"Bu, aku berangkat dulu! Assalamualaikum!" teriak Erick dari ruang tamu.
Dengan mulut mengapit setangkup roti, Erick menalikan sepatunya kemudian bergegas mengambil sepedanya, yang telah menjadi alat transportasinya selama di SMP.
Sang bunda pun berjalan cepat menemui putra sulungnya, sambil membawa sebuah kotak bekal.
"Hari pertama kembali ke sekolah, kok buru-buru. Memangnya mau ada apa? Ini bekal kamu, kok ditinggal," ucap sang bunda.
"Ini kan hari pertama masuk sekolah, aku harus siap di sekolah sebelum anak baru pada datang," jawab Erick sambil memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas.
"Oiya, anak ibu sudah jadi senior. Yowes, hati-hati dan jangan ngebut," ucap sang bunda.
"Iya, Bu. Assalamualaikum," pamit Erick.
"Wa'alaikumsalam. Jangan lupa jemput Ratri!"
Sambil mengayuh sepeda, Erick menjawab, "Iya, Bu!"
Erick Yusuf adalah siswa kelas sembilan di SMPN Doremi, yang terletak di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di tahun terakhirnya ini, ia didaulat untuk menjadi ketua panitia orientasi murid baru. Untuk itu ia harus datang lebih awal dari biasanya.
Sementara itu, di tempat yang berbeda, juga tampak kesibukan di hari kembalinya ke sekolah, setelah sebulan penuh libur.
"Len, ayo buruan! Ntar aku telat kalau kamu kelamaan makannya!" seru Emir kakak semata wayang dari seorang gadis bernama Ellen Qonita.
"Ih sabar atuh, menunggu tuan putri untuk siap itu harus penuh dengan kesabaran yang super ekstra," sahut Ellen dengan santai.
Tanpa sedikitpun mempercepat gerakannya, Ellen menikmati setiap suapan bubur ayam ke dalam mulutnya. Hal ini tentu saja membuat gemas sang kakak tercinta.
"Hmm kayaknya harus pakai cara militer. Dalam lima menit, kalau kamu nggak selesai juga, Abang tinggalin!"
"Eh mana bisa begitu? Aku cepet kok, beneran cepet!" jawab Ellen setengah panik sambil mempercepat sarapannya.
Dan beberapa saat kemudian, Ellen telah berada di SMP Doremi, dimana ia menjadi salah satu dari tiga ratus siswa baru.
Ellen berjalan memasuki gerbang sekolah dengan langkah panjang dan penuh semangat, bersama dengan Nisa sahabat dari taman kanak-kanaknya.
"Len, akhirnya kita jadi anak SMP juga ya dan akhirnya kita ganti seragam, nggak pakai putih merah lagi!" seru Nisa.
"Betul itu betul, tapi kok aku deg-degan ya," ucap Ellen.
"Kenapa? Bukan serangan jantung, kan?"
Langkah Ellen pun terhenti dan ia memandang ke arah sahabatnya itu dengan pandangan menusuk, setajam pisau.
"Lah, dia mulai adegan membunuh dengan mata lagi!"
"Len, udah buruan, aktingnya ntar aja. Sekarang kita cari kelas kita dulu," ucap Nisa sambil menarik tangan Ellen.
"Emang kelasnya hilang? Kok harus dicari," celetuk Ellen.
"Pasti belum minum obatnya, pagi begini kok udah kambuh. Buruan lihat papan pengumuman!" ajak Nis setengah berlari sambil menarik tangan Ellen.
Keduanya pun menuju papan pengumuman, untuk mencari letak kelas mereka dan setelahnya mereka bersegera menuju kelasnya untuk meletakkan tas mereka dan segera kembali ke tengah lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Upacara bendera pertama setelah sebulan penuh beristirahat dari kegiatan sekolah. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan penyambutan siswa baru oleh guru olahraga yang dipercaya untuk menjadi guru penanggung jawab penyambutan siswa-siswi baru.
"Selamat pagi semuanya! Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, Pak!"
"Alhamdulillah, sepertinya kalian semua sangat bersemangat di hari Senin yang cerah ini. Semoga semangat ini bertahan hingga kalian menyelesaikan studi kalian."
"Baiklah, bapak akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Fauzan Nasrul, kalian akan bertemu saya di mata pelajaran olahraga dan saya juga bertugas sebagai pembina PMR. Jadi, buat kalian yang nantinya akan mengikuti ekstrakulikuler PMR, kalian akan bertemu saya."
"Seperti yang kalian lihat, di samping bapak sudah berdiri dengan rapi senior-senior kalian, yang akan bertanggung jawab dalam kegiatan siswa kali ini."
Ellen yang berdiri pada baris ke-tiga dapat melihat jelas satu persatu wajah seniornya dan matanya terhenti pada senior laki-laki bertubuh tinggi dan tegap, berambut lurus yang sangat rapi. Wajahnya tegas dengan alis tebal dan kulitnya yang bersih.
Lalu, pak Fauzan mulai memperkenalkan satu-persatu, para senior yang bertanggung jawab dalam orientasi siswa kali ini.
"Yang pertama, ada kak Reza Ardiansyah yang menjabat sebagai Ketua OSIS dambaan hati para siswi, bukan begitu bukan?"
Dengan kompak semua murid baru menjawab, "Bukan!"
"Sip, kalian sangat kompak!"
"Lalu, yang kedua tapi tidak mendua pastinya, yaitu wakil ketua OSIS, Ahmad Raditya dengan panggilan sayangnya, kak Adit!"
"Yang ketiga, persatuan Indonesia!"
Sontak saja, suara tawa bergemuruh dari para siswa baru memecahkan suasana di lapangan upacara.
Lalu, Pak Taufiq mengendalikannya dengan gerakan kedua tangan. Suasana pun kembali tenang dan pak Taufiq melanjutkan perkenalan para senior.
"Yang ketiga adalah yang terpenting dalam kegiatan orientasi siswa tahun ini, yaitu ketua Orientasi Siswa dan juga ketua PMR, siapa lagi jika bukan babang rasa oppa, Erick Yusuf!
Semua mata pun menuju ke arah Erick yang berdiri tegap dan berjajar dengan para senior lainnya. Wajah tampannya yang kharismatik dan berkarakter, membuat semua yang memandangnya terpesona. Ditambah dengan postur tubuhnya yang tampak lebih tinggi dari senior lainnya, membuat Erick sangat mudah dikenali dan mendapat perhatian lebih dari siswi baru.
"Yang keempat, ketua Pramuka Ricky Pahlevi. Kak Ricky ini juga merupakan anggota Paskibra pada setiap upacara bendera hari besar nasional."
"Nah, yang cantik-cantik ini, mereka adalah mewakili anggota paduan suara. Paduan suara ini bertugas pada upacara-upacara hari besar nasional dan juga dipersiapkan untuk mengikuti lomba."
Pak Taufiq pun melanjutkan perkenalan senior yang akan mengospek murid-murid baru dan setelahnya, kegiatan orientasi pun dimulai di kelas masing-masing.
Tiga puluh menit sebelum istirahat pertama, para ketua dan anggota terbaik dari setiap ekskul bergantian memasuki kelas tujuh, untuk memperkenalkan diri dan mempromosikan kegiatan, karena setiap siswa-siswi baru nantinya harus memilih kegiatan ekskul mana yang mereka inginkan.
Seorang gadis manis, berwajah oval, berkulit putih kemerahan dan terlihat sedikit oriental karena memiliki lipatan mata yang kecil, bernama Ellen duduk di kelas tujuh B. Ia terlihat antusias mendengarkan penjelasan mengenai kegiatan ekstrakurikuler dari para seniornya, karena dia masih belum menentukan kegiatan ekskul yang akan dijalaninya selama tiga tahun ke depan.
Sampai akhirnya, Erick si ketua PMR dan ospek, memasuki kelas tujuh B bersama anggotanya untuk memperkenalkan diri.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" sapa Erick yang berdiri di depan kelas.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" jawab siswa kelas 7B dengan kompak dan penuh antusias.
"Seperti yang sudah diperkenalkan tadi oleh Pak Taufiq, nama saya Erick, ketua orientasi siswa tahun ini dan juga ketua PMR," ucap Erick.
Selanjutnya Erick pun memperkenalkan anggota PMR lainnya. Sembari perkenalan, Erick pun memperhatikan adik kelasnya satu persatu agar dapat lebih berinteraksi dengan baik.
"Untuk program dari PMR sendiri, akan dijelaskan oleh Ratri, sebagai humas PMR," ucap Erick yang berhasil membuat seluruh anggota PMR dalam kelas 7B saling berpandangan, karena mereka tidak pernah mengetahui jikalau ekskul mereka mempunyai humas.
Erick pun dengan santai berjalan ke belakang kelas dan menunggu penjelasan dari humas dadakannya.
Untung saja Ratri, yang sudah hafal dengan tingkah sepupunya ini, cukup cerdas dan sigap untuk menjelaskan tentang kegiatan PMR yang pernah dan akan diadakan atau diikuti oleh sekolah mereka.
Di saat semua mata fokus pada Ratri, mata Erick akhirnya tertuju pada punggung seorang gadis berambut panjang berkepang dua yang tampak familiar.
Kok kayak pernah lihat, tapi dimana ya, gumam Erick dalam hati.
Tetapi, sayangnya Erick tidak dapat mengingat kapan dan dimana ia pernah melihat gadis itu. Lalu, setelah Ratri selesai menjelaskan program, Erick mengambil alih kembali.
"Baiklah, ada pertanyaan? Nggak ada, kan? Sip deh kalau gitu, ditunggu pilihannya akhir pekan ini, ya. Ingat jangan sampai salah pilih, karena yang lain belum tentu setia," lanjut Erick menutup perkenalannya yang kembali membuat seisi kelas tertawa riuh.
Heran, ini sekolah kenapa sih? Kok pada mode OVJ? batin Ellen.
Akhirnya bel istirahat siang pun berbunyi. Ellen bergegas keluar menuju musholla, untuk menunaikan shalat dzuhur berjama'ah.
"Len, tunggu, kita bareng ya!" panggil Nisa.
"Yuk buruan, biar bisa lanjut maksi nih!" seru Ellen sambil terus berjalan.
Ada kebiasaan Ellen yang sering berbicara dengan kata-kata disingkat yang terkadang hanya Tuhan dan dirinyalah yang paham.
Tidak lama iqamat pun terdengar, menunjukkan shalat akan dimulai. Erick pun melangkah maju karena ia yang ditunjuk menjadi imam shalat dzuhur kali ini.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk mengimami shalat dzuhur di sekolah, bergantian juga dengan delapan siswa lainnya, karena Erick juga merupakan salah satu pengurus musholla sekolah.
Selesai shalat berjamaah Ellen dan Nisa bergegas ke kantin yang sudah ramai oleh para siswa yang sedang menikmati makan siangnya.
Ellen pun segera mengantri bersama Nisa sambil memilih menu makan siangnya. Tak lama kemudian, dia sudah membawa piring berisi lontong sayur menuju meja yang kosong.
"Nis, nanti milih ekskul apa?" tanya Ellen di sela-sela makan siangnya.
Nisa yang sedang asyik mengunyah pun langsung menjawab tanpa menelan makanannya terlebih dahulu, "PMR aja."
"Hmm, kenapa?" tanya Ellen.
"Hmm kenapa yaa. Banyak babang tamvannya, lagian PMR kan berasa deket ama dokter cintah," jawab Nisa santai.
"Idih kamu tuh ya, dari dulu emang suka bener kek gini," celetuk Ellen.
"Itulah kekuatanku," sahut Nisa.
Tanpa keduanya sadari, Ratri yang duduk di belakang mereka mendengar percakapannya dan tergelitik untuk berkenalan. Ia pun berpindah duduk ke samping Ellen dan memperkenalkan dirinya.
"Eh maaf ya, boleh kenalan dulu, aku Ratri dari kelas sembilan A," ucap Ratri sambil mengulurkan tangannya.
Ellen dan Nisa pun setengah terkejut dengan perkenalan Ratri yang tiba-tiba, sehingga keduanya hanya terdiam dan memandang penuh tanya ke arah Ratri.
"Lho kok diam?" tanya Ratri.
Lalu, Ratri menjabat tangan Ellen dan Nisa, sambil berucap, "Sst jangan bengong, aku tau aku cantik, tapi kalian jangan terpukau sampai seperti itu."
Sontak saja, Ellen dan Nisa memundurkan badan mereka dengan pandangan heran ke arah Ratri. Lalu, Ellen pun berucap, "Aku Ellen dan ini Nisa. Tadi mbak Ratri ini yang jadi humas PMR itukan?"
"Iya. Hmmm humas dadakan dari bapak ketua yang aneh," jawab Ratri sambil menikmati makan siangnya.
"Kok aneh?" tanya Nisa.
Belum sempat Ratri menjawab, Erick tiba-tiba berucap dari belakang, "Dosa ngeghibahin orang."
"Idih, denger aja Lu!"
"Kupingku masih normal," jawab Erick santai.
"Nah, sekalian deh kalau gitu," sahut Ratri.
"Sekalian apa, Mbak?" tanya Ellen.
"Sekalian menarik anggota baru. Gimana? Mau kan masuk PMR? Kalian nggak usah malu, nggak usah segan, kalau alasan masuk PMR itu karena babang Erick nan tamvan dan rupawan," jawab Ratri.
"Dia kumat," lirih Erick, mendengar kalimat yang dilontarkan oleh kakak sepupunya.
Rutinitas sebagai pelajar SMP, akhirnya mulai Ellen jalani. Ellen yang selalu ceria, bersemangat dan murah senyum membuatnya mudah untuk mendapatkan teman baru dan bahkan tak sedikit senior yang mengajaknya untuk berteman.
Semua itu juga ditunjang dengan penampilannya yang menarik. Wajah berbentuk bulat telur dengan pipi chubby yang sering terlihat kemerahan jika terkena cahaya matahari, membuat banyak mata yang tertarik untuk memandangnya. Berkulit putih kemerahan, serta memiliki bentuk mata yang indah seperti mata kucing, membuat Ellen dijuluki si mata kucing di kelasnya. Rambut ikalnya selalu diikat ekor kuda dan meninggalkan banyak helaian anak rambut yang tipis disekitar pangkal leher dan dahi.
Tibalah di hari Sabtu, hari dimana semua kegiatan ekstrakokulikuler dilaksanakan di sekolah, termasuk kegiatan PMR, dimana semua anggotanya telah berkumpul menjalani berbagai macam kegiatan pelatihan.
Pelatihan yang nantinya akan mereka jalani dalam satu tahun ke depan, seperti membuat tandu, memasang bidai, menggunakan mitela dan lain sebagainya pun sudah terjadwal dengan rapi.
Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu dan tibalah saatnya untuk diadakannya pemilihan ketua baru. Untuk itu, semua anggota PMR berkumpul di tengah lapangan.
Ditengah terik panas matahari, para anggota PMR ini duduk bersila sambil berdiskusi akan siapa calon kandidat ketua PMR yang akan mereka pilih. Tak terkecuali Ellen dan Nisa, yang asyik berdiskusi tentang siapakah nama yang akan mereka pilih sebagai ketua PMR yang baru.
"Pilih siapa, Len?" tanya Nisa.
"Kak Riga kali yaa, kan dia yang paling error diantara kelas delapan, biar tambah seru kegiatan kita," jawab Ellen santai.
Riga adalah siswa kelas delapan, yang terkenal iseng dan memiliki selera humor yang tinggi tetapi jika sudah serius, hawa dingin puncak gunung Everest pun akan datang.
"Hooo jadi kriterianya adalah yang paling error. Baiklah kalau begitu, aku juga akan milih kak Riga. Eh tapi, apakah alasan ini adalah alasan yang digunakan untuk menutupi alasan sebenarnya?" tanya Nisa sambil menarik-turunkan alisnya.
Kini giliran hawa dingin yang menusuk melalui tatapan mata yang Ellen tujukan ke arah Nisa, tetapi sesuatu yang tak terduga, membuat tatapan dingin itu meleleh seketika oleh kehadiran Erick dan Riga.
Ada hal yang kedua makhluk manis ini tidak sadari, yaitu di saat para yunior sibuk menentukan pilihannya, Riga dan Erick mengamati adik kelas mereka dengan berjalan mengitari junior-juniornya. Tetapi, kedua berhenti melangkah ketika melewati Ellen dan Nisa, karena mereka mendengar sepintas lalu, alasan Ellen memilih Riga.
Seketika itupun, Erick meletakkan tangannya di bahu Riga, sembari berucap, "Aku nggak tahu harus berkata apa, tetapi ketika dirimu dipilih ternyata gara-gara error, disitu aku ingin tertawa. Sungguh sebuah alasan yang out of the box!"
Ellen yang sedang melipat kertas votingnya pun langsung salah tingkah sambil menunduk dan menutup wajahnya yang menahan malu.
"Ya nasib Bang, tapi minimal gue dipilih sama Neng Ellen si kembang es, yang artinya diriku sudah mulai memasuki hatinya," jawab Riga santai yang sengaja dikeraskan sehingga seluruh anggota PMR pun mendengarnya.
Lalu dengan santainya ia berjalan ke depan barisan dan diikuti oleh Erick yang tersenyum kecut setelah mendengar jawaban Riga.
Suasana pun mendadak menjadi ramai, dikarenakan ucapan Riga. Ellen yang menahan malu pun segera menyembunyikan kepalanya diantara kedua lututnya.
Erick yang melihatnya pun tersenyum geli, lalu ia berjalan cepat ke depan barisan untuk mengatasi keramaian itu dengan suaranya yang lantang.
"Sudah semua votingnya? Kalau sudah, kita akan segera melakukan perhitungan suara. Ayo, segera dan nggak pakai berisik votingnya!" seru Erick yang membuat suasana kembali tenang.
Beberapa saat kemudian, dimulailah proses perhitungan suara, yang akhirnya dimenangkan oleh Riga dengan perolehan angka yang cukup telak dari lawannya.
Untuk itu, Erick sebagai mantan ketua, memberikan sambutan dan ucapan selamat untuk penggantinya, "Alhamdulillah akhirnya bisa turun tahta tanpa pertumpahan darah dan selamat buat Riga yang akan menjalani kepemimpinan selama satu tahun ke depan.'
"Ayo Rig, kasih kata sambutan sebagai ketua baru," titah Erick kepada penggantinya.
Riga pun berjalan ke depan untuk memberikan ucapan terima kasihnya.
"Alhamdulillah wa syukurillah, saya dipercaya untuk menduduki tahta Bang Erick selama setahun ke depan. Terima kasih buat semua yang sudah memilih saya dan yang tidak memilih saya.... kalian milih siapa? kepo ni, bisikin ntar yak," ucap Riga yang membuat suasana kembali pecah.
Erick pun menepuk keningnya sambil membatin, salah gue apa yak, pengganti gue kok kek gini amat?
Setelah acara pemilihan selesai, kegiatan pun kembali ke jadwal latihan PMR, kali ini mereka akan belajar membuat tandu.
Riga sebagai ketua baru pun memberikan pengumuman.
"Hari ini kita belajar membuat tandu, siapa yang cepat bisa dan tandunya pun kuat, akan dicalonkan untuk mengikuti lomba PMR tingkat SMP di Kantor PMI Jakarta Utara. Jadi, ayo tunjukkan kekuatanmu!" seru Riga penuh semangat.
Dengan cepat dan teratur, para anggota PMR kelas tujuh mulai memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok telah dilengkapi dengan dua tali dan dua tongkat, yang nantinya akan disusun menjadi sebuah tandu dan juga dua orang senior untuk membimbing mereka.
Lalu para senior pun mulai membimbing setiap kelompok untuk memasang tali temali pada tongkat yang tersedia.
Erick pun berdiri mengawasi pelatihan tersebut bersama Ratri, tetapi tak lama kemudian terdengar suara rintihan kesakitan.
"Ya Allah Ellen, kenapa tangan Lo?" tanya Nisa setengah panik melihat Ellen berjongkok sambil memegang telapak tangan kanannya yang memerah nyaris berdarah.
Mendengar ucapan Nisa, dengan segera Erick dan Ratri menghampiri Ellen, untuk melihat apa yang terjadi.
"Ada apa? kenapa tanganmu?" tanya Erick sambil mencoba meraih telapak tangan Ellen.
Tetapi dengan refleknya, Ellen langsung menjauhkan tangannya dari jangkauan Erick.
Erick yang sadar akan hal itu pun segera menarik tangannya dan berdiri mundur, lalu digantikan oleh Ratri.
"Coba sini aku lihat tangannya," pinta Ratri kepada Ellen.
Ellen pun menunjukkan telapak tangannya yang terluka karena terlalu kencang saat menarik tali. Telapak tangannya terlihat merah dan lecet, bahkan ada kulit yang sedikit terkelupas.
"Kok bisa kayak gini, Len?" tanya Ratri.
Sebelum Ellen sempat menjawabnya, tiba-tiba terdengar suara dari kelompok lain, yang iri dengan perhatian senior kepada Ellen.
"Biasalah anak Sultan, nggak pernah kerja, tangan mulus buat narik tali yaa langsung lecet."
Nisa yang mendengar hal itu tidak terima dan segera bangkit untuk menghampirinya, tetapi tangannya segera ditarik oleh Ellen, menandakan untuk tidak perlu meladeninya.
Tetapi, Ratri tidak tinggal diam begitu saja. Ia pun berucap, "Alhamdulillah ya, kalau ada anggota kita yang beruntung menjadi anak sultan. Dia pasti memiliki banyak hal yang tidak semua orang miliki, salah satunya akhlak dan empati."
Erick pun tersenyum puas dengan apa yang dikatakan oleh Ratri, sembari berseru, "Kita sebagai anggota PMR, harus memiliki rasa empati yang tinggi karena kita adalah petugas kesehatan yang dilatih untuk dapat memberikan pertolongan pertama pada setiap kecelakaan yang terjadi di sekitar kita. Untuk menolong orang lain, kita harus mengesampingkan emosi dan rasa yang ada. Keselamatan adalah yang utama."
"Baiklah, kalian semua lanjutkan memasang tandu," lanjut Erick.
Kemudian, Ratri segera membawa Ellen ke UKS untuk diobati dan tentu saja diikuti oleh Erick dan kakak pembina. Sesampainya di UKS, tangan Ellen dibersihkan dengan menggunakan disinfektan kemudian dioleskan salep.
Ellen pun meringis menahan perih ketika lukanya diberi disinfektan.
"Kenapa bisa hampir terkelupas kulitnya?" tanya kak Lia salah satu pembina, sambil mengoleskan salep dengan hati-hati.
"Memang menarik tali tandu itu butuh kekuatan, tapi belum pernah ada yang sampai lecet seperti ini," tambah kak Lia.
"Beberapa hari yang lalu, tangan saya terkena panci yang panas," jawab Ellen, sambil menahan perih.
Sambil mengerutkan keningnya, kak Lia bertanya, "Kok bisa?"
"Saya kurang hati-hati aja sih, Kak. Saya kira pegangan pancinya tidak panas, eh ternyata panas pake banget. Jadilah agak-agak melepuh gimana gitu," jawab Ellen.
Erick yang mendengarkan dari depan pintu UKS langsung menghampiri Ellen dan berucap, "Jangan teledor, kamu harus memperhatikan semuanya. Apalagi yang berhubungan dengan api, kita harus selalu menggunakan alat keamanan, sarung tangan atau kain yang dapat melindungi dari panas."
"Dan satu lagi, praktek memasang tandu itu tidak wajib. Kamu bisa minta ijin untuk tidak mengikuti kegiatan ini, bukannya memaksakan kondisi yang berakibat lukanya semakin parah. Kalau sudah begini, yang rugi adalah kamu sendiri. Jadi ingat, keselamatan dan keamanan untuk diri sendiri harus diutamakan terlebih dahulu, paham?"
"Paham, Kak. Tapi, aku jangan dimarahin dong. Aku tahu aku bikin kegiatan ini terganggu, tapi kan bukan maksudnya begitu," jawab Ellen.
"Pokoknya lain kali, ingat keselamatan diri. Hari ini kamu cukup memperhatikan dari pinggir lapangan, tidak perlu ikut latihan," ucap Erick yang kemudian segera keluar ruangan.
Setelah Erick menghilang, dengan kesal Ellen berucap, "Ih, ganteng-ganteng ternyata galak. Mana nggak ada senyum sama sekali. Prihatin kek, ada dek kelasnya yang sakit. Ini malah ngomel."
"Itu ngomel tanda perhatian," goda Kak Lia sambil mengedipkan satu matanya.
"Idih perhatian! Perhatian dari Hongkong! Kalau orang perhatian itu, ditanya mana yang luka, trus dilihat lukanya, trus diobatin bulan dimarahin!" sungut Ellen yang kesal.
Kak Lia pun terkekeh mendengar kekesalan Ellen. Lalu ia berucap, "Sudah selesai, nanti jangan kena air dulu ya. Dibersihkan pakai lap basah hangat saja, lalu diolesi salep lagi."
"Baik Kak, terima kasih," jawab Ellen sambil beranjak keluar.
Diluar, Erick tengah duduk di pinggir lapangan, sambil memperhatikan adik kelasnya berlatih. Tak lama, Ratri menghampiri sambil membawakan sebotol air mineral.
Sambil menyodorkan air mineral kepada Erick, dengan santainya Ratri bertanya, "Rick, kamu suka sama Ellen ya? nggak boleh bohong, jawab jujur, nggak terima jawaban ambigu. Iya, iya atau nggak, nggak."
Setelah menenggak airnya, Erick pun menjawab, "Heran gue, punya kakak sepupu gini amat nembaknya, napa sih emangnya?"
"Ya kalau kamu suka sama Ellen, ntar gue bantu, pake pamrih," jawab Ratri sambil mengeluarkan senyum maut jahilnya.
"Sudah kuduga bakalan begini. Sorry ye Kakak, adikmu ini nggak mau mikirin yang kayak gitu. Ujian Nasional sudah didepan mata, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Gue mau fokus disitu, urusan cinta itu nanti kalau sudah tidak berseragam lagi. Udah ah, nggak mau ngebahas ini, nggak penting juga," ucap Erick.
Setelah peristiwa terlukanya tangan Ellen, di Senin paginya ia tidak terlihat di sekolah hingga beberapa hari kemudian. Hal ini mengundang sejuta tanya di benak Erick, salah satunya adalah apakah karena tangannya lecet menjadi penyebab tidak masuknya Ellen ke sekolah.
Erick pun mencari jawaban atas pertanyaannya melalui Nisa di saat istirahat dan tempat terbaik untuk mencarinya adalah kantin, karena Nisa tidak pernah melewatkan jam istirahat tanpa bertransaksi di kantin sekolah, yang nampak layaknya sebuah pujasera.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Erick dengan mudah menemukan Nisa, gadis berkacamata dengan rambut model Dora, diantara puluhan siswa yang sedang menikmati jam makan siang mereka.
"Nisa!" panggil Erick sambil berjalan menghampiri.
Nisa pun terkejut, mendengar namanya tiba-tiba dipanggil. Ia pun mencari asal suara yang memanggil namanya dan tiba-tiba saja senior tampan pujaan hati berjalan ke arahnya.
Mimpi apa gue semalam, nggak ada angin nggak ada hujan, ngapain abang ganteng ini manggil gue? tanyanya dalam hati.
Tanpa Erick sadari, suaranya telah berhasil mengundang perhatian para siswa Doremi. Bagaimana tidak? Erick yang dikenal sebagai makhluk tanpa ekspresi dan hanya satu perempuan yang pernah ia ajak bicara, yaitu hanya Ratri seorang. Tetapi kini, tiba-tiba ia memanggil adik kelasnya dan bahkan menghampirinya di tengah keramaian kantin, tanpa memperdulikan efek yang akan diciptakan nantinya.
"Nis, Ellen kemana, kok nggak masuk?" tanya Erick tanpa basa-basi.
Nisa pun tersenyum penuh makna mendengar pertanyaan Erick, sambil lirih berkata, "Hoo, ternyata karena nggak ada Ellen."
Erick pun tetap lanjut bertanya tanpa memperdulikan kata-kata Nisa barusan.
"Jadi kenapa, apa dia sakit? nggak mungkin karena lecetnya, kan?"
"Mungkinlah Kak, siapa tahu lukanya infeksi terus bernanah, trus akhirnya diamputasi," jawab Nisa dengan santainya.
Seketika itupun Erick menyesal telah bertanya kepada Nisa dan ia berucap dengan datar, "Sepertinya kamu kebanyakan nonton film. Menyesal aku harus bertanya!"
Tanpa mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Erick meninggalkan kantin dengan kesal, tetapi tidak dengan Nisa yang sibuk dengan skenario di dalam kepalanya.
Sepulang sekolah, Nisa memutuskan untuk pergi ke rumah Ellen, dengan membawa cerita tentang mantan ketua PMR itu.
"Len, kenapa nggak masuk-masuk juga, emang jari Lo bener diamputasi?" tanya Nisa sambil memperhatikan jari-jari tangan Ellen.
"Emang siapa yang bilang jari gue diamputasi?" tanya Ellen bingung sambil menunjukkan jari-jarinya yang baik-baik saja.
"Gue yang bilang ke kak Erick, pas tadi siang waktu dia nanyain kenapa Lo nggak masuk," jawab Nisa santai.
Bola mata Ellen membesar, alisnya terangkat dan jari jemarinya pun terkepal, lalu ia berseru, "Ya Allah ini anak! serius gue bingung kenapa gue bisa temenan ama elu ampe bertahun-tahun!"
Tetapi, dalam sekejap saja, ekspresi Ellen tiba-tiba berubah dari kesal menjadi penasaran. Lalu, ia bertanya, "Eh, trus kak Erick gimana pas Lo jawab gitu?"
"Dia bilang kalau gue kebanyakan nonton film, trus dia pergi aja, tau deh kemana perginya, apa ke hatimu?" jawab Nisa sambil tertawa.
Ellen pun melayangkan jitakan andalannya ke kening Nisa.
"Auu sakit tauk! Idih marah ni yee, apa malu nii?" goda Nisa kembali.
"Tau dah! Herman gue punya temen kek Lo!" sungut Ellen.
"Iye, iye dah, maap. Nah, trus nape Lo nggak masuk? perasaan, Lo nggak kenapa-kenapa deh, anggota tubuh lengkap, suhu badan normal, kaki masih napak ..."
Dengan memicingkan matanya dan memberikan tatapan dingin khasnya, Ellen memotong kalimat Nisa, "Lo kira gue berubah jadi kunti?"
Nisa tertawa puas melihat sahabatnya yang cepat tanggap akan maksud pertanyaannya itu.
"Maaf, maaf. Nah, sekarang jawab pertanyaan gue, kenapa Lo nggak masuk?" tanya Nisa lagi.
"Seperti yang gue bilang tadi, gue sakit, tapi In syaa Allah Senin depan gue sudah masuk lagi," jawab Ellen.
"Sakit apa sih? kayaknya sekarang Lo baik-baik aja," selidik Nisa karena ia tidak melihat perbedaan ketika Ellen sehat dan sakit seperti saat ini.
"Autoimun gue kambuh, sekarang gue kena hipertyroid," jawab Ellen.
"Duh canggih amat nama penyakit Lo! emang itu apaan, tapi Lo kok nggak keliatan sakit?" tanya Nisa.
"Emang keliatannya baik-baik aja, tapi berat badan gue tiba-tiba turun, gampang capek, tangan suka juga gemetaran. Jadi sementara ini gue di rumah dulu, sampai keluhannya berkurang atau hilang. In syaa Allah, Ahad besok gue periksa darah lagi, semoga hasilnya bagus," jelas Ellen.
"Aamiiin, semoga Lo baik-baik aja ya, Len. Kasian abang kesayangan kehilangan Lo," goda Nisa.
Jitakan kedua pun berhasil mendarat di kening Nisa yang kembali membuat Nisa tertawa.
"Besok kalau ada yang nanyain gue, jawab aja gue sudah baikan. In syaa Allah, hari Senin gue sudah bisa masuk lagi," ucap Ellen.
Setelah berbincang-bincang dan memberikan materi pelajaran serta tugas-tugas dari sekolah, Nisa pun pamit pulang ke rumah.
Keesokan harinya, Nisa datang lebih awal ke sekolah untuk dapat bertemu Erick di halaman sekolah. Tak lama menunggu, Erick tiba di sekolah dengan sepedanya bersama dengan Ratri yang membonceng di belakang, serta Adit yang merupakan sahabatnya sejak SD.
"Kak Erick!" panggil Nisa setengah berteriak, membuat semua mata mengarah padanya.
Erick pun berjalan menghampiri Nisa.
"Napa teriak-teriak manggil?" tanya Erick.
"Nggak papa, cuma mau kasih info, kalau junior kesayangan nggak masuk karena sakit, katanya autoimunnya kambuh. Nah, sekarang Ellen itu sakit ... hmm, duh! kan gue lupa nama penyakitnya! Sebentar, hmm hiper.. tori.. tiro.. hmm apa ya? pokoknya itu deh Kak, tapi tenang katanya in syaa Allah hari Senin bakalan masuk kalau keluhannya berkurang," jawab Nisa.
"Ellen sakit autoimun? sejak kapan? sakitnya kayak gimana?" tanya Erick.
"Aku juga nggak ngerti sama sakitnya Ellen, tapi semenjak kelas lima, Ellen memang suka tiba-tiba nggak masuk sekolah sampai seminggu," jawab Nisa.
"Hoo gitu, ya sudah, makasih infonya ya," ucap Erick yang segera berjalan menuju kelasnya.
"Terus aku dapat hadiah apa nih?!" tanya Nisa yang membuat Erick menghentikan langkahnya.
"Hah, hadiah?! hmmm nanti pas istirahat, ambil coklat di kantin aja ya," jawab Erick.
"Eh beneran Kak, aku dapet coklat?" tanya Nisa setengah tak percaya.
"Iya, nanti kamu ke kantin, ambil coklat, terus jangan lupa bayar dan bilang makasih sama ibu kantin yaa," jawab Erick sambil melanjutkan berjalan menuju kelasnya.
"Mantan ketua nggak beres nih! gue seperti disanjung tetapi ketika sudah berada di atas, langsung dihempaskan begitu saja! sakit Kaak !" teriak Nisa kepada Erick yang sudah menghilang di lantai dua.
Tetapi, akibat teriakan itu banyak mata yang menuju ke arah Nisa, seolah bertanya, ada apa gerangan yang terjadi diantara mereka berdua?
Sedangkan Erick yang diteriakkan dari jauh, memilih tidak perduli dan hanya tertawa kecil sambil melanjutkan langkahnya menuju kelasnya.
Sepulang sekolah, Erick segera membuka internet di komputernya, untuk mencari tahu tentang autoimun dan jenis penyakitnya.
Hmm tadi Nisa bilang sakitnya tiro-tiro apa sih, ucapnya dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya karena bingung.
Akhirnya setelah berhasil mencari informasi tentang autoimun, Erick pun mendapatkan nama penyakit yang diderita Ellen.
Oh mungkin ini nama penyakitnya, hipertiroid. Sepertinya bukan penyakit berbahaya, semoga kamu segera kembali sehat ya, Len, batin Erick berharap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!