelita Ilmu. Tahun ini sekolah itu meraih peringkat tinggi, dan sebagian besar siswanya diterima di universitas ternama dengan beasiswa. Hampir semuanya berasal dari keluarga sederhana, dan mereka tahu siapa yang selama ini membuat mereka kuat.

Miranda melangkah perlahan menuju panggung. Tepuk tangan tidak mereda. Di antara kerumunan seseorang memutar lagu “We Are the Champions”. Suasana mendadak haru, bahkan lebih haru dibanding pemanggilan peringkat satu.

Lagu yang seharusnya diperdengarkan untuk sang juara justru dinyanyikan lantang untuk seorang siswi dengan nomor terakhir.

Namun semua orang tahu, tanpa Miranda, mereka tidak akan berdiri di sana sebagai para juara.

Miranda menerima map ijazah itu dengan kedua tangan bergetar. Senyum kecil muncul, bukan karena nilainya, tetapi karena ia berhasil lulus—sesuatu yang terasa seperti kemenangan setelah bertahun-tahun terbuang. Menjadi peringkat terakhir di sekolah menengah swasta yang sederhana, bagi anak miliarder seperti dirinya, justru terasa seperti puncak gunung yang harus didaki sendirian.

Ia menghela napas panjang. Dalam benaknya, kenangan lama muncul, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka tanpa permisi.

Dulu, ia duduk di bangku Yayasan Cahaya Bangsa—sekolah elit milik keluarga besar Aditama. Semua fasilitas terbaik ada di sana; guru privat, laboratorium canggih, seragam yang dibuat khusus. Namun satu fitnah dari Lena menghancurkan semuanya.

Saat itu Lena—anak angkat yang dipuja-puja seluruh keluarga—meringkuk di sofa ruang tamu. Bahunya berguncang hebat, tangisnya terdengar sampai ke lantai atas. Miranda yang baru pulang latihan basket hanya berdiri bingung di pintu.

"Mamah… buang saja aku ke jalan," isak Lena, suara seraknya memecah suasana.

Miranti, ibu tiri Miranda, segera memeluk Lena erat-erat, seolah dunia akan runtuh tanpa anak angkat itu. "Kenapa, sayang? Siapa yang berani menyakitimu?"

Lena memegang dada, napasnya sengaja dibuat tersengal. "Mereka… teman-temanku… menghinaku. Mereka bilang aku anak pungut. Dan… Miranda yang bilang, Mah. Miranda yang kasih tahu mereka."

Miranda terperanjat. "Aku tidak pernah—"

"Diam!" potong Amir, kakak keduanya, dengan suara meninggi. Tatapannya seperti pisau. "Kamu tega, Ran? Tega bikin Lena sakit hati begitu?!"

"Aku tidak bilang apa pun. Demi Tuhan, aku tidak ngomong apa-apa!" Miranda mendekat, ingin menjelaskan, tapi Amar—kakak ketiganya—mendorongnya kasar.

"Kamu memang cemburu, ya? Karena Lena lebih disayang? Itu yang kamu mau? Supaya dia pergi dari rumah ini?" bentak Amar, napasnya memburu seakan menahan emosi yang sudah pecah.

"Amar, aku tidak begitu! Dia sendiri yang sering—"

Plaaakk!

Pipi Miranda terpelintir ke samping. Lusi, kakak sulungnya, berdiri di depan mata dengan tangan terangkat, napasnya menggigil. "Kamu anak tidak tahu diri! Lena itu adik kita! Kamu pikir apa yang kamu lakukan?!"

Miranda memegang pipinya, panasnya menusuk. Air matanya turun begitu saja, tapi ia tetap mencoba bicara. "Aku tidak salah… aku tidak bilang apa-apa soal Lena—"

"Lusi, cukup!" seru Miranti, namun bukan untuk membela Miranda. "Lebih baik dia berhenti sekolah saja. Dia semakin tidak bisa diatur!"

"Dengar tuh!" seru Amir sambil menunjuk ke arah Miranda. "Kamu bikin adik kita malu! Kamu memang harus diberi pelajaran."

Amar mendengus. "Keluar saja dari sekolah elit itu. Tidak pantas kamu tetap di sana setelah membuat masalah begini."

Miranda terpaku, tubuhnya membeku. "Aku tidak salah… aku tidak salah…" suaranya semakin kecil, seperti suara anak kecil yang kehilangan tempat berdiri.

Handoko, ayah Miranda, berdiri di sudut ruangan sejak tadi. Lelaki itu memandang putrinya, lalu ke Lena yang masih menangis dalam pelukan Miranti. Ada keraguan terpampang jelas di wajah Handoko, tetapi ia akhirnya menunduk.

"Miranda… sementara berhenti sekolah dulu," katanya pelan. "Ayah tidak mau masalah semakin besar."

Miranda merasakan sesuatu runtuh di dalam dirinya. “Ayah… percaya aku, kan…? Ayah tahu aku tidak seperti itu…?”

Namun ayahnya tidak menjawab. Sejak saat itu Miranda benar-benar dikeluarkan dari sekolah elit tempat ia tumbuh. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang peduli ke mana ia akan melanjutkan pendidikan. Bagi mereka, Miranda hanya sumber masalah.

Justru Pak Agus dan Bi Mirna—dua orang yang bukan darah daging keluarga Aditama—yang sibuk mencarikan sekolah baru untuknya. Mereka patungan dari gaji kecil mereka, hanya agar Miranda tidak putus sekolah.

Diam-diam, Pak Agus mengurus pendaftaran, sementara Bi Mirna menyiapkan kebutuhan Miranda. Tidak seorang pun di keluarga Handoko tahu di mana si bungsu itu bersekolah. Seolah keberadaan Miranda memang sengaja dilupakan.

cita cita miranda

Miranda selalu memilih peringkat terakhir. Tidak banyak yang tahu bahwa alasan itu berhubungan langsung dengan Lena.

Beberapa tahun sebelumnya, kota heboh karena seorang siswi dari sekolah swasta menengah—bukan sekolah elit—berhasil mendapatkan nilai tertinggi tingkat kota. Berita itu tersebar cepat. Secara kebetulan, Lena membaca artikel itu.

Tak lama kemudian, Lena jatuh sakit. Panasnya tinggi, tubuhnya menggigil, dan dalam igauannya ia terus menggumam, “Kenapa… kenapa aku selalu kalah… kenapa Kakak nggak mau ngalah…?”

Handoko menatap Miranti dengan kebingungan. Miranti menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya—sebuah artikel daring dengan judul “Menakjubkan! Siswi SMP Pelita Ilmu Kalahkan Sekolah-Sekolah Unggulan.” Di sana terpampang jelas foto Miranda, memegang piagam.

“Lena sakit waktu baca ini. Katanya… waktu ujian, Miranda mengambil jawaban ujiannya,” ucap Miranti dramatis.

Ucapan itu bagai pemantik bensin. Lusi, Amar, dan Amir langsung terbakar emosi. Tanpa berpikir panjang, mereka menuju rumah untuk melabrak Miranda.

 

Saat mereka tiba, Miranda sedang tertawa kecil bersama Bi Mirna dan Pak Agus. Di tangan Miranda ada koran berisi berita tentang dirinya. Wajahnya berbinar—ini pertama kalinya ia juara tingkat kota. Ia berharap, bahkan sangat berharap, prestasinya bisa membuat keluarganya memeluknya lagi.

Saat melihat kakak-kakaknya datang, Miranda buru-buru berdiri. Ia mengulurkan koran itu ke arah Lusi.

“Kak… aku ju—”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, koran itu direnggut dan disobek-sobek oleh Lusi. Miranda hanya terdiam. Ia masih kelas satu SMP saat itu—masih anak yang percaya bahwa prestasi bisa mengubah hati keluarganya. Namun sobekan koran itu seolah menyobek hatinya juga.

“Lu kira gue bangga sama prestasi hasil nyolong begini?” teriak Lusi. “Lu curi jawaban dari Lena terus lu jadi juara, terus lu bangga? Dasar sialan, Miranda!”

Amir menatap adiknya seolah melihat sesuatu yang kotor. “Gue benci banget punya adik kayak lu. Kenapa adik kandung gue bukan Lena? Kenapa harus lu? Lu tega banget bikin anak yatim sakit gitu!”

Miranda menggeleng cepat, suaranya bergetar, “Aku nggak ambil jawaban Lena, Kak… sumpah…”

“Lu itu jahat, Mir!” Amar ikut menyambar. “Lena jadi panas, kejang, jatuh sakit gara-gara lu! Gua minta ayah putusin sekolah lu. Bikin malu!”

Miranda menatap satu per satu wajah kakaknya. Tidak ada cinta di sana. Tidak ada kehangatan. Hanya kemarahan yang membabi buta.

Handoko berdiri di belakang mereka, memijat pelipisnya. Ia tahu kebenarannya. Ia tahu Miranda cerdas, jauh lebih cerdas dari yang bisa dibayangkan siapa pun. Miranda adalah bayangan Nurmalinda—jenius, cepat tanggap, bahasa asing pun mudah baginya. Di usia sepuluh tahun, Miranda sudah mampu bertutur dalam bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Jerman, Belanda, serta Prancis. Menjadi juara umum tingkat kota seharusnya bukan masalah.

Namun keberanian membela Miranda tidak pernah ia miliki.

“Jangan begitu… Miranda adik kalian juga. Anak ayah juga,” ucap Handoko lirih, seolah ucapan itu sudah cukup untuk menenangkan suasana. “Nanti ayah malu kalau anak ayah sekolah SMP saja tidak lulus.”

Miranda menunduk. Kata-kata ayahnya selalu seperti itu—kasih yang setengah hati, perhatian yang didorong rasa malu, bukan cinta.

Handoko mendekat, menatap Miranda seolah sedang menimang keputusan berat. “Miranda sayang ayah?” tanyanya pelan.

Miranda mengangguk.

“Miranda sayang Mama Nurma kan?”

Miranda kembali mengangguk,

“Kalau begitu… dengarkan ayah,” ucap Handoko lembut, tetapi penuh tekanan. “Miranda boleh sekolah… asal Miranda selalu peringkat terakhir.”

Miranda membeku. Udara terasa menipis.

Handoko menepuk pundaknya pelan, seolah sedang memberi hadiah, padahal ia sedang menghancurkan masa depan putrinya.

Sejak hari itu, Miranda memilih peringkat terbawah—bukan karena bodoh, tetapi karena itu satu-satunya cara agar ia tetap diizinkan bersekolah dan tetap dianggap “tidak mengancam” Lena.

Dan luka itu menetap, membentuk gadis yang terbiasa berdiri sendirian di urutan terakhir.

..

..

Kembali ke masa kini, tempat paling menenangkan bagi Miranda bukanlah rumah mewahnya, melainkan sekolah. Ia sempat merasa dunianya runtuh ketika didepak dari sekolah elit keluarganya sendiri. Namun perlahan, Sekolah Pelita Ilmu memberi warna baru yang tak pernah ia bayangkan.

Di sana Miranda melihat kehidupan yang berbeda. Lukman selalu tersenyum, meski sepulang sekolah ia harus mendorong gerobak jualan keliling. Reno setiap sore mengumpulkan sampah demi membantu ibunya. Andri membawa keranjang berisi jajanan yang ia titipkan ke warung-warung sebelum masuk kelas.

Pelita Ilmu adalah tempat berkumpulnya remaja yang tidak sibuk mengejar validasi. Mereka sibuk bertahan hidup—mencari sesuap nasi sambil tetap memeluk mimpi. Di tengah mereka, Miranda merasa bangga. Bangga melihat perjuangan, keteguhan, dan harapan tidak pernah mati meski masa depan serba tidak pasti.

Yang paling menginspirasi Miranda adalah Kartika. Gadis itu menjalani hidup yang berat di usia belia. Pulang sekolah, ia berjualan. Habis berjualan, ia mengurus ibunya yang sakit-sakitan dan adiknya yang masih kecil. Namun Kartika tetap tersenyum, tetap hadir sebagai sahabat yang membuat Miranda merasa tidak sendirian.

Miranda melangkah pelan, lalu memeluk Kartika erat-erat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.

“Selamat ya, Mir. Akhirnya kita lulus,” ucap Kartika lembut.

“Semua berkat kamu, Tika,” sahut Miranda lirih.

“Berkat kita semua,” Kartika menangkis dengan senyuman kecil. “Akhirnya kamu punya modal buat mandiri.”

Mereka saling berpelukan lagi, seolah tak ingin melepaskan momen itu.

Kartika kemudian menarik napas panjang, matanya berbinar. “Mir, ada kabar gembira.”

“Apa itu?” tanya Miranda, sedikit cemas.

“Kita berdua diterima magang di Indomaret. Enam bulan. Kalau kinerjanya bagus… kita bisa langsung jadi karyawan tetap.”

Tubuh Miranda bergetar hebat. Tanpa sadar ia menjatuhkan tubuhnya, bersujud di antara suara riuh teman-temannya yang masih merayakan kelulusan. Dunia terasa seolah memeluknya—untuk pertama kalinya.

Hari itu, Miranda lulus SMA.

Dan hari itu pula, ia mendapatkan kesempatan untuk bekerja.

Kartika sampai menggeleng pelan sambil menatap sahabatnya itu. Dalam hatinya ia membatin, padahal orang tua Miranda mampu membeli sepuluh Indomaret, tapi dia bahagia sekali hanya karena diterima kerja di sana. Semoga kamu selalu bahagia, Mir.

“Kapan mulai kerja?” tanya Miranda dengan mata berbinar.

“Lusa, Mir. Langsung datang saja ke Jababeka nomor tujuh,” jawab Kartika.

“Baik. Aku pulang dulu, ya.” Miranda tersenyum kecil lalu berlari kecil keluar dari halaman sekolah.

“Mang Agus!” panggilnya begitu melihat Pak Agus menunggu di dekat motor tuanya.

Miranda langsung memeluknya kuat-kuat. “Mang, akhirnya aku lulus,” ucapnya penuh kegembiraan.

Pak Agus menatap ijazah itu lama, matanya berkaca-kaca. Ia mencium kertas itu seakan itu adalah hadiah paling berharga yang pernah ia terima. “Luar biasa, Neng. Ini sangat luar biasa,” puji Pak Agus. Kata-kata sederhana itu selalu membuat hati Miranda terasa hangat. Hanya dengan cara merekalah Miranda merasa dianggap keluarga.

Mereka pulang dengan motor butut Pak Agus. Angin sore menerpa wajah Miranda, membuat rambutnya menari pelan. Di sepanjang perjalanan, pikiran Miranda sibuk berhitung, menyusun masa depan dengan penuh semangat.

Gaji empat juta. Kontrakan lima ratus ribu. Biaya makan dan kebutuhan dua juta. Untuk Mang Agus dan Bi Mirna satu juta. Sisanya lima ratus ribu ditabung.

Dalam benaknya, semua terlihat begitu jelas. Dua tahun tabungan bisa jadi dua belas juta. Bisa masuk kuliah asal cari beasiswa. Kalau bekerja keras dan pindah ke tempat yang gajinya lebih besar, semua pasti bisa tercapai. Nanti Miranda bangunkan rumah untuk Mang Agus dan Bi Mirna. Lalu memberangkatkan mereka ke tanah suci.

Wajah Miranda tanpa sadar tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya dalam hidup, masa depannya tampak seperti sesuatu yang bisa ia genggam. Ia tidak punya siapa-siapa di rumah itu selain Bi Mirna dan Pak Agus, tapi dua orang itu cukup membuat hatinya kuat.

Hari kelulusannya tidak dirayakan keluarga, tetapi justru terasa lengkap—karena hari itu Miranda menemukan harapan baru dalam hidupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!