NovelToon NovelToon

Ilmu Tujuh Gerbang Alam Semesta

Perguruan Pedang Perak

...ILMU TUJUH GERBANG ALAM SEMESTA...

...Episode 1...

Langit pagi itu terlihat cerah di bukit Jambaran. Tetesan-tetesan embun di dedaunan dan rumput-rumput yang hijau masih menyisakan kesejukan. Namun suasana tersebut bertolak belakang dengan tampilan wajah-wajah murung yang mengandung kecemasan dari seluruh penghuni perguruan Pedang Perak.

Sudah sekitar dua puluh tahun, tepat dipuncak Bukit Jambaran berdiri sebuah perguruan silat yang mahsyur telah mencetak pendekar pendekar sakti ahli pedang pembela kebenaran. Tidak sedikit kalangan aliran hitam yang terbasmi oleh sepak terjang mereka. Perguruan ini bukan hanya ditakuti mereka yang berada dialiran hitam, namun juga disegani oleh kaum sekawan yang berada dialiran putih.

Di alun-alun sebuah bangunan yang cukup megah yang menjadi pusat dan tempat tinggal orang-orang utama perguruan itu, telah berkumpul seluruh anggotanya yang berjumlah sekitar tiga ratus orang. Pakaian yang mereka gunakan berwarna putih keperakan dengan pedang bergantung di punggung masing-masing sebagai ciri khas anggota perguruan tersebut. Hampir semua murid telah berkumpul di sana. Bahkan murid-murid yang tadinya mengembara pun ikut hadir.

Tepat di depan kumpulan orang-orang, berdiri seorang laki-laki tua dengan rambut dan jenggot yang telah memutih, sepadan dengan jubah keperakan yang dikenakannya. Walaupun berhadapan dengan murid-muridnya, namun mata orang tua itu terpejam. Sesekali ia menghembuskan nafas berat, tanda kegelisahan menyelimuti pikirannya. Lelaki tua yang biasa dipanggil Ki Jampalu yang sekaligus juga dikenal dengan sebutan Dewa Pedang Perak itu perlahan membuka matanya dan mulai berbicara.

“Hhh… sebenarnya aku tidak menyetujui rencana ini. Aku lebih suka kalian meninggalkan tempat ini, bersembunyi sambil menyusun kekuatan lagi.” Ada nada penyesalan dan menyayangkan atas tindakan anak buahnya yang tidak mau meninggalkan perguruan dan lebih memilih bertahan berjuang melawan musuh.

Ketegangan ini berawal dari peristiwa yang cukup menggemparkan yang terjadi di Perguruan Pedang Perak sekitar seminggu yang lalu. Ketika itu para murid Perguruan Pedang Perak sedang berlatih ilmu pedang. Tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan robohnya beberapa orang murid tanpa diketahui penyebabnya. Ketika diperiksa, ternyata pada dahi murid-murid yang tewas tersebut terdapat lubang kecil sebesar kelereng dengan kulit yang tampak hangus menghitam disekitarnya. Tak ada darah sedikitpun yang keluar.

“Bedebah, siapa yang membokong?” teriak salah seorang murid utama yang memimpin latihan.

Tak lama setelahnya, teriakan itu dijawab dengan suara tawa yang memekakkan telinga, menggema meliputi segala penjuru Bukit Jambaran.

Nampak beberapa orang murid dengan kemampuan rendah berteriak, roboh dan berguling-guling di tanah sambil menutup telinga. Terlihat hidung dan mulut mereka mengeluarkan darah, menandakan tawa itu bukan sekedar tawa biasa, tapi menggunakan pengerahan tenaga dalam yang menyerang siapa saja yang mendengarnya. Sedangkan disisi lain, murid-murid yang berkemampuan lumayan mulai sempoyongan dan berupaya menahan dengan mengerahkan tenaga dalam mereka, mengatasi serangan tersebut. Hanya beberapa orang murid utama saja yang tampak tidak terpengaruh.

Tak berselang lama, terdengar suara lembut namun penuh tenaga dari dalam sebuah bangunan yang tidak seberapa jauh dari tempat tersebut.

“Hmmm... sobat dari mana yang datang berkunjung? Maaf kalau sambutan kami kurang berkenan hingga harus mendapatkan serangan seperti ini.”

Suara lembut yang menindih suara tawa yang menyakitkan telinga itu membuat murid-murid Perguruan Pedang Perak terbebas dari penderitaan serangan tenaga sakti yang dihasilkan dari tawa orang yang belum diketahui keberadaannya.

“Hai manusia busuk, keluar kau! Tunjukan batang hidungmu!” seorang murid bernama Daruna yang begitu marah karena melihat keadaan murid-murid lainnya berteriak sambil mengedarkan pandangannya kesana kemari.

“Hai manu… ukhh!!!” Belum sempat Daruna menyelesaikan umpatannya, sebuah benda berwarna hitam melesat kearah kepalanya. Tanpa sempat mengelak, pemuda itu pun roboh terkena senjata rahasia sang penyerang.

Dari atas sebuah pohon yang cukup tinggi, turun seorang pria berpakaian serba hitam. Di bagian dada pakaian orang itu tersulam sebuah gambar sebuah istana yang di kelilingi api. Manis sekali gerakan orang itu saat menjejakan kaki di tanah, hampir tak menimbulkan suara sama sekali.

Melihat ada orang yang tidak dikenal tiba-tiba muncul, para murid Perguruan Pedang Perak serentak siaga dan mengepung pendatang tersebut. Tanpa dikomando, sekitar dua puluh murid muda itu pun langsung menyerang. Mereka yang sudah merasa marah dan dendam dengan kematian temannya, tanpa perduli kemampuan lawan, sangat bernafsu menghabisi sang pendatang. Sementara itu, lelaki berpakaian hitam tak sedikitpun gentar dengan keroyokan lawannya. Beberapa serangan murid-murid pedang perak sangat mudah dielakannya. Sesekali iaa balas menyerang dengan menendang maupun menampar lawannya, sehingga dari pihak Perguruan Pedang Perak mulai berjatuhan. Ada yang pingsan dan ada yang tewas seketika. Mereka memang bukan lawan orang berbaju hitam tersebut.

“Cukup! Mundur kalian!!”

Entah sejak kapan datangnya, tiba-tiba tepat di tengah arena pertarungan berdiri seorang laki-laki tua berumur sekitar enam puluh tahunan dengan rambut dan jenggotnya yang berwarna putih. Dia memang ketua sekaligus guru besar perguruan perak ini, pendekar ternama yang bergelar Dewa Pedang Perak Ki Jampalu. Serentak semua murid mundur dan berlutut memberi hormat.

“Tak disangka, ternyata yang datang ke tempat kami yang buruk ini adalah si Paderi Sesat dari Utara. Apa gerangan kesalahan anak buahku sampai kau lancang membantai mereka?” Bergetar suara dewa pedang perak menahan geram atas kematian beberapa orang muridnya.

“Hahaha.. Salah anak buahmu sendiri Ki Jampalu. Aku datang mereka tak menyambut, malah kurang ajar menyerangku. Jadi sedikit aku memberi pelajaran pada murid-muridmu. Ha ha ha,” dengan tawa sinis si Paderi Sesat dari utara menjawab.

“Bedebah, kubunuh kau setan tua!” bentak salah seorang murid utama Ki Jampalu, yang merasa tidak puas dengan jawaban Paderi tua itu. Di tangannnya sudah terhunus pedang siap menggempur lawan.

“Tahan Baruna!!” cegah Ki Jampalu. “Angin apa yang membawamu ke sini Paderi tua?”

Sesaat tidak ada jawaban, namun raut wajah Paderi Sesat dari utara berubah menjadi serius. Dari balik bajunya, lelaki tua itu mengambil segulungan surat yang langsung dilemparkan ke arah Ki Jampalu

“Aku anggota tingkat ke tiga dari Istana Lembah Neraka, menyampaikan pesan dari ketua kami, yang mulia Rajawali Merah. Satu minggu lagi, ia akan kesini menagih pengakuanmu. Takluk dan bergabung bersama kami, atau mati!!”

Ki Jampalu menerima gulungan surat yang meluncur deras ke arahnya. Dengan sigap ditangkapnya benda tersebut. Sekilas wajahnya menyiratkan keterkejutan saat menerima gulungan tersebut. Tangannya merasa kesemutan, padahal ia sudah menggunakan tenaga dalam untuk berjaga-jaga.

“Perkumpulan seperti apa Istana Lembah Neraka ini sehingga datuk sesat dari utara ini sudi bergabung dan puas hanya mendapatkan posisi anggota tingkat ke 3?” dalam hati lelaki tua itu. Ia merasa menghadapi iblis tua dihadapannya saja belum tentu menang, apalagi melawan orang yang sudah menaklukan dedengkot aliran hitam wilayah utara tersebut.

“Bedebah, semakin kurang ajar saja dia, Guru.” Baruna yang sejak tadi sudah tak sabar, langsung menyerang si Paderi Sesat dari Utara. Orang yang diserang hanya mendengus sinis. Hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang sedikit longgar, Paderi Sesat dari utara sudah membuat Baruna terjengkang. Pedang yang akan digunakannya untuk menyerang lelaki tua itupun patah terkena kibasan lengan bajunya. Cukup jauh pemuda itu terlempar hingga menabrak sebuah pohon di tempat itu. Hanya sempat matanya melotot, darah segar keluar dari mulutnya. Baruna tewas seketika.

Melihat murid kesayangannya telah tewas, Ki Jampalu pun berang. Dengan cepat si Dewa Pedang Perak melesat menyerang Paderi Sesat dari Utara. Pertarungan tingkat tinggi pun terjadi. Sambil melompat, Ki Jampalu melakukan tendangan dari udara menyerang ke arah punggung Paderi Sesat. Namun orang yang diserang tidak kalah sigap. Hanya dengan menekuk sedikit perutnya ia berhasil mengelakkan serangan, bahkan lelaki tua berbaju hitam itu masih sempat mengirim tamparan ke arah Ki Jampalu. Ki Jampalu tak ingin kepalanya jadi sasaran empuk, ia pun menyambut serangan itu dengan sebuah tamparan serupa.

Blammm!!!

Seketika terjadi ledakan luar biasa akibat bertemunya dua kepalan tangan yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi. Deru angin yang tercipta dari pertemuan kedua pukulan tersebut dirasakan juga oleh orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Beberapa orang bahkan terdorong beberapa langkah. Sedangkan kedua orang yang bertarung sama-sama terdorong empat langkah, menandakan bahwa kepandaian keduanya berimbang.

“Belum saatnya kita bertarung, Jampalu. Tunggu satu pekan lagi ketua akan kesini menyambangimu. Sampai jumpa!” ucap Paderi sesat dari utara seraya melemparkan senyum licik ke arah Ki Jampalu. Lalu ia pun melesat pergi sambil mengibaskan tangannya memutar kearah depan.

“Awass!!!” teriak Ki Jampalu kepada murid-muridnya mengingatkan. Namun ia terlambat. Beberapa orang muridnya terluka dan bahkan ada yang tewas terkena lemparan benda bulat berwarna hitam menyerupai tasbih dari kibasan Paderi sesat dari utara itu. Nampak lubang kecil dengan sisi kehitaman di kepala mereka yang tewas. Ki Jampalu hanya bisa menarik nafas dalam sambil memandang ke arah perginya Paderi Sesat dari Utara.

Bersambung...

Dukung Novel ini dan penulisnya dengan cara :

1. Rate bintang 5

2. Beri like setiap babnya

3. Tinggalkan komentar di setiap babnya.

Kemunculan Si Rajawali Merah

...ILMU TUJUH GERBANG ALAM SEMESTA...

...Episode 2...

“Wrakkkk... Wrakkk...”

Saat ki Jampalu dan murid-muridnya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba terdengar suara seekor burung menggelegar dari atas, disusul dengan bunyi genta yang menggema, membuat suasana agak mencekam.

“Mari kita sambut tamu kita,” ucap ki Jampalu seraya memimpin murid-muridnya keluar dari alun-alun menuju lapangan latihan. Ternyata di sana telah berkumpul tiga puluh orang lebih yang menggunakan pakaian serba hitam dengan sulaman gambar Istana dikelilingi api di dada mereka. Kiranya orang-orang Istana Lembah Neraka sudah tiba.

Langsung saja ki Jampalu beserta murid-muridnya memposisikan diri berhadap-hadapan dengan orang-orang Istana Lembah Neraka. Ki Jampalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling orang-orang berbaju hitam.

Hatinya bergetar melihat beberapa orang tokoh sakti yang berada di pihak Istana Lembah Neraka. Keterkejutannya semakin menjadi saat melihat seorang lelaki tua menggunakan tongkat emas berada di rombongan tersebut.

Orang tua yang menggunakan tongkat berwarna emas itu adalah Pendekar Tongkat Emas dan tak lain adik seperguruan dari guru Ki Jampalu sendiri. Atau dengan kata lain paman seperguruannya sendiri.

Kecemasan makin menyelimuti perasaannya. Bagaimana mungkin ia bisa berhadapan dengan pamannya sendiri. Bukan saja sudah melanggar tata kesopanan, yang pasti dari tingkat kemampuan dia berada di bawah paman seperguruannya.

“Apakah hari ini memang kehancuran Perguruan Pedang Perak??” batinnya.

Para murid Perguruan Pedang Perak pun bukan tidak merasakan apa yang dirasakan guru mereka. Tak ada satupun dari mereka yang tidak kenal dengan Pendekar Tongkat Emas, karena lelaki tua tidak sekali dua mengunjungi mereka.

“Jampalu, sebaiknya kau dan anak muridmu bergabung saja dengan kami. Jangan coba-coba kalian melawan. Walaupun jumlah kalian banyak, menghadapi aku seorang saja belum tentu mampu.” Pendekar Tongkat Emas membuka pembicaraan. Ucapannya sangat lembut dan berwibawa tanpa terkesan bermusuhan.

“Salam hormatku Paman Jaya Prana,” tegur Ki Jampalu seraya maju satu langkah memberi salam kepada Pendekar Tongkat Emas yang ternyata bernama Jaya Prana. Sementara murid-muridnya di belakang bingung bersikap. Sebagian mengangkat tangan tanda memberi salam, sebagiannya lagi menundukan kepala. “Sampai kapanpun kami tidak akan menyerah di bawah kekuasaan orang-orang beraliran hitam, paman. Lebih baik kami mati,” teriaknya lantang.

Seketika muka Ki Jaya Prana berubah merah karena merasa tersindir oleh kata-kata keponakannya. Lelaki itu melesat ke arah Dewa Pedang Perak memberikan tamparan di pipi. Namun Ki Jampalu tidak mau menerima begitu saja. Tangannya direntangkan menyambut serangan Ki Jaya Prana. Namun guru silat itu memang bukan tandingan pamannya, tangannya serasa remuk saat menangkis pukulan lelaki tua itu. Tubuhnya terjajar sebanyak lima langkah. Dadanya terasa sangat sesak.

Melihat apa yang dialami guru mereka, murid-murid Perguruan Pedang Perak marah. Tanpa di perintah, sekitar dua puluh orang mencoba menyerang ki Jaya Prana. Ki Jaya Prana pun tidak ingin meladeni. Ia hanya mengibaskan tangannya ke arah murid-murid yang bermaksud menyerangnya. Tapi akibatnya tidak ringan. Beberapa orang terlempar akibat angin yang keluar dari kibasan tersebut. Untung saja tidak ada yang tewas. Hanya luka ringan dan sebagiannya pingsan.

“Keras kepala kau Jampalu. Apakah kau ingin murid-muridmu ini mati sia-sia? Aku menyuruhmu bergabung demi kebaikanmu dan kebaikan murid-muridmu juga,” ucap ki Jaya Prana yang geram maksud hatinya ditentang.

“Krakh... Krakh...”

Lagi-lagi suara seekor burung menggema, bahkan suara ini cukup menggetarkan dada siapapun yang mendengarnya. Serentak orang-orang yang berada di sana mendongakkan kepala. Tampak seekor burung rajawali yang cukup besar berkeliling di langit tempat itu.

Tak lama kemudian terdengar teriakan. “Majikan Istana Lembah Neraka telah tiba.”

Orang-orang berpakaian hitam di tempat tersebut serentak berlutut, termasuk Ki Jaya Prana, tokoh sakti yang dikenal dengan sebutan Pendekar Tongkat Emas. Sementara dari arah selatan, terlihat empat orang memanggul sebuah tandu terbuka yang diatasnya duduk seseorang berbaju serba merah.

Luar biasa pemandangan yang terlihat, seolah-olah orang yang memanggul tandu itu berjalan diatas angin. Dengan cepat mereka bergerak ke tempat orang-orang berkumpul. Dengan manis keempat orang tersebut mendaratkan kakinya di tanah tepat berada di tengah-tengah mereka tanpa sedikitpun mengeluarkan suara. Ini membuktikan keempat orang yang memanggul tandu itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna.

Keempat orang itupun secara bersamaan menurunkan tandu di panggulannya ke bawah dengan penuh hati-hati dan hormat.

Sementara itu, dari rombongan Istana Lembah Neraka serentak berucap, “Salam hormat kepada Ketua. Semoga Ketua panjang umur. Hidup Ketua. Hidup Istana Lembah Neraka.”

Setelahnya, orang berbaju merah itu memberi isyarat untuk berdiri. Dari penampilannya, orang tersebut merupakan seorang laki-laki yang masih sangat muda. Pakaian yang digunakannya serba merah berkilau dengan sulaman gambar Istana Lembah Neraka di bagian dada. Wajahnya tertutup topeng bercorak rajawali. Hanya bagian bibir yang terlihat terbuka. Dialah Ketua Perkumpulan Istana Lembah Neraka, yang menamai dirinya “Rajawali Merah”.

“Kraakhh..”

Rajawali yang tadi terbang di atas turun ke arah orang tersebut. Rajawali itu seperti tahu keinginan tuannya. Ia pun bertengger di lengan kanan si Rajawali Merah. Perlahan pemuda itu membuka matanya yang sejak tadi tertutup rapat, kemudian berdiri dari kursi tandu seraya menatap ki Jampalu.

“Kau kah yang bernama Dewa Pedang Perak?” tegurnya dingin tanpa sedikitpun menaruh rasa hormat. Nampak ia sangat tidak memandang terhadap tokoh sakti yang ada di hadapannya ini. “Sudah saatnya kau menentukan, bergabung dengan Istana Lembah Neraka atau kau memilih kematian,” tambahnya dingin.

“Aku Jampalu, Si Dewa Pedang Perak sampai kapanpun tidak akan tunduk pada orang-orang yang berjalan pada jalan yang sesat,” jawab ki Jampalu lantang.

“Baiklah, sekarang gorok lehermu beserta murid-muridmu kalau kau memang memilih kematian,” perintahnya dingin tanpa ekspresi sedikitpun.

Tentu saja hal ini membuat marah orang-orang Perguruan Pedang Perak. Sudah sejak tadi mereka menahan sabar atas kecongkakan majikan Istana Lembah Neraka itu. Tanpa bisa dicegah lagi, serentak mereka menyerang ke arah Rajawali Merah.

Belum juga mereka mampu menyentuh ketua perkumpulan itu, mereka sudah dihajar Rajawali peliharaanya yang rupanya bukan seekor burung biasa.

Rajawali itu melesat ke arah murid-murid Perguruan Pedang Perak. Burung itu mengibas, mencakar siapa saja yang diinginkannya. Tidak sedikit yang terlempar dikarenakan kibasan burung sakti itu, karena memang mengandung tenaga dalam yang luar biasa.

Masih beruntung mereka yang terkena kibasan burung itu, paling-paling hanya remuk tulang karena menimpa pepohonan atau benda keras yang ada di sana. Nyawa mereka masih selamat. Beda halnya dengan mereka yang terkena cakaran atau terpatuk paruh hewan yang berbulu kuning kemerahan itu. Mereka pasti akan langsung tewas seketika dengan kulit menghitam dan luka bernanah. Rupanya cakar dan paruh rajawali mengandung racun yang ganas.

Ki Jampalu semakin cemas melihat amukan burung itu. Muridnya kini hanya tinggal separuhnya saja yang mampu bertahan. Diapun tak ingin tinggal diam. Dicabutnya pedang perak pusaka andalannya, lalu menerjang ke arah burung rajawali yang tengah mengamuk. Namun, alangkah terkejutnya ki Jampalu melihat rajawali tersebut mampu mengelak setiap serangannya, bahkan sesekali membalas serangan. Sedangkan majikan burung itu hanya membiarkan peliharaannya bertarung melawan Dewa Pedang Perak.

Sehebat-hebatnya burung sakti itu, tak mampu juga mengimbangi permainan pedang tokoh sakti yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan dengan julukan Dewa Pedang Perak. Kali ini, burung itu hanya mampu mengelak tebasan-tebasan pedang ki Jampalu. Terlihat burung itu mulai kewalahan. Namun disaat yang sangat kritis, saat tebasan pedang Kijampalu hampir mengenai leher burung yang mulai kelelahan itu, tiba-tiba saja dari arah Rajawali Merah meluncur sebuah benda memapak tebasan pedangnya.

“Ukh,” jerit Ki Jampalu.

Badan orang tua itu terdorong sejauh dua tombak. Tangannya terasa ngilu seolah tulang lengannya remuk. Hampir saja pedang di genggamannya terlepas. Betapa terkejutnya ki Jampalu melihat pedang kebanggaamnya gompal di ujungnya. Dibagian itu masih tersisa potongan daun kering. Rasa gentar mulai menyelimutinya.

Betapa tidak, jurus pedang perak yang menggunakan pengerahan tenaga dalam sepenuh tenaga milik ki Jampalu hanya dipapaki dengan lemparan daun kering. Ini menunjukan bahwa tenaga dalam yang dimiliki Rajawali Merah majikan Istana lembah Neraka itu sulit diukur ketinggiannya. Rasa-rasanya gurunya pun tak kan mampu melakukannya.

Bersambung...

Sebagai dukungan dan bantuan kepada Novel ini dan Author, Mohon kesediaan pembaca sekalian meluangkan waktu untuk :

1. memencet tombol like

2. Memberi komentar walau sekedar say hallo bahkan sekedar satu hurup.

Like dan komentar kalian sangat berarti untuk karya ini bisa meningkat levelnya.

Namun kalau memang tidak menyukai novel ini silakan abaikan saja.

Pendekar Halilintar

...ILMU TUJUH GERBANG ALAM SEMESTA ...

...Episode 3...

Dengan rasa gentar ki Jampalu memandang ke arah Rajawali Merah. Yang dipandang hanya tersenyum mengejek. Kemudian Rajawali Merah menunjuk ke arah Dewa Pedang Perak. Nampak sekilas dari telunjuk tangannya membias semacam embun, menandakan di balik telunjuk itu sebuah tenaga yang amat dahsyat siap terlontar.

Melihat itu, seketika Pendekar Tongkat Emas melesat ke arah Rajawali Merah.

“Maafkan kelancangan hamba, ketua. Biarkan hamba yang membereskan orang yang tak tahu diri itu. Tak perlu ketua mengotori tangan sendiri.”

Rajawali Merah pun mengangguk tersenyum. Kemudian ia duduk kembali di kursi tandunya, lalu tangannya memberi isyarat kepada pembawa tandu untuk pergi. Sang pemuda sakti itupun berlalu meninggalkan tempat itu. Sama seperti ia datang, perginya pun dibawa bagaikan terbang.

“Sebaiknya kau menyerah saja Jampalu, bergabunglah dengan kami, tentu aku jamin keselamatanmu,” bujuk ki Jaya Prana. Lelaki itu memandang iba ke arah murid keponakannya.

Sementara keadaan murid-murid perguruan Pedang Perak makin tak karuan. Setelah kepergian Rajawali Merah tanpa dikomando orang-orang Istana Lembah Neraka mulai menyerang. Walaupun menang jumlah, tak satupun anggota Istana Lembah Neraka mampu mereka lukai. Yang ada jumlah mereka yang semakin berkurang. Sehingga saat ini tinggal ki Jampalu dan 4 orang murid utamanya saja.

“Cukup!!!” perintah ki Jaya Prana. “Masih keras kepala kah kau Jampalu? Percuma kalian melawan, hanya mengorbankan nyawa sia-sia.”

Keadaan lima orang guru dan murid itu benar-benar mengenaskan. Baju putih mereka berubah warna kemerahan karena keringat bercampur darah. Nafas mereka terlihat sangat lemah. Hanya ki Jampalu yang terlihat mendingan. Walaupun yang paling tua, tapi masih mampu mengimbangi orang-orang baju hitam yang menyerangnya.

“Tak akan kami menyerah kepada iblis-blis macam kalian,” tegas ki Jampalu dengan nafas yang mulai berat. Sekilas diliatnya lima murid yang masih tersisa sudah nampak kepayahan, mungkin sebentar lagi akan tumbang kehabisan darah atau kelelahan.

“Hmm... keras kepala kau Jampalu. Baiklah, aku kabulkan keinginan kalian yang mau cepat-cepat ke akhirat,” balas ki Jaya Prana sambal menggeleng perlahan dengan nada menyesalkan. “Padri Sesat!! Aku serahkan mereka padamu. Aku dan anggota yang lain akan kembali menyusul ketua.”

“Baik Tongkat Emas! Aku memang masih ada hutang piutang dengan Dewa Pedang Perak ini hehe,” jawan Padri Sesat dari Utara yang rupanya turut serta dalam rombongan Istana Lembah Neraka yang datang.

Tak lama kemudian Pendekar Tongkat Emas bersama orang-orang berpakaian hitam lainnya meninggalkan tempat itu. Kini ki Jampalu hanya menghadapi Paderi Sesat dari Utara. Namun tetaplah sangat berat, dalam keadaan biasa saja belum tentu ia bisa menandingi Paderi tua itu, apalagi kini dalam keadaan terluka parah. Walau ia dibantu lima orang muridnya, tetap saja keadaannya tidak menguntungkan.

“Bagaimana Dewa Pedang Perak, kita lanjutkan pertarungan kita kemarin. Majulah kau bersama murid-muridmu sekalian,” ejek Padri Sesat dari Utara.

“Huh, besar sekali lagakmu. Kau sudah tahu kami tak akan sanggup lagi melawanmu hingga dengan mudah kau menghina kami,” balas ki Jampalu.

“Haha... Bersiaplah kalian mati!!” secara cepat Paderi Sesat dari Utara menerjang ke arah ki Jampalu dan murid-muridnya. Dengan susah payah mereka menghindari serangan-serangan dari lawannya yang tanpa belas kasian menyerang dengan jurus-jurus mematikan.

“Akhh...”

“Ugh…”

Dua orang murid Dewa Pedang Perak menjadi korban tendangan Paderi Sesat dari Utara. Keduanya langsung tewas dengan dada menghitam. Sedangkan yang lain bergulingan menghindari.

Dengan susah payah Dewa Pedang Perak mencoba bangkit. Keadaannya semakin memprihatinkan. Sedangkan tiga orang sisa muridnya tak mampu lagi bangkit, sesak dada yang mereka rasakan ditambah lagi tenaga mereka yang seakan telah habis membuat mereka hanya mampu berbaring mendekap dadanya masing-masing.

“Hehe… hari ini Dewa Pedang Perak akan tinggal nama, dan berakhir ditangan Paderi Sesat dari Utara hahaha,” Paderi Sesat dari Utara tertawa penuh kemenangan. Sebentar lagi seorang pendekar sakti dunia persilatan akan binasa di tangannya. Tentu hal ini akan membuat namanya semakin dikenal. Diapun melesat ke arah Dewa Pedang Perak. Telapak tangannya yang kelihatan menghitam menandakan ia sudah menggunakan pukulan beracun andalannya.

Ki Jampalu yang sudah tidak berdaya lagi hanya bisa memejamkan mata menerima takdir. Sekelebat pikiran merasa dirinya sangat bernasib malang. Apa yang selama ini diperjuangkannya semuanya telah musnah, bahkan kini nyawanya pun terancam lepas dari raga. Serangkuman angin menderu berbau busuk yang berasal dari telapak tangan si Paderi Sesat dari Utara menyerang ke arahnya. Semakin dekat rasanya kematian menghampirinya.

Bukk!!

“Ukh...”

“Huekhh…”

Beberapa saat ki Jampalu kebingungan. Pukulan Paderi Sesat dari Utara tak kunjung datang kepadanya. Malah ia mendengar suara tenaga beradu, bahkan serangkum angin lembut sempat menerpa ke arahnya. Ki Jampalu pun membuka matanya. Entah kapan datangnya, di depannya sudah ada sesosok berbaju biru muda membelakanginya. Sementara itu sekitar tiga tombak dari orang berbaju biru itu, terduduk Paderi Sesat dari Utara dengan keadaan memegang dada dan mulutnya berdarah.

“Bagaimana keadaanmu paman?”

Ternyata orang berbaju biru itu merupakan seorang pemuda yang berumur tiga puluh tahunan.

“Jaka! Syukurlah kedatanganmu tepat pada waktunya… hhh…” ki Jampalu tak kuasa lagi menahan tubuhnya. Ia pun limbung roboh dan pingsan. Sementara itu orang yang dipanggil Jaka itu dengan cepat menyambar tubuh ki Jampalu agar tidak jatuh ke tanah.

“Cempaka, bantu aku mengurus paman Jampalu, biar aku bisa membereskan Paderi Sesat itu.” Jaka memanggil seorang perempuan yang tak jauh berada di tempat itu. Rupanya kedatangan Jaka yang terkenal dengan sebutan Pendekar Halilintar itu tidak sendiri. Ia bersama Cempaka yang juga merupakan seorang pendekar digjaya yang dikenal dengan gelar Dewi Selendang Ungu.

“Baik kakang,”sahut Cempaka seraya mengambil ki Jampalu dari papahan Jaka.

Sementara itu Paderi Sesat dari Utara yang sudah pulih keadaannya sangat geram karena pekerjaannya dihalangi Jaka.

“Bocah sialan! Berani kau mencampuri urusanku. Bosan hidup kau rupanya,” bentaknya sangat marah. Tidak hanya mengomel, ia pun melontarkan biji tasbih yg menjadi senjata rahasianya. Secepat kilat benda kecil itu melesat ke arah Jaka. Ada sekitar lima biji yang dilontarkannya. Namun dengan gerakan sangat yang sangat indah, hanya sedikit memiringkan badan tanpa berpindah tempat semua biji tasbih itu mampu dihindarinya.

“Keparat! Berisi juga kau rupanya. Sebelum kucabut nyawamu, sebut dulu gelarmu biar bisa ku taruh nama di nisanmu kelak!” bentak Paderi Sesat dari Utara dengan nada mengancam.

Jaka yang sejak tadi menahan amarah melihat pemandangan yang begitu mengenaskan terjadi pada Perguruan Pedang Perak, langsung pengarahkan telunjuknya ke arah Paderi Sesat dari Utara. Seketika dari telunjuknya keluar pancaran sinar berupa halilintar yang langsung menyerang ke arah Paderi Sesat dari Utara.

Melihat serangan itu, Paderi Sesat sangat kaget, sekilas ia teringat seorang pendekar muda yang menjadi perbincangan hangat Dunia Persilatan. Namun terlambat ia menyadari, seandainya lelaki tua itu tau siapa lawannya, tentu ia akan berpikir ribuan kali untuk berhadapan langsung.

BLAR!!!

Ledakan terjadi saat halilintar yang keluar dari telunjuk Jaka mengenai tubuh Paderi Sesat dari Utara. Jangankan untuk menghindar, lelaki tua itu bahkan tak sempat menangkis. Tubuhnya terlempar sejauh lima tombak, dengan keadaan tubuh hitam gosong berasap.

“Pendekar Ha… Halilintar.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Paderi Sesat dari Utara. Itulah kalimat terakhir yang diucapkan lelaki anggota Istana Lembah Neraka itu. Tokoh aliran sesat itupun menghembuskan nafas terakhirnya di tangan Jaka Andara si Pendekar Halilintar.

Bersambung...

...---- ILMU TUJUH GERBANG ALAM SEMESTA ----...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!