POV
Namaku Sean Joris, aku terlanjur terlahir jadi anak orang kaya. Kakekku mewariskan banyak kekayaan padaku, notabene cucu satu satunya. Dan kekayaan yang berlimpah itu seakan tidak akan pernah habis tujuh turunan.
Dari lahir aku hidup dengan kemewahan, bahkan bedongan kain saat aku lahirsaja, harganya sudah sangat selangit. Bajuku celanaku semua mahal mahal. Bahkan menu makanan yang ku makan harganya sangat fantasic, padahal itu Cuma buat dimakan lalu dibuang. Pelayanku di rumah sangat banyak. Semua keperluanku sudah ada yang mengurusnya. Aku hanya tinggal memanggil dan ongkang ongkang kaki.
Tapi jangan salah, bukan berarti aku tidak pekerja keras, dari kecil aku dididik untuk menjadi seorang bisnisman. Sejak kecil aku sudah mewarisi banyak perusahaan dari kakekku. Kakekku meninggal saat usiaku 6 tahun. Bayangkan, anak usia 6 tahun harus menjalankan banyak perusahaan. Ayahku meninggal saat usiaku 4 tahun dalam sebuah kecelakaan, hanya tinggal ibuku satu satunya keluargaku.
Ibuku seorang bisniswomen yang sukses. Ibuku sangat pintar, disiplin dan serius, hari harinya adalah untuk menjalankan bisnis peninggalan dari ayahku, ditambah lagi mengelola warisan dari kakekku untukku yang sangat banyak karena usiaku terlalu kecil untuk mengelolanya. Ibuku tidak pernah dirumah, alhasil aku tinggal dirumah sendiri dengan pelayan yang begitu banyak. Aku merasa seperti tidak punya ibu, hari ulangtahunku saja ibu lupa, hanya sekretarisnya saja yang selalu mengirimi aku bunga atasnama ibuku.
Setelah menyelesaikan kuliahku,aku langsung terjun mengelola kekayaan kakekku, yang diwariskan padaku secara bertahap lewat pengacara, memimpin banyak perusahaan dan bisnis yang memusingkan.
Aku tumbuh menjadi sosok pria yang serius dan individualis, tidak percaya pada orang, dan sinis.
Tidak terasa usia ku sudah 28 tahun. Hingga suatu hari datanglah tim pengacara kakekku ke kantorku.
“Ada apa kau datang kesini? Apakah kau sudah membuat janji dengan sekretarisku?” tanyaku, menatapnya tajam.
“Maaf Pak, kami kesini untuk membacakan wasiat kakek anda saat anda berusia 28 tahun,” ucap pengacara.
“Baikah, bacakan saja, “ jawabku waktu itu.
Akhirnya pengacara itupun membacakan isi wasiat dari kakekku, yang intinya aku akan mendapatkan semua warisan kakekku diusia 30 tahun nanti dengan persyaratan aku harus sudah menikah diusia itu dan memiliki keturunan.
Kepalaku langsung berdenyut-denyut, kenapa warisan dari kakekku sangat banyak? Sepertinya aku sudah tidak butuh warisan lagi. Uangku sudah sangat banyak, rumah, mobil, semua yang kumiliki barang mewah. Piring gelas saja harganya sangat mahal, tapi kenapa kekayaan ini malah bertambah lagi?
Soal calon istri. Sampai sekarang aku tidak punya pacar yang tetap. Waktuku tidak memungkinkan untuk pacaran normal seperti remaja pada umumnya.
Bagiamana dengan persyaratan kakekku ? Di usia 30 harus sudah punya istri dan keturunan. Aku bingung, terlalu banyak wanita yang meyukaiku. Dari aku Tk, SD,SMP, SMA, sampai kuliah S1, S2, aku selalu jadi idola, bukan karena aku yang tampan saja, tapi karena kekayaanku. So…disaat tidak ada wanita cantik yang menolakku, siapa yang akan aku jadikan istri? Inilah awal kisahku.
***************
Sean merenggangkan tangannya ke atas, tubuhnya terasa pegal-pegal. Ini hari minggu seharusnya dia berlibur, tapi pekerjaannya seakan tidak habis habisnya, terpaksa dia berkutat dengan pekerjaannya di ruang kerjanya yang ada di rumahnya yang mewah.
Seseorang mengetuk pintu, masuklah Pak Deni, orang kepercayaan keluarganya, yang sudah mengabdi sampai berpuluh puluh tahun, mendampinginya dari kecil, seakan pria ini adalah pengganti dari ayahnya dan juga pengasuhnya.
“Kau terlalu bekerja keras, istirahatlah,” ucap pak Deni.
“Ya, aku sangat lelah, “ ucap Sean, sambil menguap.
“ Maaf pak, saya harus mengingatkan sesuatu.“ kata Pak Deni.
“Soal apa?” tanya Sean, tanpa menoleh, dia malah memejamkan matanya dan bersandar ke kursinya.
“Wasiat dari kakek anda,” Pak Deni berjalan mendekati, berdiri tidak terlalu jauh dari meja kerjanya Sean .
“Maksudmu apa?” Sean memutar mutar leher dan bahunya.
“Menikah sebelum usia 30 tahun,”jawab Pak Deni.
“Aku tidak diberikan warisan lagi juga sudah kaya, karena banyaknya warisan kakek sampai aku tidak tau harus diapakan warisan ini,” kata Sean.
“Tidak sesederhana itu, kakek anda pasti kecewa. Jangan sampai warisan itu jatuh ketangan yang salah, itu yang harus anda fikirkan.” Pak Deni mencoba meyakinkan Sean.
“Masalahnya aku tidak punya calon istri,” jawab Sean.
“Bagaimana kalau kita adakan sayembara atau kontes?” Tiba-tiba ada suara menyela diarah pintu. Seorang pria tampan berkulit putih, berperawakan tinggi, muncul dari balik pintu itu.
“Kau gila,”umpat Sean, menatap pria muda tampan itu.
“Itu cara yang terbaik, kecuali kalau kau sudah punya wanita pilihan,” ujar pria itu, yang bernama Samuel biasa dipanggil Sam, dia adalah putra dari pak Deni, karena dari kecil sudah tinggal dirumah itu bersama Sam, jadi Sam dijadikan asisten pribadi Sean, juga sebagai temannya.
“Saking banyaknya wanita yang menyukaiku jadi aku bingung mau pilih yang mana,” ucap Sean.
“Makanya, jadi kau harus menyeleksi mereka,pasti dapat pemenangnya.” Kata Sam.
“Itu bukan ide buruk. Tapi kalian harus hati-hati, ini adalah untuk masa depan Sean, jangan sampai pernikahannya tidak bahagia,” kata Pak Deni, menatap Sean dengan tatapan sayang.
Dia mengasuh Sean dari kecil, saat ayahnya meninggal dan ibunya tidak pernah ada di rumah, Pak Deni inilah yang menemaninya, mendampinginya. Sean pun menjadikannya Pak Deni sosok pengganti ayahnya yang meninggal.
“Kalian, rembukkanlah sendiri. Aku tidak akan ikut campur soal itu,” kata Pak Deni, sambil keluar dari ruangan itu.
“Tapi aku tidak mau terlibat langsung dengan sayembara atau kontes ini,” kata Sean, setelah pak Deni keluar.
“Maksudmu apa?” tanya Sam, tidak mengerti.
“Kau yang mengaudisi mereka, pura-pura jadi aku, aku yang akan menilainya dari belakang,aku ingin mencari wanita yang benar-benar tulus mencintaiku,bukan karena melihat tampangku saja,” jawab Sean.
“Maksudmu karena kau lebih tampan dari aku? Jangan salah, aku juga tampan,”gerutu Sam.
“Aku hanya tidak mau terlalu capek menangani masalah yang seperti ini.Pekerjaanku sudah banyak, aku lelah.” Sean menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, dia mulai menguap lagi.
“Baiklah, penanggungjawab kontes ini aku ya, aku akan pura-pura jadi dirimu, seorang pria tampan yang kaya. Berarti kau juga harus memfasilitasi aku, baju celana, sepatu, mobil dan uang untuk biaya acara ini,” kata Sam.
“Iya, tenang kalau soal itu,” ucap Sean, mengangguk.
“Ngomong-ngomong kau punya kriteria apa soal calon istrimu?” tanya Sam, dia duduk disalah satu sofa, duduk dengan santai.
“Hanya satu,” ucap Sean.
“Cuma satu? Apa?” Sam menoleh dengan penasaran.
“Yang bisa membuat hatiku bergetar,” jawab Sean.
“Bergetar? Emang gitar!” Cibir Sam sambil tertawa.
“Karena terlalu banyak wanita cantik yang menyukaiku, sampai aku tidak tau perasaanku sendiri, seperti apa rasanya jatuh cinta,” ujar Sean dengan serius. Sam pun menghentikan tawanya.
“Kata orang, kalau jatuh cinta itu hati kita akan bergetar,kita akan selalu merindukannya, kita akan melakukan apa saja untuk kebahagiaannya, itu yang belum aku rasakan dari wanita-wanita yang menyukaiku, padahal mereka sudah baik dan perhatian, karena saking banyaknya, aku tidak tau mana yang tulus dan tidak,” lanjut Sean, matanya menerawang membayangkan sosok yang dia idamkan itu.
“Kau benar, kau terlalu gampang mendapatkan wanita, sekali lirik juga wanita sudah mengantri panjang.” Sam mengagguk angguk setuju dengan pemikiran Sean.
“Jadi bagaimana? Kau setuju dengan rencanaku ini?”tanya Sam.
“Ya terserah kau saja. Aku akan melihatnya dari belakang, yang kecil-kecil kau yang urus. Audisi, seleksi awal dan sebagainya, aku hanya butuh laporanmu saja,” kata Sean.
“Baiklah. Kau serius akan bertukar tempat denganku?” tanya Sam, menatap Sean.
“Iya, aku akan menilainya dari belakang saja,” jawab Sean, kembali menguap.
“Baiklah, kau tulis kriteria wanita yang kau sukai seperti apa?” Tanya Sam.
“Tadi kan aku sudah bilang, hanya satu, yang membuat hatiku bergetar,” jawab Sean. Sam garuk-garuk kepala.
“Bagaimana cara menegtesnya wanita itu menggetarkan hatimu atau tidak?” tanya Sam.
“Itu kan tugasmu!” jawab Sean.
“Sepertinya akan sulit. Lebih baik kau memberiku pekerjaan lain saja,” kata Sam.
“Hei, kau kan yang memberi usul, kau harus bertanggungjawab, lagi pula aku memang tidak ada waktu untuk pacaran,” ucap Sean sambil memejamkan matanya.
“Aku lelah, perkerjaanku sangat banyak, pokoknya kau atur saja semuanya, aku hanya mau itu saja. Wanita yang bisa menggetarkan hatiku,” lanjut Sean.
Sam tampak semakin kebingungan. Pekerjaan ini sepertinya sangat sulit, menyesal dia memberi usulan tadi.
“Kau mau pakai judul apa sayembara itu?” tanya Sean.
“Mmm apa ya, bagaimana kalau ‘Kontes Menjadi Istri Presdir‘ ?” tanya Sam.
“Lumayan bagus,” jawab Sean.
“Baiklah kalau begitu, aku akan membuat konsepnya. Tapi ingat kau harus memfasilitasiku karena aku yang menjadi Presdirnya, oke?” kata Sam.
“Ya ya. Sudah pergi sana. Jangan menggangguku. Aku lelah,” usir Sean.
“Kenapa kau tidak tidur saja di kamarmu?” usul Sam, menatap Sean sebentar, sebenarnya dia merasa kasihan dengan kesibukan Sean yang tidak henti-hentinya, tapi Sam tidak bicara apa-apa lagi, diapun keluar dari ruangan itu.
*************
Episode perdana ya.. jangan lupa like, vote dan komen
POV
Namaku Lorena Ayala, aku blasteran Inggris dan Belanda. Wajahku cantik dan aku keturunan bangsawan yang kaya raya.
Selain wajahku cantik, aku juga memliki riwayat pendidikan yang bagus, karir yang cemerlang, aku adalah gadis yang sempurna.
Tapi jangan salah, dengan segala kelebihanku ternyata aku memiliki satu kekekurangan. Apakah itu? Aku adalah jomblowati sejati. Aku tidak punya pacar! Apa ada yang salah dalam diriku? Gadis sempurna ini tidak punya pacar? Mustahil! Tapi itu kenyataannya. Ternyata dengan segala kelebihanku itu justru membuat pria-pria pergi menjauh, mereka merasa minder padaku, mereka hanya menyukaiku cuma dalam hati saja.
Usiaku sudah 26 tahun dan sudah bertahun tahun ini aku nyaris tidak punya pacar. Pacarku yang terakhir hanya bertahan satu minggu, karena di hari ulangtahunku, ayahku memberi hadiah mobil mewah, dan pacarku hanya menghadiahi aku sebuah cincin, setelah itu dia menghilang begitu saja.
Beberapa hari ini, saudariku, Laura, memberikan tumpukan surat undangan pernikahan dari teman kami. Aku hanya menatap tumpukan itu. Kapan aku menikah? Hingga datanglah Laura untuk ke sekian kalinya ke kantorku.
“Surat undangan lagi?” tanyaku waktu itu.
“Bukan,” jawab Laura, menggeleng, sambil memberikan selembaran kertas bergambar.
“Apa itu?” tanyaku, sambil menerimanya dan membacanya. Mataku langsung terbelalak kaget.
“Kontes Menjadi Istri Presdir!” ucapku, membaca selebaran itu.
“Bagaimana kalau kau ikut acara ini saja? Sepertinya seorang Presdir tidak akan minder jika bersanding denganmu, dan kau tidak akan takut pria itu memutuskanmu lagi,” kata Laura.
“Aku tidak suka acara seperti ini, buat apa?” keluhku tidak berminat.
“Masa kau tidak akan menikah menikah? Aku juga sebentar lagi akan menikah dengan Anton,” kata Laura.
“Kau benar,” aku mengangguk.
“Kalau kau diam saja menunggu pria yang datang melamarmu, kau keburu tua. Apa salahnya kau ikut kontes ini,” kata Laura, sambil duduk di depan meja kerjaku.
“Coba lihat apa persyaratannya,” kataku waktu itu.
“Pesyaratan : Harus cantik,” Laura mulai membaca.
“Aku cantik,” jawabku.
“Manis,” ucap Laura.
“Aku manis,” jawabku, meski agak bingung kenapa harus cantik dan manis juga?
“Belum menikah.”
“Aku belum menikah.”
“Tidak punya pacar,” baca Laura.
“Aku tidak punya pacar. Wah bisa-bisa banyak peserta kontes yang memutuskan pacarnya dulu buat ikut kontes kalau begini persyaratannya, bisa-bisa para pacar yang diputuskan melakukan demo pada acara ini!” kataku.
“Yang punya acara bebas bebas saja mau bikin persyaratan apa,” ucap Laura.
“Ya sudah lanjutkan,” kataku, duduk bersandar, mendengarkan Laura membaca.
“Harus bisa memasak, mencuci pakaian, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai, bersih bersih rumah,” baca Laura. Membuatku mendekatkan wajahku padanya.
“Ini buat calon istri apa asisten rumah tangga?” tanyaku, keheranan.
“Ini kan cuma kontes, nanti kalau kau sudah menikah dengan Presdir, masa sih kau harus mengerjakan itu semua, pasti tidak,” kata Laura.
“Ini untuk menilai sisi keistrian kita,” lanjut Laura.
Aku menatap Laura.
“Masalahnya aku tidak bisa melakukan itu semua. Mana pernah aku memasak menyapu, semua ada asisten yang mengerjakannya,” kataku.
Laura balas menatapku.
“Seharusnya kau juga belajar supaya kau nanti jadi istri dan ibu yang baik,” kata Laura.
“Kalau begitu aku tidak ikut, aku gagal, aku tidak bisa itu semua,aku akan gagal.” Aku menggeleng waktu itu.
“Jangan begitu. Ini kesempatan satu-satunya, mumpung ada Presdir yang mencari calon istri!” Laura terus mendesak.
“Apa lagi persyaratannya?” tanyaku.
“Menyukai anak-anak,” jawab Laura.
“Menyukai anak-anak? Aku tidak suka anak-anak! Mereka berisik, nakal,suka berlari-lari yang tidak jelas, mereka juga melompat lompat di kursi, aku tidak suka anak-anak!” seruku, menggeleng-gelengkan kepala.
Laura menatap ku lagi.
“Ini kan Cuma kontes, ikuti saja, tidak masalah,” kata Laura.
“Ya ya baiklah, kalau tidak lulus juga tidak apa-apa,” kataku. Kemudian aku teringat sesuatu.
“Eh Presdirnya tampan tidak? Jangan-jangan tua dan jelek,”tuduhku.
“Sangat tampan! Nih ada fotonya,” Laura menunjukkan gambar seorang pria yang tampan.
“Kau benar, dia lumayan tampan,” jawabku.
“Bukan lumayan lagi, dia sangat tampan dan keren!” seru Laura.
“Kalau aku tidak terlanjur mau menikah dengan Anton, aku akan ikut acara ini,” lanjut Laura.
“Hemmm..kau begitu…” cibirku pada Laura yang malah tertawa.
“Mana alamatnya? Acaranya mulai kapan?” tanyaku.
“Ini alamatnya. Kau harus mendaftar dulu mengisi formulir, dan sebagainya,” jawab Laura, sambil memberikan selembaran itu, akupun meraihnya.
Aku melihat lagi selembaran itu dan foto pria itu. Lumayan tampan, tidak ada salahnya dicoba. Maka bersiap-siaplah aku ke ibu kota untuk berburu pria itu, ups, bukan berburu, mengikuti kontes.
**********************
Di ruang kerjanya Sean.
Tok tok tok
Terdengar seseorang mengetuk pintu, tanpa ada jawaban dari Sean, dia langsung masuk. Sam langsung menghampiri meja kerjanya Sean. Disimpannya sebuah selembaran kontes dan sebuah kunci.
Sean melihat ke atas meja. Diraihnya selembaran itu, lalu dibacanya.
“Kau memasang fotomu juga?” tanya Sean.
“Tentu saja, aku tampankan? Seperti foto model,” jawab Sam dengan bangga.
“Buat apa kau memasang foto segala?” tanya Sean.
“Tentu saja biar menarik peserta. Kalau tidak dipasang mereka akan bertanya-tanya itu Presdirnya tampan tidak? Jangan jangan tua dan jelek, tidak akan ada yang mau ikut daftar,” jawab Sam.
Sean mengangguk angguk.
“Kau benar,dan ini kunci apa?” tanya Sean.
“Itu kunci rumah kontrakan buatmu,” jawab Sam.
“Rumah kontrakan buatku?” tanya Sean, tidak mengerti.
“Sementara kau harus pindah rumah. Kau tidak mungkin tinggal di rumahmu, kan Presdirnya aku. Bagaimana kalau ada yang menguntitku pulang? Jadi terpaksa sebagai asisten kau tinggal dirumah kontrakan itu,” jawab Sam.
Sean menatap Sam.
“Kau malah menyusahkanku!” gerutu Sean.
“Eits jangan marah dulu. Kau kan sudah menyerahkan semuanya padaku, kau harus ikut aturannya, kau menilai peserta dari belakang kan? Biar kau bisa menjiwai pekerjaanmu sebagai asisten,” jawab Sam, membuat Sean semakin bingung.
“Kau tenang saja, segala fasilitas lengkap, juga pelayan pelayan lengkap, kau tidak akan kekurangan apapun, kau hanya pindah rumah saja,” kata Sam.
“Ya ya baiklah,” gerutu Sean.
“Tapi ingat persyaratanku kan?” tanya Sean.
“Ya aku tahu, wanita yang menggetarkan hatimu,” jawab Sam.
“Kapan aku melihat rumah itu? Aku sibuk,” jawab Sean.
“Nanti sore saja, kalau meeting kita sudah beres, kita langsung melihat rumah itu. Atau kau mulai bisa menempati rumah itu,” kata Sam.
Terdengar suara pintu diketuk. Sean dan sam menoleh pada ke arah pintu. Sekretarisnya Sean masuk.
“Pak Samuel, anda jadi mengikuti Workshop karyawan nanti sore?” tanya sekretaris Sean pada Sam.
“Oh iya, aku ada workshop,” kata Sam, lalu menoleh pada Sean.
“Pak Sean, sepertinya aku tidak bisa mengantar anda melihat rumah itu. Aku ada jadwal workshop karyawan nanti sore. Kau bisa sendiri melihat rumah itu kan?” kata Sam, yang memanggil Sean dengan sebutan Pak jika di depan karyawan lain.
“Ya sudah, kau simpan saja alamatnya!” kata Sean.
Sam duduk di kursi dan menulis sebuah alamat, sambil membuka handphonenya, lalu menyimpannya di meja Sean.
“Ini alamatnya,” kata Sam. Sean mengambilnya dan membacanya.
“Grand Valley nomor 36,” baca Sean. Lalu dia menatap Sam.
“Sam!” panggilnya.
“Apa?” tanya Sam, balas menatapnya.
“Apa aku harus benar-benar membuat kontes ini?” tanya Sean.
“Ya harus bagaimana lagi, kau harus sudah menikah di usia 30 dan mempunyai keturunan. Kau harus segera menikah,” kata Sam.
“Masalahnya aku juga ingin menikah dengan wanita yang aku cintai,” ucap Sean.
“Kau jangan khawatir, dari sekian ribu peserta yang mendaftar pasti ada yang kau sukai, kau harus yakin,” kata Sam memberi semangat.
“Baiklah, aku akan mencobanya,” jawab Sean.
*****************
Menjelang sore hari…
Lorena menghentikan mobilnya dipinggir jalan pertokoan. Ditangannya sudah ada secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat.
“Grand Valley nomor 63,” bacanya.
“Sepertinya aku harus bertanya, dari sini arahnya kemana lagi menuju Grand Valley,” gumamnya. Diapun melihat sebuah mini market di depannya.
“Ah coba bertanya pada satpam itu, sekalian membeli minuman,” ucap Lorena, diapun kembali menjalankan mobilnya menuju mini market itu.
Setelah memarkir mobilnya, diapun menyelipkan kertas itu didalam tasnya, lalu turun dari mobilnya.
Satpam mengangguk ramah saat dia menghampirinya.
“Permisi pak, saya mencari alamat Green valley, kearah mana ya?” tanya Lorena.
“Oh Green Valley? Tidak jauh, tinggal beberapa kilo lagi,” jawab satpam.
Saat mereka berbicara tiba-tiba ada seseroang yang berlari dan menarik tas slempangnya Lorena,membuat Lorena terkejut.
“Jambret!” Teriaknya.
“Pak! Tasku dijambret!” teriaknya lagi pada satpam. Diapun mencoba mengejar bersama satpam. Orang itu berlari sangat cepat. Orang orang sekitar tampak ikut membantu berlari tapi sepertinya penjambret itu sudah mengenal lokasi tempat itu, dengan cepat si penjambret itu menghilang.
Lorena menghentikan kakinya dengan kelelahan. Dompet dan handphone ada di dalam tas itu semua, semuanya raib oleh penjambret itu.
Sedang terengah engah karena cape mengejar jambret, satpam sudah kembali dari pengejarannya dan menghampirinya.
“Maaf, penjembretnya tidak terkejar,” ucap satpam.
“Tidak apa-apa pak, terimakasih,” jawab Lorena.
“Apa kau akan lapor polisi?” tanya satpam.
“Ya mungkin nanti, aku akan ke Green Valley itu dulu,” jawab Lorena.
“Kau masih ingat alamatnya?” tanya satpam.
“Iya, Green Valley nomor 36,” jawab Lorena, sambil mengatur nafasnya yang terengah engah kecapean.
********************
Bagaimanakah kisah selanjutnya?
Jangan lupa like, vote dan komen
Baca juga karya author yang lain ya…
- "My Secretary" season 2 (Love Story in London)
- "Billionaire Bride"
Lorena menjalankan mobilnya dengan lesu. Dia bingung harus bagaimana hidup diibu kota tanpa uang sepeserpun. Uang tunai dan ATM juga handphone ada di tasnya semua. Apa yang harus dilakukannay sekarang? Diapun berfikir yang penting sampai ke rumah dulu saja, rumah kontrakan yang sudah dicarikan Laura. Untuk menelpon Laura saja tidak bisa, dia tidak hafal banyaknya nomor nomor handphone, nomor sendiri juga tidak hafal.
Dilihatnya di depan ada antrian panjang mobil dan motor, dia mengerutkan dahinya kenapa jalanan macet, diapun melongokkan kepalanya keluar jendela.
“Ada apa?” tanya Lorena pada pengendara motor yang berhenti di samping mobilnya.
“Ada razia,” jawab pengendara motor itu.
Lorena hanya ber ooh ria, ternyata razia motor, tapi kenapa macetnya sampai panjang begini? Mobil di depan mulai melaju, hingga sampailah mobilnya diberhentikan polisi.
Kaca jendelanya diketuk seorang petugas polisi, yang langsung memberi hormat saaat Lorena membuka jendela.
“Mohon diperlihatkan surat-surat kendaraan anda,” kata polisi itu, sambil melihat plat nomor mobil Lorena yang berkode dari luar kota.
“Tunggu sebentar,” jawab Lorena, dia akan mengambil tasnya, tapi tiba-tiba dia ingat kalau tasnya di jambret.
“Aduh,” keluhnya.
“Ada apa?” tanya polisi.
Lorena membuka dasboard tidak apa-apa disana.
“Apa anda tidak membawa SIM?” tanya petugas polisi.
“SIM saya ada didalam tas dan tadi tasnya dijembret,” jawab Lorena, sejujurnya.
“STNK?” tanya petugas polisi itu.
“STNK juga ada di dompet saya,” jawab Lorena dengan pucat, dia sudah merasa tidak nyaman.
“Maaf Nona, saya harus membawa anda ke kantor polisi dan menahan mobil anda karena tidak membawa surat surat apapun,” kata petugas polisi.
“Tapi pak, saya benar-benar dijambret tadi,” ucap Lorena.
“Nanti di jelaskan di kantor polisi. Bukankah anda dari luar daerah?” kata polisi itu.
“Iya pak,” jawab Lorena, mengagguk. Keringat dingin sudah membasahi keningnya.
Disinilah sekarang Lorena berada, dikantor polisi.
“Anda dari luar kota berkendara tidak membawa surat-surat, itu pelanggaran lalu lintas, jadi terpaksa kami menahan mobil anda,” kata petugas Polisi, yang duduk di meja pangaduan.
“Tapi pak, tas saya dijambret. Saya sama sekali tidak punya uang,” ucap Lorena.
“Apa ada yang bisa dihubungi? Yang bisa ditelpon? Yang memberikan jaminan buat anda?” tanya petugas polisi lagi.
“Saya tidak hafal nomor telponnya Pak,” jawab Lorena.
“Kalau begitu mobil anda tetap kami tahan,” kata petugas Polisi itu.
“Tapi pak,” Lorena mencoba meloby.
“Ini peraturan,” jawab petugas polisi itu dengan tegas.
“Aduh bagaimana ini?” gumam Lorena.
“Tujuan anda ke kota ini untuk apa?” tanya polisi itu.
“Untuk mengikuti kontes,” jawab Lorena
“Kontes menyanyi?” tanya Petugas Polisi.
“Bukan,” Lorena menggeleng.
“Kontes apa?” tanya petugas tadi.
“Kontes menjadi istri Presdir,” jawab Lorena.
“Hahhaha” petugas polisi itu langsung tertawa, begitu juga dengan polisi yang lain yang ada diruangan itu, saat mendengar jawaban Lorena.. Mereka langsung menoleh pada Lorena semua, menatapnya dari atas sampai bawah.
Apa tidak salah? Secantik ini tidak laku? Fikir mereka. Lorena sudah mengerti arti tatapan polisi-polisi itu.
“Ya sudah kalau begitu, nanti aku mencoba menghubungi pengacaraku,” ucap Lorena, supaya tidak jadi bahan tertawaan polisi diruangan itu lagi.
Diapun bangun dari duduknya lalu menoleh lagi pada petugas polisi itu.
“Ada apa lagi?” tanya petugas polisi.
“Aku tidak punya uang untuk bayar taxi, apakah bapak bisa meminjami aku uang?” tanya Lorena, membuat petugas polisi itu terkejut.
Tiba-tiba Lorena teringat kalau dia memakai satu cincin dijarinya. Dia langsung melepasnya.
“Ini aku jual cincin saja, harganya kira-kira sekitar 5 juta,” kata Lorena, mengira-ngira, karena diapun tidak tau berapa harga cincin itu karena biasanya yang mengurus perhiasan bagian designer keluarganya.
“Suratnya mana?” tanya petugas polisi.
“Tidak ada,” Lorena menggeleng.
“Bagaimana kalau itu palsu? KTP tidak ada, SIM tidak ada, STNK juga tidak ada,” keluh polisi. Lorena kembali memasukkan cincinya ke jarinya dengan kecewa.
“Kau akan kemana sekarang?” tanya petugas polisi itu.
“ Ke rumah kontrakanku di Grand Valley,” jawab Lorena.
“Ya sudah, aku pinjami buat ongkos taxi saja, cukup kalau ke Grand valley tidak terlalu jauh,” kata polisi itu sambil mengambil dompet disaku celana di belakangnya. Diambilnya uang kertas 100rb diberikan pada Lorena.
Lorena menatap uang itu. Tidak salah? Hanya seratus ribu?
“Apa tidak bisa tambah pak?” tanya Lorena.
“Ini sudah cukup, ongkos taxi paling 50rb,” jawab petugas polisi itu.
Akhirnya dengan berat hati, Lorena mengambil uang 100rb dari polisi itu. Diapun keluar dari kantor polisi dengan membawa 3 buah koper,lalu menyetop taxi.
“Grand Valley 36,” ucapnya pada supir taxi. Supir taxi memasukkan koper-koper ke dalam bagasi, itupun tidak muat, jadi satu koper disimpan di jok belakang.
Selama perjalanan, mulut Lorena cemberut saja, kenapa hari pertamanya ke ibu kota menjadi susah begini? Semua ini gara-gara penjambret itu. Awas kalau ketemu, dia masukkan penjara, umpatnya dengan kesal.
Akhirnya sampailah mereka di kompek perumaahan elite Grand Valley.
“Nomor berapa tadi rumahnya?” tanya supir taxi.
“Nomor 36” jawab Lorena.
Supir taxi melajukan mobilnya mencari rumah nomor 36. Tidak lama kemudian sampailah di rumah nomor 36.
Lorena menatap rumah bertingkat yang megah itu.
“Laura, pekerjaanmu memang bagus, kau memilihkan rumah kontrakan yang sanagt bagus,” gumamnya.
Melihat ada taxi berhenti didepan gerbang, satpam turun dari posnya, menghampiri ke gerbang.
“Aku yang ngrontrak rumah ini!” teriak Lorena pada satpam, tapi satpam itu tidak langsung membukanya, karena yang dia tahu, yang mengontrak rumah ini adalah Pak Sean, bukan seorang wanita.
“Hei kau dengar tidak? Aku yang mengontrak rumah ini! Aku capak! Lelah! Buka gerbangnya!” teriak Lorena dengan kesal.
Satpam tampak ragu-ragu, terus dia berfikir, mungkin Pak Sean mengontrak rumah tidak sendirian tapi dengan pacarnya. Cantiknya juga pacarnya tapi sangat galak, fikir pak satpam. Akhirnya gerbang itupun dibuka.
Saat taxi berheti di depan teras, dua orang pelayan dengan sigap menghampiri taxi, satu orang membukan pintu mobilnya lorena, menyapa ramah, yang lain mengeluarkan koper-koper dari bagasi dan jok belakang.
Lagi-lagi Lorena memuji Laura.
“Kerjamu sangat bagus Laura, kau juga menyiapkan banyak pelayan untukku,” batinnya, diapun melangkah masuk, kepala pelayan membukakan pintu rumah yang besar, mengucap selamat datang padanya.
“Dimana kamarku? Aku lelah!” tanya Lorena dengan ketus. Saat tiga orang pelayan wanita menghampirinya. Seorang pelayan wanita mengajaknya menaiki tangga.
Dua orang lagi berbisik pada kepala pelayan.
“Bukannya yang akan tinggal disini itu Pak Sean? Kenapa perempuan yang datang?” tanya pelayan itu.
“Mungkin dia pacarnya Pak Sean, kalian jangan berisik dan jangan bergosip,” kata kepala pelayan.
“Bukankah Pak Sean sedang membuat kontes mencari istri?” tanya pelayan yang lain.
“Bukan, yang membuat kontes itu Pak Sam. Sudah, kalian jangan banyak bergosip, ayo kerja, jangan ikut campur urusan majikan,” kata kepala pelayan lagi.
“Apa ada yang bisa memijatku?” teriak Lorena dari atas loteng.
“Ada Nona,” jawab Kepala pelayan, sambil memberi kode kepada salah satu pelayan wanita tadi
untuk segera ke atas, memijat Lorena.
Di dalam kamar utama itu benar-benar luas dan nyaman, perabotan juga sangat mewah dengan bahan yang berkualitas tinggi.
Lorena sedang dipijat oleh pelayan wanita diatas kasur yang big size, hanya menggunakan pakaian dalam. Dia tidak mengira kalau layanan di rumah kontrakan ini sangatmeksklusif. Laura benar-benar mengerti dirinya. Sepertinya dia bisa berlama-lama tinggal disini.
Setelah dipijat, akhirnya diapun tertidur.
**************
Sean melirik jam tangannya, lalu melihat ke jendela kaca kantornya, ternyata sudah gelap, dia lupa kalau sore ini dia akan ke rumah kontrakannya di Grand Valley.
Dilihatnya lagi alamat rumah itu, ada di secarik kertas yang ditulis Sam tadi.
“Grand Valley nomor 36,” gumamnya, lalu bangun dari duduknya, keluar dari kantornya. Mengendarai mobil mewahnya menuju Grand Valley.
Diapun sampai di depan rumah mewah no 36.
Petugas satpam turun dari posnya, menyapanya ke gerbang.
“Pak Sean?” tanya pak Satpam, soalnya diapun belum pernah bertemu dengan yang namnaya Pak Sean.
“Ya!’ jawab Sean dengan ketus.
Satpam membukakan gerbang. Mobilpun masuk ke dalam pekarangan rumah dan berhenti di depan teras.
Kepala pelayan sudah membukakan pintu utama rumah itu.
“Selamat malam Pak,” sapanya.
“Malam,” jawabnya tanpa menoleh dan berjalan menuju tangga.
“Pak!” panggil kepala pelayan.
“Ada apa?” tanya Sean masih terus saja berjalan menaiki tangga.
“Teman anda sudah tiba duluan dan ada di kamar,” lapor kepala pelayan.
“Teman? Oh iya, biarkan saja,” jawab Sean. Kenapa Sam tidak bilang kalau mau kesini? Fikirnya.
Kepala pelayan langsung mengangguk, dan pergi menjauh. Sean kembali menaiki tangga rumah itu menuju kamarnya.
Masuk ke kamarnya, Sean langsung membuka jasnya, melemparnya ke sofa, lalu merebahkan dirinya ke atas kasur, tidur terlentang. Dilihatnya sekeliling kamar itu, yang ternyata sangat luas. Diapun tersenyum. Sam memang tahu seleranya. Dia suka ruangan yang luas dan bercat putih. Diapun merentangkan kedua tanagnnya ke samping kiri dan kanan. Dan Buk!
Sean merasakan tangannya menyentuh benda keras diatas kasur itu. Dia melirik kearah guling yang digulung selimut putih itu. Kenapa gulingnya keras sekali? Diapun terkejut saat seperti ada helai-helai rambut keluar dari atas selimut itu.
“Apa itu?” tanyanya dengan keheranan, dan jantung yang berdebar-debar. Dengan perlahan tangan kanannya menyikap selimut itu dan diapun terkejut bukan main saat dilihatnya seorang wanita cantik berkuli putih dengan rambutnya yang hitam kecoklatan hanya memakai lingeri, memperlihatkan tubuhnya yang mulus.
“Apa ini?” tanyanya dengan kaget. Wanita itu sedang tidur dengan nyenyaknya. Buru-buru Sean menutup kembali wanita itu dengan selimut itu. Jantungnya langsung dag dig dug tidak karuan. Ada wanita cantik dalam kamarnya, tidur di tempat tidurnya, dengan memakai lingeri? Pakaian dalam wanita saja? Apa-apaan ini?
Diapun segera keluar kamar menuju ruangan lain dilantai atas lalu menelpon Sam.
“Halo! Halo!” Sam berteriak teriak. Terdengar suara disekelilingnya yang berisik.
“Kau ada dimana?” tanya Sean jadi ikut berteriak.
“Aku sedang melihat pendaftaran kontes!” teriak Sam.
“Apa yang kau lakukan?” teriak Sean.
“Melakukan apa?” tanya Sam masih berteriak.
“Kenapa kau mengontrak rumah dengan wanitanya sekalian? Kau ini apa-apaan?” teriak Sean.
“Apa? Wanita?” tanya Sam, tidak mengerti.
“Wanita itu tidur di kamarku!” teriak Sean.
“Oh mungkin hadiah dari yang punya rumah, layanan plus plus! Kau suruh dia pegi saja kalau tidak mau!” teriak Sam.
“Halo! Halo!” teriak Sam lagi.
“Halo!” Sapa Sean.
“Halo! Halo!” Sam masih berteriak.
“Aku sibuk! Tidak kedengaran!” teriak Sam lagi, lalu telponpun ditutup.
Sean menatap telponnya yang mati.
*****************
Maaf ya karya author telat upload semua, jaringan jelek aplikasi tidak bisa dibuka dari malam.
Jangan lupa like, vote dan komen ya.
Baca juga karya yang lain ya…
- “My Secretary” season 2( Love Story in London)
- “Billionaire Bride”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!