Di halaman samping sebuah rumah yang kecil, seorang gadis tengah menjemur pakaian sambil berdendang ria. Suara lagu dangdut terdengar berirama dari radio kecil kesayangannya.
Kala ku pandang bintang nun jauh di sana.
Sayup ku dengar melodi cinta yang menggema.
Terasa kembali gelora jiwa mudaku.
Karena tersentuh alunan lagu semerdu kopi dangdut.
Api asmara yang dahulu pernah membara.
Semakin hangat bagai ciuman yang pertama.
Detak jantungku seakan ikut irama.
Karena terlena oleh pesona alunan kopi dangdut.
"Seeer ah ... Tarik Mang, Mang gendang, Mang suling, Mang maling," teriak Syasa. " lah, kok gue bawa-bawa maling segala."
Gadis itu bernama Syasa adila safitri, anak pertama dari pasangan Pak Imam dan Bu Mirna. Gadis cantik yang memiliki segudang senyum dan selalu ceria setiap saat seperti iklan rexona.
Syasa hanya gadis lulusan SMA, kini usianya baru delapan belas tahun. Sehari-hari dia hanya membantu ibunya berjualan di kantin sebuah rumah sakit.
Karena keterbatasan dana Syasa tidak melanjut pendidikannya ke jenjang kuliah, apalagi sang ibu hanya seorang single parent yang telah di tinggal meninggal tiga tahun lalu oleh ayah mereka.
Syasa masih memiliki seorang adik laki-laki yang masih menimba ilmu di salah satu SMP di daerah sini, Raka namanya. Dia adik lelaki satu-satunya Syasa yang berkeinginan menjadi seorang dokter
Dari dapur yang berselebelahan dengan halaman samping, Bu Mirna mendengar anak perawaannya ini berteriak sambil mendengarkan lagu.
Bu Mirna segera menghampiri Syasa lalu berkata, " Astagfirullah, ni anak perawan kerjaannya ngedangdut mulu. Malu napa sama tetangga, anak gadis doyannya goyang."
Syasa yang tengah asyik bernyanyi sambil berjoget ria menoleh ke arah ibunya.
"Ayo, Mak ikutan goyang. Asyik nih lagunya," ajak Syasa yang masih saja bergoyang, akan tetapi tangannya tetap bekerja.
"Kalau bisa, kamu mau emak masukin lagi nih ke dalam perut," tunjuk Bu Mirna pada perut buncit bergelambir penuh lemak kang bakso.
"Yaelah, Mak. Gimana caranya Syasa masuk ke dalam lagi,"
"Emak ulek tuh badan ampe kaya perkedal, baru dah di masukin!"
"Waduh, ngeri-ngeri sedep emak gua"
"Sekali lagi joget-joget kagak jelas, Emak tuker tambah kamu di counter bang Fei," ancam Bu Mirna.
"Masyaalllah, Mak. nyebut-nyebut, jangan marah-marah mulu entar tambah tua,"
"Siapa bilang emak tua? liatin body Mak masih kaya syahrini gini." Bu Mirna memperlihatkan badannya layaknya iklan pelangsing.
Syasa tertawa melihat emaknya bergaya layak model iklan di tv. Kalau sudah menyangkut tua menua, emaknya ini menolak halus.
Jemuran sudah tertata rapih tapi, Syasa masih asyik berjoged sambil di saksikan sang Emak yang sudah keluar tanduk.
"Ayo, Mak goyang. Enak bet dah pagi-pagi geol sana geol sini, oh asyiknya!" Syasa memaju mundurkan kedua kaki dengan tangan yang terus ikut menari.
Di tengah keasyikannya mata Syasa menangkap sesosok mahluk yang indah. Seketika Syasa langsung terdiam menghentikan goyangannya, lalu berkata, " Mak, matiin radionya."
"Lah, napa? Kan tadi katanya asyik joged pagi-pagi." Bu Mirna mengerutkan keningnya melihat Syasa tiba-tiba menjadi kalem.
"Ini demi harga diri anak Emak. Syasa sedang berjuang, hayoh semangat." tangannya mengepal sambil di angkat ke atas.
"Napa lagi nih bocah, apa kesambet setan empok maemunah, ya!" ucap Bu Mirna.
"Mak, matiin dong radionya," rengek Syasa.
"Matiin sendiri aje, emak sibuk lagi ngupasin jengkol di belakang," sahut Bu Mirna.
Syasa berlari ke arah radio lalu, dengan satu pencetan berhentilah nyanyian dangdut yang sejak tadi membuat kepala Emaknya pusing.
"Mak, Syasa udah cantik belum?" tanya Syasa sembari merapihkan rambut juga bajunya.
Bu Mirna di buat heran dengan sikap Syasa yang tiba-tiba berubah layaknya bunglon. Mata Bu Mirna menangkap seseorang di rumah depan sana, kini ia mengerti kenapa anaknya yang tadi joged seperti cacing kepanasan, sekarang mendadak diam bagai putri kayangan.
"Oh, pantesan ada kang gendang keluar," ucap Bu Mirna.
"Hus! Ini bukan sembarang kang gendang biasa, Mak. Tapi, kang gendeng limited edition," protes Syasa yang matanya terus menatap seorang lelaki yang sedang memanaskan mesin mobil di depan rumahnya.
"Limited edition itu paranormal yang kagak mau bicara itu, ye!" tebak Bu Mirna.
"Itu mah Limbad namanya, Mak,"
"Alah pusing pala, Emak. Udah belum jemurnya, cepet bantuin emak kupas jengkol di dapur!"
"Iye, Mak. Lagian tuh jengkol kagak bakal lari kemana di tinggal bentar doang,"
"Ini bukan sembarang jengkol tapi, ini jengkol limited edition." Bu Mirna menirukan ucapan anaknya barusan.
"Ya Allah, Mak. Tuh jengkol mau limited edition kek, jengkol viral kek, atau jengkol berbaju emas. Baunya mah sama aja, kagak ada sejarahnya tuh jengkol rasa strobery apa anggur,"
"Udalah, Emak cape kalau ngomong sama kamu. Buruan, jangan lama-lama emak tunggu di dapur." Bu Mirna membalikkan badannya, lalu segera kembali ke dapur.
"Iye, Ibunda ratu!" Syasa membungkukan setengah badannya seperti sedang menyambut tamu agung.
Tepat berhadapan dengan rumah Syasa, di halaman rumahnya seorang lelaki muda bernama Ferdy Rahardian, tengah memanaskan mesin mobilnya. Ia sedang terburu-buru karena, mendapatkan telepon dari rumah sakit bahwa ada pasien yang harus segera di operasi.
Propesinya sebagai Dokter bedah jantung di salah satu rumah sakit ternama di kota Jakarta, membuatnya kadang tak sempat pulang ke rumah. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi di rumah sakit yang telah membesarkan namanya.
Di usia yang terbilang masih muda, Ferdy sudah mendapat gelar dokter di salah satu universitas ternama. Ia bekerja keras tanpa mengenal lelah demi mengejar impiannya sebagai Dokter.
Dia juga hampir tak pernah terlihat membawa pasangan baik ke tempat pekerjaan, ataupun ke rumah. Ia yang memang fokus untuk terus menjadi dokter terhebat, membuat Ferdy lupa akan rasanya jatuh cinta.
Ferdy baru selesai memanaskan mobilnya, ia segera masuk ke dalam mobil dan menginjak gas sekencang mungkin untuk berpacu dengan waktu.
Mobil Ferdy keluar dan melewati halaman rumah Syasa yang kecil, mata Syasa tak sekalipun teralihkan dari lelaki tampan ini.
"kang gendang Syasa memang cakep dah, Lee Minho aja lewat! lewat di tv maksudnya, hehehe," gumam syasa.
Mata Syasa terus mengikuti mobil Ferdy sampai hilang bak di telan bumi, ia sudah sangat senang, meski bisa melihat Ferdy dari kejauhan.
"Bang, hati Adek meleleh kaya es krim nih," ujar Syasa.
Dari dapur suara Bu Mirna menggema di seluruh ruangan.
"Syasa, cepetan bantuin Emak. Kalau kagak Emak potong nih uang saku hari ini!" teriak Bu Mirna.
"Iye, Mak." Syasa bergegas pergi memenuhi panggilan baginda ratu, kalau tidak nasib uang sakunya hari ini lenyap tanpa arah tujuan.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
Maafken Author ya kalau candanya receh banget😁
Terus dukung author dengan cara
Like
Coment
Vote
Rate 5
Seperti biasa Bu Mirna dan Syasa membuka kedai kecilnya pagi hari. Bu Mirna hanya seorang penjual nasi dan lauk, juga berbagai minuman di kedai kecilnya, Modal usaha yang ia dapat dari tunjangan kematian suaminya yang tak seberapa itu, ia putar demi menghidupi kedua anaknya.
Beruntungnya, Syasa dan Raka tidak pernah menuntut apa pun pada ibunya. Syasa sebagai anak pertama selalu berusaha membantu ibunya di kantin. Baginya sang ibu adalah nyawanya sendiri, ia menyaksikan sendiri bagaimana ibunya bersusah payah mencari rezeki untuk kehidupan mereka berdua.
Syasa tengah merapihkan meja dan mengelapnya satu per satu, ia sangat telaten menjalani pekerjaannya. Ia di kenal baik oleh hampir seluruh pegawai rumah sakit dari mulai Dokter, perawat, kasir bahkan cleaning servis sekalipun.
Syasa dijuluki si ratu senyum dan ceplas-ceplos, mungkin karena senyuman manis yang tak pernah hilang dari wajahnya. Terlebih gaya bicara Syasa yang asyik dan kocak, membuat mereka sangat menyukai Syasa.
"Mak, besok Raka ada perkumpulan wali murid," ujar Syasa.
"Iya, Mak tau. Tadi Raka udah bilang ke Emak." Bu Mirna tengah sibuk menata menu masakan di etalase.
"Berarti besok Syasa sendirian dong jaga kantinnya,"
"Kenapa? Engga mau kamu!" seru Bu Mirna.
"Bukan gitu, Mak. Tapi, biasa tambahin uang sakunya." gadis itu cengengesan tak jelas.
"Urusan uang saku aja, cepet nangkepnya!"
"Iya dong, Mak. Kan, Syasa pengen beli posternya Kang gendang. Eh, salah maksudnya Lee minho,"
"Kamarmu udah penuh sama foto dan poster pacar khayalanmu itu, mau berapa banyak lagi?"
"Kagak tau, Mak. Satu juta lagi mungkin,"
Bu Mirna hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban anak gadisnya. Tiba-tiba ponsel milik Bu Mirna berdering menandakan ada panggilan suara masuk untuknya.
"Hallo. Assalamualaikum, Dok?" sapa Bu Mirna begitu panggilan itu tersambung.
"Waalaikumsalam, Bu. Maaf Bu, minta tolong nanti antarkan makan siang untuk saya, ya?" suara seorang lelaki terdengar jelas di telinga Bu Mirna.
"Baik, Dok! Menunya seperti biasa apa ganti, Dok?"
"Seperti biasa aja, Bu."
"Baik, Dok. Nanti biar Syasa antarkan."
"Terima kasih, Bu. Assalamualaikum." lelaki itu memutus sambungan teleponnya.
"Waalaikumsalam," jawab Bu Mirna.
Syasa baru selesai menyelesaikan pekerjaannya, ia duduk di salah satu kursi untuk melepas lelah.
"Sya," panggil Bu Mirna.
Syasa menoleh ke arah ibunya seraya berkata, " Iya, Mak."
"Nanti tolong anterin makan siang buat Pak Dokter Ferdy, ya?"
Syasa terperanjat, hatinya senang mendengar perintah ibunya. Akhirnya ia memiliki kesempatan untuk melihat Kang gendang secara langsung.
"Siap, Mak!" gadis ibu memberi hormat pada ibunya.
Hari sudah mulai siang, kantin mulai penuh di isi orang-orang yang hendak mengisi perut mereka. Syasa sibuk melayani satu per satu pelanggan yang datang ke tempat makan mereka.
Sebenarnya selain mereka, masih ada empat kedai makanan lagi. Ada tukang mie ayam dan bakso, tukang somay, tukang ketoprak juga tukang es cream.
Semua pedagang disini sangat baik pada Syasa dan ibunya, terkadang mereka berbagi sedikit jualannya untuk Syasa. Begitupun Bu Mirna yang tak pernah pelit membagikan masakan jualannya pada mereka.
Bu Mirna tengah menyiapkan pesanan Ferdy. Ferdy sudah menjadi langganan sejak Bu Mirna membuka tempat makan disini, bahkan Dokter baik hati inilah yang membantu perizinan untuk Bu Mirna agar bisa berjualan.
"Sya. Ini cepat kamu antarkan pesanan Dokter Ferdy dulu." wanita paruh baya itu menyodorkan satu nampan berisi satu piring nasi&lauknya, juga satu gelas teh manis hangat pada Syasa.
"Siap, Mak." Syasa mengambil nampan dari tangan ibunya, lalu segera pergi ke dalam rumah sakit.
Hampir semua karyawan rumah sakit yang ia temui tersenyum ramah, tak jarang juga mereka menyapa dan mengajak ngobrol Syasa.
Syasa segera masuk ke dalam Lift lalu, memecet angka dua. Ruangan Ferdy sendiri berada di lantai dua paling pojok, Syasa sudah hapal betul tempat Kang gendangnya ini.
Pintu Lift terbuka, Syasa segera keluar untuk menuju ruangan Ferdy. Baru saja Syasa berjalan lima langkah, suara seorang wanita menyapanya.
"Sya." panggil wanita itu sambil berjalan mendekat ke arahnya.
Syasa membalikkan badannya hati-hati, ia takut nampan yang dibawanya oleng dan jatuh ke bawah.
"Eh, Dokter cantik," sahut Syasa.
"Kamu mau kemana?" tanya Dokter wanita itu.
"Biasa, Bu Dokter. Pesanannya Pak Dokter Ferdy." Syasa menampilkan senyuman pepsodentnya.
"Oh! Dia lagi ngerem kayaknya. Maklum habis operasi dia pagi tadi," bisik Dokter wanita itu.
"Hahaha. Udah kayak ayam aja pake ngerem segala!" ledek Syasa. " Dokter Wina mau kemana?"
Dokter wanita yang bernama Wina itu tersenyum seraya berkata, " Aku habis bergadang, Sya! Sekarang pengen bobo cantik dululah di ruanganku."
"Kebagian jaga malam, ya?"
"Iya, Sya. Sebenarnya aku kurang enak badan, bisa engga nanti kamu antarkan teh manis hangat juga ke ruanganku," pintanya.
"Bisa, Bu Dokter. Apa sih yang engga bisa buat Bu Dokter Wina yang baik hati dan rajin menabung di warung-warung. Hehehe,"
"Hehehe, kamu ini ada aja candaanya. Ya sudah, aku masuk dulu, ya!" dokter Wina berlalu meninggalkan Syasa, matanya sudah berat ingin segera pergi ke alam mimpi.
Syasa kembali melangkahkan kakinya menuju ruangan Ferdy. sesampainya di depan ruangan Dokter lelaki itu, ia ketuk perlahan pintu ruangan tersebut.
"Masuk!" perintah Ferdy.
Syasa memegang knop pintu lalu, memutarnya. Terbukalah pintu tersebut, Syasa segera masuk tak lupa ia tutup kembali pintu itu dengan amat pelan.
"Assalamualaikum, Dok. Maaf ganggu, Syasa mau anterin pesanan Dokter." gadis itu melangkah mendekati Ferdy yang tengah memijat keningnya.
"Taruh di atas meja!"
Syasa menurut, ia meletakan nampan itu di atas meja kerja Ferdy. Syasa melirik ke arah Dokter itu seraya berkata, " Pak Dokter lagi sakit, ya?"
Ferdy menghentikan tangannya yang sedari tadi ia pakai memijat kemudian berkata, " Iya nih, Sya! Saya sakit kepala dari semalam!"
"Mau Syasa pijitin engga?" tawarnya.
"Enggalah! Nanti kamu minta imbalan lagi dari saya," tolaknya.
"Ih, Pak Dokter mah tau aja kebiasaan Syasa. Makin cinta deh Syasa sama Pak Dokter." Syasa tersipu malu kedua tangannya ia tempelkan di pipi mulusnya.
"Saya udah kenal kamu lama, Sya! Mana mungkin saya engga tau kebiasaan kamu."
"Pak Dokter tau engga seberapa besar cinta Syasa ke Pak Dokter?"
Ferdy hanya menggelengkan kepalanya.
"Nih ya, cinta Syasa itu bagaikan air yang mengalir deras menghilangkan rasa dahaga di kehidupan Pak Dokter. Cinta Syasa juga setinggi gedung pencakar langit." gadis itu memainkan tangannya bagaikan tengah membaca sebuah puisi.
"Kepala saya tambah sakit dengerin puisi kamu itu," protes Ferdy.
"Bapak, mau cepet sembuh engga?"
"Ya, tentu dong."
"Syasa tau caranya,"
"Gimana caranya?"
"Ajak Syasa ke KUA!" seru Syasa.
"HAH! Ngapain ajak kamu ke KUA?"
"Ya buat di nikahin atuh, Pak. Masa buat di pajang. Hehehe,"
"Hubungannya sama sakit kepala saya apa?"..
"Kan kalau habis dinikahin, Syasa bisa pijitin Pak Dokter setiap saat. Jadi, Pak Dokter engga perlu tuh cape-cape mijit pake tangan sendiri." Syasa menahan tawanya dengan membungkam mulut memakai tangan.
Ferdy hanya tersenyum, gadis ini tidak pernah berhenti sehari pun mengejarnya. Ia masih ingat ketika pertama kali bertemu Syasa, gadis ini selalu menunggu dia di depan rumahnya. Ferdy hanya menganggap semua ucapan dan tingkah laku Syasa sebagai hiburan semata, ia menganggap Syasa seperti adiknya sendiri.
"Kamu ini selalu saja menggoda saya," lontar Ferdy.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
Mohon dukungan untuk Author dengan Like, Coment dan Vote😘
Selamat membaca🤗🤗
Syasa keluar dari ruangan Ferdy sambil memeluk nampan kosong. Ia berjalan tanpa ada beban, rumah sakit ini sudah seperti rumah kedua baginya. Di sini Syasa seperti memiliki keluarga lain selain Ibu dan Adiknya.
Di perjalanan menuju lift Syasa bertemu seseorang yang bisa di katakan lumayan akrab dengannya. Seorang Dokter laki-laki yang juga tidak kalah tampan dengan tubuh yang tegap dan kekar, Dokter Darrel namanya.
Dia adalah salah satu Dokter spesialis anak-anak di rumah sakit ini. Tubuhnya memang tegap dan macho khas pria dewasa, akan tetapi jika sudah bertemu para pasien ciliknya, ia akan berubah menjadi dokter yang sangat lucu dan bertingkah seperti layaknya teman untuk mereka.
"Hai, gadis bawelku." dokter Darrel mendekat ke arah Syasa.
"Hai juga, Dokter lucu," sahut Syasa.
Darrel berdiri tepat di samping Syasa, tinggi tubuh Syasa hanya sebatas dada Dokter itu.
"Darimana kamu, Sya?" tanya Darrel memperhatikan nampan yang dipegang Syasa.
"Biasa, Dok. Habis dari ruangan Kang gendang. Aduh salah sebut, maksud aku dari ruangan Dokter Ferdy." jawab Syasa sembari telpak tangan kanannya menepuk keningnya.
"Hahahaha. Kamu sebut Ferdy itu Kang gendang, Sya," ujar Darrel. " kamu ini memang lucu."
Darrel mencubit sedikit pangkal hidung Syasa, ia selalu gemas melihat gadis bawelnya ini. Bersama Syasa sama saja Darrel sedang bersama pasien ciliknya, Syasa tidak ada bedanya dengan mereka.
"Loh, Pak Dokter mau kemana nih?" tanya Syasa.
"Saya ada perlu sama Dokter Ferdy," sahut Darrel. " ada pasien kecil saya yang membutuhkan tindakan operasi jantung. Jadi, saya ingin berkonsul dulu ke Dokter Ferdy."
"Kasian, ya. Masih kecil sudah ngerasain sakit separah itu sampai harus dioperasi, aku engga bisa bayangin diposisi Pak Dokter. Setiap hari menyaksikan dan melihat mereka mengeluh sakit,"
Darrel mengacak pelan rambut Syasa lalu berkata, " Makanya kamu harus bersyukur. Allah memberimu kesehatan yang sangat mereka inginkan. Lihatlah, di sini semua pasien yang dirawat kesakitan, permintaan mereka hanya satu. Ingin segera sembuh dan berkumpul kembali dengan keluarganya."
Syasa menggangguk pelan, sudah tiga tahun sejak Ibunya berjualan di sini, Syasa sadar betul tentang betapa berharga menjaga kesehatan. Dia sering melihat tangis kesakitan dari pasien yang dirawat, bahkan ada yang terkadang histeris karena terlalu prustasi akan penyakitnya.
"Iya, Dok. Syasa mengerti," kata Syasa.
"Nah, itu baru namanya gadis bawelku. Tapi, ngomong-ngomong sepertinya kamu tambah cantik aja, Sya. Padahal saya tidak bertermu denganmu hanya dua hari," goda Darrel.
"Ah, Pak Dokter bisa aja. Syasa, kan udah cantik dari lahir." Syasa menaikkan sebelah alisnya ke atas ke bawah.
"Hehehe. Awas Loh hidungmu terbang, nanti dia engga mau balik lagi,"
"Ih, masa engga balik lagi, Pak. Terus Syasa engga punya hidung atuh. Ya ampun, Syasa mahluk tak berhidung." Syasa memegang hidungnya dengan tangan kiri.
Darrel tertawa pelan, andai saja ini bukan di lingkungan rumah sakit sudah pasti Darrel akan tertawa kencang melihat ekspresi gadis ini yany lucu.
"Sudah, cukup! Saya bisa sakit perut kalau bicara sama kamu, selalu aja kelucuan yang kamu buat,"
"Hehehehe. Lucu-lucu gimana gitu ya, Pak. Kaya ada manis-manisnya." Syasa memperagakan iklan air minum seperti di Tv.
"Terserah kamu aja, Sya! Oh, ya. Saya sampai lupa tujuan saya ke sini," ucap Darrel. " kalau sudah ngobrol sama kamu, saking asyiknya suka lupa daratan."
"Lah, Pak Dokter ini gimana sih. kita kan memang di daratan, kalau di lautan udah berenang kita kaya ikan paus. Hehehehe," ledek Syasa.
"Astaga, saya kehabisan kata-kata kalau ngomong sama kamu," ucap Darrel. " ya sudah, saya ke ruangan Dokter Ferdy dulu, ya."
"Siap, Bosku," sahut Syasa.
Mereka saling berlawanan arah Syasa meneruskan perjalanannya menuju lift, sedangkan Darrel kembali ke tujuan pertamanya untuk bertemu Ferdy.
Darrel masuk tanpa mengetuk ke ruangan Ferdy, Ferdy baru saja menghabiskan makan siangnya itu terlihat saat dia mengelap mulutnya dengan sehelai tisu.
"Siang, Bro!" sapa Darrel melangkah kakinya ke meja Ferdy lalu, duduk manis di kursi yang berhadapan dengan temannya itu.
"Tumben amet Dokter sibuk ini bisa ke sini, ada apa?" sindir Ferdy.
Darrel mengurai senyum seraya berkata, " Gue perlu bantuan Lo, Fer. Ada pasien cilik gue butuh penangan operasi jantung, gue pengen Lo yang memimpin operasi ini."
Ferdy membuang tisu dari tangannya ke tempat sampah di bawah meja, ia mencerna terlebih dahulu permintaan temannya ini.
"Kenapa mesti gue? bukannya Dokter yang lain juga ada?" sahut Ferdy.
"Gue bukan engga percaya sama mereka, tapi gue lebih tahu kemampuan Lo dalam hal ini." Dokter Darrel merapihkan jas putihnya yang sedikit kusut.
"Ok! Nanti gue tinjau dulu, setelah itu kita akan segera bahas mengenai kapan waktunya operasi yang tepat," cakap Ferdy.
"Ok!" jawab Darrel. " oh, ya. Tadi gue ketemu Syasa di luar, dia habis dari ruangan Lo."
Ferdy melirik ke arah Darrel lalu berkata, " Iya. Gue lagi males ke bawah jadi, gue minta Bu Mirna antarin makan siang buat gue. Eh, tahunya Syasa yang anter."
"Hahahaha. Udah jelaslah, pasti Syasa nganter. Kan, Lo tahu sendiri dia ngefans berat sama Lo,"
Ferdy yang tengah fokus dengan lembaran kertas di hadapannya hanya mendengarkan ucapan Darrel.
"Tapi, Fer. Lo emang engga ada niatan sedikit aja ngasih kesempatan buat Syasa," sambung Darrel.
"Kesempatan apa?"
"Ya, kesempatan buat dia ada di hati Lo. Buka sedikit aja hati Lo yang keras kaya batu itu buat nerima kehadiran Syasa." Darrel menatap lekat pada temannya, ia tahu bagaimana Ferdy bahkan rahasia sekecil apa pun Darrel orang pertama yang mengetahuinya.
Ferdy menghela nafas kasar, ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini ia tidak memandang Syasa seperti wanita, maksudnya Ferdy hanya melihat Syasa seperti seorang adik.
Bukan hanya perbedaan umur mereka yang sangat jauh, akan tetapi ada pertimbangan lain yang tidak bisa Ferdy ungkapkan. Ferdy yakin jika, Syasa tahu bagaimana Ferdy gadis itu akan sangat kecewa.
"Gue engga bisa, dia terlalu kekanak-kanakan buat gue, lagian gue cuman anggap dia sebagai adik engga lebih dari itu," beber Ferdy.
"Kalau gue deketin dia, Lo engga akan nyesel, kan?"
"Enggalah, itu hak dia mau deket sama siapa aja. Gue engga bisa ngatur kehidupan dia karena, gue juga bukan siapa-siapa Syasa." Ferdy kembali fokus ke kertas di mejanya.
Darrel menangkap baik jawaban Ferdy, setidaknya ia memiliki kesempatan lebih tanpa saingan untuk lebih dekat dengan Syasa.
"Gue harap Lo pegang ucapan Lo karena, sekali gue ngejar seseorang gue engga bakal lepasin dia gitu aja!" tegas Darrel tetap dengan wajahnya yang cool.
...****************...
BERSAMBUNG~~~
Terimakasih bagi yang berkenan mampir ke karya recehan Author satu ini🤗
Mohon dukungannya dengan cara
Like
Coment
Vote
Rate 5
Selamat membaca😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!