NovelToon NovelToon

Alnira - Spin Of Aldan

Prolog

..."BACA CERITA ALDAN TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA ALNIRA"...

...***...

Alnira melangkahkan kakinya menuju pintu keluar bandara. Ia rentangkan tangannya sambil menghirup udara bebas yang dingin.

"Jerman, aku harap semua kisah cintaku akan terulang kembali di sini."

Alnira kembali menyeret kopernya dan melangkahkan kakinya keluar. Setelah itu, ia mencari taksi. Langkahnya tiada henti hingga ia melihat sebuah taksi berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Perlahan ia melangkahkan kembali kakinya menuju taksi itu.

Brukk!

"Awwh!" pekik Alnira saat ia merasakan pantatnya menyentuh lantai marmer bandara.

"Entshuldigung, ich hatte nicht vorgehabt." (maaf, saya tidak sengaja)

Alnira terdiam, padangannya masih terarah kepada lantai marmer di bawahnya. Ada yang berbeda dari dirinya. Ada yang berbeda dari pendengarannya. Ada yang berbeda dari apa yang baru saja terjadi.

Kenapa suara itu terlalu mirip, kenapa suara itu sangat mirip dengannya?

Alnira memberanikan dirinya mendongakkan kepalanya ke depan. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya orang yang sedang berlalu-lalang yang sedang sibuk dengan kesibukannya masing-masing.

Pandangannya berhenti pada satu titik. Pada seorang pria yang sedang membelakanginya. Sedang manarik knop pintu taksi dan perlahan menaikinya. Alnira menajamkan matanya, berusaha menatap pria yang duduk di dalam taksi itu.

"Kak Aldan?"

Alnira menangis, air matanya kembali turun. Kenangan beberapa bulan yang lalu kembali hadir pada dirinya. Jutaan listrik kmebali menyentuh hatinya. Kembali membangunkan banyaknya kenangan yang telah lama ia pendam.

Tetes hujan mulai turun. Bayangan kematian Aldan baginya sudah menjadi kenangan yang terkubur sangat dalam. Bahkan, untuk berfikir bahwa Aldan selamat dari kecelakaan pesawat itu saja Alnira tidak dapat membayangkannya.

"Bukankah kamu sudah tiada? Jika benar, akankah kamu memang kembali padaku?"

Alnira tidak dapat berfikir, rintik hujan mulai turun semakin deras. Orang lain mulai berlari menghindari hujan itu. Sedangkan Alnira, ia masih setia duduk di lantai marmer dan masih menatap lurus ke depan tanpa melakukan apapun.

"Bist du ein Transferstudent?" ucap seorang tiba-tiba berada di samping Alnira dan membawakannya payung.

"Sorry, can you speak english?" balas Alnira.

"Oh sorry, your'e a student of the student exchange?" balas laki-laki itu.

Alnira mengangguk.

"You can call me, Martin. Come on, let me show you where your dorm."

Martin mengulurkan tangannya yang disambut genggaman tangan Alnira. Kemudian Martin menggandeng tangan Ira dan membawanya masuk ke sebuah mobil hitam.

Ira mengibaskan lengannya sambil mengelus sweater yang ia kenakan. Berharap itu dapat mengurangi kelembaban yang terjadi karena hujan tadi.

"Why did you accept the student exchange?" tanya Martin.

"I don't know, i want to meet my ex boyfriend, maybe."

Martin menatap Alnira lalu ia tertawa, membuat Alnira yang melihatnya juga ikut tertawa. Tetapi, Alnira sadar, ia tidak tahu kenapa ia harus tertawa bersama Martin. Mungkin itu hanya bentuk dari cara Alnira untuk menyembuhkan hatinya yang sedang sakit.

"Oh wait, what is your name?"

"Alnira. You can call me, Ira."

...✈️✈️✈️✈️...

Author Note

Hai! gue bawain nih sequel dari Aldan story. Jadi yang belom baca Aldan, mending baca Aldan dulu deh biar tahu bapernya.

Jangan lupa juga vote and komennya.

Di cerita ini bakal banyak banget bahasa asingnya, mungkin. Jadi maaf kalau ada banyak kata yang salah.

Oke see you guys!

1. Berita Buruk

"Kak Aldan kenapa, Bun!" Ira menangis di pelukan Sena.

Belum lama, Ira mendengar berita di televisi bahwa pesawat Singapore Airlines mengalami hilang kontak dan hilang di Samudra India. Hal itu membuat Ira dan Sena sama-sama merasa terkejut. Terlebih lagi Regha maupun Aldan sama-sama menaiki pesawat Singapore Airlines walaupun berbeda pesawat.

Kring...

Ponsel Ira berdering, ia langsung melepaskan pelukan Sena dan mengambil ponselnya.

Abang is calling...

"Siapa?" tanya Sena bingung dengan ekspresi Ira yang bingung melihat Caller ID.

"Abang, Bun!" ucap Ira histeris.

Kemudian Ira langsung menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Abang! Abang nggak kenapa-napa kan? Abang ada yang sakit?" ucap Ira langsung.

"Abang nggak kenapa-napa kok. Emangnya kenapa? Kok lo khawatir banget? For your information aja, gue lagi di Singapore. Beberapa menit lagi gue bakal berangkat ke Inggris."

Ira lega mendengar jawaban Regha. Terlebih lagi jika abangnya itu selamat dari kecelakaan itu. Dan Regha bukanlah salah satu penumpang di maskapai itu.'

"Enggak papa kok, Bang. Yaudah lo hati-hati ya."

Kemudian panggilan itu berakhir. Ada sedikit senyum dari bibir Ira. Mengingat Regha selamat.

"Abang, bukan korban pesawat itu, Bun!"

Tangis Ira dan Sena sama-sama pecah. Mereka berdua menangis dalam bahagia. Anggota keluarga mereka masih utuh.

"Tapi," ucap Ira memelan dalam pelukan Sena.

"Kak Aldan, Bun."

Ira kembali menangis, semua pikiran tentang Aldan kembali hadi dalam pikirannya. Segala kemungkinan juga perlahan mulai merasuk ke dalam pikiran Ira.

"Kak Aldan!" pekik Ira sambil menetralkan nafasnya yang tak beraturan.

"Hai, what's wrong?" ucap Martin.

Ira menengok ke samping dan benar, Martin bersamanya.

"Are you okay?" tanya Martin lagi.

Ira mengangguk, ia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Napasnya masih belum bisa normal. Mimpi yang sama lagi dengan hari-hari sebelumnya kembali hadir lagi kali ini. bayang-bayang kematian Aldan kembali menyeruak ke dalam pikirannya.

Ira mengangguk menanggapi pertanyaan Martin. Tak lama, mereka berdua sampai di sebuah halaman sekolah. Martin membawa masuk mobil itu dan memarkirkan mobilnya.

"C'mon."

Martin mengajak Ira keluar dan berjalan menuju dalam sekolah itu. Martin menggandengan tangan Ira, mungkin ini sudah menjadi hal lumrah di sini. Sedangkan bagi Ira, ini sangat meresahkan.

"It's your room, babe."

Ira sebenarnya risih dengan perlakuan Marti padanya. Namun, hanya dia yang ia kenal di sini. Setidaknya dia belum melakukan apapun kepada Ira.

Setelah itu Martin membukakan sebuah kamar kepada Ira, tidak begitu luas, namanya juga asrama. Tetapi, lumayan lah untuk dia beristirahat.

Setelah Martin memberikan kunci kamar padanya dan pergi meninggalkan kamar Ira, Ira menutupnya.

"Selamat datang, kehidupan baru!"

...✈️✈️✈️✈️...

5 Bulan Kemudian

"Hai, Ra."

Ira menghentikan langkahnya. Ia sudah tahu siapa yang memanggilnya.

"Kenapa lagi sih, Ar?" balas Ira.

Siapa lagi kalau bukan Martin. Kejadian lima bulan yang lalu membuat Ira semakin dekat dengan Martin. Mungkin bisa dikatakan sebuah hubungan persahabatan. Selama lima bulan itu pula, Martin berusaha dengan keras mencoba belajar bahasa Indonesia.

"Aku mau ajak kamu, main."

"Aku lagi kerja, Ar. Nanti kita lanjutin."

Ira kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam dapur sebuah kafe. Kemudian, Ira melanjutkan tugasnya kembali.

Ira memang bekerja di Jerman. Part time lah, paling tidak ia bisa menambah uang jajannya di sini. Walau sebnarnya, uang dari ayah dan bundanya sangat berlebih. Namun, karena Ira ingin menambah pengalaman kerja dan juga mengisi waktu luangnya, jadinya di sinilah ia berada. Di sebuah kafe milik keluarga Martin. Mereka berdua memang tidur di asrama, namun karena kebijakan asrama ini tidak terlalu ketat, hal itu membuat siswa asrama bisa bekerja di luar.

Tiga jam kemudian, saatnya Ira untuk pulang. Setelah ia mengganti pakaiannya, ia berjalan menuju meja Martin. Selama itu pula Martin dengan setia duduk di mejanya sambil melakukan pekerjaannya.

Martin adalah seorang penulis di Jerman. Namanya lumayan terkenal di kalangan anak muda. Berkat novelnya berjudul "Me and Sexy Evil" membuat namanya kemudian dikenal banyak orang.

"Mau kemana? Kenapa kamu masih menungguku?" tanya Ira.

Martin menyelesaikan tulisannya terlebih dahulu. Namun, sebelum itu ia tidak lupa menyimpan file itu dan memasukkan notebook itu ke dalam tas miliknya.

"Mau kemana?"

"Kamu malah balik tanya ke aku. Harusnya aku yang tanya ke kamu. Jawab dulu pertanyaanku. Jangan memberikan pertanyaan diatas pertanyaanku, aku tidak menyukainya."

Yah, Martin sudah mulai lancar berbahasa Indonesia, Ira yang mengajarinya. Sekaligus Ira juga sudah mahir berbahasa Jerman, karena tuntutan pekerjaan pastinya.

"Kita pergi ke taman?" tanya Martin.

"Taman mana?" tanya Ira.

"Sudah ikuti aku saja."

Seperti biasa Martin menggandeng tangan Ira, membawanya masuk ke dalam mobilnya, kemudian ia menjalankannya. Memecah jalanan kota Jerman yang lenggang.

Ira sudah biasa seperti ini, membuka kaca mobil dan mengeluarkan tangannya. Ia sanagt suka udara dingin di sini. Ia hanya ingin melepaskan secuil rasa rindunya kepada seseorang yang pernah hilang dari hidupnya.

"Dimana kita ini?" tanya Ira.

"Kurpark."

"Kamu yakin ini mengasyikkan? Karena aku tidak yakin."

"Yakinlah, aku tidak akan mengecewakanmu."

Martin memparkirkan mobilnya dan turun bersama Ira. Mereka berdua berjalan beriringan, diantara beberapa pengunjung di sana.

Ira menikmati pemandangan yang ada di sana. Rasanya ia ingin sekali berada di sini selama yang ia bisa. Ia ingin menjelajahi Jerman lebih lama lagi.

Mereka berdua terus melangkah di samping Danau di Kurpark. Canda dan tawa mengiringi langkah mereka berdua.

"Martin."

Mereka berdua berhenti di sebuah bangku yang menghadap ke arah danau. Kemudian mereka berdua duduk di sana, dan menikmati udara sore dan juga pemandangan indah sore hari di Kurpark.

"Apa?" tanya Martin.

"You have a girlfriend?"

Martin tertawa, Ira yakin dengan pasti bahwa pertanyaannya bukanlah sebuah guyonan. Tapi, kenapa Martin tertawa.

"Tidak, Ira. Aku tidak mempunyai pacar. Aku sedang menunggu seseorang, hingga seseorang itu sadar aku menunggunya."

Ira mengangguk dengan pernyataan Martin. Bukan maksud Ira untuk mulai membuka hatinya karena kepergian Aldan. Namun, ia sadar bahwa tak selamanya ia harus seperti ini.

Kepergian memang berat, namun baginya, tetap diam saat seseorang meninggalkannya adalah hal bodoh yang ia lakukan.

Bukan berarti dia harus tetap diam saat Aldan meninggalkannya. Dia hanya menikmati masa-masa dimana semuanya berakhir. Menikmati masa kesendiriannya tanpa seorang pendamping.

"Ira."

"Hmm?" gumam Ira sambil menatap ke arah Martin.

"Menurutmu, apa rasanya menunggu tanpa kita tahu, jika orang yang kita tunggu, ternyata mempunyai orang lain?"

Ira memalingkan wajahnya. Pertanyaan yang cukup berat baginya. Gue juga pernah, Ar. Bedanya, gue mencintai orang, yang ternyata masih mencintai orang lain. Di sana, gue seperti peran pengganti saat peran utama lagi nggak ada. Dan gue emang nggak ada artinya, sebagai peran pengganti.

Pandangan Ira terhenti pada sebuah titik. Pada dua siluet seseorang yang sedang berdiri di samping danau. Tangan keduanya tergenggam. Tawa mereka berdua berderai. Ira dapat melihatnya dengan jelas.

"You okay?"

Ira menggeleng. Yang dia lihat pasti salah. Matanya pasti sedang membohongi dirinya. Ia menolak keras dengan apa yang ia lihat.

"Kak Aldan," lirihnya pelan.

...✈️✈️✈️✈️...

Author Note

Hai :) Karena beberapa pertimbangan aku percepat deh jadwal update ku. Makanya kalian jangan lupa vote sana komen ceritaku biar aku makin semangat nulisnya.

Oh iya, follow instagram @aldanstory

See you next part, baby

2. Kematian

"Bunda! Kak Aldan gimana," ucap Ira saat setelah ia mendengar kabar bahwa Regha bukanlah korban dari kecelakaan pesawat itu.

Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah bahwa antara Aldan yang menjadi korban kecelakaan pesawat itu, atau malah pesawat lain yang mengalami kecelakaan.

"Kita doakan saja, nak Aldan tidak kenapa-napa."

"Tapi bun—"

Kringg...

Ira melepaskan pelukan Sena. Ponselnya kembali berdering.

Aldo is calling...

Ira dengan cepat memencet tombol hijau di layarnya. Ia dekatkan ponselnya ke arah telinganya.

"Halo."

Tak ada jawaban dari ujung sana. Hanya ada beberapa isakan tangisan perempuan.

"Kak Aldo!" ucap Ira.

"Ra," suara Aldo menggantung.

"Ada apa kak?" tanya Ira mulai panik.

"Aldan," balas Aldo.

Ira menghembuskan nafasnya berat. Air matanya terus turun. Sedang bahunya bergetar. Mungkin Ira sudah tahu kabar apa yang akan ia dengar saat ini. mungkin juga, sebentar lagi mungkin dia juga akan mendengar apa yang tidak ingin dia dengar.

"Aldan, kecelakaan."

Tangis Ira pecah, air matanya membanjiri pipinya. Sena yang berada di dekatnya langsung memeluk anak perempuannya. Ponsel milik Ira sudah terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dan pecah. Tetapi, tidak sampai membuat ponsel itu rusak.

Panggilan itu masih tersambung. Bahkan di sana pun suara isak tangis terdengar jelas. Aldo bahkan juga ikut menangis.

"Dan mayat Aldan, nggak ditemuin, Ra," ucap Aldo pelan yang masih dapat Ira dengarkan.

Sena juga ikut menangis, terlalu cepat berita ini sampai ke telinga mereka. Bahkan Ira saja belum siap kehilangan Aldan untuk kesekian kalinya.

"Bunda," ucap Ira di sela tangisannya.

"Aldan bohongin Ira lagi, kak Aldan bilang dia janji bakal balik lagi ke Ira. Tapi nyatanya apa? Dia pergi selamanya, Bun! Kak Aldan tega ninggalin Ira. Kenapa nggak Ira aja yang naik ke pesawat itu, kenapa Tuhan nggak ambil nyawa Ira aja? Kenapa nggak Ira aja yang mengalami semuanya. Kenapa harus Kak Aldan?"

Sena menenangkan Ira. Tangis Ira terlalu susah dibendung. Sena sudah menganggap Aldan sebagai anaknya. Bahkan dirinya sudah merestui hubungan keduanya. Namun, ia sempat kecewa saat Aldan memutuskannya. Tapi ia yakin, Aldan mempunyai maksud sendiri.

"Kak Aldan jahat Bun! Ira benci sama dia! Kak Aldan tega sama Ira, Kak Aldan tega ninggalin Ira. Kak Aldan—"

"Sudah cukup. Semua orang berduka, Sayang. Bukan cuma kamu saja. Kedua orang tua Aldan, Bunda, teman-teman Aldan. Semuanya berduka. Jangan anggap jika hanya kamu yang berduka karena kepergian Aldan."

"Tap—"

"Nggak ada tapi-tapian. Kamu istirahat dulu, tenangin diri kamu. Semua orang berduka. Termasuk Bunda. Kita doakan Aldan tenang di sana."

"Kak Aldan!"

Ira menetralkan detak jantungnya yang memacu semakin cepat. Ia menatap ke arah jam dinding di kamarnya.

Pukul 04.00.

"Gue mimpi Kak Aldan lagi."

Ira mengambil gelas yang ada di nakas, kemudian ia meminum airnya. Menetralkan jantungnya yang masih terpacu cepat. Air matanya juga masih menetes.

"Gue kangen banget, Kak."

Keringat dingin meluncur bebas di leher Ira. Padahal suhu di tempat itu sudah masuk ke suhu rendah. Namun, Ira masih kepanasan dan berkeringat.

Ira merasakan ada yang yang berbeda dengan dirinya setelah melihat siluet orang yang sama persis dengan Aldan. Ia sangat yakin jika itu adalah Aldan. Tapi, ada beberapa perbedaan yang membuat Ira merasa ragu bahwa orang yang ia temui bukanlah Aldan.

"Kak, kalau lo emang bener masih hidup. Tolong, kembali ke gue lagi. Udah lebih kak dari lima bulan lo ilang kak. Mayat lo juga nggak ada yang nemuin. Polisi menutup kasus itu. Mereka bilang bahwa tubuh lo tenggelam di lautan dan hilang di makan ikan. Tapi apa gue percaya gitu aja? Nggak kak! Sebagian diri gue masih yakin, kalau lo masih hidup."

Ira bermonolog sendiri pagi ini. Ia merindukan sosok Aldan. Bahkan sangat merindukannya. Bukan berarti dirinya gagal move on dari Aldan. Tapi karena Ira, memang masih memegang janji Aldan untuk mereka berdua kembali lagi.

...✈️✈️✈️✈️...

Alarm kecil milik Ira berbunyi keras, membangunkan Ira yang kembali tertidur tadi pagi. Ia menatap ke arah jam yang berada di atas nakas itu.

"Sial! Gue telat bangun."

Ira langsung bergegas bangun dan dengan cepat melesat ke kamar mandinya. Setelah memakai bajunya, ia langsung mengambil tas merahnya dan berlari meninggalkan asramanya.

"Shit! Gue telat lagi."

Ira terus berlari tanpa memperhatikan sekitar. Ia hanya ingin cepat sampai sekolah dan berharap tidak mendapatkan hukuman.

"Ira!" panggil Martin.

"Sorry Ar, aku harus cepat pergi. Aku terlambat sekolah."

Saat Ira hendak kembali berlari, Martin mencegahnya. Ia mengambil lengan Ira dan menariknya. "Apa kamu lupa? Hari ini hari minggu, dan artinya sekolah libur."

Ira membulatkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang Martin katakan. Ira langsung melepaskan tangan Martin dan mengambil ponselnya yang berada di saku celana jeans miliknya. Ia buka lockscreen ponselnya dan melihat hari yang tertera di sana. Sial, gue **** banget sih!

"Right? Stupid woman."

Ira mengumpat di hadapan Martin. Ia sangat malu karena sudah sangat terburu-buru. Namun, nyatanya ia sendiri salah.

"Lebih baik kita ke kafe. Aku ingin mentraktirmu."

"Tap—"

"Aku tidak menerima penolakan."

Martin menggenggam tangan Ira dan menariknya ke arah parkiran. Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam mobil dan mulai pergi meninggalkan asrama.

...✈️✈️✈️✈️...

Author note

Jangan lupa untuk vote dan juga kasih komentar kalian. Aku masih slow update ya, sebentar lagi UN sayang.

See you kawan, kapan-kapan lagi ketemu :)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!