NovelToon NovelToon

And A Long Nightmare

Prolog

Malamnya kau bermimpi, paginya itu sudah jadi nyata.

Ya, kalau saja mimpinya indah. Barangkali dapat uang banyak, ketemu idola, gebetan suka sama kamu, atau punya kekuatan super. Ann mengalaminya. Sungguhan, mimpinya jadi nyata!

Tidak yang bagus dan menyenangkan, yang buruk menyedihkan pun jadi. Untungnya ia sudah sadar akan keanehan pada dirinya itu dan akhirnya ia bisa menghentikan mimpinya agar tidak benar-benar nyata. Akhirnya, ibunya selamat dari kematian karenanya, selang beberapa jam saja dari mimpinya. Sama saja bohong. Mimpi buruknya tidak mampu ia cegah untuk jadi nyata.

~

Apa hidup dengan kelebihan itu menyenangkan? Tidak suatu waktu.

Apa hidup dengan mimpi yang bisa jadi nyata itu membuat bahagia? Tidak setiap saat.

Apa menjadi seseorang yang penting itu membanggakan? Tidak selamanya begitu.

~

Ann tidak dapat merasakan kebahagiaan ataupun kesenangan dari kemampuannya itu. Karena itu terasa bagai kutukan.

Mungkin saja ia memang anak indigo, tapi ia tidak terima. Mungkin saja ia ada keanehan atau kecacatan, tapi itu tidak terbukti.

Kesusahan karena mimpi buruk jadi nyata, hampir tiap saat. Diejek karena aneh, sering pula. Dijauhi karena menakutkan, tentu saja. Itulah Ann Azalea.

Gadis empat belas tahun yang akan memasuki usia lima belas tahun. Pernah suatu saat dirinya berada di ambang kematian dan membuat kemampuannya itu bermunculan. Ketika lahir membuat ibunya sakit, namun ia memiliki sesuatu yang terlihat oleh orang tertentu. Selamat dari kematian yang tinggal hitung hari, ya, selamat saja. Itu, toh, tidak begitu ia pedulikan.

Jadi yang pintar dan cantik di sekolahnya, malah dijauhi, padahal tidak ada dosa apa. Cuma lewat, kena lirik, jadi bahan pembicaraan anak-anak penunggu bangku taman merah muda. Karenanya juga, ia jadi punya banyak penggemar beda dunia. Seorang akhirnya sukses jadi teman, atau mungkin pacar? Memangnya boleh pacar dua dunia?

Rambutnya panjang selutut, selalu diikat ekor kuda, hitam dan lurus sekali. Sudut matanya agak naik, tatapannya dalam. Ukuran tubuh biasa saja, tapi bentuknya aduhai. Lenggok sana, lenggok sini, seharusnya ada yang menggodanya. Sayangnya cuma pocong atau genderuwo yang mengejarnya.

Aduh sayang, dia pintar sekali. Beri saja dia soal seratus, kau bisa dapati ia menjawabnya dalam waktu beberapa menit. Berapa kubus rubik hendak kau tantang ia untuk menyelesaikannya? Ia berani selesaikan semuanya. Masalahnya, tidah ada yang mau menantangnya atau mendekatinya. Malangnya nasib Ann.

Di rumah jadi anak pingit. Ibunya galak, ayahnya kalah dan tunduk dihadapannya. Tidak boleh seorang pun tanpa izin sang ibu mampu menemui anaknya, karena memang tidak ada. Paling cuma yang tidak kelihatan menyelonong masuk tanpa izin, contohnya makhluk yang berbicara di sini dan saat ini.

Begitulah kehidupan menyedihkannya sampai ketika ulang tahunnya yang kelima belas.

Kemampuannya semakin amburadul dan mengacaukan dirinya sendiri--terlalu kuat sampai ia kewalahan. Sebuah mimpi panjang dan berlarut-larut, mulai dari: dimana semua makhluk aneh tiba-tiba muncul dari laut dan langit dan orang-orang mulai mampu melihatnya, matahari berwarna hitam, malam jadi panjang, anak laki-laki bisa hamil, anjing bisa terbang, psikopat memakan bayi di tengah jalanan, semua mimpi buruknya berkumpul jadi satu dan mulai menjadi nyata. Ann harus segera menghentikannya. Nampak mustahil ternyata, itu sulit sekali!

Ann ketakutan, ia bingung dan tak berdaya. Ia hanya meratapinya dan membiarkan mimpi itu berjalan di kenyataan hingga lima tahun lamanya! Tentu saja saat itu ia sudah dewasa.

Suatu hari, suara keras dan panjang terdengar di langit. Sangkakala. Artinya, kiamat sudah dekat. Hal itu membuat Ann yakin, dunia akan segera rubuh. Ann cuma manusia biasa dan tak mampu mencegahnya, dia pasrah saja.

Namun, banyak hal yang kemudian datang dan menyadari padanya banyak hal. Ada yang logis, ada yang di luar nalar, ada yang kedengaran fantasi, ada yang kedengaran faktual. Akhirnya, pengambilan keputusan besar menjadi tanggungannya dan ia berusaha menghentikan mimpi buruk yang terus berjalan itu ....

Aku ucapkan, selamat datang pada sebuah petualangan yang menguras tenaga dan pikiran. Aku hanya pembawa cerita. Perkenalkan nama samaranku saja, aku biasa menemani Ann kemana pun ia pergi. Apa aku bilang pacar tadi? Ya, makhluk yang sukses mendekatinya itu, aku. Aku bingung dengan panggilan yang selalu Ann pakai untuk memanggilku. Tapi, kenali saja aku sebagai Nomad, pacarnya Ann dari dunia sana yang tidak diakui.

Sekali lagi, selamat datang.

.

.

.

.

Sebelumnya, mohon maaf sekali, karena mungkin ada bagian-bagian yang tidak jelas dan tidak berkesinambungan, karena masih dalam tahap revisi. Mohon tenang dan sabar.

Terima kasih.

Salam dari bocah SMP.

.

.

.

.

.

(1) APA MIMPIMU MALAM INI?

~ Ann

Jika saja mimpiku bertemu idolaku jadi nyata, aku tidak akan mengumpatmu. Wahai kemampuanku yang menjengkelkan.

Jika saja mimpiku tidak pernah berwujud sebagai bunga tidur yang buruk, aku akan selalu memujamu. Wahai kemampuan overpower.

Hanya karenamu, aku dibenci dunia. Terima kasih.

Hari ini, aku bangun lagi dengan mata basah dan perih. Seperti sebelum-sebelumnya, hidup yang terlalu banyak drama. Menangis adalah rutinitas pagiku. Merenung adalah hobiku. Menanti yang tidak ada adalah cita-citaku. Tempe adalah hidupku.

Itulah diriku, Ann Azalea. Hidup mengenaskan di dunia kecil ini. Untunglah ada ibu dan tempe yang selalu mengingatkanku dan mendukungku untuk bertahan. Wahai ibu dan tempeku ….

Aku terbangun setelah berkutat dengan mimpi buruk lagi. Kali ini, aku memimpikan seseorang yang sangat penting dalam hidupku—nomor satu terpenting sebelum tempe. Ibuku yang tercinta. Dalam alam mimpi, kulihat ibuku meninggal dunia. Terlalu berat dan menyayat untuk mengingat detailnya.

Menurut mitos yang sudah beredar entah dari siapa mulanya, bermimpi seseorang meninggal dunia artinya orang itu akan panjang umur, terkecuali pada mimpiku. Semua mimpiku, yang indah secantik bidadari maupun buruk sejelek borok busuk, akan jadi nyata. Bukan sekadar rangkaian ingatan acak yang muncul ketika tertidur.

Kurasai cahaya matahari yang hangat menyeruak dari balik gorden putih yang terpasang menutupi jendela persegi di atas kepalaku. Ini sudah pagi menuju siang. Mengapa tidak ada yang datang untuk membangunkanku? Ke mana semua orang pergi? Jangan bilang mimpiku sudah jadi nyata saja.

Aku yakin, hari ini masih hari sekolah dan harusnya aku sudah berangkat untuk belajar dari tadi. Namun, tidak ada yang sudi datang ke kamarku atau berteriak dari luar untuk menyadarkanku dari alam mimpi biar rusak saja sekalian mimpi burukku tadi. Semakin sedih, kututupi wajahku dengan bantal dan selimut. Terisak dan terus terisak. Aku tidak mampu membayangkan mimpi yang akan jadi nyata di duniaku ini.

Benar, gara-gara pria itu. Setelah kali pertama melihatnya, aku langsung menerima kemampuan yang tidak bisa kukendalikan lagi; mimpi nyata. Pria itu, meskipun imut, tampan, dan nampak tidak berbahaya, auranya ketika muncul tidak mengenakkan bagiku pada awalnya. Ia sering terlihat di mana pun aku berada, dengan tatapan kosong dan pakaian bergaya vintage yang didominasi warna tanah. Sesekali, tangannya terlihat berusaha menggapaiku. Entah mengapa, ia tidak mampu mendekatiku.

Sudah tiga bulan sejak kemunculannya yang misterius dalam hidupku yang suram. Meski terkesan menakutkan, pria muda itu pernah membawa kebaikan untukku. Ia melindungiku dari racun kiriman. Ia memakan makanan yang sengaja seseorang berikan padaku. Sekujur tubuhnya membiru. Kuduga karena keracunan. Ia melindungiku, tapi aku ragu, apakah aku boleh memercayainya. Jika ia memang menjadi roh penjagaku, mengapa ia tidak terlihat di sisiku sejak dulu? Mengapa pula ia tidak bisa lebih dekat denganku?

Di antara tangisku, aku turut mengumpatnya sebagai salah satu hal yang menjengkelkan dalam hidupku, selain mimpiku. Tubuhku tak kunjung tenang dari gemetar. Mataku terasa membengkak, merah, dan basah seperti tomat ranum. Aku tersentak ketika derit pintu kayu tua terdengar. Aku melompat dari kasur begitu mendapati sesosok malaikat memasuki kamarku.

Kupanggil dia.

“Ibu!”

Kupeluknya erat sampai sesak. Ia hanya bisa tertawa geli ketika tanganku menyelusup lewat dari ketiaknya.

“Biar ibu tebak … mimpi buruk lagi?”

Kujawab dengan anggukan kepala yang membenam di dadanya.

“Sudahlah, anak semata wayang ibu itu kuat dan berani! Masa, sama mimpi saja takut? Ayo, sembahyang dulu, biar tenang. Habis itu kita sarapan. Biar ibu yang menelepon gurumu kalau kamu izin, ibu juga lupa kalau sekarang hari rabu.”

Ia hanya tersenyum lembut. Saking terlukanya hatiku, senyum selembut marshmallow itu terasa menyayat setajam pisau daging.

Ibu mengambilkanku sehelai kain dan selendang, kemudian mengenakannya padaku yang masih sibuk menepis air mata di pipi. Ia menuntunku menuju sanggah sambil membawa sebuah dupa terbakar. Ia berhenti sesaat di taman untuk memetikkan beberapa bunga sebagai sarana persembahyangan.

Tiba di sanggah, aku ditinggalkannya ke taman. Kusiapkan batinku untuk menghadap pada-Nya.

Kuatur napasku, kuhembuskan sambil melepas pandang pada pemandangan depan rumah. Tatapanku terpaku pada pohon kamboja milik Pak Gede yang tengah berbunga lebat tanpa daun. Warna kuning terang menghiasi tempat bermain empat anak kecil tanpa tujuan yang selalu berputar-putar saling berkejaran setiap hari. Mereka muncul setiap pagi.

Bola mataku berputar dan mencari pohon beringin rimbun di selatan rumahku. Hanya dipisahkan dengan gang kecil di sebelah rumah. Sudah ramai aktivitas yang terjadi di sana, baik oleh orang-orang yang menyempatkan diri menghaturkan canang, maupun yang menerima persembahan. Yang tidak ada urusan juga ada. Semua berjalan normal selayaknya hari lalu. Masih belum ada yang bicara denganku, untuk sekadar berinteraksi atau mengabari hari terakhir ibuku.

Sudahlah. Kini, kupaksa pikiranku fokus menuju tujuanku duduk bersimpuh di sanggah. Kulakukan pranayama sampai aku cukup tenang. Kuucapkan kata demi kata yang membentuk enam bait Tri Sandhya. Setelahnya, kulanjutkan dengan Panca Sembah menggunakan bebungaan yang sudah ibu petikkan untukku. Doa yang kupanjatkan adalah keinginanku agar mimpi burukku tidak kunjung menjadi nyata.

Usai berdoa, aku keluar dari sanggah. Ibu dengan cekatan menghampiriku dan menggandengku menuju ke dapur. Aroma tempe yang gurih sudah memanggilku. Sarapan sederhana dengan lauk berbahan kedelai itu cukuplah mewah di mata dan lidahku. Apalagi, karena juru masaknya adalah dua koki hebat di duniaku. Bapak dan Ibuku tercinta.

Bapak sedang asyik membalikkan beberapa potong tempe yang masih berenang dalam kubangan minyak panas, sekalian menjaga lauk kesukaanku dari serangan lalat nakal. Masakan rumah biasanya dimasak oleh Ibu. Namun, jika Bapak sudah turun ke dapur dan mengambil alih tugas utama Ibu, hasilnya tidak tanggung-tanggung. Siapa pun akan jatuh cinta pada cita rasa yang Bapak ciptakan.

Karena Bapaklah, aku jadi jatuh cinta dan tak dapat dipisahkan dari tempe. Pertama kali aku mencicipi olahan kedelai itu, Bapak yang menggorengnya dan membuatku jatuh cinta dalam kecapan pertama. Sampai akhirnya, aku memiliki motto hidup yang sama sekali tidak berguna. No tempe, no life.

Aku duduk menghadap meja makan. Di atasnya sudah tersaji sepiring penuh tempe berwarna keemasan. Masih hangat pula.

Tanpa ragu dan tanpa malu, kucomot sebuah tempe dan langsung kumasukkan ke mulut. Kerenyahan dan kegurihan rasa tempe tak mampu dikalahkan jenis sajian apa pun. Bapak menghampiriku, diam sesaat dan menyentil dahiku. Aku menjerit pelan. Ibu hanya tertawa di tempatnya berdiri.

“Pagi-pagi sudah menangis, katanya kuat?” goda Bapak.

“Ih, Bapak kan tidak tahu mimpiku tadi. Mimpi buruk lagi tahu …,” gerutuku.

Menjengkelkan. Air mataku malah jatuh lagi tanpa izin. Aku tak kuasa menahannya lagi, tembok bendungan air mataku sudah ambruk gara-gara konstruksi yang buruk dan tidak mampu menahan tangisku lagi. Seakan tangisanku bukanlah kuasaku.

“Mimpi apa yang sudah membuat kekuatan anak Ibu goyah? Coba cerita, siapa tahu, Tuhan akan kabulkan doa kita agar mimpi burukmu yang tadi tidak terjadi di dunia nyata.” Suara ibu terlalu lembut dan hatiku terlalu rusak.

Aku tak memiliki kekuatan untuk menjawabnya. Ucapannya barusan membuatku semakin hancur. Spontan tubuhku memeluknya, dengan tempe yang memenuhi rongga mulutku. Kuceritakan mimpiku semalam masih dengan mulut penuh.

“Aku bermimpi … Ibu meninggalkan aku dan Bapak berdua di sini! Selamanya!” seruku.

Aku tidak bisa melihat ekspresi Ibu setelah mendengarnya. Apa ia terkejut dan takut karena tahu segala mimpi putrinya bisa saja menjadi nyata, atau sebaliknya—tenang dan menganggapnya sebatas mimpi.

“Sudahlah, percaya saja kalau mimpimu kali ini cuma bunga tidur semata, ya? Ann adalah gadis yang optimis, jadi ia tidak akan berpikir ibunya mati saat ia masih muda. Kita sudah saling berjanji, kan? Sebelum kamu jadi musisi seperti yang kamu idamkan, Ibu tidak akan meninggalkanmu.”

“Ibu ….” Aku terus merengek dalam peluknya. Hangat. Detak jantungnya keras terasa. Aku tidak ingin kehidupan di dalam sana berhenti, apalagi sampai menjadikan pelukannya dingin, seperti tempe yang tergeletak di piring.

“Sudah … lanjutkan sarapanmu. Jangan terus dipikirkan …,” tuturnya padaku. Aku berbalik dan melihat lalat nakal mulai mengusik tempeku. Sebelum tempeku jadi santapannya, cepat-cepat kuhabiskan sarapan sederhanaku.

“Ann, Bapak merasa sangat yakin, mimpimu kali ini tidak bakal terwujud!” seru bapak dengan semangat berkobar. Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut.

Begitulah kemudian kami menghidupkan kepercayaan semu dengan keyakinan tinggi dalam hati. Bersujud pada Tuhan dan merelakan pada-Nya segalanya. Mimpiku memang tidak bisa dibuktikan dalam selang waktu satu-dua hari. Ibu tidak pergi. Setidaknya tidak hari ini.

Suatu pagi yang cerah dan terlalu panas di pukul enam tiga puluh menitan. Ibu mengantarku ke SMP tempatku mengemban ilmu saat ini dengan sepeda motor. Jalanan agak ramai dan berlangsung seyogyanya. Suatu detik yang terlalu lambat, suatu menit yang terlalu singkat, suatu peristiwa yang tidak kuharapkan. Déjà vu.

Sebuah mobil keluarga berwarna putih memantulkan cahaya surya yang menyilaukan mata. Aku baru tersadar, ini layaknya pengulangan mimpiku. Bukan itu masalahnya, tapi dengan kecepatan tinggi mobil itu mengejutkan seisi jalanan. Kami ditabraknya dengan sangat kuat. Sepeda motor ibu jatuh di tempat, sedangkan kami terpental dan punggung kami bertumbukan dengan tembok pekarangan orang.

Ibu memelukku, tubuhnya merangkulku sehingga saat menabrak tembok tadi, punggungku hanya sekedar menyentuh. Sedangkan ibu, ia merelakan punggungnya demi sang anak. Kami tergeletak di aspal.

Dari bawah, kulihat tembok dari beton itu kini berwarna merah. Tanganku pun merasa basah ketika menyentuh bagian belakang ibu.

Aku hanya melihat warna merah, setelah ibu menukar posisi kami dan ia meregang nyawa di jalan ini. Ia melemparku ke pinggir jalan ketika mobil itu kehilangan kendali dan bergerak ke arah kami. Begitulah setelahnya sebuah tubuh manusia remuk tak berbentuk akibat tergilas mobil. Merah, paling kubenci. Warna itu menutupi pandanganku.

Terdengar sayup-sayup teriakan histeris orang-orang kepanikan. Kurasai beberapa orang menghampiriku yang masih terkulai lemah. Mereka mengangkat tubuhku dan membawaku entah ke mana. Mataku jernih kembali dan kuperhatikan sosok wanita pahlawan dalam hidupku tinggal jenazah tak utuh bermandi darah. Tidak manusiawi.

Aku memberontak dan mengamuk. Aku memukuli orang-orang yang menggendongku dan setelahnya aku berlari ke arah ibuku. Mereka dengan cekatan menarikku menjauhi mayatnya dan aku tetap bersikukuh. Kulihat pria muda yang biasa membuntutiku dan pembawa kutukan bagiku itu tengah berdiri mematung di sebelah ibu dengan wujud halusnya. Pria itu berjalan cepat ke arahku dan menutupi mataku dengan tangan kanannya. Setelahnya, aku hanya tahu aku sedang terbaring di kamar rawat inap rumah sakit dan pria itu duduk di sebelahku dan memancarkan senyum hangat.

Upacara Pitra Yajña untuk ibuku, kuwarnai monokrom. Penuh tangis layaknya sinetron yang biasa tayang di televisi. Kalau biasanya, orang yang sudah meninggal akan dikremasi, dan yang meninggal dengan cara yang tidak wajar sebaiknya dikubur terlebih dulu. Namun, sesuai keinginan terakhir ibu ketika pesuugan, ia meminta agar aku dan bapakku segera mengkremasi jenazahnya.

Ibu tak ingin membuatku datang ke kuburannya untuk ziarah dan menangis berlarut-larut. Ia berharap agar aku bisa melupakan bahwa dirinya memang tidak ada lagi untukku. Ia akan menjadi asap yang bersatu dengan udara, menjadi abu dan bersatu dengan tanah dan dihanyutkan, bersatu dengan lautan. Kini, aku bisa menemuinya di mana pun dan kapan pun. Meski tidak mewujud manusia yang dapat kupeluk erat.

Hidupku semakin menderita. Makin hari, makin kacau. Beberapa wujud nyata mimpi burukku perlahan terlihat dan terdengar olehku. Dua bulan sejak kepergian ibu, di televisi sedang gencar diberitakan kabar mengenai seorang pembunuh berantai yang ternyata pelaku dibalik hilangnya puluhan bayi. Pembunuh yang merupakan wanita tua itu ditemukan polisi dengan bangkai bayi dan tulang belulang mungil di sebuah jalan saat tengah malam.

Tak hanya itu, aku hanya bisa menyelesaikan sekolah hanya untuk merasakan kelas sepuluh SMA. Setelahnya, kuputuskan berhenti mengenyam pendidikan karena kelamnya kehidupan pribadiku yang membuatku terlihat amburadul di hadapan semua orang. Lima tahun dalam hidupku ini kuhabiskan untuk merenungi kesalahan yang tidak sama sekali kuperbuat.

Selama setengah dasawarsa itu juga, dengan pria itu, aku mencari informasi mengenai kemampuan anehku. Baik dari manusia ‘pintar’, maupun para makhluk astral. Lama- kelamaan, hubungan tidak jelasku dengan pria itu mulai terbentuk. Sebuah jalinan baru yang kelak diwarnai segala rasa dan warna. Kunamai teman baruku itu dengan sebutan kutu loncat tengik, biasa kupanggil dengan sebutan Nomad.

Rambut hitam lurus sepanjang tengkuknya begitu lembut dan mengilap. Manik hitam bulat terbingkai kelopak mata dengan tatapan elang. Kulitnya cerah dan bercahaya meski merupakan bagian makhluk pucat tak beraga. Bibirnya merah tepat dihiasi dengan dagu agak runcing. Meski begitu, dengan poni jatuh ke sebelah kiri wajahnya, ia nampak begitu imut. Suaranya tak kusangka, begitu indah dan lembut. Namun, aku tak punya sebutan selain kutu loncat tengik untuk sifatnya yang jahil dan pengganggu.

Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku. Fisiknya dewasa, tidak sifatnya yang kekanakan. Ketika ia tersenyum, lengkungan merah di wajahnya memancarkan aura hangat dan lembut yang senantiasa kurindukan. Berbeda ketika emosinya meningkat dan mengacau, dia bisa jadi benar-benar jauh dari penggambaranku barusan. Imutnya seketika lenyap. Sadis.

Saat pertama kali berinteraksi lebih dekat dengannya, aku mengajarinya bernyanyi agar suara merdunya tak terbuang percuma hanya untuk mengoceh tentang koleksi anggrekku. Kubuat ia hapal lirik lagu Bintang Kejora.

Semakin ia akrab, sifat aslinya keluar ke permukaan. Bebal, keras kepala, usil, dan humoris seringkali mengaduk-aduk emosiku. Dan, ia juga sering mengamuk dan tidak mau bicara denganku beberapa hari. Alasannya, konyol. Ia seringkali mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi sepasang kekasih bersamaku. Kujawab saja “tidak” tiap kali ia minta, dan ia kecewa. Namun, ia hanya bercanda.

Nomad. Aku tak begitu tahu harus kunamai siapa dia. Hanya karena ia sering bepergian entah ke mana hanya untuk mencari tahu mengenai kemampuan rangkap kutukanku. Ia tidak pernah berlama-lama di satu tempat. Saat itu, aku teringat cara hidup manusia sebelum masa perundagian dengan berpindah-pindah tempat. Tersebutlah satu kata yang menggambarkan dirinya. Nomad.

Untunglah ia mampu memperbaiki diriku yang remuk setelah kepergian Ibu dan munculnya mimpi buruk berkepanjangan yang menerorku. Aku begitu berharap mimpi burukku segera berakhir. Sayangnya, usahaku tidak ada. Ingin bersumpah menyelesaikan ini semua, namun aku terlalu rapuh untuk melanjutkan langkah. Baiklah, setelah ini semua berakhir, dipanggil Tuhan tidak masalah lagi bagiku.

Dan, aku tidak ingin bermimpi lagi malam ini.

.

.

.

.

Note Penulis: Selamat datang di sebuah cerita berlatar di Bali. Saya penulis pemula. Masih SMP. Kalau ada kurang, silahkan komentar. Sekiranya tiap bab diberikan like dan komentar sekenanya. Kalau ikhlas, kasi rate sejujurnya juga tidak kenapa.

I Love You, untuk kamu yang tidak bisa melihatku langsung, tapi terus menemukanku dalam mimpi. Kuharap, aku bukan bagian mimpi burukmu. Karya ini kutujukan untukmu. Masalahnya, orang itu bukan kamu yang membaca ini.

Selamat menyelami kerumitan dan ketidaksempurnaan kisah hidup Ann Azalea ini.

.

.

.

(2) SANGKAKALA DITIUP

Setahun setelah kepergian ibu tercinta ….

~Ann

Di sebuah hari yang gelap gulita. Terlalu dini dikata malam, terlalu gelap dibilang pagi. Tidak ada awan mendung maupun gerhana, langit hitam pekat tanpa izin. Mereka masih belum menyadari, sesuatu akan segera hadir.

Para leluhur seakan memberikan suatu petunjuk, makhluk tak kasat mata lainnya mencoba memperjelas keadaan. Alam tunjukkan pertanda. Sesuatu pasti akan terjadi.

Awan gelap didorong oleh angin kencang bergemuruh dan mulai berkumpul di atas kepala. Gelapnya terlalu kelam jika hendak turun hujan. Sebuah lubang di tengah awan membiarkan cahaya menerobos. Dari sana, dapat kusaksikan banyak cahaya memancar dari Akasa dan hendak memberitahukan sesuatu.

Dengungan yang panjang dan menggema di seluruh bumi. Sangkakala terdengar sebagai degungan akhir dunia. Zaman Kali Yuga akan segera berakhir. Satu Kalpa segera menggenap. Semuanya akan segera berhenti. Tamat.

Aku lari ketakutan setelah mendengarnya. Kupeluk Bapak yang panik mencari tahu asal suara yang menakutkan itu. Dia belum tahu kalau yang barusan didengarnya adalah terompet penanda kiamat.

“Suara apa itu, Ann?”

Pertanyaan sederhana yang pasti akan dilontarkan manusia normal. Sebagai salah seorang yang dapat menerima pesan, mendengarnya adalah kutukan untuk telingaku. Takut? Bagaimana tidak, kami dikabari Kali Yuga tinggal beberapa saat lagi. Apa waktu itu singkat? Memang singkat. Saatnya pergunakan hidup sebaik mungkin, wahai manusia.

Aku berjalan pelan dan was-was ke kamar. Tiba dengan selamat, kulempar tubuhku dengan kasar ke atas ranjang. Perlahan, kuusahakan memejam. Tak berselang lama, seorang jiwa leluhur menghampiriku. Cahaya yang teramat menyilaukan terpancar darinya. Rambut putihnya tersanggul kecil khas orang zaman dahulu. Berdiri dengan bantuan tongkat berbentuk kepala naga padahal hampir tak berwujud pada pegangannya. Pakaian serba putih menutupi tubuh tua dan kulit keriputnya. Kakinya tak menapak pada lantai berkeramik dingin di bawahnya.

Nomad berdiri di sebelahnya dan nampak berbicara. Aku yang sedari tadi berbaring langsung mengambil posisi bersimpuh di atas kasur dan mencakupkan tangan di depan dada. Beliau mulai berbicara dengan bahasa yang asing bagiku, namun sering terdengar ketika dan pergelaran Calon Arang. Kukira Bahasa Kawi yang digunakannya. Nomad mendengarkan beliau dengan seksama dan memerhatikan sekali apa-apa yang terucap dari bibir sang leluhur.

Suara beliau berat, serak, dan bertempo pelan. Setiap kata yang meluncur bagai sungai penuh makna. Aku termangu. Kualihkan pandangan pada Nomad yang asyik mengalih bahasa dalam otaknya. Sesekali ia menanggapi dengan manggut-manggut dengan ekspresi datar dan hormat. Ia pun sepertinya sedang membalas beberapa ucapan sang leluhur.

Mungkin dialog di antara mereka sudah berakhir, sang leluhur melihat ke arahku dan seketika lenyap tanpa jejak. Kini, waktunya menggali informasi dari narasumber kedua. Nomad.

“Bagaimana, Nomad? Apa yang beliau perintahkan?”

Nomad menggeleng. “Tidak ada. Beliau hanya mengingatkan. Kamu tahu, Ann, beliau adalah leluhur keluargamu. Beliau berpesan agar kau selalu rajin berdoa. Beliau juga memberitahuku, kamu harus lebih rajin membaca kitab suci. Yang kamu perlukan saat ini hanya kepercayaan, katanya. Beliau juga mengingatkanku pada sebuah sloka dari Sarasamuschaya, aku harap kamu mengetahuinya. Akan kujelaskan artinya.

Di antara semua makhluk, hanya menjadi manusia yang dapat melaksanakan dan membedakan perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu, janganlah bersedih hati walaupun hidupmu tidak makmur. Malahan, dalam hidup sebagai manusia hendaknya budi pikiran itu diperkuat, karena menjelmanya kita menjadi manusia adalah hal yang utama, walaupun menjadi manusia merana sekalipun.

Beliau menyadari bahwa kehidupanmu sangat berat. Beliau memberitahukanku, kehidupanmu, dan banyak manusia lain di dunia ini sebenarnya punya maksud penting bagi dunia. Beliau bahkan menceritakan padaku, kamu pernah ingin bunuh diri, kan?”

Aku terpaku mendengarnya. Tak terasa, mataku membasah. Bayangan Nomad yang tipis di mataku semakin memburam tertutup genangan air mata. Aku hanya sanggup mengangguk pelan untuk menjawabnya.

“Beliau tahu kamu sangat kesulitan dengan hidup yang sedang kamu jalani sekarang. Mimpimu jadi nyata, yang baik juga yang buruk. Ingatlah, tidak selamanya sesuatu itu buruk. Pasti ada makna yang tersirat dan kamu tidak menyadarinya. Tujuan hidupmu, Ann, itulah yang harus kamu cari. Aku percaya, penderitaanmu saat ini menggambarkan tujuan hidupmu,” lanjutnya.

Aku tidak ingin tahu kalau aku ditakdirkan jadi penyelamat umat manusia atau bahkan dunia ini. Aku bukan seorang superhero dengan kekuatannya untuk menyelamatkan dunia dari kesengsaraan. Aku tidak memiliki kuasa atas itu.

Aku hanya Ann. Tidak berguna selain menjadikan mimpi buruknya hidup sebagai kenyataan. Mengapa aku sudah tak lagi bisa mengatur mimpiku? Sebenarnya, yang terjadi padaku itu … apa?

“Makanya, kamu harus sabar dan berjuang selalu. Leluhurmu datang jauh-jauh hanya untuk berpesan itu padamu.” Aku terbelalak, seakan tengik ini mampu mendengar suara hatiku. “Kamu mampu menjadikan mimpimu nyata. Cari arti dari pemberian Tuhan itu padamu, selami, hidupkan, dan jadikan itu sesuatu yang berarti bagi manusia.”

Ia telah mengguruiku dan memasang tampang menang. Namun, aku merasa pantas diperlakukan demikian. Aku ternyata tidak tengah beranjak dewasa dari masa kanak-kanak. Diejek teman sekolahan yang biasa nongkrong di kursi panjang merah muda depan kantin saja ******, bagaimana menghadapi masalah yang ini?

Lima tahun setelah kehilangan ibu tercinta ….

~Nomad

Aku bangga pada Ann. Pernah ingin bunuh diri seperti korban cemoohan yang lain, juga karena batinnya yang lelah dan sakit. Mampu merangkak saja sudah syukur. Ia telah mampu berdiri sendiri tanpa ia sadari. Ann, ia berdiri. Meski kakinya selalu gemetaran di hadapan keburukan yang keluar begitu saja dari alam mimpinya. Ia pernah berpikir untuk tidak pernah tidur, kecuali untuk beristirahat selama-lamanya.

Entah sampai kapan ia akan bertahan tegar.

Ia sempat bercerita padaku, ia teringat ketika sangkakala bertiup untuk yang pertama sebelum disusul tiupan kedua yang berarti dunia harus pralina. Namun, dengan binar mata yang indah, ia berkata bahwa ia sudah mengerti maksud pesan leluhurnya ketika itu. Ya, ia semakin rajin membaca kitab suci, berdoa, dan mengamalkan segala isi kitab suci yang dibacanya. Satu hal yang tersulit baginya: menyadarkan orang lain agar mengamalkan ajaran agama sama seperti yang ia giati.

Mimpinya adalah gambaran akhir dunia. Aku ingin ia tahu sendiri mengapa harus dia yang menjadi penyalur mimpi buruk ini dan mengapa mereka menjadi nyata. Terlalu berat untuk memberitahunya sekarang. Lagi pula, aku juga menyukai wajahnya wajahnya ketika ia semakin dibuat penasaran.

Setelah sarapan pagi ini, ia pergi ke kebun milik sang ayah yang berada dua puluh meter di belakang rumah. Tanah yang luasnya tak seberapa itu penuh dengan tanaman vanili yang ditanam layaknya pagar. Tanaman-tanaman vanili itu tengah berbunga. Setiap pagi di musim berbunganya vanili, Ayah Ann akan pergi ke kebun untuk membuahi bunga vanili.

Ann menghampiri ayahnya. Rantang tiga tingkat berbahan aluminium itu menghumbar aroma tempe dan masakan lain. Biar kutebak isinya … rantang paling atas gorengan termasuk tempe, di tengah-tengah ada kuah kaldu ayam, di bawah nasi. Betul?

“Pak, untuk nanti siang,” ucap Ann sambil menaruh rantang tersebut di atas tumpukan dedaunan yang mengering.

Ayahnya membalas dengan anggukan. Jari-jemarinya tengah asyik memasukkan serbuk sari ke kepala putik bunga vanili. Dari jauh, aku memerhatikannya dengan teliti. Ann melihatku dan memberi isyarat. Kita pulang sekarang. Akhirnya, kuturuti dan mengikuti langkahnya kembali ke rumah.

Sesampainya kami di rumah, Ann berjalan menuju dapur. Ia kenakan celemek berwarna merah muda kesayangannya yang selalu ia cuci setiap hari. Ia menggulung rambutnya yang panjang dan mengikatnya tinggi di atas kepala. Dicucinya kedua tangannya dengan air mengalir. Sesekali ia bergidik karena dinginnya suhu air yang tengah membasahi tangannya.

Ia berpindah ke arah meja makan. Di sana, sudah tertata rapi beberapa piring lauk-pauk dan nasi segunung. Tangannya melaju ke laci meja makan. Dikeluarkannya sebungkus kotak nasi yang belum dilipat sedemikian rupa. Satu per satu ia membentuk kotak nasi dari karton sampai jumlahnya kurang lebih sepuluh buah. Ada pula mika plastik dengan beberapa tempat untuk menaruh isian nasi bungkus.

Ia menyendokkan nasi, tempe, sambal, mi goreng, telur dadar yang diiris kecil dan sebuah cabe rawit. Sambil mengingat siapa saja yang akan menerima nasi bungkus itu, aku sengaja tersungut-sungut di sebelahnya hendak menyindir.

“Mewah sekali, ya, makanannya ….”

Ia tak memedulikanku rupanya. Matanya tak beralih dari meja makan. Terpaksa aku mengalah. Ann di saat seperti ini memang ada baiknya untuk tidak diganggu.

Aku dengan iseng memainkan rambutnya yang terikat di atas kepalanya. Ia masih saja bergeming dan fokus pada makanannya. Aku menusuk-nusuk gulungan rambut itu dengan jari-jari tangan kananku, bergantian mulai dari jempol hingga kelingking dan kuulangi sampai tak sadar Ann sudah selesai mengemas kesepuluh porsi makan siang itu. Ia meraih sebuah tas plastik merah besar dan memasukkan kotak-kotak nasi ke dalamnya.

Saatnya berangkat menuju tujuan pengiriman.

Awalnya, aku sering bertanya-tanya dalam hati, untuk apa Ann membuat nasi kotak dengan jumlah yang sama setiap hari dan bukan untuk ia titipkan di warung-warung maupun dijajakan. Semakin sering aku menguntitnya, barulah kutahu alasannya.

Ann selalu pergi ke hutan di dekat rumahnya, hutan yang masih asri. Karena rumah Ann yang sedikit menjorok ke pedalaman, mencari hutan alami tidak terlalu sulit. Hutan hujan tropis itu kini mulai terjamah manusia. Meski begitu, tidak banyak bagian yang dikosongkan para warga untuk kepentingan mereka. Namun, ada satu titik yang kosong dari pepohonan dan benar-benar layaknya lapangan. Ada sesuatu yang perlu ditelusuri.

Pemukiman rimba yang biasanya ada ketika zaman para manusia masih hidup nomaden, terlihat begitu apik dan damai di sini. Tidak akan ada yang menyadarinya. Meski pun dunia ini sudah menunjukkan perubahan zaman dan tampil modern, keberadaan mereka dan kebudayaan mereka tetap berjalan. Aku masih bingung, bagaimana cara Ann untuk berkomunikasi dengan para manusia bisu itu?

Beberapa anak berpenampilan kusam dan dekil keluar beramai-ramai dari sebuah pondok ilalang sederhana. Lumpur menutupi kulit mereka. Bau tanah dan rumput tercium begitu mereka mendekat. Aroma khas hutan hujan tropis menyegarkan menjadi parfum mereka.

Mereka tertawa menyambut kedatangan Ann. Mereka membawa Ann masuk ke dalam desa kecil mereka. Hanya terlihat tiga buah pondok berbahan ilalang yang berdiri di sana. Meski demikian, aku bersikeras dalam kepercayaanku bahwa masih banyak manusia rimba lain di hutan ini.

Beberapa orang dewasa kemudian ikut keluar dari pondok. Mereka sepertinya sudah terbiasa dan berbaris rapi untuk mengantri untuk mendapatkan nasi kotak mereka. Aku bahkan tak dapat melihat pemandangan ini di luaran sana, di antara para manusia modern.

Ann biasa ber-Yaĵña pada mereka—manusia rimba. Ann pernah bilang padaku, mereka yang melarang manusia lain merusak ekosistem yang terbentuk semenjak manusia mulai tinggal di sini. Meski hutan ini tidak termasuk sebagai wilayah cagar alam oleh pemerintah, tapi mereka yang melindungi hutan tersebut dari kehancuran. Para manusia rimba berhak atas penghormatan kecil ini karena mereka sangat berjasa bagi hutan dan segala isinya. Ann memberikan wujud terima kasihnya dengan bentuk nasi kotak sebagai makan siang mewah mereka setiap hari.

Para manusia ini—menurut Ann—merupakan jawaban atas permintaan seorang leluhur pada Ann agar ia bersedia menyadarkan dan mengingatkan para manusia untuk menyayangi lingkungan. Sebuah contoh, sebut saja hutan. Ada manusia rimba yang membantu Ann. Mereka sebenarnya bukanlah penduduk asli hutan ini. Mereka baru muncul di sini beberapa tahun yang lalu.

Kuhempas pandangan pada hamparan warna hijau yang dominan. Begitu sejuk dan menyegarkan. Bernapas di sini bisa jadi adalah hal terbaik. Burung-burung berkicau saling menyahuti. Terlihat pula para rusa malu-malu menengok dari balik pepohonan. Inilah kehidupan hutan yang benar-benar asli.

Terpikir pula olehku sebuah pertanyaan: Apakah mereka dapat bertahan lama di sini? Ann bahkan melontarkan pertanyaan yang sama. Dan, entahlah. Aku tidak bisa meramalkan masa depan dan mengetahui nasib mereka setelah ini. Doakan saja mereka agar bisa hidup di sana lebih lama lagi menjadi abdi hutan.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!