Bima Satria Mahendra
Marah, mungkin. Kecewa, pasti. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya saat melihat binar mata Dena istriku ketika mengutarakan niatnya padaku. Dan aku tidak habis fikir. Istri yang selama ini aku cintai malah memintaku untuk menikah kembali. Alasannya adalah dia menginginkan seorang anak. Tidak bisakah mengadopsi saja? Jawabannya adalah TIDAK! Karena Dena menginginkan seorang anak yang mempunyai kemiripan denganku.
Aku pernah mengatakan, aku tidak keberatan jika Dena tidak bisa memberikan keturunan padaku. Aku bilang, cukup dia ada di sampingku. Menemani hari-hariku. Memberikan seluruh hidupnya untuk mencintaiku. Memberikan senyuman manisnya hingga aku melupakan amarahku. Dan memberikan pelukannya di saat aku merasa lelah. Tapi Dena dengan segala kasih sayangnya menginginkan seorang anak yang bisa menemaniku hingga masa tua kami. Ralat. Masa tuaku. Seakan Dena akan pergi meninggalkan diriku.
Dan kalian tahu? Yang lebih parah dari semua ini Dena sudah memilih calon istri untukku, untuk menjadi madunya. Permainan apa ini? Bahkan Dena sudah memutuskan waktu kapan aku akan menikah dengan gadis itu. Gadis atau apalah, siapapun dia aku belum tahu. Aku serius!
Aku tidak pernah mau menyetujuinya. Aku bukan tipe lelaki yang bisa membagi perasaanku. Dan aku yakin kalaupun aku bisa memberikannya, perhatian itu akan di rasa tidak adil, karena bagaimanapun juga Dena adalah prioritasku.
Beberapa kali kami berdebat. Hingga aku terpaksa menyanggupinya saat itu. Terpaksa. Karena Dena nekat menyayat pergelangan tangannya.
Di rumah sakit, aku hanya bisa menatap istriku yang terbaring lemah pasca oprasi untuk menyelamatkan nyawanya. Aku tidak habis fikir, kenapa istriku terlalu nekat untuk mengakhiri hidupnya padahal aku tahu dia takut dengan darah.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Sebesar itukah keinginanmu untuk memiliki seorang anak, meskipun anak itu bukan dari rahim kamu?'
Dena bangun dari tidurnya, satu tangannya yang tidak sakit terulur ke arahku. Dan dia memintaku berjanji, bahwa aku tidak akan menolak pernikahan ini.
Berat.
Sangat berat.
Jika aku menolak Dena berkata akan membenciku sampai akhir hayatnya.
Aku tertawa saat itu. Aku fikir Dena hanya bercanda. Dena tidak akan pernah bisa membenciku. Dan apa yang dia bilang? Jika Dena ridak bisa membenci ku maka Dena akan membuat aku membencinya.
Tidak mungkin itu terjadi. Aku sangat mencintai Dena, istriku. Dan aku tahu dia juga sangat mencintai aku.
Dena menatap tajam bola mataku. Dia memohon setengah merengek. Tidak pernah sekalipun selama empat tahun membina rumah tangga Dena melakukan ini padaku. Meminta dengan sangat dan merengek seperti itu. Berarti dia sangat serius.
Aku menarik nafasku dan menghembuskannya. Dengan berat hati aku mengangguk, menyetujui permintaannya. Seketika Dena bangun dari tidurnya dan memelukku. Ku dengar isak tangisnya dan berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku.
Sekali lagi aku bertanya berharap Dena akan membatalkan niatnya untuk di madu. Bayi tabung. Atau meminjam rahim seorang wanita mungkin tentunya anak hasil pembuahan ku dan istriku. Lagi. Dena menggeleng. Alasannya adalah tidak mudah menemukan seorang wanita untuk bisa menjadi ibu pengganti. Aku menegaskan, mudah jika wanita itu sangat membutuhkan uang, yang penting aku tidak perlu menikah dengannya dan membagi cintaku selain untuk Dena.
Lagi-lagi Dena menggeleng dan menjelaskan. Dalam agama tidak di benarkan adanya ibu pengganti. Kami kembali berdebat. Dan aku kembali kalah. Apalagi kini terselip kata yang tidak ingin aku dengar selama ini. Perceraian. Aku harus menerima keinginan Dena untuk menikah kembali.
Dena Abigail Usman
Katakanlah kalau aku jahat.
Katakanlah kalau aku kejam.
Biarlah.
Aku meminta suamiku sendiri untuk menikah kembali. Sakit memang. Sangat sakit hati ini saat aku mengutarakan keinginanku. Tapi aku juga tidak mau membuatnya merasa bersalah. Ketidakmampuanku untuk mengandung yang membuat aku berfikir setiap malam. Bahkan beribu- ribu kali dalam sehari selama hampir satu tahun setengah ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemui seseorang dan memintanya untuk menjadi maduku.
Aku yakin dia gadis yang baik. Selama aku mengenalnya tidak pernah sedikitpun cela yang kulihat dari dirinya. Murah senyum dan sopan santunnya membuat aku terkagum. Mungkin karena dia juga keturunan jawa asli. Asalnya dari Jogjakarta, tentu tata krama masih di perhatikan disana. Hanya saja logat bicaranya sudah tidak terlalu kental dengan aksen jawa, mungkin karena sudah lama tinggal di ibukota.
Wajahnya cantik. Terkadang aku juga mengagumi betapa kecantikannya membuatku iri. Kulitnya seperti kebanyakan orang korea, itu menurutku. Mata sedikit sipit, alis terbentuk dengan sempurna tanpa harus di cukur atau di bentuk sedemikian rupa, hidung tidak terlalu mancung seperti bule-bule Amerika tapi bagi orang pribumi cukuplah untuk terlihat lebih menonjol. Bibirnya tipis berwarna merah muda. Dan aku yakin selama ini dia hanya memakai lip balm saat bertemu denganku. Dan jangan lupakan lesung pipi di pipi kanannya membuat senyumannya semakin manis. Aku mau lesung pipi seperti dia! Aku serius!
Awalnya dia kaget saat aku mengutarakan maksudku. Bagaimana tidak! Mana ada seorang istri yang rela di madu! Ada. Aku. Dan itu nyata!
Dia menghela nafas. Hening tercipta diantara kami. Aku sendiri menahan nafasku. Akankah dia menerima lamaranku untuk suamiku? Kuharap.
Katakan jika aku bodoh.
Iya. Aku memang bodoh.
Tapi jika aku tidak segera menyatukan mereka aku akan menyesal. Sangat. Sangat menyesal!
Dia memandangi kotak cincin yang aku simpan di atas meja. Masih menatapnya seakan bimbang dengan keputusan yang akan di ambilnya. Siapapun pasti akan heran, mungkin bertanya apa maksud di balik ini semua. Seorang istri melamar seseorang untuk suaminya. Apalagi sekarang zamannya ramai dengan namanya pelakor. Aku tahu apa yang ada di fikirannya.
Kulihat dia menarik nafas lalu membuang kembali. Menarik nafas lagi. Lalu menghembuskannya lagi. Dia menyodorkan kembali kotak cincin itu ke dekatku dan mengatakan bahwa dirinya masih tidak tahu. Ku katakan agar dia memikirkannya terlebih dahulu jika dia memang ragu. Dan ku katakan aku menunggu jawabannya satu minggu kemudian.
Kami kembali bertemu di tempat yang sama, di meja yang sama. Kulihat ada sedikit yang berbeda darinya. Lingkaran hitam di bawah matanya. Apakah semalam dia begadang? Aku tertawa saat mendengar penuturannya. Dia tidak bisa tidur karena memikirkan jawaban atas lamaranku. Dan aku tahu dari remasan diantara jari-jari tangannya yang kuat, dia memberanikan diri bertanya padaku. Apa motifku melamar dia untuk suamiku. Aku hanya menjawab untuk memberikan keturunan yang mungkin aku tidak bisa memberikannya untuk suamiku. Dia tidak terkejut sama sekali. Sepertinya dia juga sudah memikirkan hal yang masuk akal untuk seorang wanita menginginkan suaminya menikah lagi. Dan satu hal yang membuat aku terdiam adalah jika dia telah melahirkan seorang anak, kepada siapa hak asuh anak itu jatuh? Lalu nasib ibunya? Apakah tugasnya hanya untuk melahirkan anak untukku dan suamiku?
Sekali lagi aku memberi penegasan padanya. TIDAK!
Akan aku pastikan suamiku tidak akan pernah meninggalkannya apapun yang terjadi.
Aku menitikkan air mata bahagia saat gadis itu berucap. 'Aku bersedia menjadi madumu, mbak Dena!'.
Lily Aruna Atmaja
Oooohhh. Apa yang harus aku lakukan?!
Aku berputar-putar di dalam kamarku yang tidak besar. Besok aku akan bertemu dengan mbak Dena dan aku harus memberi jawaban setelah satu minggu ini mbak Dena memberiku waktu untuk berfikir. Aku benar-benar blank beberapa hari ini. Bahkan karena memikirkan ini aku beberapa kali di tegur karena kesalahanku oleh bos ku yang super duper ganteng, yang tiada taranya di kantor,sayangnya dia sudah beristri, dan sepertinya dia sangat menyayangi istrinya. Untung saja kesalahanku tidak fatal! Hah...
Duduk. Berdiri. Berputar. Menyandar di pintu. Berputar lagi. Duduk. Lalu berdiri lagi. Ah, ya ampun. Siapapun, tolong aku! Jawaban apa yang harus aku berikan. Apa aku harus menerima lamaran mbak Dena untuk suaminya? Tapi apa kata orang? Aku akan di sebut pelakor! Tapi bukankah pelakor untuk orang yang merebut? Sedangkan aku? Aku malah di tawari untuk menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Ya. Orang ketiga! Mungkin sebutan itu yang lebih pantas jika aku menerima permintaan mbak Dena. Aaargggh bukankah itu sama saja!
Tapi kalau aku menolak mbak Dena. Bukankah aku kejam. Aku memupuskan harapan seorang wanita yang begitu amat sangat menginginkan kehadiran seorang anak di dalam kehidupannya. Kenapa mbak Dena tidak mengadopsi anak saja, bukankah itu lebih baik? Dia tidak perlu membagi kasih sayang suaminya pada wanita lain?
Jawabannya, TIDAK!!
Mbak Dena ingin seorang anak yang mengalir darah suaminya. Meskipun tidak ada darahnya yang mengalir di darah anak itu. Tapi dia akan puas jika anak itu memanglah anak suaminya.
Aku menghela nafas berat. Mencoba untuk memejamkan kedua mataku, tapi alih-alih terpejam bayangan mbak Dena dengan senyuman tulusnya terus membayang di pelupuk mataku.
Apakah suami mbak Dena tampan? Apakah suaminya akan menerima dan mencintai aku seperti dia mencintai mbak Dena? Hahhaa. Khayalanku terlalu tinggi mungkin. Jika ku dengar dari cerita mbak Dena suaminya orang yang penyayang, penuh kasih, dan perhatian, tentu saja tidak akan mudah menerima kehadiran orang asing selain orang yang benar-benar di cintainya. Fuuhh, bagaimana ini?
Mbak Dena terlalu baik padaku selama ini. Selalu membantuku di saat aku kesusahan. Dan kali ini dia datang dan memohon. Untuk pertama kalinya mbak Dena memohon padaku. Dan kalau saja mbak Dena tidak mengingatkanku pada janji masa lalu kami, tentu aku tidak akan mungkin pusing memikirkannya kembali.
Rasanya aku terjebak oleh perkataanku sendiri, tapi bukan janji seperti ini yang aku maksud. Janji bahwa aku akan membalas perbuatan baik mbak Dena karena menyelamatkan nyawaku saat itu, saat kami berdua terjebak di hutan ketika melakukan kemah di gunung. Apakah mbak Dena sengaja menagih janjinya untuk saat-saat seperti ini? Aahh tapi rasanya tidak mungkin!
"Ibu. Bapak. Aku harus bagaimana?" lirihku sambil menatap foto kedua orangtuaku yang telah tiada.
Malam semakin larut, tapi kedua mataku tetap tidak bisa ku pejamkan meski berbagai cara telah aku lakukan agar aku bisa terlelap. Setidaknya biarkan malam ini aku tidur dengan nyenyak setelah selama beberapa hari ini fikiran tentang mbak Dena dan suaminya selalu menggelayuti fikiranku!
Suara alarm hp mengganggu tidurku. Menyebalkan! Bisakah diam sebentar saja? Bangunkan aku sepuluh menit lagi oke?
Alarm di hpku kembali berdering nyaring.
Ooohh rasanya ingin sekali aku membanting hp ini, tapi sayang, kan? hehe.
Dengan berat hati aku membuka mataku dan mematika alarm yang sedari tadi mengganggu tidurku. Dengan sebelah mata ku lirik hp di atas nakas dan membuatku terkejut.
Jam enam empat puluh lima menit!
Aku terlambat!
Tanpa membereskan tempat tidurku, aku bergegas berlari ke dalam kamar mandi. Mandi secepat yang aku bisa meskipun sebenarnya tidak nyaman karena ada beberapa bagian yang seperti aku usap saja dengan sabun, karena biasanya aku menghabiskan waktu mandiku satu jam atau lebih hanya untuk memastikan semua bersih! Ahh, rekor ku selama aku hidup di dunia ini. Tapi tak apa, yang terpenting aku harus segera berangkat ke kantor!
Terlambat beberapa menit. Aku menghadap bosku dengan wajah hanya berpoleskan bedak tipis dan lip balm! Tadinya aku ingin merias kembali diriku di meja kerjaku, tapi bos ganteng ku sudah memanggil aku untuk datang ke ruangannya!
I'm coming bosque!
Melelahkan!
Jam makan siang aku segera bergegas keluar dari kantor untuk menemui mbak Dena. Untungnya tempat kami bertemu tidak jauh dari kantor tempatku bekerja.
Dia tertawa saat aku menjawab soal lingkaran hitam di mataku.
'Ini semua kan karena aku memikirkan permintaan mbak Dena!'
Dengan segenap keberanian yang aku kumpulkan, aku meremas tanganku hingga jari-jariku memutih, bertanya padanya apa motifnya ingin aku menjadi madunya. Dan seperti yang aku fikirkan semalam ternyata mbak Dena tidak bisa memberikan suaminya seorang anak dari rahimnya. Bahkan saat aku mengatakan mungkin ada pilihan lain untuk kehamilannya, mbak Dena hanya menggelengkan kepalanya.
Jelas sudah jawaban dari apa yang aku fikirkan semalam. Mbak Drna menjawabnya dengan tenang, dan ia meyakinkan padaku dan berjanji bahwa suaminya tidak akan mengecewakanku. Dia tidak akan pernah meninggalkanku setelah aku melahirkan putra untuk mereka. Tapi benarkah? Bukankah hati seseorang tidak ada yang tahu?
Aku melihat ketulusan dan kesedihan di mata wanita di hadapanku ini. Dan dari sorot mata itu akhirnya aku setuju. Entah aku bertindak bodoh atau tidak, aku tidak tahu.
'Aku bersedia menjadi madumu, mbak Dena!'.
Gila!!
Aku benar-benar gila sekarang!
Tidak pernah terfikir olehku akan menjadi madu dari sahabatku sendiri! Apa yang akan di fikirkan suaminya nanti? Apa yang akan di fikirkan orang lain nanti? Teman makan teman kah?!
Kulihat setitik air bening turun dari sudut matanya. Apakah air mata bahagia ataukah..?
Mba Dena mengeluarkan cincin yang seminggu lalu aku tolak lalu memakaikannya di jariku. Entah apakah itu sebuah keharusan atau hanya sebuah embel-embel, tapi aku merasa mulai detik ini hingga waktu yang belum di tentukan aku sudah tidak bisa hidup dengan keputusanku sendiri. Mulai detik ini apapun keputusanku aku harus membaginya dengan calon suamiku. Apakah aku sudah siap? Semoga!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!