Hai, nama gue Clarissa Fatiyah, biasa dipanggil Ica. Biasanya sih yang manggil gitu cuma keluarga, teman atau yang ngerasa akrab gitu.
Gue anak kedua dari dua bersaudara, Kakak gue bernama Bintang Angkasa, gue lahir pada tanggal 12 Desember, hobi gue dengerin musik, whatever the type of music, loud sound is the most important, dan gue pecinta band Bad Omens, tentunya.
..."Lying in between the memories choking me, and I don't know which way to go, but I'm okay to never know"...
Penggalan lagu dari Bad Omens yang berjudul "Never Know" lagu terbaru mereka. Dari band tersebut, gue suka drumer mereka, Nick Folio. Satu hari, gue pernah minta alat musik sebagai hadiah dari bokap gue karena gue mendapat juara umum satu dikelas dua SMP, dan lo tau? piano, sumpah bukan itu yang gue mau.
Sewaktu masuk SMA, keluarga kami pindah rumah setelah Bokap gue naik jabatan sebagai Wakil Direktur umum, kerenkan. Rumah yang lebih besar, dengan satu ruang kecil yang didesain khusus sama Kakak gue sebagai ruang musik gue sendiri dengan diisi satu alat musik yaitu, drum.
Kakak yang sempurna.
Kakak yang selalu marah kalau gue panggil Abang.
Gue memiliki tinggi badan 150cm, dan menurut beberapa orang gue itu termasuk pendek. Sicadel cebol, adalah sebutan mereka buat gue, ya gitu. Gue itu cadel, atau sering disebut sulit mengucapkan huruf 'R'.
Dan gue gak perduli mereka manggil gue gimana. Yang terpenting mereka gak main secara fisik, menurut beberapa siswa dikelas yang iseng menilai kecantikan siswi dikelas gue, gue adalah peringkat kedua menyandang ratu kecantikan. Kulit putih bersih, wajah tanpa noda, hidung mancung, bibir bagian bawah besar, dan itu terkesan sexy. Dan lo semua tau? beberapa cewek disekolah gak terima dan bilang kalau gue ini bukan cewek seutuhnya karena gue hasil dari operasian. Yaelah bro, itu cuma penilaian dari keisengan mereka doang. Jingan.
Gue dijauhin. B*go gak tuh. Gue sempet terpaku dengan geng yang tiba-tiba nyeletuk. "Enak si Clarissa, bokap nyokapnya Dokter, udah pasti dia dioperasi sana sini, makanya kelihatan cantik sempurna gitu."
Nih gue kasih tau ya!!!!
Bokap gue Dokter khusus penyakit jantung. Lo nyuruh gue filter bibir pake Single chamber pacemaker gitu?
Nyokap gue Dokter kandungan. Lo nyuruh gue sedot lemak pake Ultrasonografi gitu, yang lebih sering mereka sebut (USG).
Tapi gue sabar, dan gak pernah protes sama hal begituan. Salah satu cara menghindarinya adalah, airpods yang selalu nempel ditelinga gue. Disekolah, rumah, atau kalau gue lagi jalan, benda itu gak akan pernah lepas. Entah lagu terputar atau enggak, tetep gue tancepin ditelinga. Dan kalau gak lagi terputar, gue berakting pura-pura dengerin lagu aja, biar kesannya gak denger mereka lagi ngomongin gue.
Gue sekolah di SMA Gemilang Cahaya. Sekolah swasta yang memiliki akreditasi A, terfavorit diJakarta.
Dan disini, harapan gue buat deket sama seseorang, gue yang terkenal Es batu istilahnya, cuek, dingin, dan gak perduli sama sekitar, bisa suka juga sama manusia, itu kata Kanya. Gue suka sama anak satu sekolahan gue yang bernama Putra Rizqi Adietama. Dan gue suka sama dia sejak SMP.
Putra, adalah anak tunggal dari keluarga Adietama. Bokapnya pemilik Rumah Sakit tempat Bokap sama Nyokap gue kerja, Nyokapnya Dokter kecantikan diRumah Sakit itu dan Kakeknya adalah Rektor dikampus Kak Bintang, mikir, sekaya apa mereka!! Gue yakin, mereka bayar Ayu ting-ting buat nyanyi setiap pagi pas sarapan juga, mereka gak akan jatuh miskin.
Bukan karena itu gue suka sama dia.
Tapi karena lagu dari Bad Omens yang berjudul "Broken youth" dan itu, buat gue terpana sama dia. Kelas dua SMP bayangin deh, lama kan gue suka sama dia. Memang sih pada saat itu dia nyanyi pakai headphone sambil ngelewatin gue gitu aja, dan sudah bisa dipastikan dia gak tau gue. Dan gak akan pernah tau gue, lebih tepatnya sebelum kita satu kelas.
Dikelas sebelas IPA dua, kami menjadi satu kelas. Sial. Gue harus seneng atau engga, itu gak ada yang tahu kecuali Tuhan... Dan Kanya, sahabat gue.
Kanya adalah anak dari sahabat Nyokap gue, Nyokap dia Dokter spesialis anak dan Bokap dia pemilik bengkel mobil. Lumayan besar. Kami menjadi akrab karena Nyokap Kanya selalu nitip Kanya sewaktu beliau dan suami sibuk.
Disitu Kanya mulai nempel sampai kami beranjak dewasa. Dan anehnya, cuma sama dia gue gak risih.
Cuma dia yang tahu kalau gue suka sama Putra, dan pertama kalinya dia tahu. Dia bilang gini. "Ya Allah Icaaa, lo bisa gak turunin dikit level rasa suka lo sama seorang cowok. Ini si Putra loh? lihat harapan lo sama dia itu kayak tinggi kalian berdua, gak akan bisa sejajar."
Well. Putra emang punya tinggi 188cm. Dan kalimat Kanya gak pernah buat gue patah semangat. Gue cuma suka, gak berniat macarin dia. Yah emang sih, gue pernah punya niat busuk minta bokap gue buat jodohin gue sama Putra, secara kan bokap gue udah jadi orang kepercayaan dari pemilik Rumah Sakit yang notabene nya bokap dari Putra, dan parahnya. Bokap gue cuma bilang, "Impossible Icaa sayang."
Dan gue gak akan nyerah suka sama dia, walaupun gak ada niat buat majuan dikit. Buat semua orang termasuk perempuan yang pernah jujur sama perasaan kalian keseseorang yang disuka, kalian hebat. Kalian memiliki ketebalan wajah sepuluh kali lipat dari biasanya. Dan gue gak punya.
Pertama kalinya gue ngobrol sama dia itu sewaktu kelas IPA satu memiliki jadwal olahraga, dan pengambilan nilai basket, dalam tiga puluh menit kami diberi waktu untuk peregangan otot dan latihan dribble sendiri.
Tiba-tiba, Putra jalan kearah gue dan bilang. "Ca, sini lo gue aja yang ajarin dribble."
Demi kerang ajaib. Gue pengen bilang iya, tapi mata penyandang ratu kecantikan nomer satu melotot tajam kearah gue, karena gue males cari ribut akhirnya gue bilang. "Gak papa Put, lo ajarin yang lain aja. Gue terakhiran."
Gue berjalan ngejauh dan milih deketin Edo yang lagi main dribble bola basket sendirian. Cari aman.
Kanya yang lihat itu, cuma menepuk bahu gue dengan bergumam 'sabar', mungkin kalau gak ada Kanya gue udah minta pindah kelas aja waktu itu.
F*ck. Itu sih yang pengen gua teriakin kesiapapun yang udah buat gue sama Putra satu kelas lagi dikelas tiga IPA satu. Dan, lagi-lagi gue bersyukur sekelas lagi sama Kanya.
💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
Ikuti kisah dari Clarissa, Gadis mungil yang tidak bisa bergerak dari tempatnya sebagai pengagum rahasia.
Jangan lupa, Vote, like, dan comment sebagai bentuk dukungan kalian...
Terima kasih, Peluk jauh (づ ̄ ³ ̄)づ
Hari ini jam kosong. Seperti biasa, setelah diberitahukannya pengumuman itu, seluruh siswa dan siswi dikelas dua belas IPA satu memilih untuk bubar. Bukan, bukan bubar pulang, melainkan mereka memilih untuk pergi kekantin, main basket dilapangan, atau gosip didepan kelas, tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang senggang ini. Whatever untuk seorang Clarissa.
Karena tidak adanya mereka dikelas bisa membuat seorang Clarissa hidup tenang untuk bermain game. Jari-jarinya yang lentik dengan berlapis cat kuku berwarna hitam tidak berhenti bergerak, menekan setiap inci tombol keyboard laptop dengan sangat lihai, Clarissa adalah gadis yang antisosial, ia terlalu fokus untuk urusannya sendiri dan tidak perduli terhadap lingkungannya. Mata Clarissa yang terlahir dengan bulu mata lentik bergerak mengikuti gerakan Laura, karakter dalam game yang dia kuasai.
Saat seseorang duduk dihadapannya dan menatap dirinya serius, Clarissa seketika berhenti dan mendongak.
Darrr...
Sial, dia mati.
Clarissa berdecak keseseorang yang menatapnya dengan senyum yang menawan, please, stop tersenyum. Dia melupakan siapa seseorang yang duduk menatapnya ramah, karena berkat seseorang itu, ia kalah bermain.
"Hai Ca, kita sekelas lagi." Ucapnya tanpa merasa bersalah.
Clarissa melepas Headset disebelah kiri. "Em..."
"Baru masuk udah dikasih tugas aja nih kan? lo udah ngerjain tugas Fisika lo?" dia bertanya sambil menopang dagu dengan siku yang ditaruh diatas meja Clarissa.
"Udah." Karena merasa takut hilaf, Clarissa memilih untuk kembali menatap layar laptop dan bersiap untuk memulai permainan yang sempat bikin dia kalah tadi.
Laki-laki itu menutup layar laptop Clarisaa dengan telapak tangan, matanya masih menatap Clarissa serius, dan bibirnya masih mengembangkan senyuman, dengan satu tangan masih menopang dagu dia bertanya lagi. "Lo gak mau nanyak gue?"
Clarissa kembali mendongak. "Nanyak apaan?"
"Gue udah ngerjain tugas Fisika belum?"
"Ohhh..." Clarissa manggut-manggut. "Lo udah ngerjain?"
Pria itu tersenyum. "Udah, barusan."
"Ohh..."
Jawaban singkat Clarissa membuat Laki-laki itu mengulurkan tangannya mencubit pipi Clarissa gemas. "Jangan jutek-jutek Ca, entar gak ada yang mau sama lo."
Lagian gue sukanya sama lo Put. Begitu yang ingin Clarissa ucapkan.
"Putraa.." Clarissa ikut mendongak, seorang siswi yang berseragam sama dengannya tengah merangkul lengan Putra manja, membuat bulu romanya berdiri. "Bantuin aku ngerjain tugas MTK dong. Pusing nih."
"Kan kita beda kelas Mey. Lo bisa minta ajarin temen sekelas lo yang bisalah." Melepaskan tangan Meysa si ratu kecantikan pertama dikelas sebelas IPA duanya dulu. "Udah sana masuk kelas lo, bentar lagi guru dateng." Ucapnya sembari beranjak dari hadapan Clarissa dan memilih duduk dibangkunya sendiri yang berjarak satu baris dengannya. Terlihat raut wajahnya yang semula manis berubah menjadi masam.
Meysa menatap manja. "Yah Putra, kan kamu bisa. Temen-temen dikelas pada gak bisa, makanya aku minta ajarin kamu."
"Gue sibuk." Putra sudah duduk dikursinya. Membuka buku asal yang tergeletak dimejanya. "Ze, usir, gue sibuk."
Daze yang mendengar perintah dari sang bos besar, berdiri meninggalkan beberapa temannya yang sedang merundingkan soal balapan liar mereka, kegiatan diluar sekolah. Begitulah.
"Gak usah, gue bisa keluar sendiri." Meysa menatap tajam Daze yang hampir menariknya, terlihat sangat kesal, perempuan itu menghentakkan kakinya sebelum pergi menuju kelasnya.
Clarissa mendengus jengah, dan memilih kembali memainkan gamenya yang sempat tertunda. Hari ini kelasnya akan kosong sampai jam berakhir, karena guru yang mengajar sedang memiliki urusan pribadi dan kelas dua belas IPA satu diberi tugas untuk mengerjakan soal dibuku lembar kerja siswa(LKS).
Dan soal tugas itu, Clarissa akan mengerjakannya nanti sepulang sekolah. Karena saat ini, game lebih penting.
...🌼🌼🌼...
"Caaaaa......" Kanya mengebrak meja Clarissa dengan sekuat tenaga, membuat perempuan dengan rambut pendek itu mengangkat kepalanya, menatap datar Kanya. "Ada yang Hot nih." Ucapnya menarik kursinya yang disebelah Clarissa untuk lebih dekat. "Inget sama Kak Rehan gak? dia minta dikenalin sama lo nanti pulang sekolah."
"Gak," mengucek matanya karena lelah menatap layar laptop sepanjang hari. Karena lelah, ia memilih untuk tidur, satu jam lagi bell pulang sekolah akan berbunyi.
Kanya menggeleng pelan dan merapikan rambut Clarissa yang berantakan. "Ya ampun, Kakak kelas kita kemarin, lo mau kan temuin dia, nanti gue ikut juga kok. Dia cuma pengen kenalan sama lo doang. Gue udah telepon Tante sama Om minta izin buat ngajak lo nonton sebelum pulang."
"Kita ikut dong,"
Kanya menoleh kebelakang, menatap Putra dan Daze yang duduk diatas meja dibelakang tempat duduk Clarisaa. "Apaan sih lo berdua, ini urusan perempuan."
"Dih, bioskop bukan punya Bokap lo, emang kita gak boleh nonton." Daze mendengus kesal.
"Iya, bioskop punya Bokap gue, kenapa?" Melotot tajam kepada dua laki-laki yang entah kenapa membuat Kanya kurang ramah walaupun sekedar menyapa.
Daze menepuk bahu Putra. "Yaudah Put, nanti kita nonton berdua aja."
"Aman."
Kanya hanya mencibir dan kembali mengelus kepala Clarissa yang sudah dia rebahkan diatas tasnya.
...🌼🌼🌼...
Kanya memarkirkan mobil sedannya disebuah parkir basement didalam mall, Clarissa yang hendak keluar lebih dulu ditahan oleh Kanya dengan lembut.
"Apaan?" tanyanya datar.
"Ica sayangku..."
Clarissa bergidik ngeri mendengar panggilan aneh Kanya. "Geli gue Nyak."
"Gue cuma mau ngasih saran sama lo." Menarik airpods yang menempel pada telinga sahabat sejak kecilnya itu. "Jangan jutek, jangan ketus, jangan diem aja. Dia juga pengen ditanya-tanya nantinya."
"Emang gue wartawan!!"
"Nanya-nanya bukan berarti wartawan Ca, guru juga sering nanya tapi mereka bukan wartawan kan?" mengelus lembut kepala Clarissa. "Please, lo harus baik-baik sama Kak Rehan nanti ya? dia udah suka sama lo sejak dia kelas dua dan kita kelas satu."
"Hem.."
"Harus ramah."
"Iya iya bawel." Kanya mengangguk mantap, menempelkan lip balm dibibir Clarissa agar tampak lembab. Kanya tersenyum manis, jika sudah diberitahu seperti ini, biasanya Clarissa akan baik-baik saja. Dia tidak mau kalau sampai sahabatnya ini membuat dirinya malu.
Sebenarnya banyak yang menginginkan untuk dekat dengan Clarissa, semua laki-laki yang berbeda umur dua sampai tiga tahun atau sepantaran selalu ditolaknya. Kanya yakin, ini karena Putra Rizqi Adietama. Kanya menggeleng kecil, sampai matipun Putra tidak akan tahu kalau Clarissa menyukainya.
Mereka berdua berjalan masuk kedalam gedung mall, setelah memastikan Clarissa berpenampilan menarik. Sudah dua sampai tiga cowok yang meminta untuk didekati oleh Clarissa berakhir jadian dengannya, dan kali ini Kanya menyerah karena Rehan bukan tipenya, jadi Kanya tidak mau menampung.
Kanya membuka ponselnya, mendapat pesan dari Rehan yang sudah menunggu didalam Cafetaria. Dia menarik tangan Clarissa yang pasrah saja untuk mengikuti.
Mata besar Kanya menelusuri setiap meja yang dipenuhi oleh beberapa orang, entah itu pasangan, sekumpulan teman atau keluarga. Dia melihat seorang pria bertubuh tegap dengan kaos oblong berwarna putih. Pria itu berdiri menatap kearahnya.
Kanya melambaikan tangan tinggi-tinggi. "Kak Rehan." Pria itu juga melambaikan tangan kearah mereka.
"Hai, maaf seharusnya Kakak mengajak bertemu malam saja. Padahal anak sekolah bagusnya pulang dulu baru main." Diiringi kekehan kecil, sembari mempersilahkan kedua perempuan dihadapannya untuk duduk.
"Gak apa-apa kok Kak, kami juga lagi senggang. Belum banyak tugas, karena ini semester awal kan?" dia agak melotot kaget melihat Clarissa bersandar pada dinding dan menutup mata. Astaga dia lupa, setiap pulang sekolah, adalah jam dimana Clarisaa waktunya tidur siang.
Terlihat Rehan tersenyum kecil. "Clarissa ngantuk ya?"
"Iya." Mendesis kesakitan, ketika kakinya diinjak oleh Kanya. "Enggak kok Kak."
Rehan semakin terkekeh melihat tingkah menggemaskan Clarissa, gadis pujaannya. Karena merasa kasihan melihat Clarissa yang memaksa untuk mengobrol dengannya, Rehan menyarankan untuk keduanya pulang dan beristirahat setelah makan siang bersama selesai.
...🌼🌼🌼...
Bintang berjalan menuruni anak tangga menuju dapur, malam ini Papa dan Mamanya sedang senggang dan menyempatkan untuk makan malam bersama.
"Ehh ada Anya." Menyapa Kanya, mengelus puncak kepala perempuan itu sebelum mengecup pipi sang adik. "Tidur sini lagi Nyak?"
"Iya Kak Bintang, soalnya Mama ada tugas malem terus Papa lagi ada acara kumpul-kumpul sama teman-temannya." Meraih telur dadar yang baru disajikan oleh Dinda, Mama Clarissa.
Mereka mulai menyantap hidangan makan malam setelah membaca doa.
"Pah, besok Bintang mau liburan ke Bali sama temen-temen boleh kan?" menuang air putih dingin.
Doni mengangguk. "Pergi aja, nanti Papa transfer butuh dana berapa."
"Om," Kanya menatap Doni sambil mengunyah nasi dimulutnya. "Ica tu boleh pacaran gak sih?"
Pertanyaan sederhana dari Kanya membuat semuanya menatap intens dan tajam, kecuali Clarissa. Perempuan itu masih sibuk mengunyah paha ayam berlapis sambal merah.
"Kenapa sayang?" Dinda menatap Kanya. "Apa ada yang suka sama Ica, lagi?"
"Iya ada. Kakak kelas kami dulu Tante, tapi Anya kesel, Ica sama sekali gak respon. Padahal tuh ya Om." Menatap Doni, karena Pria itu ikut menatap dirinya. "Kak Rehan itu ganteng, putih, tinggi, behh badannya meanly bangetss. Mana anak kedokteran lagi."
Doni menggeleng, mendengar kegilaan Kanya saat membicarakan soal Rehan, pria yang menyukai putrinya. "Bayangin aja Tante, kalau Tante punya menantu seorang Dokter, kan kalian jadi satu server."
"Duh Anya," mengelus puncak putri dari sahabatnya. "Kan kamu sendiri tahu, Ica segila apa mencintai Putra, temen sekelas kalian itu."
"Tapi Tante.. Coba deh, bujuk Ica buat nemuin Mama, mana tahu." Memutar jari telunjuknya di samping kepala. "Ada gangguan di saraf Ica yang membuat dia tidak suka sama laki-laki."
"Gue suka laki-laki kok Nyak." Perempuan yang sedari tadi membisu, sibuk dengan paha ayam ditangannya mulai bersuara ketika mendengar Kanya protes tentang mentalnya.
Kanya menjulurkan lidah. "Iya suka sama Putra kan?"
"Suka sama Kak Bintang, suka sama Papa, suka sama Bokap lo." Mengedipkan satu matanya, membuat Mama, Papa dan Kakaknya tertawa, tidak dengan Kanya.
"Dih, ogah gue punya Nyokap tiri kayak lo." Mendengus sebal menatap Clarissa yang mengajak bercanda namun dengan suara dan ekspresi datar.
Setelah selesai makan, kelimanya duduk di depan televisi, menatap layar dengan serius. Tidak, hanya Dinda dan Kanya saja yang menonton serius, Clarissa sedang sibuk bermain game dengan airpods yang sudah menempel ditelinga, Bintang sudah sibuk menscroll layar ponsel dengan tampilan instagram, seperti biasa, saat malam hari adalah waktunya Bintang memodusi beberapa followersnya, apalagi melihat tampangnya yang mewarisi ketampanan dari sang Papa dia tidak ingat sudah memiliki kekasih, dan untuk Doni, pria paruh baya itu sudah menatap layar laptopnya dengan serius karena dia memiliki jadwal rapat penting dengan para Dokter besok. Jadi, dia harus menyelesaikan dokumen penting untuk besok ia persentase kan.
"Tante..."
"Iya sayang?" Menoleh menatap Kanya, perempuan manis itu memanggilnya dengan menatap layar televisi sembari bersandar pada Bintang.
Perlahan Kanya menoleh. "Dosa apa sih yang sudah Tante sama Om perbuat di masa lalu?"
Pertanyaan itu membuat Doni dan Bintang ikut menoleh, Clarissa tidak menanggapi karena dia yakin, sahabatnya itu akan membuat drama seperti biasa. "Ya pikir aja, masa Ica udah melewati masa baligh tapi tidak tergoda oleh pesona seorang pria sekeren Kak Rehan, atau jangan-jangan Ica mengikuti perintah agama dan mengikuti larangannya untuk tidak berzinah." Kanya menoleh, dan menggeleng tidak percaya. "Wah, bilang dong Ca, gue yang begini jadi gak enak kan."
Bintang tertawa keras. "Ada-ada aja kamu Nyak. Ica itu bukannya yang begitu, tapi emang dia itu gak merangsang sama laki-laki manapun selain sama Putra, Kakak yakin deh, kalau kita punya mesin pendeteksi, jantung Ica akan berpacu hebat ketika berdekatan sama Putra. Besok pinjem alat di Rumah Sakit Papa kerja ah."
Doni menatap tajam. "Ngawur kalau ngomong. Sudah sana masuk ke kamar, ponsel kakak bergetar terus dari tadi, pasti perempuan-perempuan kurang belaian pada nelponin kamu."
"Papa tahu aja," membuat Bintang berdiri, mengacak-ngacak rambut Kanya lalu mengecup pipi Clarisaa sebelum berlari masuk kedalam kamarnya.
"Om." Doni mendongak, "emang ada alat pendeteksi gitu? Anya mau minjem ah, mau ngecek putri Om itu ada jantungnya apa enggak."
Dinda dan Doni tertawa, menggeleng kecil mendengar pernyataan Kanya. Keduanya terdiam ketika melihat Clarissa berdiri.
"Mau kemana Ca?" tanya Kanya.
"Berisik."
Lalu, dia berjalan meninggalkan kedua orang tuanya dan Kanya di ruang televisi menuju satu ruangan khusus yang di desain oleh Kakaknya untuk menyalurkan hobinya. Clarissa mengunci pintu agar tidak ada yang mengganggunya, mengidupkan AC dan duduk di balik alat musik tercintanya. Clarissa menghidupkan lagu DVD player yang sudah tersambung dalam speaker besar di setiap sudut ruangan ini, lagu Bad Omens yang berjudul Limits sudah terputar.
Tangannya sudah mencekam stick drum berwarna hitam menyeluruh dengan sebuah ukiran kecil bertuliskan Kanya berwarna putih. Stick drum pemberian Kanya ketika dirinya berulang tahun yang kelima belas.
Clarissa memukul floor tom dengan kuat, kakinya sudah menginjak bass drum pedal dengan mengikuti alunan musik, kepalanya sampai ikut mengangguk karena terhanyut dalam iringan musik yang memekakkan telinga. Untungnya tidak akan ada yang mendengar karena ruangan ini di desain khusus oleh Bintang agar tidak ada yang mendengar keberisikan yang dilakukan oleh adiknya.
Tangannya berhenti memukul ketika memasuki lirik.
...So much unsaid, left me for dead...
...I won't forget, and now you're next...
...Well, everyone's listening, and they know the difference...
...You're not failing our senses...
...If you're throwing me to the lions...
...You should know I'm not scared of dying...
...I wouldn't take back one thing I did, one word I said...
...But I'm gonna make you wish you did...
Tangannya mengepal kuat, dia menunduk, bertumpu pada bagian drum. Bahunya bergetar pelan.
"Gue sakit Put." Mengusap pipinya yang sudah berlinang air mata, "gue gak tahu, suka sama lo dan gak bisa berbuat apa-apa bisa sesakit ini."
Clarissa menatap telapak tangannya, terdapat bekas kuku yang menacap dalam karena dia terlalu kuat menggenggam stick drum. Beberapa bekas kukunya tampak memerah. Dia berdiri mengecilkan volume musik yang masih berputar.
"Gue kira, gue cuma sekedar suka aja sama lo waktu SMP dan gue gak tahu, kalau sampai detik ini gue malah semakin suka sama lo, kadar rasa suka gue semakin bertambah setiap lihat lo dan ketika lo nyapa gue dengan ramah." Ini adalah kalimat terpanjang yang Clarissa rasakan dihari ini, ia mengusap foto Putra yang tergeletak dibawah DVD player.
"Rasanya....." Kembali menaruh foto itu pelan-pelan. "Gue pengen ngomong sama lo, untuk gak usah bersikap ramah dan baik sama gue karena lo ngerasa kita pernah satu sekolah sewaktu SMP."
Clarissa menumbuk foto Putra dengan kepalan tangannya. "Gue muak, senyum ramah lo yang beralasan teman SMP buat gue sesek dan pengen jadi mummy aja."
💜💜💜💜💜💜💜 BERSAMBUNG 💜💜💜💜💜💜💜
Setelah jam Kimia selesai, kelas dua belas IPA satu memasuki pelajaran olahraga, satu mata pelajaran yang Clarissa tidak suka. Apalagi mendengar materi Basket yang akan mereka pelajari hari ini, membuatnya menguap beberapa kali.
Dia berlari kecil mengimbangi kaki Kanya dan Delisa yang berlari bersisihan. Clarissa hanya menjadi pendengar antara Kanya dan Delisa yang amat mencintai dunia perdrama koreaan.
"Nyak, Del, gue lari duluan ya, capek gue denger cerita lo berdua."
Hanya Delisa yang mengangguk sedangkan Kanya menggeleng kuat. "Gak usah, kalau lo lari cepet-cepet yang ada entar lo kecapekkan Ca."
Clarissa tidak mendengarkan, dia kembali melebarkan langkahnya meninggalkan Kanya dan Delisa, terdengar Kanya berteriak keras. "Perhatikan langkah lo."
Sudah menjadi kebiasaan sekolah mereka sebelum melakukan kegiatan olahraga, setiap siswa dan siswinya harus lari keluar area sekolah, menyusuri taman kota dan kembali lagi kearea sekolah. Mereka berlari kecil melewati trotoar.
Clarissa menyeka keringat yang sudah menetes melewati pelipisnya, sudah beberapa gerombol teman sekelasnya yang dia lewati. Clarissa memperlambat langkahnya ketika sudah hampir memutari taman kota. Rasanya ingin sampai dengan cepat, dia ingin merebahkan diri, rasa kantuk sudah menguasai pikirannya. "Wah, kaki lo yang pendek itu cepet juga ya Ca larinya."
Dia menoleh kekanan, menatap Putra yang tengah berlari kecil mengiringi langkah kakinya, Putra tersenyum kecil dan kembali menatap lurus kedepan.
"Gue sih yakin," Clarissa menoleh kekiri, Daze ikut mengiringi langkah kakinya. "Dulu Nyokap lo lupa kasih susu Hilo, malah semangat kasih susu Kedelai penumbuh stamina tubuh."
"Ck, gue malah yakin. Kalau Nyokap gue lupa punya gue." Langkah Kaki Clarissa dan Daze berhenti ketika secara tiba-tiba Putra menghentikan langkahnya.
Keduanya menatap Putra. "Sorry, gue kecapekan." Mereka bertiga kembali melanjutkan lari kembali menuju area sekolah, sudah ada beberapa teman satu kelas mereka yang duduk sembari menjulurkan kakinya lurus, meregangkan nyeri otot kaki setelah berlari.
Clarissa duduk dan langsung meluruskan kakinya, memijat kecil lututnya yang terasa melemas. Dia melebarkan matanya ketika Putra duduk di depannya, lebih tersentak lagi ketika Putra menggerakkan kaki Clarissa dengan kakinya yang lurus berhadapan.
Hal itu membuat Clarissa menoleh kearah lain, pura-pura tidak melihat apa yang tengah Putra lakukan kepada kakinya, menggigit bibir bagian dalam ketika merasakan sensasi aneh didalam dadanya.
"Capeeekk Caaaa...." Kanya datang, dan langsung meluruskan kakinya sembari merebahkan kepalanya dipangkuan Clarissa. "Lo larinya cepet amat sih, gue sama Delisa sampai ngosngosan, ya gak Del?" melirik Delisa yang duduk tidak jauh darinya.
"Iya Ca, gue ikut mode panik gara-gara Kanya kira lo di culik karena gak kelihatan." Clarissa menggeleng.
"Emang gue anak kecil, cuma lari sini sana doang, siapa juga yang bakal culik gue?"
"Ya bisa aja," Kanya duduk menatap Clarissa, "Daze sama Putra kan lari di deket lo, bisa aja mereka berdua yang culik lo."
Daze menatap tajam. "Heh, enak aja, lo kira gue seberani apa sampai nyulik Clarissa."
Kanya menatap Daze tidak kalah tajam. "Bisa aja kan, secara lo punya bos yang seenaknya sama orang."
"Siapa?" pertanyaan Putra membuat Kanya mendelik tajam. "Siapa yang lo maksud bos Daze?"
"Pikir aja sendiri." Kanya menarik kaki Clarissa agar menjauh dari kaki Putra, menempelkan pada kaki Delisa. "Gak usah sentuh-sentuh Ica gue."
Clarissa menghela nafas, Kanya memang selalu sensi saat bertatapan dengan Putra dan Daze. "Nyak, gue haus."
Wajah kecut Kanya berubah menjadi ceria. "Bentar ya Ca, gue ambilin di kelas dulu."
Daze menganga, menatap kepergian kanya yang ditemani oleh Delisa ke kelas, mengambil minuman yang di minta oleh Clarissa, dia menggeleng pelan. "Gila si Kanya, cuma gara-gara si Clarissa minta minum langsung berubah ekspresi wajahnya."
"Gue juga heran lihatnya."
"Gue juga," timpal Clarissa. "Heran, kenapa dia sejutek itu sama kalian." Sambungnya dengan mata terus mulai meredup, tidak kuat menahan rasa kantuk. Berlari tidak membuat kantuknya menghilang.
Kanya sudah datang, namun bukan bersama Delisa, tapi bersama Vina yang Clarissa kenal duduk di depannya. "Ca, nih."
"Thanks." Vina menyapa Daze dan Putra bergantian lalu duduk di dekat Kanya yang sudah merebahkan diri dengan kepala di pangkuan Clarissa.
"Clarissa, entar malem jadi kan? katanya mau nonton?" Clarissa mengangguk.
Kanya mendongak menatap Clarissa yang sudah memberikan botol aquanya kepada Daze, dan entah kenapa Daze langsung memberikan botol itu kepada Putra, padahal Clarissa hanya menawarkan Daze. "Ca, kak Rehan gak chat lo? mana tahu dia ngajak lo jalan gitu? secara entar malem kan, malem minggu."
Clarissa mengangkat bahu. "Gak tahu, gue gak buka room chat."
"Ck, di respon kali Ca."
"Besok." Kanya hanya tersenyum kecut, matanya melirik Putra yang telah tertangkap basah olehnya sedang menegak aqua bekas Clarissa.
"Heh, ngapain lo minum punya Clarissa." Ucapan keras Kanya membuat Putra hampir menumpahkan air di dalam botol yang baru ditenggaknya sedikit. "Sini balikin, rabies entar."
Putra hanya menggeleng kecil dan menyerahkan aqua yang sudah ditutupnya kepada Kanya. "Dikit doang Nyak, gue haus."
"Beli aja sendiri, katanya orang kaya." Ucapnya sinis. Sempat-sempatnya dia mengusap botol dengan bajunya, seperti takut tangan Putra memiliki virus dan menempel.
Daze mendelik tajam. "Lo gak takut ya Nyak, kalau Bokapnya Putra bakal pecat Nyokap lo dari Rumah Sakitnya? Kalau lo sinis sama gue sih gak masalah."
"Emang gue perduli, pecat aja, ada kemungkinan Bokapnya Ica bakal keluar juga." Putra menatap tajam kepada Kanya, perempuan itu memang benar-benar memiliki mulut berbisa. "Lagian, tanpa semua Dokter, Rumah Sakit dia juga gak bakalan berjalan kan?"
"Ya seenggaknya Nyak, gue kira lo sinis sama kita dari kelas dua itu cuma bercandaan doang, tapi setelah gue pikir-pikir enggak deh, lo emang kayak benci gitu sama kita berdua." Daze menatap kearah lain, membuang tatapan sinis yang Kanya sudah layangkan kepadanya. "Bukan, bukan ke kita berdua aja, tapi sama semua temen Putra."
Kanya mendengus. "Asal lo tau ya Daze Hanendra, gue itu cuma benci sama Putra karena dia pernah manfaatin Ica buat sesuatu yang malah nyakitin Ica, secara kebetulan aja lo deket sama dia makanya gue jadi benci juga sama lo, dan betul soal gue benci sama semua yang berhubungan dengan dia."
"Nyak .." Clarissa meraih lengan Kanya, untuk menghentikan kalimatnya.
Bukan Kanya namanya kalau tidak melanjutkan ucapannya yang mengunus kedua laki-laki di depannya ini. "Gue udah pernah bilang sama lo ya Put, jangan pernah manfaatin diemnya Ica. Lo gak kapok sama kelas dua dulu? gara-gara lo, Ica dibully kakak kelas cuma karena mereka kira kalian berdua ada hubungan. Lo selalu lari dari cewek-cewek ganjen yang ngejer-ngejer lo itu di belakang Ica. Ramah sama Ica, baik sama Ica, sok akrab sama Ica, gue yang jengah lihatnya."
"Nyak.." Clarissa menegur lagi. "Udah dong, pada lihatin kita nih."
Kanya menarik tangannya, dia melihat kearah teman-teman sekelasnya yang sedang beristirahat menatap kearah mereka. Semua orang kini mengerti masalah yang terjadi sewaktu kelas dua dahulu. Karena dulu mereka sempat salah paham terhadap Clarissa.
"Kalau lo mau manfaatin Ica lagi buat lari dari Ratu kecantikan si Meysa. Mending mundur deh dari sekarang, karena gue bakal jadi benteng terbesar Ica buat gak dimanfaatin sama lo lagi."
Putra mendongak menatap Kanya yang sudah berdiri. "Gue gak pernah manfaatin Ica, karena gue ngerasa kita temenan makanya gue minta tolong sama dia."
"Emang dia ada minta tolong sama lo Ca?" Clarissa menunduk, Putra menutup matanya, dia memang lupa meminta tolong. "Jangan jadiin satu sekolah di SMP sebagai alasan lo untuk nganggep kalian itu temenan, Delisa sama Vina aja yang selalu ngekor kami belum tentu Ica anggep temen. Karena yang Ica tahu, mereka berdua itu temen gue."
Daze berdiri menatap kesal kepada Kanya. "Lo bisa ramahan dikit gak sih kalau ngomong."
"Enggak, kenapa?" Kanya berkaca pinggang. "Baginda Putra Fucking Adietama, lo bakal terlihat cupu kalau lo balas dendam sama gue dengan ngelibatin Nyokap gue yang kerja di Rumah Sakit lo." Melirik tajam kearah Putra, "dan lagi, berhenti lo manfaatin Ica dari sekatang, muak tau gak!!!" Kanya menunjuk Vina untuk berdiri. "Temenin gue pipis Vin, liat muka mereka berdua gue jadi kebelet."
Daze melotot kaget. Wajah dia dan Putra diibaratkan toilet dong.
"Ca.."
"Gak apa-apa." Jawabnya, dia tahu maksud dari panggilan lirih Putra.
Daze sedikit mendekat. "Lo masih dendam kah sama peristiwa dulu?"
"B aja, gue malah kaget kalau Anya masih inget soal itu."
...🌼🌼🌼...
Bu Aini datang membawa sebuah buku yang selalu dia pegang, berdiri diatas semen yang lebih tinggi. "Hei kumpul-kumpul." Ucapnya, menatap siswa dan siswinya tidak berkumpul ditengah lapangan. "Hari ini, ibu ada urusan sampai jam berakhir, kalian latihan main basket aja sampai jam selesai. Kalau yang gak bisa boleh duduk-duduk. Tapi ingeett, jangan ada yang kekantin sebelum jam istirahat, tetap di area lapangan basket. Minggu depan kita pengambilan nilai basket." Seluruh kelas dua belas IPA satu bertepuk gembira, akhirnya mereka bebas. "Sana ambil bolanya sama Pak Marmut."
Setelah memberikan intruksi dan mengabsen murid yang hadir, Bu Aini kembali kedalam kantor.
Clarissa dan Kanya duduk di pinggiran lapangan basket diikuti beberapa siswa mengelilingi mereka berdua. Untuk kelas ini, seluruh perempuan tidak terlalu minat dalam bidang olahraga.
"Jadi, kita semua salah paham dong Ca sama lo?" tanya Mira yang duduk di belakang Clarissa. "Sorry ya Ca, gue sempet ngomongin dibelakang lo, soalnya dulu emang si Putra cuma mau ngobrol sama lo doang. Dan lagi, lo itu terlalu pendiam dan antisosial, makanya gue kira lo anak yang soksokan gitu."
"Gue maafin." Kanya menjawab, karena dia tahu, Clarissa masih dalam mode mengantuk dan tidak mencerna pertanyaan mereka dengan baik. "Makanya, kalian itu harus tahu inti masalahnya sebelum menjudge orang. Putra itu termasuk cowok bejat, mentang-mentang ganteng menurut semua orang, dia jadi bergaya gitu."
Mereka mengangguk, seperti benar-benar mendengarkan ucapan Kanya, dan Clarissa benar-benar tidak perduli dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu mengenai Putra kepada teman-temannya, karena memang posisi waktu itu membuat Kanya benar-benar membenci Putra hingga kini. Clarissa menguap beberapa kali, dia sangat mengantuk, semalam dia lupa kembali ke kamar untuk istirahat, menghabiskan semalam suntuk di ruang musiknya.
"Nih," Daze mendekat kearah perempuan. "Kalau yang mau main basket, gabung aja, kalau mau main voli nih bolanya." Ucapnya tanpa menatap gerombolan perempuan itu dan berlenggang pergi.
Kanya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, seluruh orang sudah mengetahui bagaimana kisah Clarissa dulu sewaktu dibully dan dijauhi hanya karena seorang Putra. Mungkin Clarissa diam saja karena memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki itu, tapi tidak untuk Kanya.
...🌼🌼🌼...
Seluruh siswi memilih untuk bermain bola voli kecuali Clarissa dan tiga teman perempuan yang lain karena merasa tidak bisa. Namun mereka duduk berjauhan, karena merasa tidak akrab dengan Clarissa.
Matanya semakin meredub, hingga senggolan seseorang membuatnya melebarkan mata dan menoleh kearah samping kanannya.
"Apa lagi?" Clarissa membuka suara.
Putra memutar bola basket menggunakan tangannya, laki-laki itu menunduk dalam. "Gue gak tahu Ca, kalau masalah dulu malah buat kita jadi canggung."
"Gue udah biasa aja."
"Apa karena itu, lo jadi kelihatan lebih pendiam? gue, minta maaf." Putra menghela nafas dalam. "Lo beneran gak pernah anggep gue temen."
"Put, gue ngantuk." Putra mendongak menatap Clarissa. "Please, minggir, Meysa lagi lagi lihat kesini, gue gak mau kenapa-kenapa."
Putra menatap kearah yang dituju oleh mata Clarissa, memang terlihat Meysa tengah menatap kearahnya dan dengan memasang wajah kesal.
"Putraaa......" Tanpa merasa malu atau risih, Meysa datang menghampir Clarissa dan Putra yang tengah duduk berdua. "Kalian ngapain duduk berdua aja, bukannya olahraga."
"Apaan sih lo Mey, mata gue perih tahu gak." Tanpa aba-aba Meysa berjongkok dan menyentuh kepala Putra, membuat laki-laki itu mendongak.
"Kenapa mata kamu? sakit ya? apa perlu kita ke Dokter." Putra menepis tangan Meysa dan menatap Clarissa yang tidak menanggapi tingkah Meysa terhadapnya.
"Do, sinian dong." Memanggil Edo yang tengah duduk menatap para teman-temannya bermain basket.
Edo mendekat dan duduk didekat Clarissa, dengan wajah keheranan. "Kenapa Ca?"
"Gue ngantuk. Pinjem punggung lo ya?" Menggeser Edo untuk membelakanginya, agar lebih mudah untuk dia merebahkan kepalanya. "Semalem gue main drum sampe menjelang pagi."
"Lo main drum apa lagi jaga pos ronda Ca?" tanya Edo sembari membiarkan Clarissa bersandar tanpa merespon pertanyaannya.
"Put, minggiran gih. Kaki gue gak enak nekuk. Sana kalau mau pacaran, sumpah gue ngantuk berat lihat drama Kanya sama Daze hari ini." Membuat Putra berdiri, Edo menunduk karena mendapat tatapan tajam dari Putra.
Sekali lagi, dia menghela napas ketika Meysa menyentuh lengannya tanpa izin. "Kita ke UKS yuk, obatin mata kamu yang sakit."
"Mata gue perih lihat lo tau gak, geser." Menepis bahu Meysa, hingga membuat perempuan itu tersentak kaget.
Clarissa membuka matanya, pandangannya memburam melihat Putra yang berjalan jauh, melewati lapangan basket, padahal teman-temannya tengah bermain disana. Entah benar atau tidak, dia melihat samar Putra tengah menatapnya dan membuang wajah kesembarangan arah.
...🌼🌼🌼...
Clarissa menggeliat pelan, sampai ia tidak sadar dan hampir terjatuh, untung saja tangan Edo cepat menangkapnya sebelum jatuh menghamtam semen.
"Ca, untung gue tangkep, nyaman ya sampai gak sadar kalau lagi disekolah." Clarissa membuka matanya, dia malah kembali menutup mata ketika Edo menangkapnya dengan sigap, tapi suara ini bukan Edo.
Clarissa mendongak. "Putra," dia bangkit dan menatap sekitar, sudah tidak ada lagi teman-temannya yang bermain basket dan sekolah sudah tampak sepi. "Loh mana yang lain? mana Edo?"
"Edo kelaperan, gak berani bangunin lo, yang lain udah pada pulang. Kanya masih beliin roti dikantin buat lo." Putra mengangkat dagunya. "Tuh mereka."
Clarissa mengucek matanya, menatap Kanya dan Daze tengah jalan beriringan menghampiri mereka berdua. "Udah bangun Ca? makanya kalau main game sama drum itu kira-kira, untung jam kosong sampai akhir, jadi lo bisa istirahat."
"Hmm..." Meraih botol aqua dan melahap roti yang sudah dibukakan oleh Kanya. "Nyak, pulang."
"Iya, lo berdiri gih, jangan sampai ada yang ngira lo sama dia ada apa-apa lagi. Terus berakhir dengan lo dibully lagi." Menarik kasar tangan Clarissa sampai meringis.
Daze tertawa kecil. "Gak mau ngucapin makasih Nyak sama gue yang udah bawain kantong belanjaan lo?"
"Gak."
"Gak mau ngucapin makasih Nyak sama Putra yang udah minjemin punggung buat sahabat lo tidur?"
"Gak," Kanya berbalik. "Gak usah mengemis makasih sama gue, karena kalian sendiri yang mau ngelakuin itu sendiri."
Clarissa menarik tangan Kanya. "Ayok, gue laper."
"Iya, iyaa..."
Daze duduk didekat Putra, memberikan laki-laki itu minuman dingin. "Lo sih Put, masih baik aja sama mereka."
"Gue gak enak aja, soalnya pernah satu sekolah pas SMP, seenggaknya gue harus beramah-ramah."
"Prett...." Keduanya langsung tertawa, entah apa yang sedang mereka tertawakan.
💜💜💜💜💜 BERSAMBUNG 💜💜💜💜💜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!