NovelToon NovelToon

Teman Tapi Posesif

Supir pribadi.

Jam di pergelangan tangan gadis cantik itu menunjukkan pukul delapan pagi kurang sepuluh menit. Gadis itu mengunyah habis sarapannya sambil mengangguk yakin. Masih ada sedikit waktu untuknya mengganti pakaian yang ia pakai sebelum jemputan pribadinya datang. Dengan cepat dia berlari lagi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Membuka pintu walk in closet dengan semangat dan mencari-cari baju yang seharusnya tadi dia pakai tapi tergoda dengan yang sudah melekat pada tubuhnya sekarang.

"Perfect!" setelah misinya selesai, dia mematuti diri di depan cermin lagi seraya tersenyum. Varel pasti suka tampilannya yang ini. Ya! Tidak sia-sia dia menjadi anak Fashion & Design kalau tidak punya kemampuan mix and match tingkat dewa seperti ini. Belum lagi bentuk tubuhnya yang proporsional itu membuat baju apa saja akan menjadi cantik jika menggantung di tubuhnya itu.

Tinn tinn!!

Tinn tinn!!

Suara klakson yang terkesan tidak sabaran terdengar dari jendela kamarnya yang terbuka. Tanpa perlu melihat ke luar, gadis itu tau siapa yang sudah membuat keributan di depan rumahnya.

"Mami, jalan dulu ya! Dah!!" dia buru-buru turun ke bawah, menyambar mamanya dan memberi pelukan cepat. Tidak lupa menanamkan ciuman kasar di pipi wanita paruh baya itu.

"Eh Mit, ini titipan mama untuk Tante Sarah malah dilupain."

"Eh eh iya. Kelupaan, Mi. Maap!" gadis itu mengerem langkahnya, lalu berbalik lagi untuk menyambar paper bag yang ada di atas meja makan. Setelah itu dia sudah kabur lagi. Supir pribadinya bukanlah orang yang penyabar.

Sebuah Range Rover berwarna hitam sudah parkir di pelataran rumahnya. Seperti biasa kacanya tertutup dan Mitha selalu mengetuknya terlebih dahulu sebelum membuka pintu. Ketukan itu dia anggap sebagai kode darinya sebagai permintaan izin untuk masuk. Ya, meskipun dia akan tetap masuk tanpa ada jawaban dari dalam.

"Lama banget sih lo? Gue kan kemarin udah remind kalau gue ada kelas pagi," as usual, si supir pribadi itu pasti akan mengomel kalau Mitha telat dari perjanjian mereka. Meskipun itu hanya telat tiga menit seperti sekarang. Wajah pria bernama Arsen itu sudah cemberut dan tangannya mulai menggerakkan kemudi.

"Ampun, Bos. Tadi Mami beresin ini dulu. Nih, titipan buat Tante!" Mitha mengangkat paper bag yang ia bawa dan menunjukkannya ke depan wajah Arsen.

"Pasti alasan! Awas! Nutupin mata gue b*go!" Arsen menyingkirkan tangan Mitha. Mereka sudah memasuki jalan raya.

Mitha mencibir. Pria itu memang cepat sekali darah tinggi. Mitha sudah terbiasa, jadi dia sama sekali tidak ambil hati akan sikap sahabatnya itu. Dia pun meletakkan paper bag itu di jok belakang, setelah itu memperbaiki posisi duduknya.

"Sen, baju gua bagus nggak?" seperti sudah sebuah kebiasaan, Mitha selalu meminta pendapat Arsen tentang outfit yang ia pakai. Mungkin sejak mereka SMP, alias sejak gadis itu tahu betapa pentingnya penampilan untuk menarik perhatian kaum lelaki, dia selalu meminta Arsen menilai penampilannya. Setidaknya, sebagai kaum adam, Arsen pasti tahu selera pria pada umumnya. Dan itu cukup ampuh karena setiap laki-laki yang sedang menjalin hubungan dengannya selalu terkagum-kagum dengan penampilannya yang selalu tampil all out.

"Cantik."

"Cantik... cantik. Ngeliat aja kagak. Liat dulu ih! Gue nggak mau Varel liat gue jelek hari ini."

Arsen mendengus kesal. Ia merasa terbeban saat tau ini sudah menjadi bagian dari jobdesc-nya sebagai supir pribadi wanita itu. Kalau saja dia bisa protes. Tapi terakhir kali dia melakukannya, Mitha mengunci mereka di mobil dan tidak mengijinkan Arsen turun sebelum pria itu melakukan permintaannya.

Arsen pun memperlambat laju mobilnya. Wajahnya sudah kembali normal, tidak lagi ditekuk. Dalam hitungan ke tiga, dia menoleh pada Mitha. Gadis itu seperti sudah tidak sabaran mendengar penilaian Arsen. Dia sedikit miring ke kanan, lalu menegakkan tubuhnya dengan wajah yang berseri-seri.

Arsen mendikte Mitha dari atas hingga ke bawah dalam waktu singkat. Gadis itu memakai setelan yang cukup feminim hari ini. Tumben-tumbenan Mitha memakai rok. Arsen sedikit terganggu karena rok itu terlalu pendek. Atasannya juga tanpa lengan. Dia mau belajar atau mau jual diri? Tanya Arsen kebingungan. Tentu saja dalam hati.

"Tumben pakai rok? Mau ke mall?" sendirinya halus.

"Pengen aja. Cocok nggak?"

Arsen mengalihkan pandangannya lagi ke depan. Cocok sih cocok, Mit. Tapi itu kependekan. Batin Arsen. Tapi kalau dia jujur, tingkat percaya diri Mitha akan turun drastis. Bisa saja dia akan meminta mereka kembali ke rumah untuk berganti pakaian. Arsen tidak mau itu terjadi. Dia ada kelas jam setengah sembilan.

"Emang nyaman belajar pakai rok? Itu juga ketek ke mana-mana, Mit."

"Yaa, enggak sih. Varel bilang gue cantik kalau pakai rok. Tapi menurut lo cantik nggak, Sen?"

Betul kan? Dari nada suaranya Arsen tau percaya diri Mitha sudah sedikit berkurang. Dia harus mencari jawaban yang bisa membangkitkan semangatnya lagi. Dia ogah muter balik bok!

"Cantik. Ya asal lo nyaman aja," nah, sepertinya itu jawaban yang paling tepat.

Dari ekor matanya, Arsen bisa melihat kalau Mitha tersenyum puas. Gadis itu lalu memutar posisinya lagi kembali menghadap ke depan. Arsen menghembuskan napas pelan. Untung saja.

"Aslinya lo kelas jam berapa? Kok mau ikut jalan dari pagi?" Arsen bertanya lagi kepada Mitha yang sudah memegang HP-nya. Setahunya Mitha tidak ada kelas pagi setiap hari Jum'at.

"Jam sebelas. Tapi mau kencan dulu sama Varel, hehe. Jangan bilang-bilang Mami tapi..."

"Kencan kok pagi-pagi. Kalau gue jadi lo, mending tidur, Mit. Mayan tuh sampai jam sepuluh. Hoaammm..." Arsen menguap lebar. Dia memang butuh tidur sekarang. Tadi dia baru bisa memejamkan mata jam lima pagi. Tapi sudah harus bangun lagi jam tujuh karena ada kelas pagi.

"Huuu, pantas saja emosi lo cepat naik, ternyata lo kurang tidur. Jangan biasakan begadang sampai pagi, Sen. Lo tau kan sel-sel darah merah kita itu diproduksi dari jam sepuluh malam sampai jam tiga pagi? Kalau lo posisinya masih beraktivitas di jam itu, prosesnya nggak akan maksimal dan lo bisa anemia. Belum lagi masuk angin," cerocos Mitha santai sambil melihat-lihat galeri fotonya di HP.

"Iya, Nona. Gue udah dengar itu seratus kali dari mulut lo."

"Percuma dengar seratus kali tapi tetap nggak ngerti. Ckck..."

Arsen menoleh, tapi gadis itu berbicara tanpa melihatnya. Mitha justru terdengar seperti sedang mengejeknya. Arsen pun tidak memperpanjang lagi.

"Nanti pulang bareng?"

"Kenapa memangnya? Lo cuma ada kelas pagi ya?"

"Gue nanya. Jawab. Bukan nanya balik, oon."

Mitha mendelik tajam. Arsen memang sering sekali mengejeknya dengan sebutan bodoh, oon, gob*ok dan sejenisnya. Mungkin karena faktanya dia tidak sepintar pria itu. Karena kalau dia pintar, sudah pasti dia kuliah di Fakultas Kedokteran, Teknik atau Ilmu Alam. Bukan Fashion dan Design yang cukup mengandalkan hobi menggambar dan kreativitasnya saja.

But honestly, Mitha tidak pernah marah lagi mendengar ejekan itu. Setidaknya sekarang, setelah dia terlalu sering mendengarnya sejak mereka SD. Arsen selalu mengejeknya bodoh karena pria itu selalu menjadi korban. Waktu itu pun orangtua mereka menambah tugas untuknya, yaitu mengajari Mitha baik di kelas maupun di rumah. Mitha sudah kebal dengan efek bapernya.

"Nggak usah. Gue balik sama Varel aja," jawabnya cepat dan cuek.

"Yakin? Lo kelasnya sampai jam enam kan? Nanti Tante Desty marahin gue lagi."

"Nggak akan. Nanti gue bilang ke Mami. Lu tenang aja, Sob!" Mitha meyakinkan dengan menepuk lengan Arsen sebanyak dua kali.

"Ya udah. Gue bisa balik cepat berarti. Mau tidur gue. Ngantuk banget, hoaaammm..." Lagi-lagi Arsen menguap sambil menutup mulutnya dengan salah satu tangan.

Sepuluh menit kemudian keduanya sampai. Arsen mengantar Mitha ke Fakultasnya terlebih dahulu sebelum kemudian melaju ke Fakultas Teknik, kampusnya.

"Bye! Ingat ya, jangan kasitau mami kalau gue kencan pagi ini," ancam Mitha sebelum benar-benar turun dari mobil Arsen.

"Iyeee, tenang aja lu," jawab Arsen malas.

Namun sebelum Mitha keluar, pria itu seperti baru ingat sesuatu.

"Eh, Mit!" dia membuka jaket merah maroon yang sejak tadi dipakainya dan diserahkan kepada perempuan itu. "Pegang ini," katanya. Mitha mengerutkan kening tanda tidak mengerti.

"Si Varel bawa motor atau mobil? Jaga-jaga aja kalau dia bawa motor. Lu kan pulang malam."

"Oh. Thank's. Ah elu emang sahabat guee," Mitha spontan mencubit pipi Arsen gemas, "Ntar gua balikin ya Bos!" katanya tersenyum sambil menyambar jaket tersebut. Lalu langsung turun tanpa basa basi lagi.

Setelah itu Arsen pun langsung melaju tanpa menunggu gadis itu hilang dari pandangannya. Lima menit lagi kelas dimulai dan dia tahu dia akan kesulitan mencari parkir.

*****

Jangan lupa feedback-nya ya guyss.

Like, comment dan vote-nya ditunggu 😘😘

Bodyguard.

Arsen sepertinya benar-benar sudah sangat merindukan kasurnya. Setelah kelasnya selesai jam sebelas, dia berniat akan langsung pulang tanpa menunggu apa-apa. Teman satu gang-nya sampai mengejeknya karena bisa kalah sama yang namanya kantuk. Arsen tidak perduli karena dia sudah susah payah menahan kedua kelopak matanya agar tidak tertutup selama dosen memberi materi kuliah tadi. Kali ini dia izin absen tidak ikut nongkrong di kantin fakultas mereka yang terkenal jadi incaran para wanita seantero kampus itu.

Saat mobilnya keluar dari parkir jurusan, tanpa sengaja netranya menangkap sosok yang sangat ia kenali sedang dibonceng kekasihnya menuju kantin fakultas tersebut. Siapa lagi kalau bukan Selomitha? Arsen langsung mengenalinya karena gadis itu memakai jaket yang dia berikan tadi pagi. Dalam hati pria itu bersyukur sudah melakukan hal yang benar.

*****

Varel menarik kursi untuk Selomitha. Seperti biasa, membawa gadis itu ke tempat hits ini adalah suatu kebanggan besar baginya. Bagaimana tidak? Selomitha cukup terkenal di kampus tersebut. Namanya juga anak Fashion. Fans garis kerasnya ada dimana-mana. Di semua fakultas dan dari berbagai angkatan. Saat Varel, salah satu prince charming-nya Fakultas Ekonomi berhasil mendapatkan hati gadis itu, mereka sukses menjadi topik hangat kampus selama berminggu-minggu.

"Aku pesan dulu ya sayang. Tunggu di sini..." Varel meninggalkan Mitha sebentar setelah gadis itu menyebutkan pesanannya.

Tadi Varel sengaja mengambil posisi di halaman luar. Katanya di luar lebih berangin. Selain itu supaya Varel juga bebas merokok. Untungnya bagian atasnya diberi kanopi, jadi sinar matahari yang sedang terik-teriknya itu tidak langsung mengenai kulit para pengunjung yang duduk di meja luar.

Saat Varel pergi, Mitha mendengar siulan menggoda dari kiri dan kanan, depan belakangnya. Oh iya, kantin Fakultas Teknik ini dikatakan sebagian kantin hits karena 95% penghuninya adalah kaum adam, alias laki-laki. Cakep-cakep, tajir-tajir, semuanya deh! Tidak sedikit mahasiswi ganjen yang suka nongkrong di sana hanya untuk mencari perhatian pria-pria maskulin itu. Mitha sendiri sejujurnya tidak terlalu suka datang ke tempat ini. Terlalu banyak buaya. Hanya saja, sejak berpacaran dengan Varel, mau tidak mau dia harus ikut, karena Varel punya banyak teman di sana.

Biasanya Mitha merasa aman karena Arsen dan gang-nya pun akan nongkrong di kantin ini. Kalau ada yang menggodanya dengan terang-terangan, Arsen tidak akan berpikir dua kali untuk menegur langsung dari mejanya. Padahal ada Varel yang seharusnya lebih berkewajiban untuk melakukannya. Namun, seperti sudah menjadi rahasia umum, semua orang juga tahu kalau Selomitha punya bodyguard setampan Arsen. Jadi kalau Arsen kebetulan sedang ada di kantin, Mitha sudah pasti bisa aman berkencan dengan Varel. Tidak ada satupun yang berani mengganggu.

Tapi tadi pagi Arsen sudah bilang akan langsung pulang. Dan barusan pun Mitha melihat sejurus ke kelompok yang ada di meja pojok halaman, gangnya Arsen, pria itu tidak ada di sana.

Saat sedang menikmati permainan di ponselnya, Mitha dikejutkan wajah pria itu yang tiba-tiba muncul di layar. Arsen itu melakukan panggilan telepon. Ah, mengganggu game ku saja, omel Mitha dalam hati.

"Iya, Bos?"

"Perbaiki cara duduk lo! Gue bisa liat daleman lo dari sini!!"

Selomitha spontan memperbaiki posisi duduknya. Kedua kakinya langsung dibuat dalam posisi rapat. Kenapa Arsen bisa melihatnya? Dimana pria itu??

"Lo dimana??"

"Di jonggol! Itu jaket kenapa disamperin, nggak dipake? Udah dibilang itu ketek kemana-mana!"

Mitha pun dengan cepat menarik jaket Arsen dari sandaran kursinya, lalu memakainya tanpa ba bi bu. Dimana pun pria itu berada, jauh mau pun dekat, kalau nada bicaranya sudah begitu, selalu berhasil membuat Mitha merinding. Mendingan langsung diturutin daripada berkepanjangan. Apalagi kalau sampai Arsen mengadu pada kedua orangtuanya. Bisa habis dia.

"Lo dimana woy! Jangan kayak setan, bisa ngeliat gue tapi gue nggak bisa lihat!"

"Di mobil. Di seberang."

Mitha melihat ke arah yang Arsen maksud. Benar saja, mobil pria itu sedang berhenti di tepi jalan tepat di seberang kantin. Arsen tidak keluar, sehingga Mitha tidak bisa melihatnya.

"Ohh... mau pulang lo?"

"M. Bukannya lo ada kelas sekarang?"

"Dosennya nggak datang."

"Oh. Ya udah. Lo aman disitu? Nggak ada gue."

"Aman. Pulang gih. Istirahat."

"M. Nanti hati-hati pulangnya. Kalau mau dijemput telepon supir Om Gras aja, jangan ganggu tidur gue, paham?"

"Iyeeee. Dah sana. Varel udah datang nih."

"M."

Klik. Arsen memutuskan sambungan terlebih dahulu.

"Siapa sayang?" Varel kembali duduk di sebelah Mitha. Kursinya sengaja dia tarik supaya lebih rapat kepada gadis itu.

"Biasa, Arsen," jawab Mitha sambil tersenyum. Dia meletakkan handphone-nya di atas meja.

"Bilang apa dia? Dia di sini?" Varel memutar kepalanya mencari keberadaan Arsen, bodyguard kekasihnya itu.

"Enggak. Ya biasa, patroli rutin. Buat laporan ke Mami," Mitha memberi alasan asal. Tapi kebiasaan Arsen memang bisa disamakan seperti polisi yang sedang patroli. Lihat saja, bahkan sebelum pria itu pulang pun, dia masih menyempatkan diri untuk memastikan Mitha akan baik-baik saja.

"Oh... eh gimana lomba desain yang kamu ceritain tadi?"

"Oh itu. Iya, Fakultas yang adain. Lomba kecil-kecilan sih kayaknya. Hadiahnya juga nggak seberapa. Tapi nanti jurinya Mba Karenina. Tau kan, desainer muda yang lagi naik daun sekarang?"

"Tau dong. Dia sering muncul di explore instagramku. Kayaknya karena kamu suka nge-like postingannya dia tuh..."

Mitha tersenyum, "He-em. Aku pengen ikutan, siapa tau ada jalan untuk bisa kenal dia lebih dekat. Kan lumayan, bisa belajar ilmunya dia."

Pesanan mereka datang saat keduanya masih asyik membahas tentang lomba desain tersebut. Varel begitu antusias mendengar rencana manis Selomitha. Dia juga berjanji akan membantu kekasihnya itu jika gadis itu membutuhkan bantuan selama mengikuti perlombaan tersebut nantinya.

"Kalau di fakultas kamu, apa yang lagi happen? Biasanya anak Manajemen sering bikin seminar kan ya?" kini berganti Mitha yang bertanya sambil menikmati makanannya.

"Aku kurang aktif di jurusan, Sayang. Jadi kurang tau juga. Kalau ada kegiatan, kamu mau ikut denganku?"

"Boleh dong. Aku juga pengen main ke jurusanmu. Belum pernah main ke sana soalnya."

"Oke, sekalian tuh, ajak si Arsen. Penggemarnya banyak di kelasku. Siapa tau ada yang cocok. Biar dia nggak jomblo lagi dan nggak ngintilin kamu terus."

Selomitha tertawa. Sepertinya bukan ide yang buruk. Arsen memang harus disodorin cewek biar nggak kaku-kaku banget hidupnya.

*****

Siang hingga sore harinya Mitha mengikuti dua kelas berturut-turut. Untung saja tadi Varel membelikannya banyak makanan sehingga dia tidak kelaparan sampai sore.

"Mit, lo pulang sama siapa? Herder lu nungguin?" Delia, teman akrab Mitha di jurusan, mengajaknya mengobrol setelah kelas terakhir selesai. Jam di dinding kelas sudah menunjukkan jam enam sore lewat sepuluh menit.

"Herder? Arsen maksud lo?" tanya Mitha balik sambil menyusun barang-barangnya. Delia mengangguk yang membuat keduanya tertawa bersamaan. Meskipun itu sedikit kasar, Mitha tetap tertawa jika membayangkan wajah Arsen sekarang. Terkadang saat dia marah, memang sedikit mirip dengan sesuatu yang disebut Delia tadi.

"Enggak, Del. Gue bareng Varel. Arsen udah pulang dari tadi pagi."

"Ooo... eh Mit. Arsen udah punya pacar belum sih?"

Oke, Mitha tertarik membahas ini. Setelah dia mengirim pesan pada Varel, dia menghadap Delia sepenuhnya. "Belum. Why? You minat jadi pacarnya?" tanyanya penuh selidik.

"M... Arsen mudah ditaklukkan nggak ya? Sepertinya bakalan susah."

Mitha tersenyum, "Serahkan sama gue. Kapan-kapan kita aturin double date, gimana?"

"Serius?" mata gadis di hadapannya itu berbinar. Secercah harapan muncul. Sahabat pria itu sendiri menawarkan bantuan untuk mempertemukan mereka dalam sebuah kencan. Delia menjadi sangat bersemangat karena dia sangat yakin Mitha pasti akan berhasil membujuk Arsen.

"Iya. Tunggu aja kabar dari gue. Oke?" Mitha mencolek dagu Delia dengan penuh percaya diri. Tidak perlu jauh-jauh ke fakultas Varel, Mitha sudah menemukan seseorang yang bisa disuguhkan ke hadapan Arsen.

Demi kebebasan Selomitha!!

*****

Jangan lupa feedback-nya ya guyss.

Like, comment dan vote-nya ditunggu 😘😘

Herder.

Hampir enam jam lamanya Arsen tertidur dengan begitu lelap. Dia sama sekali tidak ingat apa-apa. Bahkan satu mimpi pun sepertinya enggan mengganggu tidurnya tadi.

Jam setengah tujuh malam dia bangun dengan perasaan yang lebih baik. Tubuh dan kepalanya sudah kembali segar. Begitu pun kedua matanya yang sudah terbebas dari rasa kantuk yang luar biasa.

Arsen mandi sebelum turun ke bawah untuk makan malam. Tadi dia sempat mendengar Sarah, mamanya, mengetuk pintu kamarnya sesaat sebelum dia masuk ke kamar mandi. Wanita itu pasti ingin mengajaknya makan malam bersama.

"Halo, Ma. Papa belum pulang?" dia menarik salah satu kursi yang ada di sebelah adik perempuannya, Arsy.

"Eh, kamu udah telepon Mitha?" bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Sarah justru melempar pertanyaan lain.

"Kenapa memangnya?" Arsen balik bertanya sambil mengangkat panci tempat nasi putih berada.

"Loh, dia nggak telepon kamu?? Dia minta dijemput katanya. Tadi telepon mama karena kamu nggak bangun-bangun."

Tangan Arsen refleks meletakkan kembali panci nasi yang sudah sempat ia angkat. Dalam hitungan detik dia sudah melesat kembali naik ke kamarnya. Dia sama sekali belum memegang handphone sejak bangun.

"Astaga!!" alangkah terkejutnya dia saat mendapati puluhan missed call dari Mitha, baik lewat telepon, maupun aplikasi WhatsApp. Mitha juga mengirimnya beberapa pesan untuk minta dijemput ke kampusnya.

Memangnya kemana si Varel? Argh!! Umpat Arsen kesal sambil men-dial nomor telepon Mitha lagi. Panggilan terakhir gadis itu baru lima menit yang lalu. Mungkin Mitha masih membutuhkannya.

"Jemput gueeeee!!" belum apa-apa gadis di seberang itu sudah meneriakinya. Arsen refleks menjauhkan handphone dari telinganya.

"Mana Varel?!"

"Dia ada urusan mendadak. Buruan sini, Sen! Udah gelap nih! Takut gue!"

"Lu kenapa nggak nelepon supir Om Gras sih? Udah berapa lama nunggu??"

"Pak Yayan juga masih nunggu papa di kantor. Lu mau jemput nggak? Biar gua pakai ojek online aja!"

"Tunggu di sana! Don't go anywhere! Dasar ceroboh!!"

Arsen langsung mematikan panggilannya dengan sedikit panik. Dia bergegas keluar lagi dari kamarnya setelah menyambar kunci motor dengan asal. Namun langkahnya terhenti sebentar, memikirkan sesuatu yang hampir kelupaan.

Dia pun bergegas turun dan kembali ke meja makan. Disana masih ada Sarah dan Arsy.

"Sy, gue pinjem baju lo dong. Sekarang. Buruan."

*****

Mitha melirik jam tangannya lagi. Sudah lima belas menit sejak Arsen meneleponnya, namun pria itu belum datang juga. Kantin jurusan sudah mulai sepi. Gedung di sekelilingnya juga mulai sunyi dan gelap. Hanya ada beberapa ruang yang terlihat terang dari tempat Mitha duduk saat ini.

Dia meneguk kembali capuccino hangatnya. Setelah itu dia merapatkan jaket Arsen yang ia pakai agar tubuhnya semakin hangat. Seketika dia menyesali rok mininya itu. Dia kedinginan sekali sekarang. Belum lagi sepatu yang sedikit ada heels-nya. Ah, dia benar-benar akan menghukum Varel besok. Bisa-bisanya pria itu meninggalkannya tanpa pamit. Kalau saja Mitha tidak meneleponnya, pria itu tidak akan membaca pesannya sampai kapanpun. Katanya dia sedang mengerjakan tugas kelompok, jadi lupa cek HP.

"Wuihhhh, ada siapa nih di sini?" sekelompok laki-laki tiba-tiba memasuki kantin itu dan mereka surprise mendapati seorang Selomitha sedang duduk sendirian di sana. Gadis itu sedikit terkejut, namun berusaha menyembunyikannya agar tidak tergambar di raut wajahnya. Itu Hans dan gang-nya. Mereka anak Hukum. Kebetulan fakultas mereka sebelahan.

"Sendirian Mit?" Hans menarik salah satu kursi dan duduk di sebelah Mitha.

"Emang ada liat orang lain selain gue?" jawab Mitha sedikit ketus. Dia berusaha tidak bergetar. Dia benci situasi ini. Mereka terlalu banyak. Kalau bisa dihitung, ada sekitar tujuh atau delapan orang. Mitha tiba-tiba merasa sedang di sarang penyamun.

"Cowok lo mana? Sama si Arsen? Kok pada ngebiarin cewek cantik sendirian sih?"

Mereka semua tertawa menanggapi perkataan Hans. Mitha masih cuek sambil berpura-pura men-scroll halaman instagramnya. Arsen please buruan datang, jeritnya dalam hati.

"Mau kita temenin nggak?" Hans menggoda lagi.

"Apaan sih lo, Hans? Udah sana, sebelum herder gue datang, habis lo pada," usir Mitha halus. Masih bertahan dengan sikap santai dan dinginnya.

Pria-pria itu tertawa lagi. Jelas sekali gadis itu berusaha menyembunyikan ketakutannya.

"Herder lo? Arsen? Tega banget sih lo kasih julukan ke orang? Nggak ada julukan lain apa?"

"Karena kalau lo semua macam-macam ke gue, dia bisa gigit kalian. Jauh-jauh aja dari gue!"

Hans dan gang-nya masih tertawa saat sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk.

"Hans! Stop teasing her! Atau dia bakal suruh gue untuk gigit lo kayak yang dia bilang."

Itu Arsen!

Semua mata beralih pada sumber suara, termasuk Mitha. Air mukanya seketika berubah. Dia begitu lega dan kegirangan sampai dengan refleks ingin beranjak menyongsong bodyguard -nya itu.

Tapi Hans mencekal tangannya, "Ehh, cepat banget lo senangnya. Sini dulu kali, sama kita-kita," dia masih menggoda. Mitha berusaha melepaskan diri.

Arsen sudah tiba di meja mereka dan membiarkan Hans menahan Mitha. Gadis itu seakan memberi kode meminta tolong, namun Arsen seperti membiarkannya.

"Lepas ih!!"

"Mana? Katanya herder lo ini bakal gigit gue?"

Mitha melayangkan tatapan membunuh pada Arsen.

"Udah Hans, nanti gue dicakar-cakar selama di jalan," perintah Arsen. Barulah pria bertubuh besar itu melepaskan Mitha. Dengan cepat gadis itu berlari ke belakang punggung Arsen.

"Nggak usah takut, mereka teman gue."

*****

Jadinya Arsen dan Selomitha tidak langsung pulang. Karena Arsen terbilang jarang bertemu dengan Hans, mereka menghabiskan waktu satu jam untuk mengobrol di sana. Hans, Arsen dan Mitha duduk satu meja. Sedangkan teman-teman Hans duduk di meja-meja lain.

Arsen dan Hans pertama kali bertemu saat pendaftaran ulang sebagai mahasiswa baru. Keduanya yang saat itu sama sekali tidak punya teman, saling berkenalan dan bertukar cerita sambil menunggu giliran daftar. Sampai sekarang keduanya masih berteman baik meskipun mereka beda jurusan.

"Jadi lo udah mulai skripsi? Cepat banget, Bro. Gue berasa lambat banget di Teknik," Arsen dan Hans sedang membahas progress studi mereka. Meskipun sedang sama-sama di semester enam, studi Hans sepertinya akan lebih dulu selesai dibanding Arsen. Tapi memang sudah tidak heran lagi kalau mahasiswa Fakultas Teknik pada umumnya masa studinya panjang-panjang.

"Lu sih, bukannya ikut saran bokap lu untuk kuliah manajemen bisnis."

"Nggak suka gue. Ntar deh, kalau kepepet, baru belajar."

Mitha hanya mendengar pembicaraan kedua orang itu sambil bermain ponsel. By the way dia terpaksa memesan minuman lagi supaya nggak mati kutu. Tapi kali ini dia memesan jeruk hangat, sama seperti Arsen.

"Trus, lo sama si... siapa sih cewek lo kemarin? Masih?" Hans mengingat gadis yang dikenalkan Arsen padanya di hari kedua pertemuan mereka beberapa tahun lalu. Arsen mengenalkannya sebagai teman dekat.

"Oh, si itu... udah enggak."

Mitha mengangkat satu alisnya. Arsen pernah punya pacar? Kenapa dia nggak tau?

"Anak apa sih dia? Ekonomi bukan?"

"Hm-m... sekelas Varel."

Mitha merasa Arsen meliriknya, namun dia pura-pura tidak mendengar.

"Nona cantik ini kenal dong berarti?"

Kenal apanya? Gue juga baru tau sekarang. Protes Mitha dalam hati. Sepertinya dia fix tidak akan pernah mengajak Arsen ke fakultas ekonomi. Enak aja nanti dia nostalgia.

"Enggak. Gue nggak pernah cerita," jawab Arsen santai sambil meneguk kopi hitamnya. Dia memang tidak pernah terbuka soal kisah percintaannya kepada sahabatnya itu. Berbanding terbalik dengan Mitha yang selalu menceritakan setiap pria yang dekat padanya sejak pertama kali dia pacaran di SMP.

"Dia kan nggak anggap gue sahabatnya," celetuk Mitha pelan, mengira dia sedang berbicara dalam hati. Saat Arsen dan Hans tiba-tiba menoleh padanya, dia sedikit terkejut.

"Bukannya gitu. Gue kan cowok. Nggak bisa kayak cewek yang dikit-dikit langsung cerita."

"O jadi selama ini lo nggak ikhlas dengerin cerita gue????" mata Mitha membulat menuntut jawaban.

"E bukan gi_"

"Pulang sekarang!!" Mitha langsung berdiri.

Hans tersedak minumannya. Barusan gadis itu memerintah Arsen dengan nada membentak? Seriously??

"Eh tunggulah, Mit. Nanggung nih..." Arsen menarik tangan Mitha agar duduk kembali.

"Akh, sakit b*go!!"

Hans kini mengerjap-ngerjapkan matanya. Arsen b*go??

"Iya duduk dulu makanya. Sini dipijtin..." seperti lupa ada banyak mata yang menonton mereka, Arsen tanpa sadar meraih tangan Mitha yang tadi ditariknya. Gadis itu menurut dengan wajah yang tetap cemberut. Sepertinya itu juga tangan yang dicekal Hans tadi. Pantas Mitha kesakitan, batin Arsen.

Mitha membiarkan Arsen memijit pergelangan tangannya sambil kembali berbincang dengan Hans.

"Kayaknya yang herder diantara kalian berdua bukan elo deh, bro. Tapi si nona manis ini..." ujar Hans lucu. Dia tidak peduli kalau Mitha akan memelototinya. Dia hanya benar-benar takjub melihat seorang Arsen yang dia kenal sangat berwibawa, diam saja dikatain b*go dan ketakutan karena dibentak oleh seorang gadis. Tidak mungkin kan dia takut wanita?

"As you see, Bro. Gue emang lemah kalau sama dia, auchh!!" Arsen langsung mengaduh karena Mitha menendang tulang keringnya di bawah meja.

"Awas kalau lo macam-macam ngomongnya. Gue aduin tante, tau rasa lo!" ancam Mitha. Dia tidak ingin Hans menilai mereka yang tidak-tidak.

"Iya ampun... mau dipijit nggak nih??" kini berbalik Arsen yang meninggikan suaranya, membuat Mitha bungkam.

Hans mengerutkan dahinya. Aneh sekali mereka ini, pikirnya sambil menyunggingkan seutas senyum di bibirnya.

*****

Jangan lupa feedback-nya ya guyss.

Like, comment dan vote-nya ditunggu 😘😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!