“Kau sudah gila, hah?!”
Pria berotot itu mendorong tubuh si pelayan kecil sehingga terhempas ke belakang. Piring-piring kaca berjatuhan dari meja; makanan enak yang semula disajikan jadi berceceran di lantai, sekaligus mengotori baju si pelayan itu.
Aksi pria itu membuat ruangan menjadi hening, dan semua pasang mata mengarah ke ujung ruangan tempat pelayan itu didorong.
Gadis pelayan yang malang itu terisak. Celemek putihnya ternoda oleh sup hangat yang berwarna kuning. Butiran nasi menempel pada rambut hitamnya yang terikat. Tubuhnya bergetar, matanya tidak dapat memandang pria di hadapannya itu.
“Aku bilang sup rumput laut! Sup rumput laut! Bukan ayam kuning murahan seperti ini!” Pria itu sengaja menumpahkan sisa sup yang semula disajikan oleh si pelayan itu. Kini, rambutnya pun kena tumpahan sup.
“A…aku…stok rumput laut sudah habis-“
“Kalau begitu buatkan yang baru! Mengerti?! Buatkan yang baru untukku!” Teriak pria itu, tangannya mencengkeram kerah si pelayan. “Dasar pemalas!”
Ia hendak menampar wajah gadis itu, namun terhenti saat tangannya ditahan oleh seseorang di belakangnya.
“Lord, tolong hentikan ini.”
Seorang kakek tua berjanggut memohon kepadanya. Matanya yang berkerut memandangnya dengan kesedihan. “Ini bukan salah si pelayan. Toko kami memang sudah kehabisan stok rumput laut. Kalau Anda mau, saya bisa beri makanan yang lain sebagai gantinya-“
Pria itu menepis tangan si kakek. “Apakah kamu pemilik toko ini?!” Pria itu mengepalkan tangannya. Matanya kini menyala-nyala dengan amarah. Tubuh besarnya membuat si kakek ini tampak menciut. “Tugas kalian seharusnya melayani pengunjung! Aku sudah datang jauh-jauh untuk mencoba masakan rumput laut yang terkenal itu! Tapi rupanya itu hanya omong kosong!” Pria itu meludah ke lantai, tidak peduli dengan tatapan mata pengunjung lainnya.
“Lord,” si kakek tetap bersikeras. “Kami memang sedang kehabisan stok, karena musim pancaroba yang tidak menentu ini.”
Si kakek tidak lagi memelas. Ia menghampiri pelayan yang masih terkapar di lantai itu. “Ayo,” katanya sambil membantunya berdiri.
Pria itu bertambah kesal. Ia mengambil dengan kasar tas bawaannya yang semula diletakkan di atas kursi. “Karena aku berbaik hati, aku tidak akan bermacam-macam.”
Pria itu hendak meninggalkan toko. Kakinya dihentakkan, dan bagai laut yang membelah, pengunjung yang lain refleks menjauhi pria itu, mungkin karena takut akan diperlakukan seperti tadi. Memang, selain kuat dan kasar, pria berotot itu mengenakan baju resmi seorang prajurit.
Prajurit Gusda. Pengawal dengan jabatan dan kedudukan tinggi. Tidak seorangpun yang dapat menentangnya.
“Kurasa Anda harus membayar terlebih dahulu.”
Suara perempuan menghentikan langkah kakinya. Pria itu membalikkan badan dan melihat siapa yang dengan beraninya berkata demikian.
Seorang perempuan muda. Gadis cantik dengan rambut seputih salju, dengan mata biru keunguan yang jarang ditemui di sekitar sini. Ia juga mengenakan seragam pelayan. Rok pendeknya membuatnya terlihat tinggi dan baju ketatnya memperlihatkan lekukan tubuhnya yang ramping.
“Maaf, kami tidak sudi jika seseorang berjalan begitu saja tanpa berbayar,” lanjut gadis itu lagi.
“Berani-beraninya kamu-“
“Seorang prajurit berkedudukan tinggi tapi tidak beretika?” Gadis itu mengeluarkan suara tawa kecil. Ia malah melangkahkan kakinya, mendekati pria itu dengan santainya.
Matanya melirik simbol garuda emas yang terukir pada seragam pria itu. “Ah.” Gadis itu menggeleng-geleng. “Kukira seorang Gusda itu kaya raya. Ternyata hanya untuk membayar sup ayam saja tidak mampu.”
“Diam!” Teriak pria itu. “Berani-beraninya pelayan rendahan sepertimu mengejekku! Kau harus kuhukum!”
Pria itu mengeluarkan pedangnya yang semula tergantung dari sabuk pinggangnya, membuat para pengunjung ketakutan dan akhirnya berteriak.
“Bagaimana? Berani melawanku, gadis kecil?” Pria itu tersenyum puas saat melihat mata gadis itu yang terbelalak.
“Lord, jangan lakukan ini. Ada banyak orang yang melihatmu disini,” kata gadis itu dengan nada datar. Ekspresinya tak terbaca. “Kalau Anda sampai menggunakan pedang Anda-“
Terlambat. Pria itu sudah menghunuskan pedangnya, mengarahkannya ke arah pelayan cantik itu. Gadis itu segera menghindar, alhasil meja yang menghalangi mereka jadi terbelah dua.
“Elena! Pergi dari situ!” Teriak pelayan yang tadi terpojok. Namun, Elena tak menghiraukannya.
“Lord, jangan buat keributan disini!”
“Aaarrghhh!” Pedang kembali dihunuskan. Tubuh pria itu berputar. Elena menunduk secepat kilat, menggunakan kursi di depannya untuk menghalangi serangan pria itu.
Api amarah mulai terlihat dari mata pria itu, rasa kesal karena gadis pelayan ini ternyata mampu menghindar darinya. Pria itu mengepalkan tangannya yang menggenggam pedangnya, kemudian melirik para pengunjung. Sebagian menangis ketakutan, sedangkan yang lain merentangkan tangannya, mencoba untuk melindungi yang lainnya.
“Kau tak memberiku banyak pilihan,” gumam pria itu. Kemudian, ia berlari ke arah para pengunjung, hendak menggunakan pedangnya lagi.
Sreett!! Suara kain baju yang tersobek menghentikan aksi pria itu. Ia menoleh ke belakang dan mematung.
Gadis itu dengan santainya membuka celemek serta luaran bajunya. Ia tidak lagi mengenakan seragam pelayan, melainkan baju ketat berwarna hitam dengan pola naga bersisik. Suasana semakin mencekam saat gadis itu melepas ikatan rambutnya, membiarkan rambutnya tergerai lepas.
“Ka-kamu-“
“Kenapa?” Rupanya, bukan hanya pria itu yang dibuat tercengang olehnya. Semua orang, termasuk teman pelayannya, juga dibuat terkejut.
Gadis itu menyeringai. Tiba-tiba ia sudah menggenggam belati kecil. Belati yang dibuat dari gading gajah asli, serta permata safir berwarna hijau yang menghiasi gagangnya. “Jangan terkejut seperti itu, donk.”
“Di-dia, gak mungkin...”
Pria itu menggeleng-geleng saat melirik belati itu. Wajahnya tiba-tiba berkeringat, dan pedangnya sudah terjatuh ke lantai.
“Sapphire Blood,” bisiknya.
“Kau tahu apa yang tidak terbatas?” Gadis itu mengarungi jarak diantara mereka. “Ketamakan dan ego manusia.”
Dalam sekejap, belati itu sudah menembus baju zirah si pria. Darah menyembur keluar sesaat setelah gadis itu menikam perutnya.
Mata pria itu terbelalak, dan ia langsung jatuh berlutut di hadapannya. Gadis itu memutar belatinya dan memperdalam tancapannya, membuat wajah pria itu semakin terlihat pucat.
Senyuman gadis itu sirna, dan ia menempelkan bibirnya ke telinga pria malang itu. “Kenapa harus berpura-pura menjadi prajurit Gusda kalau mau menipu orang lain?”
“Kamu..ukh! Kamu...penipunya-“
“Benarkah?” Gadis itu dengan kasarnya merampas kantong yang terikat di pinggang pria itu, kemudian mengangkatnya di hadapan para pengunjung.
“Berat juga emas curianmu. Kira-kira sebanyak apa ya? Bisa buat makan sup ayam nih,” sindirnya.
“Kau...akan...mati...” Pria itu terkesiap, pupil matanya membesar. Ia terbatuk-batuk, kemudian kepalanya sudah membentur tanah.
Tidak ada yang mengeluarkan suara, bahkan setelah gadis itu menarik kembali belatinya.
"Aku beri kesempatan bagi siapa saja untuk pergi melaporkan kejadian ini pada pihak keamanan," sahut gadis itu sambil memutar belati di tangannya. "Atau berbelasungkawa."
Tidak ada yang bergerak.
"Begitu?" Gadis itu mendesah dan menatap mayat pria itu. "Kasihan sekali. Sudah sok-sokan menjadi prajurit Gusda, lalu tertangkap. Sekarang sesudah ke alam baka, tidak ada yang mengenangnya."
Ia kembali untuk mengambil celemek dan seragam pelayannya. Tanpa memerhatikan tatapan aneh dari orang-orang, ia mengikat rambutnya kembali.
"Saatnya bekerja di hari terakhir," gumamnya sambil bersiul ria.
Gadis itu menguap, dan dengan santainya berbaring di atas kasur. Matanya terasa sangat berat, dan tanpa adanya penerangan di dalam kamarnya serta keheningan yang melanda, rasanya ia bisa jatuh tertidur kapan saja.
Namun pikirannya terusik oleh kejadian siang tadi.
Yang membuat dirinya khawatir sebenarnya bukanlah saksi mata yang telah melihatnya membunuh seorang pria.
Yang membuatnya khawatir adalah nasib masa depannya.
Tidak mungkin ia dapat menjalankan kehidupannya sebagai seorang Elena – gadis pelayan di toko restoran Abbey’s Food. Setelah kejadian itu, tentu orang-orang bisa melapor perbuatannya kapan saja dan ia akan segera tertangkap, tak peduli jika yang ia bunuh itu seorang penipu yang telah mengumpulkan banyak emas.
Mendapat pekerjaan di kota ini sebenarnya salah satu impian hidupnya. Bukan karena kota ini lumayan terpencil dan jarang sekali didatangi oleh prajurit Gusda, melainkan bayaran yang didapatkannya pasti sudah terjamin.
Tak biasanya sebuah toko akan menerima seorang gadis yang asal usulnya tidak diketahui. Gadis itu mendesah. Ia sudah mengacaukan segalanya. Hukuman apa yang akan diberikan oleh si kakek tua kerempeng itu?
Pikirannya merasa tercerahkan saat suara ketukan pintu terdengar, kemudian masuklah si kakek.
Pria tua itu selalu tampil dalam keadaan lusuh. Kepalanya yang hampir botak dan janggut putih yang menghiasi dagunya selalu membuat gadis itu menahan tawanya. Baju compang-campingnya yang sudah sobek memperlihatkan kulitnya yang sudah kendur. Edan sekali penampilannya.
“Tak kusangka.” Kakek itu menggeleng-geleng. “Kau merepotkanku lagi.”
“Apakah mayatnya sudah beres?” Gadis itu bangkit dari kasurnya, meraih sebatang coklat yang semula duduk manis di atas meja kecil. Ia belum mengisi perutnya yang sudah berbunyi.
“Menurutmu?” Kakek itu mendecakkan lidahnya. “Pria itu masih lebih mudah dikubur dibanding bayi gajah yang pernah kau bunuh.”
“Sudah kujelaskan berkali-kali, bayi gajah itu mirip seperti gundukan batu untukku!” Gadis itu sudah berdiri. Air liurnya sampai muncrat. “Aku hanya ingin menguji ketajaman belatiku waktu itu. Mana kutahu kalau itu ternyata bayi gajah yang sedang mendengkur!”
“Lagi-lagi, mulutmu itu tidak pernah dijaga.” Kakek itu menyilangkan tangannya. Kini, postur tubuhnya lebih tegak dibanding sebelumnya. Dan kelihatan lebih alami, pikir gadis itu.
“Bagaimana dengan Anas?” Bisik gadis itu lagi, sambil mengunyah batang cokelat. Ia masih mengingat ekspresi temannya saat melihat dirinya membunuh seseorang di hadapannya.
“Tenang saja, sudah diurus juga.”
“Apa yang kau lakukan kepadanya?”
Kakek itu tersenyum. “Aku bujuk dia untuk menutup mulutnya dengan beberapa keping emas.”
Gadis itu mendesah lega. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kalau itu, putuskan sendiri.” Kakek itu sudah menyentuh gagang pintu. “Dan untuk sekali saja, dengarkan nasehatku dan jangan lepas kendali seperti tadi lagi.”
Gadis itu memutar bola matanya. Nasehat dari kakek itu tidak pernah berguna untuknya. Kecuali ajarannya mengenai ilmu bela diri yang sekarang sudah benar-benar dikuasai olehnya.
Kakek itu rupanya masih melototinya. "Apa?"
“Cari nama baru yang lebih keren. Elena terdengar culun.”
“Dasar kakek tua,” gumam gadis itu kesal. Kakek itu hanya tertawa kecil, kemudian sudah meninggalkannya seorang diri.
Yah, mungkin ia memang harus mencari nama yang lebih baik. Dan mungkin, sekarang saatnya untuk menyusun barang bawaannya, karena besok ia harus cepat-cepat berangkat dari wilayah terpencil ini.
Saatnya ia memikirkan nama baru dan masa depannya yang tentu akan berubah karena perbuatannya tadi.
***
Matahari pagi bersinar dengan teriknya, menyilaukan pandangan gadis itu. Kota Abbeyhall menyuguhkan pemandangannya yang tak kalah indah dari kota-kota terkenal lainnya. Kota yang lebih kecil dari kota sebelumnya, namun masih memiliki bangunan dan infrastruktur yang tak kalah megah.
Sejak subuh tadi, Liana sudah berangkat bersama kakek tua itu. Dan akhirnya sampailah ia di kota Abbeyhall, kota yang terkenal dengan tempat dagangannya yang katanya menjual segala kebutuhan orang-orang, dimulai dari senjata-senjata mematikan yang dijual oleh pasar gelap, sampai bubuk mesiu yang jarang ditemukan di wilayah lainnya.
Liana, gadis itu tersenyum simpul. Nama baru yang dipilihnya dalam perjalanan.
Sewaktu ia bersama kakek ini beristirahat di sebuah pondok penginapan, seorang ibu yang kemungkinan besar orang Heyn, didengar dari logat berbicaranya, sudah membantu mereka menyediakan perbekalan serta sepasang kuda yang dijual dengan harga cukup murah. Ibu itu bernama Liana, dan gadis yang sekarang menggunakan namanya ini berpikir bahwa ini adalah ide yang tidak buruk.
Liana kembali memerhatikan jalan setapak yang sedang dilaluinya. Keramaian orang-orang di kota Abbeyhall ini sudah terlihat dari kejauhan.
“Liana.” Tak ada nada mengejek pada perkataan kakek itu. Biasanya, kakek itu tak pernah memanggil namanya karena menurutnya, semua pilihan namanya itu aneh dan tak cocok untuk disebutkan.
“Berjanjilah padaku untuk tidak mengulangi kejadian yang sama.”
“Kenapa? Emangnya kamu tidak suka berpindah tempat seperti yang selalu kita lakukan?”
“Bukan itu.” Mata pria tua itu menatapnya lekat-lekat. “Jangan sampai kamu mengumumkan keberadaan anggota Sapphire Blood di depan publik. Kita harus bisa menjaga rahasia keberadaan kelompok kita. Aku sudah berpuluh-puluh tahun menjaganya, dan aku tidak akan meruntuhkan hasil kerja kerasku begitu saja.” Kakek itu berkata dengan nada serius, ekspresi sangar yang jarang diperlihatkannya.
Wajar saja, selain nama dan jati diri mereka, kepribadian diri pun harus selalu direkayasa oleh Liana. Itu yang telah diajarkan oleh si kakek ini.
“Mengerti, Liana?” Kakek itu tidak lagi terlihat menyedihkan seperti sebelumnya. “Atau harus kupanggil kau dengan nama aslimu?”
“Aku mengerti, Lord,” jawab Liana tanpa ragu-ragu. Ia tidak akan membuat tuannya memanggilnya dengan nama aslinya. Ia tidak akan mengecewakannya lagi. “Aku tidak akan mengecewakanmu lagi.”
Kakek itu kembali memperlihatkan senyumannya, senyuman yang bisa jadi mematikan jika seseorang berurusan dengannya. “Bagus. Jadilah seseorang yang taat pada perintah tuannya.”
Seharusnya Alex menyadari kehadiran mereka saat dua kuda berjalan ke arah kediamannya. Gadis itu terlihat mencolok dengan rambut putihnya, meskipun ia sudah mengenakan tudung untuk menyembunyikan penampilan dirinya.
Ia buru-buru membukakan pintu masuk saat ia melihat keberadaan Lord itu. Tak pernah sekalipun tuannya itu mengunjunginya, kecuali kalau ia memiliki kabar buruk, atau singgah untuk sementara karena memiliki urusan di kota ini.
“Pagi, Lord,” sapa Alex saat kedua orang itu sudah memasuki pondok rumahnya. Alex segera membantu si kakek melepaskan jubah kumalnya, lalu pergi ke arah dapur untuk membuatkan teh atau makanan kecil lainnya untuk memuaskan tuannya.
“Tidak usah, Alex,” kata kakek itu sambil tersenyum. Pria tua itu langsung duduk di atas sofa, lalu memejamkan matanya.
Wajahnya menunjukkan ekspresinya yang kelelahan. Kantong mata sudah menghiasi mata kakek itu yang berkerut karena efek usia. Tak biasanya pemimpinnya berpenampilan seperti itu. “Aku hanya mampir untuk sejenak.”
“Ah,” Alex mengangguk tanda mengerti. Matanya kemudian melirik gadis itu, teman yang sudah ia kenal sejak ia bergabung menjadi anggota Sapphire Blood, lebih tepatnya 7 tahun. Teman yang tanpa izin darinya sudah menggeladah isi rumahnya. Ia sibuk menyentuh pajangan mahal miliknya. Patung singa yang dicurinya dari seorang Lord yang waktu itu menerobos masuk rumahnya sambil mabuk-mabukan.
Alex menggunakan kesempatan itu untuk mencuri barang berharga miliknya, sebagai hukuman karena sudah seenaknya menginjak kaki di pondok kecilnya.
“Ini punyamu?” Gadis itu menyipitkan matanya, kemudian dengan kasarnya menaruh kembali patung mini singa itu karena matanya sudah melihat benda lain yang jauh lebih menarik. Potret lukisan seorang Lord dan Lady yang merangkul bayi kecil. Lukisan yang juga dicurinya tahun lalu di sebuah museum.
“Jangan sentuh itu.”
Gadis itu menaikkan sebelah alisnya. “Hoo…memangnya ini punyamu?” Ia menyeringai, kemudian sengaja menyentuh lukisan itu dengan ujung jarinya. “Aku yakin kamu mencuri semua barang berharga ini, Alex.”
Kemudian, Srreett!! Lukisan itu disobek oleh belati kecil yang entah muncul darimana.
“Dasar j*l*ng!” Alex menghampirinya, kemudian sudah mendaratkan tinju ke wajah gadis itu. Gadis itu ternyata mampu menghindari serangannya dengan cepat, sehingga terjadilah pertengkaran dadakan.
Dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah terguling-guling di atas lantai, dengan tubuh gadis itu di atasnya. Gadis itu melukai pipinya dengan belati, sedangkan Alex sibuk menjambak rambut panjangnya yang menyebalkan.
“Kalian ini,” si kakek tidak melerai mereka. Ia malah menghampiri mereka, kemudian berjongkok di samping. “Aku tidak punya waktu lagi untuk mengubur mayat. Jadi jangan ada nyawa yang melayang lagi.” Ia lalu menghilang di balik dinding yang memisahkan ruangan tamu dengan ruangan santai.
“Lepaskan aku!” Teriakan gadis itu sampai menulikan telinganya. Mukanya sampai memerah, dan ia meringis kesakitan karena rambutnya dijambak. Gadis itu menyikut dadanya dengan kasar, dan akhirnya cengkeramannya terlepas dari rambutnya.
Gadis itu buru-buru berdiri, kemudian menodongnya dengan belatinya. “Aku tidak peduli kalau kamu hanyalah Juniorku, Alex. Tapi aku tak akan segan-segan menyerangmu dengan belatiku.”
“Lagipula kenapa kamu melakukan itu?!” Alex juga berdiri, kemudian memandang gadis itu dengan amarah. “Kamu seenaknya merusak lukisan mahal itu-“
“Aku cuma melihatnya sebentar!” Tanpa rasa bersalah, gadis itu merapikan rambutnya yang acak-acakan. “Nanti juga kamu bisa curi lagi.”
Alex mengepalkan tangannya. Memangnya dipikir mudah untuk mencuri? Ia sudah salah membuka pintu masuk untuk gadis kasar ini.
***
Liana terus memperhatikan gerak gerik Alex. Alex Sebastian, teman lamanya yang sudah lama tidak ia temui. Alex adalah salah satu anggota Sapphire Blood. Ia baru bergabung dengan mereka 7 tahun yang lalu, sedangkan Liana sudah menjadi anggota kelompok penjahat ini sejak ia lahir.
Kata Lordnya, Liana adalah cucunya sendiri. Ibunya telah meninggal saat ia melahirkannya, sedangkan Ayahnya sudah menelantarkan Ibunya sendiri saat tahu bahwa istrinya adalah mantan Sapphire Blood.
Liana tertawa kecil. Ibunya dulu sampai mengkhianati Ayahnya sendiri alias kakeknya yang sudah berkedudukan sebagai Ketua kelompoknya. Ia rela keluar dari kelompok ini demi membangun kehidupan rumah tangga bersama suami yang dicintainya itu.
Liana tahu semua itu sia-sia, karena pada akhirnya, suaminya meninggalkannya, meskipun ia sudah menjadi mantan anggota. Siapa yang mau mempunyai istri yang dulunya seorang penjahat? Lebih baik Ayahnya meninggalkan istrinya dan mencari istri baru.
Liana menggeleng-geleng, tidak mau memikirkan latar belakang keluarganya lagi. Baginya, itu adalah aib terbesarnya. Itu adalah hal yang bisa menjatuhkan reputasinya sebagai seorang anggota Sapphire Blood. Ia malu sudah memiliki kedua orangtua yang lemah.
"Aku tidak akan menjadi lemah seperti kalian," bisik Liana kepada dirinya sendiri. "Akan kubuktikan bahwa aku berbeda. Akan kubuktikan bahwa aku bisa menjadi anggota terhebat di Sapphire Blood. Tidak akan ada yang berani menentangku. Aku bertekad untuk membuat King menunduk kepadaku," katanya sambil tertawa jahat.
"Sedang berlatih bermain drama ya?" Tanya temannya yang ternyata sudah duduk disampingnya.
Sontak Liana terkejut dan langsung merasa malu.
"Tak perlu merasa malu," kata Alex lagi sambil menyengir. "Setahuku, kau memang tidak punya rasa malu."
"Diam kau!" Liana sudah kembali merogoh sakunya untuk mengeluarkan belati miliknya. Belati super langka, belati yang dulunya milik Ibunya. Belati ini merupakan warisan turun temurun pemimpin Sapphire Blood. Saat ini, Lordnya sudah memberikannya kepadanya. Bukan karena ia sekarang adalah pemimpinnya, melainkan ia satu keturunan darah dengannya.
Liana juga bertekad akan sukses dan membuat kakeknya bangga. Kemudian, ia bisa naik jabatan dan akhirnya menjadi pemimpin Sapphire Blood, sama seperti kakeknya yang tak kenal ampun.
Tapi sekarang, dirinya bahkan sudah dibuat kewalahan dan panik karena tidak menemukan keberadaan belati itu di kantungnya.
"Mencari ini?" Alex tiba-tiba menaikkan sebuah belati familiar. Belati miliknya karena ia mengenali safir hijau itu.
"Dasar, kau ini-"
"Makanya jangan melamun," Alex sudah menjulurkan lidah.
"Kapan kau mengambilnya?!" Hardik Liana.
"Hmm, kapan ya?"
Liana merasa geram. Saat ia hendak mengambil kembali belati itu, Alex sudah menyingkir dan berlari menjauhinya.
"Jangan ragukan kemampuan seorang pencuri," lanjut temannya lagi sebelum ia berlari membawa belati kesayangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!