"Bukan aku tak terima dengan takdir yang telah kau berikan, tapi aku merasa hanya terlalu berat beban yang kau berikan."
By Rajuk Rindu
💝💝💝💝
Brukkk."
Lelaki itu menolak tubuh Azkia, hingga terjerembab di lantai. Pada hal Azkia hanya ingin menyambut kedatangan suaminya yang baru pulang dari kantor. Dengan rahang yang mengeras Herman menatap wanita yang sudah beberapa tahun itu dinikahinya.
Semakin hari, perlakuan Herman terhadap istri pilihan papanya itu, semakin kasar, tak ada yang bisa membuatnya merubah sikap untuk lebih baik lagi memperlakukan wanita itu, yang menurutnya hanya menghadirkan penderitaan dalam hidupnya.
"Bang! sampaikan kapan abang akan memperlakukanku seperti ini." mata Azkia nanar menatap suaminya, matanya mulai berkaca-kaca.
Kedua tangan Herman mengepal marah, dia menghempaskan kedua tangannya dengan kesal, dia melemparkan tas kerja ke arah Azkia, kemudian melangkah masuk ke kamar. Azkia meraih tas kerja suaminya yang tergeletak di dekatnya, ikut melangkah masuk ke kamar.
"Bang! aku ingin bicara sesuatu padamu." ujar Azkia saat melihat Herman tak memperdulikannya.
"Bicara apa lagi!" Kata Herman masih dengan nada yang tinggi.
"Aku..."
"Aku capek, keluar kamu dari kamar ini, aku mau istirahat." ucap Hermam seraya menghempaskan tubuhnya di atas kasur.
"Ta-tapi..."
"Tapi apa lagi!" Herman membentak, dan terus menyela ucapan Azkia. Dia melotot memandang Azkia, merasa heran tak biasanya Azkia membantah perkataannya.
Tatapan Herman memukik tajam ke arah Azkia, entah kenapa dia begitu muak melihat wanita yang sedang berdiri di depannya. Karena Azkia tidak beranjak dari tempatnya. Herman pun berdiri, kemudian mendorong tubuhnya.
"Keluar!"
"Aku minta cerai." ujar Azkia dengan suara bergetar, entah dari mana dia dapat kekuatan, hingga kata-kata itu meluncur dari bibir mungilnya.
"Apa? cerai?" Herman menohokkan jari telunjuknya ke kepala Azkia. Azkia tertunduk tak berani mengangkat kepalanya.
"Sini kau!" Herman menarik tangan Azkia, hingga Azkia tersandar didinding kamar.
"Lepaskan." lirih Azkia, saat Herman mencengkram kuat kedua bahunya.
"Kau yang menginginkan pernikahan ini kan, bukan aku Kia!" pekik Herman, hingga memekakkan telinganya.
"Aku hanya mengikuti kemauan orang tuaku, hiks... hiks... hiks." Azkia terisak.
"Alasan! kau kan bisa menolaknya, hah!"
"Papamu juga menginginkannya." ujar Azkia dia kembali menunduk.
"Jika kau menolakknya, papaku pasti tidak akan memaksa." ucap Herman seraya memegang geraham Azkia dengan kasar.
Dulu saat Herman dijodohkan dengan Azkia, dia tidak bisa menolak, karena papanya akan mengeluarkannya dari daftar warisan jika dia tidak mau menikah dengan anak sahabatnya itu, Dan pada saat itu, dia berharap Azkia yang menolaknya.
"Aku mohon padamu, katakan pada papaku, kalau kau menolak perjodohan ini." ujar Herman waktu itu, saat dia menemui Azkia.
"Aku tidak bisa bang, ini permintaan ayah."
"Kau bisa bilang pada ayahmu, agar membatalkan perjodohan ini." pinta Herman lagi.
"Tidak, aku tidak akan membatalkan perjodohan ini." Azkia tetap dengan pendiriannya, dia akan memenuhi keinginan ayahnya.
"Dasar wanita keras kepala." kata Herman seraya menggeram menahan emosi.
"Kalau abang mau membatalkan perjodohan ini, silahkan! aku akan tetap dengan keputusanku."
"Baiklah, kalau itu yang kau mau."
"Ingat! kau yang ingin jadi istriku, jadi jangan pernah menyesal!" ujar Herman sambil melangkah pergi meninggalkan Azkia yang masih terpaku.
"Kenapa kesalahan hanya ditimpakan padaku." batin Azkia, dia pun berlalu.
Seminggu setelah kejadian itu, pesta pernikahan pun digelar sangat meriah, semua keluarga terlihat sangat bahagia, termasuk wanita itu, tak henti-hentinya dia tersenyum. Sementara Herman, hatinya hancur berkeping-keping. Dan sekarang Azkia meminta cerai.
"Kau ingin cerai?" tanya Herman, cengkraman tangannya masih erat di bahu Azkia.
"Lepas! sakit." Azkia menepis tangan suaminya.
Herman melepaskan cengkraman tangannya, mendorong tubuh Azkia, hingga terlempar ke atas kasur, dengan cepat Herman pun naik dan mencekal kedua tangan Azkia, kini dia berada di atas tubuh Azkia.
"Ini yang kau inginkan!" ujar Herman sambil ******* tempat lipstik pink bertengger.
Dengan liar bibir Herman menjelajah leher jenjang Azkia, kemudian dengan kasar ditariknya kemeja Azkia, dan beberapa kancingnya terlepas, hingga terbentang pemandangan indah yang belum terjamah oleh siapa pun. Herman menyusuri perbukitan yang kenyal itu dengan kasar, bak pemburu yang sedang mengejar mangsanya yang mau melarikan diri.
"Lepas bang! aku mohon, hiks...hiks...hiks." Azkia memberontak seraya terisak.
"Ini yang kau maukan." ucap Herman lagi, dia semakin liar, baju yang dipakai Azkia sudah telepas, beberapa tanda kepemilikan Herman jelas tertempel di sana.
"Plakkk." tamparan manis mendarat di pipi Herman.
Tersadar dari apa yang telah dilakukannya, Herman menghentikan aktifitasnya. Dia memalingkan wajahnya dan menjatuhkan tubuhnya di sebelah Azkia yang sedang menangis dan menggigil ketakutan.
"Pergilah dari sini, sebelum pikiranku berubah." ujar Herman seraya turun dari ranjang, menyambar handuk dan terus ke kamar mandi.
Kran shower dibiarkan Herman terbuka kencang, dia berdiri di bawah air yang mengalir, mengguyur seluruh tubuhnya yang masih berbalut baju kerja.
"Apa yang telah aku lakukan, Hampir saja aku memperkosanya." batin Herman.
Terbayang di wajahnya, separoh tubuh mulus wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu, namun belum pernah disentuhnya, dan bahkan keperawanan wanita itu masih tersegel. Sejak dia menikahi Azkia baru hari ini dia menyentuhnya, itu pun karena dipicu oleh emosi yang meletup-letup gara-gara wanita itu meminta cerai padanya.
"Enak saja dia minta cerai, aku tak akan pernah menceraikannya, sebelum puas menyiksanya." gumam Herman, dia menyelesaikan aktifitas ritual mandinya.
Sementara Azkia berlari ke kamarnya, terus masuk ke kamar mandi dan menumpahkan air matanya di sana.
"Kia, sudahlah jangan menangis lagi." batinnya menguatkan diri sendiri, dia pun menghapus air mata, kemudian membersihkan diri dan berwudhu.
Selesai melaksanakan shalat magrib, Azkia memasukkan dua lembar pakaian ke dalam tasnya. Kemudian keluar dari kamarnya, dia akan ke rumah sakit menjenguk ayahnya. Tadi pagi adiknya memberitahu kalau ayahnya dirujuk ke rumah sakit Pekanbaru.
Saat Azkia melitas di depan kamar Herman, dari pintu yang terbuka sedikit Azkia melihat lelaki itu sudah rapi. Dengan ragu Azkia mengetuk pintu kamar Herman.
Tok... Tok... Tok...
"Masuk." ucap Herman tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin.
"Abang, akuu..."
"Pergilah!" ujar Herman sebelum Azkia menyelesaikan ucapannya. Herman menyerahkan amplop berisi uang sepuluh juta pada Azkia.
"Untuk menebus obat ayahmu." ujar Herman lagi.
Herman sudah tahu, kalau Azkia pasti menyusul orang tuanya di rumah sakit, karena tadi pagi ibu mertuanya sudah memberitahukan, kalau mereka sudah berangkat dari Tembilahan. Walaupun dia tidak menyukai Azkia, namun dengan orang tua Azkia hubungannya tetap baik dan harmonis.
Alasan Azkia memilih menikah dengan pilihan ayahnya, karena dia tak mau penyakit ayahnya bertambah kuat, dan alasannya tetap bertahan selama ini, juga karena ayahnya. Semua dia lakukan karena ayahnya. Azkia rela kehilangan harga diri di depan lelaki yang berstatus suaminya itu, demi kesehatan ayahnya.
Wanita itu memasukkan uang yang diberikan suaminya ke dalam tas, Herman selalu memberikannya uang lebih, jika mendengar ayahnya masuk rumah sakit, itu kelebihan yang dimiliki Herman, lakunya begitu baik, jika berada di depan orang tua Azkia, hingga dia tak punya cacat sedikitpun di depan mertuanya.
Azkia memesan go car, beberapa menit kemudian go car pesanannya pun datang. Dia masuk ke mobil, menarik napas panjang setelah berada di dalam mobil.
"Mau ke mana kak?"
"Ke rumah sakit Aripin Ahmad." Mobil yang membawa Azkia pun meluncur meninggalkan jalan Arengka.
Berdosakah jika Azkia meratapi takdirnya, berdosakah jika dia ingin mengakhirinya, berdosakah ya Allah.
******
Bersambung
Dukung auhtor dengan cara tekan lije
Terima kasih
Arta baru saja selesai melaksanakan shalat magrib, semerbak senja masih tercium, karena malam baru mulai beranjak. Dia berpakaian rapi, karena sudah janji dengan ayahnya akan dinner di luar.
"Arta!." terdengar suara ayah memanggilnya.
"Iya yah." Arta ke luar kamar.
"Apa kamu sudah siap?." tanya Herman begitu melihat putrinya sudah rapi.
"Udah yah."
"Yuk, kita berangkat sekarang."
"Kita tidak menunggu bunda dulu yah."
"Bunda tidak pulang sayang, nginap di rumah sakit, karena kakek dirawat di sana." ujar Herman sambil menggandeng tangan putrinya. Tadi sebelum magrib, Azkia mendapat telpon dari adiknya yang mengabarkan kalau sakit ayah kambuh lagi, Azkia pergi terburu-buru, hingga lupa berpamitan dengan Rara.
Pernikahan Herman dan Azkia, terjadi 7 tahun yang lalu karena perjodohan, pak Harisman, papa Herman menginginkan hubungan dengan sahabat lama tidak terputus, maka dia meminta Herman menikahi putri sahabatnya itu.
Herman memenuhi permintaan papanya, karena papanya mengancam akan mencoret namanya dari daftar warisan, jika dia menolak dijodohkan, dia menikahi Azkia walaupun dia tidak mencintainya. Bahkan Azkia tahu, kalau Herman sangat mencintai sahabatnya Anjeli. Hanya saja papa Harisman tidak pernah merestui hubungan Herman dengan Anjeli, padahal mereka pacaran sudah tiga tahun.
"Kenapa kau lakukan ini padaku Azkia." ujar Anjeli tidak terima, kalau Azkia menikah dengan Herman.
"Maafkan aku Anjeli, ini di luar kuasaku."
"Kau jahat Azkia, kau tahu kalau Herman itu pacarku." Anjeli sangat marah.
"Aku tahu Anjeli, ini permintaan ayah, aku tak bisa menolaknya."
"Kau bohong Azkia, kau mau dengan Herman, hanya karena dia kayakan?." ujar Anjeli semakin emosi.
"Itu tidak benar Anjeli." Azkia sedih dengan tuduhan sahabatnya. tapi dia lebih sedih lagi jika harus menolak permintaan ayahnya.
"Terserah kau mau ngomong apa."
"Aku tidak akan pernah melepaskan Herman, aku tidak akan biarkan ksu bahagia" ujar Anjeli meninggalkannya sambil menangis.
"Anjeli!..Anjeli." Anjeli terus berlari tanpa menghiraukan panggilan Azkia, Azkia merasa bersalah, karena telah membuat sahabatnya bersedih.
Setelah peristiwa itu, Azkia tidak pernah bertemu lagi dengan Anjeli.
"Aku sudah memenuhi permintaan papaku dan ayahmu." ujar Herman waktu itu, di malam pengantin mereka.
"Aku minta maaf padamu, aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai suami, karena aku tak mencintaimu." ujar Herman.
"Aku akan sabar menunggumu, sampai kau bisa mencintaiku, bang!." Azkia memberanikan diri menatap mata lelaki yang kini sudah sah menjadi suaminya.
"Sekarang tidur dan istirahatlah, kau pasti capek." lanjut Herman, dia keluar meninggalkan Azkia sendirian.
Kamar pengantin yang seharusnya hangat oleh deru napas cinta sang pengantin , malah terasa sangat dingin dan sepi.
Azkia duduk di tepi ranjang, dan bertekuk lutut, dia memandang sprai pengantinnya yang masih terbentang. Dua bulir kristal mengalir di pipinya. Lelaki yang sudah sah menjadi suaminya, malah memilih meninggalkannya dan tidur di kamar tamu. dan hari-hari berikutnya Herman tidak pernah tidur sekamar dengan Azkia.
Dua bulan setelah pernikahannya, Herman meminta izin kepada Azkia untuk menikahi pacarnya, Anjeli yang merupakan sahabatnya.
"Izinkan aku menikah dengan Anjeli." pinta Herman, Azkia hanya diam sambil memandangi wajah Herman. rasa sakit tiba-tiba menjalar di hati Azkia.
"Anjeli mengandung anakku."
"Apa?, Anjeli hamil." Azkia terkejut mendengar perkataan Herman. matanya berkaca-kaca.
"Maafkan aku Azkia, aku mencintai Anjeli, kami melakukannya karena saling cinta." Herman berjongkok memohon.
Atas dasar cinta Herman mengkhianati ikatan suci pernikahannya, aku istri sahnya saja, tidak pernah disentuhnya, tapi dia melakukan itu dengan Anjeli.
Remuk rasanya hati Azkia, tapi dia bisa apa, mau marah pada siapa? pada takdirnya? Azkia menangkupkan kedua tangan kewajahnya, kemudian menarik napas panjang. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya, dia tidak boleh rapuh dan lemah di mata Herman.
"Bangunlah, bang! menikahlah dengan Anjeli."
"Kau mengikhlaskannya?" Azkia hanya mengangguk, percuma juga kalau dia bilang tidak ikhlas, suaminya juga tak akan pernah perduli dengan perasaannya.
"Terima kasih ya. Azkia!." spontan Herman memeluknya, tiga bulan pernikahannya, ini kali pertama dipeluk suaminya. Azkiapun membalas pelukannya dengen mengelus punggung Herman.
"Pernikahan ini, hanya kau, aku dan Anjeli yang tahu, yang lain tak boleh tahu, berjanjilah padaku kau akan merahasiakan pernikahan ini." ujar Herman memegang bahu Azkia. Sekali lagi Azkia hanya mengangguk.
"Terima kasih, Azkia." untuk kedua kalinya Herman mengucapkan terima kasih, dia mengecup kening Azkia sebelum meninggalkannya.
Sepeninggalan Herman, Azkia duduk terhenyak di ruang tengah, banyak kata yang ingin dilontarkannya, tapi pada siapa dia harus membahasakannya? Air mata inilah jawabannya. Azkia hanya bisa menangis dan menangis, ada luka dalam yang terasa sangat perih.
****
Senja sudah meninggalkan peraduannya, berganti dengan malam, sisa-sisa hujan tadi sore masih menyisakan hawa sejuk, sesekali berasa di kulit.
Malam ini, untuk pertama kalinya Herman membawa Azkia dinner di luar rumah, setelah dinner Herman membawanya ke butik.
"Selamat malam pak Herman, ada yang bisa kami bantu." sapa buk Dewi pemilik butik, yang memang sudah menjadi langganan keluarganya.
"Tolong carikan baju model terbaru untuk istri saya." kata Herman sambil mendekap bahu Azkia.
"Istri?.. apakah Herman sudah menganggapku istrinya?." Azkia merasa sangat senang dengan perlakuan Herman. Semoga ini pertanda baik.
"Pilihlah baju yang paling kau suka." ujar Herman berbisik di telinga Azkia.
Azkia beranjak dan berkeliling butik dengan ditemani dua orang pelayan, mencari dress yang cocok di tubuhnya.
Azkia sudah mencoba beberapa baju, tapi tidak ada yang cocok menurut Herman, dia harus bolak balik ke kamar ganti.
"Apa aku boleh memilih gamis ini." ujar Azkia meminta pendapat suaminya. Dia jatuh hati dengan gamis pertama yang dipilihnya.
"Tapi itu kepanjangan." ujar Herman kurang setuju.
"Nanti bisa di potong bawahnya." ujar Azkia.
"Yah... terserah kamulah, kamu boleh ambil yang kamu suka." ujar Herman dengan wajah datarnya.
"Sekarang kamu pilihkan jas, untuk aku menikah besok." bisik Herman di telinga Azkia. lagi-lagi Azkia hanya mengangguk.
Embun mengembang di netranya, dia berusaha agar air matanya tak merembes dan membanjir, hatinya begitu terluka, kenapa dia yang harus memilih jas untuk pernikahan suaminya dengan wanita lain?, kenapa takdir ini begitu tidak adil padaku?.
"Kakak, mau mencari apa?." tanya pelayan ketika melihat Azkia hanya berdiri didepan sederetan jas lelaki.
"Bantu saya mencari jas untuk suami saya." ujar Azkia, mengakhiri lamunannya.
"Yang ini bagus kakak, warna navy, cocok buat abangnya yang tinggi dan putih."
"Iya, bagus sekali."
"Beri saya tiga warna dengan ukuran yang sama." ujar Azkia, dia ingin Herman mencobanya dulu.
Pelayan itu membawa, warna navy, dongker dan maron.
"Ini semua yang terbaru mbak." ujar pelayan menyerahkan ke Azkia.
"Terima kasih ya." ucap Azkia sambil membawa jas-jas itu kepada Herman.
"Ini bang, di coba dulu, mana yang paling abang suka."
"Abang, coba dulu ya." kata Herman sambil membawa jas-jas itu ke ruang ganti.
"Yang ini, bagaimana?." Herman keluar dengan jas navy, dia sangat ganteng dengan jas itu.
"Bagus! cocok." ujar Azkia sambil mengangkat jempolnya. kemudian Hernan keluar lagi dengan warna dongker. dia terlihat sangat gagah dengan jas warna ini.
"Yang ini." ujar Herman keluar dengan jas warna maron. Azkia tak berkedip memandang suaminya, Herman sangat gagah dan berwibawa dengan warna ini. hingga Azkia tak bisa berkata apa-apa, kecuali mengaguminya.
"Ayuk... pilihanmu yang mana?." tanya Herman ketika melihat Azki bengong.
"Maron lebih mantap." ujar Azkia jujur. Ah... apa yang telah aku lakukan, membiarkan suamiku terlihat gagah dan sempurna di mata wanita lain. Dan jelas-jelas wanita itu akan menjadi maduku nantinya, batin Azkia.
Azkia mencoba menepis semua bayangan tentang Anjeli, dia berusaha bersikap biasa saja di depan Herman. Walaupun sebenarnya dia sangat sakit. jadi ini maksud Herman mengajaknya ke butik, hanya menambah goresan-goresan luka di hatinya.
****
Jangan lupa tekan likenya ya
Terima kasih
"Karena cintaku, aku rela tersakit demi kebahagiaanmu"
By. Rajuk Rindu
💝💝💝💝
Azkia terbangun mendengar tahrim di masjid, dia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu, menunggu waktu shalat tiba, dia membaca surah yasin dan ArRahman, setelah selesai melaksanakan shalat subuh, pergi ke dapur, seperti biasa akan menyiapkan sarapan untuk suaminya.
Setelah menyiapkan sarapan, dia mengambil sapu untuk membersihkan halaman depan, karena banyak daun-daun mangga yang berguguran, ini sudah menjadi pekerjaan rutin Azkia setiap hari, karena tidak ada asisten rumah tangga yang mengerjakannya.
Sebenarnya Herman pernah mengajukan ke Azkia akan mencari asisten rumah tangga, tapi Azkia menolaknya, karena dia ingin mengerjakan sendiri pekarjaan rumah, bahkan dia rela berhenti kerja hanya karena ingin mengabdi pada suaminya.
Tiga bulan sudah, dia tinggal di rumah Herman, tapi tak membawa perubahan sikap Herman padanya, Herman tetap cuek dan dingin, seperti tidak ada tertarik sedikitpun dengannya.
Azkia tetap mengerjakan tugasnya sebagai istri, memasak, mencuci, bersih-bersih rumah dan menyiapkan kebutuhan Herman
Begitu juga dengan Herman, dia memberikan uang belanja yang cukup bahkan lebih, dia juga memberikan ATM tanpa batas ke Azkia, jika Azkia butuh sesuatu dia bisa menggunakan sesuka hatinya. namun sampai saat ini, saldo di ATM itu belun sesenpun berkurang.
Azkia sudah selesai membersihkan halaman depan, mentari masih enggan menampakkan wajahnya, cuaca terlihat cerah dan segar, hujan tadi malam masih menyisakan kristal-kristal bening di permukaan dedaun.
Sepasang mata mengintai semua aktifitas Azkia, dari balik gorden Herman setiap pagi memperhatikan Azkia membersihkan halaman, wanita yang sudah tiga bulan sah menjadi istrinya itu, tidak pernah mengeluh tentang pekerjaannya.
Azkia wanita baik, rajin dan mandiri, dia tidak pernah manja, untuk membeli kebutuhan rumah tangga saja, dia tidak pernah, meminta bantuan Harman, semua keperluan Herman selalu ada dan beres.
Herman bukan tidak tertarik pada Azkia, istrinya itu seksi, cantik dan berkulit putih, Herman masih ragu dengan Hatinya, dia tidak ingat Azkia kecewa lebih dalam, jika dia memberikan harapan pada Azkia, maka dia membiarkan hubungannya dengan Azkia mengalir begitu saja.
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat 10 menit, Herman belum juga ke luar dari kamarnya. Azkia menyusul ke kamar, untuk memanggilnya sarapan, langkahnya terhenti, sayup terdengar Herman sedang menelpon seseorang.
"Iya sayang, sebentar lagi kita akan sah jadi suami istri."
"Tentu di rumahku, kalau sudah jadi istriku, aku akan membawamu ke rumah ku."
"Apa?, Herman akan membawa Anjeli ke sini, OMG... apakah aku sanggup melihat suami dan maduku setiap saat di rumah ini." batin Azkia.
Azkia tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaannya nanti, setelah Anjeli berada di rumah ini. Apa dia mampu melewati hari-harinya.
"Kia..." Herman memanggilnya, Azkia memutar balik tubuhnya, yang sudah terlanjur mau kembali ke dapur, tapi keburu ketahuan sama Herman.
"Ngapain berdiri di situ, masuk."
"Iya, bang!."
"Kau menguping pembicaraanku dengan Anjeli."
"Tidak!." ujar Azkia berbohong.
"Baiklah kalau begitu, aku hanya ingin memberitahumu, kalau Anjeli akan tinggal bersama kita.
"Apa kamu setuju, Anjeli tinggal di sini?."
"Andai boleh dia berteriak, dia pasti mengatakan "tidak!!" tapi dia tak punya hak untuk itu, walaupun Herman selama ini tidak pernah memberinya nafkah batin, tapi dia mencukupi kebutuhan Azkia, dan Herman dengan baik memperlakukannya.
"Jika kau keberatan, aku akan mencarikan rumah Anjeli dekat-dekat sini." ujar Herman, begitu melihat Azkia hanya diam.
"Tidak, aku tidak keberatan Anjeli tinggal di sini."
"Kebodohan apa lagi yang kau lakukan Azkia, setelah kau mengizinkannya menikahi wanita itu, kau juga mengizinkannya membawa wanita itu kesini." suara hati Azkia menolak, tapi kenyataannya Azkia tidak mampu melalukannya.
Entah apa yang telah merasukinya, dia begitu menjaga perasaan Herman, Azkia sangat berhati-hati mengambil keputusan, dia tidak ingin hati suaminya itu tergores kecewa, hanya karena dia salah bertindak, sementara Herman tak pernah perduli dengan perasaannya.
Azkia tidak pernah mampu mengatakan tidak, untuk permintaan yang Herman ajukan, Azkia tidak ingin melihat Herman bersedih, makanya semua keinginannya di restui Azkia, walaupun itu akan merenggut kebahagiaannya.
"Sekarang kamu siap-siaplah, bukankah kamu akan mendampingi pernikahanku."
"Iya bang." ujar Azkia mengangguk, dia segera membalikkan tubuhnya dan berlalu meninggalkan Herman.
"Aku mandi dulu, bang!." ujar Azkia masuk ke kamar, mengambil handuk dan terus ke kamar mandi.
Kamar mandi inilah, tempat curhat dan keluh kesahnya, dia menumpahkan segara rasa yang sulit dia ungkapkan. Dia menangis terisak di bawah guyuran shower. bahkan sudah 10 menit dia menangis di kamar mandi.
Ikhlaskah dia melepaskan suaminya menikah lagi, mulut berkata iya, tapi hatinya tidak, "Ya Allah, sesakit inikah rasanya dikhianati, berikan aku kekuatan ya Allah." batih Azkia.
"Azkia!... kia!. Apa kamu sudah siap." Herman masuk ke kamar Azkia, masih terdengar suara air di kamar mandi.
"Tok...!. Tok...!." Herman mengituk pintu kamar mandi.
"Iya! sebentar!." Azkia mematikan shower air.
"Apa kamu masih lama."
"Tidak! ini udah hampir siap."
"Baiklah, kalau begitu."
"Abang!, sarapan aja dulu!" teriak Azkia dari kamar mandi.
Azkia segera menyelesaikan mandinya, berpakaian rapi dan memoles bedak dan lipstik seadanya. menenteng tas tangan berwarna keemasan. Kemudian ke luar menemui suaminya di ruang makan.
Herman terkesima melihat penampilan Azkia, baru kali ini, dia serius memperhatikan Azkia, Azkia terlihat sangat anggun dan cantik
"Abang! kok liatin aku kayak gitu bangat."
"Apa penampilanku norak, kalau iya, aku bisa ganti baju yang lain." ujar Azkia membalikkan tubuhnya.
"Jangan!, kamu cantik kok."
"Cantik, Herman mengatakan dia cantik." Azkia membalikkan tubuhnya ke posisi awal, mata membulat menatap Herman.
"Beneran, kamu udah cantik pakai baju ini, gak usah diganti ya." ujar Herman meyakinkan
Baru kali ini Herman memuji, dia sudah sangat bahagia mendengarnya, itu artinya suaminya sudah mulai memperhatikannya. tapi mengingat suaminya akan menikahi wanita lain hari ini, wajah cerianya hilang seketika.
"Hay.. kok cemberut gitu, jadi jelek tau." Azkia berusaha tersenyum menanggapi godaan Herman
"Sekarang kamu sarapan dulu, aku mau menyiapkan beberapa berkas yang ingin mas antar ke kantor, sebelum kita ke rumah Anjeli."
Azkia hanya mengangguk, tanpa mencegah kepergian Herman, pada hal dia ingin sekali bisa sarapan dengan suaminya, yah... sudahlah!, sarapan saja sendiri, biasanya juga sarapannya sendiri, daripada nanti kelaparan.
Besok akan ada Anjeli di meja makan ini, pasti Herman tambah tak perduli dengannya, dan dia mungkin tidak akan pernah sarapan di meja ini lagi.
"Kia!.. apa kamu sudah siap sarapannya." terdengar suara Herman memanggilnya.
Azkia bergegas ke luar menemui suaminya, sambil mengelap bibirnya dengan tissu dia berjalan ke luar.
Herman mendekati Azkia, dan mendekatkan wajahnya, jantung Azkia berdebar, dia memejamkan mata, terasa ada yang menyentuh bibirnya.
"Ada sisa nasi di bibirmu." ujar Herman, spontan Azkia membuka matanya, dia tersipu malu, dikira Herman akan menciumnya. "duh Azkia malu-maluin aja kamu, semoga saja Herman tidak membaca pikirannya.
"Yuk!, kita berangkat." ajak Herman.
Azkia mengunci pintu dan masuk ke mobil Herman. Harman pun meluncur meninggalkan rumahnya menuju kantor, kemudian langsung ke rumah Anjeli.
******
Jangan lupa tekan like, komen dan votenya
Terima kasih🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!