NovelToon NovelToon

Genderuwo Itu.. Tetanggaku !!!

I - Mata Batin Mereka

Malam minggu kelabu, mungkin itu yang dirasakan Danisha. Sesakit-sakitnya dia patah hati, inilah yang paling membuat hatinya hancur. Raka, pria yang baru satu bulan menjalin kisah asmara dengan Danisha, tiba-tiba membatalkan pertemuan mereka ke sekian kalinya.

 

Meskipun baru satu bulan, namun Danisha menaruh harapan penuh pada pria bertubuh jangkung ini. Namun apalah daya, beberapa hari kemudian, Danisha mendengar kekasihnya itu sudah kembali ke pelukan mantan pacarnya di kampus dulu.

 

Tidak hanya hati yang hancur, tubuh Danisha pun terasa lelah. Dia memilih untuk memanggil Ibu Suti, tukang urut langganannya di gang sebelah. Danisha sengaja memilih Kamis pagi, karena dia bisa punya alasan ke bos kantornya untuk absen ke lapangan. Tentunya untuk menghindari segudang pekerjaan, yang belum bisa berkompromi dengan otaknya.

 

Toktokk..

 

Ibu Suti pun akhirnya datang. Danisha langsung menyuruh wanita paruh baya berjilbab panjang ini, masuk ke rumahnya melalui pintu samping.

 

“Apa kabar kamu Danisha?” tanya Ibu Suti

 

“Kurang sehat bu, sudah lama juga gak diurut Ibu Suti,”’ jawab Danisha sembari berbaring tengkurap siap untuk diurut.

 

Lalu Ibu Suti mulai mengoleskan punggung Danisha dengan minyak zaitun dicampur minyak kayu putih. Perlahan-lahan, Ibu Suti memijat di bagian-bagian urat yang tegang.

 

Danisha dan Ibu Suti cukup akrab. Sembari mengurut, Ibu Suti bercerita tentang anaknya lelakinya yang baru dapat pekerjaan, serta lucunya ketiga cucu-cucunya.

 

“Danisha, kamu kamu nikah kapan nih, usiamu udah 25 tahun kan?,” tanya Ibu Suti yang membuat raut muka Danisha mengkerut.

 

“Nanti deh Bu, saya baru aja putus. Belum mau dulu lah cari pacar,” jawab Danisha singkat.

 

“Kamu nih kayaknya susah ya jodohnya. Setiap punya hubungan, pasti tidak pernah langgeng, bener gak?,” Seloroh Ibu Suti yang membuat Danisha langsung membalikkan tubuhnya.

 

Dengan tatapan bingung, Danisha hanya terdiam melihat Ibu Suti. Dalam pikirannya, bagaimana Ibu Suti bisa tahu, padahal Danisha tidak pernah cerita dengan keluarganya, apalagi dengan Ibu Suti.

 

“Kamu jangan kaget, Ibu tahu itu,”’

 

“Danisha tahu gak kenapa itu bisa terjadi, bu”

 

Ibu Suti lalu menceritakan apa yang dilihatnya melalui mata batinnya. Dia melihat Danisha selalu diikuti oleh makhluk halus bertubuh besar, hitam, berbulu dan bermata merah menyeramkan. Namanya Genderuwo.

 

Menurutnya, Genderuwo inilah yang membuat aura Danisha tidak bersinar, selalu berusaha menghancurkan hubungan asmara Danisha. Satu alasannya. Genderuwo itu tidak suka jika Danisha punya kekasih. Dia ingin Danisha hanya milik makhluk astral itu seorang.

 

“Jadi, kamu ini sudah lama diikuti Genderuwo itu. Makanya hubungan pacaran kamu gak lama,”

 

Pikiran Danisha pun seketika melesat ke beberapa tahun terakhir. Benar kata Ibu Suti. Tidak ada satu pun hubungan pacarannya yang lebih dari 2 bulan, bahkan hanya 1 bulan berjalan mulus.

 

Ada juga mantan kekasihnya di luar kota, meskipun pernah berjalan 1 tahun, namun itu juga komunikasi terbatas, dan akhirnya kandas berbekas sangat buruk.

 

Wait.. Danisha langsung menghapus cocoklogi cerita dia dan Ibu Suti. Meskipun dia percaya ada dua alam di dunia ini, namun lagi-lagi Danisha tidak mau meyakini apa yang diceritakan Ibu Suti.

 

“Ah, Ibu Suti ini, ngawur,” ucap Danisha ketus.

 

“Terserah kamu percaya atau tidak, tapi Genderuwo itu sekarang berdiam di rumahmu. Dan dia selalu mengikuti kemana pun kamu pergi,” itu kata terakhir Ibu Suti yang langsung melekat di otak Danisha.

 

Ibu Suti juga menasehati Danisha, agar jangan tinggalkan salat, selalu sempatkan berzikir dan jangan berbuat yang macam-macam.

 

Cerita Ibu Suti seakan menjadi angin lalu saja bagi Danisha. Dia tetap tidak mau percaya akan hal itu. Baginya, jodoh, maut, rejeki itu di tangan Tuhan. Jika belum ketemu jodohnya, ya mau bagaimana lagi.

 

*****

 

Danisha pun kembali disibukkan dengan aktifitasnya sebagai penulis riset, di salah satu perusahaan ternama di Palembang. Dia pun sering ke luar kota, untuk mencari bahan-bahan riset yang akan ditulisnya. Cerita Ibu Suti pun tinggal cerita...

 

Minggu pagi, Mama Ajeng, ibunya Danisha mengeluarkan sepeda motornya dari kamar samping. Setiap Minggu pagi, mamanya Danisha pasti disibukkan dengan aktifitas pengajian di masjid dekat rumah, lalu bertandang ke rumah neneknya di ujung gang perkampungannya.

 

Hari Minggu juga, menjadi harinya Danisha bermalas-malasan. Bangun siang, mandi entah jam berapa, pokoknya setiap hari Minggu, dia tidak ingin diganggu dengan kegiatan di luar rumah.

 

Namun sepertinya, hari Minggu kedua di bulan September ini, akan terasa beda dari minggu-minggu sebelumnya. Entah kenapa, Mama Ajeng masuk ke dalam kamar Danisha, dan membangunkan anak bungsunya tersebut.

 

“’Dek, bangun. Yuk temani mama ke rumah Ibu Irma,”

 

“Emoh ma, masih ngantukk,” Danisha langsung menolak, meskipun kelopak matanya belum dia buka untuk sekejap saja melihat ibunya, yang berdiri di sampingnya.

 

Ya, Mama Ajeng sangat paham dengan anak perempuannya ini. Begitu capek setiap hari kerja, tentunya hari Minggu anaknya ini ingin memanfaatkan waktu istirahat semaksimal mungkin. Mama Ajeng akhirnya pergi sendirian ke rumah Ibu Irma.

 

Sorenya, Mama Ajeng kembali masuk ke kamar Danisha. Lagi-lagi, Danisha masih kaku di atas kasurnya.

 

“Dek bangun dek, udah jam berapa ini, Kamu belum mandi ya?”

 

Tangan Mama Ajeng langsung menggoncang-goncangkan tubuh Danisha. Dengan mata yang masih terkantuk, Danisha akhirnya bangun, mengangkat tubuhnya untuk bersandar ke dinding kamar.

 

“Danisha udah mandi ma, tapi ini tidur lagi siang tadi, ada apa sih ma, tumben,”

 

“Mama tadi ke rumah Ibu Irma dek,”

 

“Iya tahu ma, kan tadi mama ngajakin. Emang ada apa ma?,”

 

Mama Ajeng hanya terdiam sembari melihat wajah anaknya yang terlihat letih. Namun, ada yang ingin Mama Ajeng sampaikan ke Danisha. Sangat penting.

 

“Dek, kamu inget kan anak Ibu Irma, Mba Rika yang tukang jahit itu,”

 

“Oh itu, iya, ada apa emangnya ma?,”

 

Mama Ajeng pun menceritakan bahwa Mba Rika itu sering kesurupan roh eyangnya. Setiap dia kesurupan, pasti Mba Rika selalu meracau aneh. Danisha sesekali pernah menemani mamanya ke rumah Ibu Irma dan bertemu Mba Rika.

 

“’Ya trus kenapa ma kalau Mba Rika sering kesurupan?,” tanya Danisha yang sebenarnya ogah dengar cerita seperti itu.

 

“Dia bahas kamu dek,”

 

Mata Danisha terbelalak. Dia bingung, kenapa Mba Rika bicarain dia. Padahal, ngobrol empat mata saja tidak pernah.

 

“Rika bilang, kamu diikutin Genderuwo dek,”

 

“WTF” celetuk Danisha di depan mamanya. Seketika dia langsung terdiam, kok dia bisa mengucap seperti itu di depan mamanya. Mamanya pun kaget, karena gak ngerti apa yang diucapin anak perempuannya ini.

 

“Apa tadi kamu bilang dek,”

 

“Eh, enggak ma, lanjut. Trus Mba Rika bilang apa?,”

 

Perlahan, Mama Ajeng bercerita tentang apa yang dilihat Mba Rika ketika dia kerasukan roh eyangnya. Setiap Danisha dan Mama Ajeng ke rumah Ibu Irma, Mba Rika merasakan ada aura berbeda dari tubuh Danisha. Aura gelap dan menakutkan.

 

Saat Mama Ajeng ke rumah Ibu Irma, Mba Rika tiba-tiba kembali kerasukan dan langsung mendekati Mama Ajeng. Rika bilang, kalau Danisha sudah lama diikuti oleh Genderuwo itu.

 

Cerita Mba Rika, persis sama seperti yang dibilang Ibu Suti. Padahal, mereka berdua sama-sama tidak saling mengenal.

 

“Mba Rika bilang, dia ingin ketemu sama kamu. Kapan kamu ada waktu ke rumah Ibu Irma, dek,” ajak Mama Ajeng sembari meyakinkan Danisha agar mau menuruti kemauan Mba Rika.

 

“Apaan sih ma, gak ah. Danisha gak suka yang berbau mistis gitu. Mama juga jangan percaya. Danisha kan solat terus, gak berbuat aneh-aneh, ngapain juga bisa diikutin Genderuwo itu,”

 

Danisha pun langsung meninggalkan Mama Ajeng di kamarnya. Kerutan di antara kedua alisnya, menandakan Danisha sangat tidak suka mendengar cerita itu. Apalagi dia merasa tidak ada yang salah di tubuhnya, terlebih dengan kandasnya kisah-kisah asmaranya.

 

Sepertinya, cerita Mba Rika membuat Mama Ajeng semakin yakin kalau anaknya memang diikuti oleh Genderuwo itu. Mama Ajeng selalu membujuk Danisha untuk ikut bersamanya ke rumah Ibu Irma.

 

Lagi-lagi, Danisha menolak. Bahkan mengancam gak akan pulang ke rumah, kalau Mama Ajeng selalu memaksanya untuk ke rumah Ibu Irma.

 

Ancaman Danisha ternyata tidak dihiraukan Mama Ajeng. Dia lebih mengkhawatirkan anaknya yang akan suram masa depannya dan akan menjadi perawan tua, jika selalu diikuti oleh Genderuwo itu.

 

Berbulan-bulan, Mama Ajeng terus membujuk Danisha, meskipun dengan berbagai cara Danisha menolaknya.

 

*****

 

Akhir bulan November, Mama Ajeng dan Danisha menikmati sore dengan duduk di teras rumah. Mereka bersenda gurau berdua, menceritakan kakak Danisha selalu pulang setiap jam 9 malam serta keponakannya yang akan masuk Sekolah Dasar (SD).

 

“Dek, mama kapan ya nambah cucu lagi. Kayaknya kurang seru kalau cuma satu,”

 

“Ya mama tanya aja sama Kak Irsan dan istrinya, kapan produksi anak lagi,”

 

“Mama mau dari kamu dek. Mama kan sudah tua,”

 

Danisha langsung terdiam. Dia tahu, Mama Ajeng sangat ingin melihat anak perempuan satu-satunya ini segera menikah.

 

“Yuk ma, kita ke rumah Ibu Irma, sekarang aja. Danisha juga penasaran, apa yang akan diomongin Mba Rika tentang Danisha,”

 

Mama Ajeng pun terkaget. Matanya seakan berbinar-binar gembira. Akhirnya Danisha mau menuruti keinginan Mama Ajeng. Danisha sepertinya memanfaatkan alasan itu, agar dia dan Mama Ajeng tidak terlarut dalam angan-angan Mama Ajeng agar Danisha cepat menikah.

 

Danisha lalu membonceng Mama Ajeng menuju rumah Ibu Irma. Hanya butuh 15 menit untuk sampai ke rumah Ibu Irma.

 

Meskipun tidak yakin dengan cerita Mba Rika, namun hati Danisha deg-degan. Dia bukan berpikiran tentang cerita Genderuwo. Namun Danisha takut nantinya, Mba Rika bisa menguak cerita masa lalunya yang suram, di depan Mama Ajeng.

 

Mama Ajeng dan Danisha akhirnya bertemu dengan Ibu Irma. Seperti biasa, Danisha mencium tangan Ibu Irma, mantan tetangga neneknya dulu. Tatapan Danisha langsung mengelilingi ruang tamu dan ruang tengah rumah Ibu Irma. Namun dia tidak menemukan batang hidung Mba Rika.

 

Ibu Irma pun mengajak Mama Ajeng dan Danisha duduk di ruang tengah. Mereka mencicipi bolu buatan Ibu Irma, yang baru saja keluar dari oven.

 

Tiba-tiba, pintu kamar di ruang tengah terbuka. Mba Rika keluar dari kamarnya dan langsung mendekati Danisha.

 

“Hai Danisha, kamu kok lama banget gak ke sini. Mba nungguin lho. Pesan mba disampaikan mama kamu gak?”

 

“Eh iya mba, Danisha sibuk ke luar kota,” entah kenapa keringat Danisha langsung bercucuran. Ada ketakutan yang menggelayut di benak Danisha.

 

“Mba ke ruang tamu dulu ya, nanti kamu nyusul ya kalau mba panggil,”

 

Danisha hanya mengangguk pelan.

 

Setengah jam berlalu. Namun suara Mba Rika masih belum terdengar memanggil nama Danisha. Danisha pun merasa gak nyaman. Antara percaya dan takhayul yang ada di hadapannya.

 

Saat khayalannya terbang entah kemana, tangan Mama Ajeng langsung menepuk pelan punggung Danisha.

 

“Danisha, tuh dipanggil Mba Rika. Ke depan gih sana,” bujuk Mama Ajeng.

 

Danisha pun melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Mba Rika langsung mengayunkan tangannya ke kursi di sampingnya, agar Danisha duduk tepat di sampingnya.

 

Hening. Tidak ada sepatah kata pun dari mulut Mba Rika. Danisha mencoba menatap dalam wajah Mba Rika, yang ada di hadapannya sembari menutup matanya.

 

Sepuluh menit berlalu. Akhirnya Mba Rika membuka matanya. Danisha pun kaget dan malu, karena dia ketahuan menatap dalam Mba Rika. Danisha langsung menunduk.

 

Mba Rika lalu memalingkan wajahnya ke pintu ruang tamu. Entah ceracau apa yang keluar dari mulut Mba Rika, membuat Danisha semakin cemas.

 

“Ada Genderuwo di depan rumah ini. Dia yang mengikuti kamu terus. Tapi dia tidak bisa masuk ke sini,”ucap Mba Rika, dengan intonasi suara yang sangat berat.

 

Suara itu, berbeda dari suara Mba Rika saat dia menyapa Danisha. Suara Mba Rika, seperti suara laki-laki yang renta, berat, lirih dan kecil.

 

“Kamu harus rajin ibadah. Atau, dia tidak akan pergi dari kamu. Saya tidak bisa bantu apa-apa, hanya kamu sendiri yang bisa mengusir dia,”

*****

II - Jejak Masa Lalu

Danisha masih bingung, bagaimana bisa informasi dari Ibu Suti dan Mba Rika persis sama. Sama-sama membahas tentang sosok Genderuwo yang terus mengikuti Danisha.

 

Namun Danisha tetap dalam pendiriannya. Bukan Genderuwo yang merusak semua hubungan asmaranya dengan mantan-mantan kekasihnya. Namun emang dasar para pria itu saja yang tidak ingin menjalin hubungan yang serius.

 

Aktifitas Danisha di luar rumah terbilang cukup padat, namun di setiap hari Sabtu, dia bisa lebih leluasa bersantai. Karena pekerjaan kantornya hanya sampai pukul 16.00 WIB saja. Dia bisa lebih memanfaatkan sisa waktunya untuk berkumpul bersama teman-temannya.

 

Sebelum bertemu dengan teman-temannya di Kafe Biru, Danisha melajukan sepeda motornya pulang ke rumah. Entah kenapa, Danisha rindu empuknya kasurnya yang hanya dia gunakan pada dini hari saja, setiap harinya. Karena pekerjaan kantornya harus dia lanjutkan di rumah.

 

Sesampainya di depan kasurnya, Danisha membiarkan tubuhnya terjatuh di atas kasur empuknya. Letihnya pun terbayar dengan dinginnya bantal kesayangannya dan aroma kamarnya yang khas.

 

Danisha kembali memutar memorinya, ketika bertemu dengan Ibu Suti dan Mba Rika. Dia terus menembus ruang pikirannya, apakah memang benar yang disampaikan kedua wanita itu adalah benar.

 

Apakah sebelumnya Danisha pernah mengalami hal mistis yang berkaitan dengan Genderuwo? Dia pun masih menerka-nerka..

 

“Oh My God,” Danisha seketika teringat beberapa tahun lalu. Ketika dia sedang berada di taman belakang rumahnya, yang berdekatan dengan rumah tetangganya.

 

Memorinya menelusuri puing-puing kenangan di masa lampau. Ketika itu, Danisha masih kelas 3 SMP. Dia memilih duduk santai di taman belakang rumahnya menjelang magrib.

 

Saat Danisha melempar tatapannya ke dinding rumah tetangganya yang menjulang tinggi, Danisha langsung melihat ada bayangan tinggi di dinding rumah itu.

 

Karena rasa penasaran, Danisha terus memelototi bayangan tinggi hitam tersebut. Dia berusaha menyinkronkan dengan nalar manusianya.

 

“Oh, mungkin itu bayangan dari pohon pisang di samping rumah tetangga,” ujarnya dalam hati.

 

Namun hati nuraninya berontak. Tidak mungkin bayangan pohon pisang bisa setinggi rumah dua tingkat. Darimana asalnya cahaya yang membiaskan bayangan pohon pisang itu?

 

“Tïdak mungkin. Itu bukan bayangan pohon pisang,” Danisha langsung menelan air ludahnya.

 

Bayangan hitam itu terus ada dan tak bergerak sedikit pun. Nyali Danisha yang menciut. Dia memilih masuk ke rumah dan memanggil kedua orangtuanya.

 

“Pa, Ma.. sini dulu,” jerit Danisha dengan nada ketakutan.

 

Papa Mama Danisha langsung mendekati anak perempuannya itu. Mereka sudah paham, jika reaksi Danisha seperti itu.

 

“Ada apa dek, magrib gini kamu teriak-teriak?,” tanya Papa Albi.

 

“Iya kamu ini, bukannya salat, tapi main di taman belakang,” ucap Mama Ajeng menasehati.

 

Tanpa sepatah kata pun, Danisha langsung menarik tangan kedua orangtuanya dan menggiringnya ke taman belakang.

 

Jari Danisha langsung menunjuk ke dinding rumah tetangganya. Danisha ingin menunjukkan ada penampakan bayangan hitam tinggi, yang membuat bulu kuduknya berdiri.

 

“Hah...” Danisha langsung terkaget, saat jarinya menunjuk ke dinding rumah dua tingkat itu.

 

“Ada apa sih dek? Kamu lihat penampakan lagi ya? Mana? Papa juga mau lihat,” tanya Papa Albi seraya menggoda Danisha.

 

“Di sana Pa, di sana tadi ada bayangan hitam besar. Di dinding rumah Ibu Windu. Danisha lihat betul pa,” Danisha mencoba meyakinkan kedua orangtuanya dengan wajah serius.

 

Papa Albi dan Mama Ajeng saling tatap dan sesaat langsung tersenyum. Entah apa makna senyum kedua orangtua Danisha itu.

 

“Mungkin itu bayangan pohon dek. Yuk masuk lagi. Makanya kalau magrib jangan keluar rumah,” ajak Mama Ajeng sembari menarik tangan Danisha.

 

Tubuh Danisha langsung terseret masuk ke dalam rumah, ditarik lembut oleh Mama Ajeng. Danisha merasa kesal. Lagi dan lagi dia gagal menunjukkan ke kedua orangtuanya, terhadap apa yang dilihatnya.

 

***

 

Air mata Danisha pun jatuh dan membasahi bantal kesayangannya. Dia baru tersadar, jika bayangan hitam tinggi yang dilihatnya dulu, kemungkinan besar adalah sosok Genderuwo.

 

Danisha juga emosi, mengapa sejak kecil dia selalu bisa melihat hal-hal aneh seperti itu. Jika dia bercerita dengan kedua orangtuanya dan kakaknya, cerita Danisha pasti selalu dijadikan guyonan.

 

“Kalau kamu lihat lagi, ajak kenalan dek. Trus minta nomor togel, kali aja kita menang,” ucapan ini selalu meluncur dari mulut kakaknya Irsan.

 

Suara Adzan Magrib pun memecah kesedihan Danisha. Dia langsung bangkit dari kasurnya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Danisha lalu melakukan salat Magrib di kamarnya.

 

30 menit kemudian, Danisha sudah bersiap pergi ke Kafe Biru, menemui teman-temannya, Aira, Yusha dan Maura.

 

Mereka akhirnya bertemu di Kafe Biru dan memilih kursi pojokan. Mereka bercerita tentang apapun, mulai dari cerita kisah asmara Aira, yang putus nyambung dengan kekasihnya Ari, cerita tentang Yusha yang akan melanjutkan S2 di Jakarta dan Maura yang selalu berangan-angan liburan ke Thailand.

 

Sedangkan Danisha, hanya terdiam saja mendengar ketiga temannya bercerita. Danisha tahu, ketiga temannya pasti tidak suka jika Danisha bercerita tentang hal mistis. Karena ketiga temannya ini termasuk penakut.

 

Jangankan mendengar kisah nyata Danisha. Diajak nonton film horor di bioskop saja, pakai perang argumen dulu, drama jerit ketakutan hingga mimpi buruk di malam hari.

 

“Danisha, kamu kok diem aja sih,” tanya Maura.

 

“Iya nih, biasanya bawel, suka ngejekin khayalan Maura yang gak tahu sampai kapan terwujud,” celetuk Aira disambut tawa lepas Yusha.

 

“Eh..ini, aku bingung aja, gimana ya kalau aku resign dari kantor, bosen kerjaannya monoton gitu aja,” alasan ini dipilih Danisha untuk mengalihkan rasa gusarnya.

 

“Ya.. kan dari bulan lalu kamu mau resign, tapi gak jadi-jadi,” Yusha menyahut alasan Danisha.

 

Mereka pun akhirnya mengatur strategi mencari cara agar Danisha bisa segera resign dari kantornya. Namun lagi

lagi, saran teman-temannya ini memang gak masuk akal.

 

Seperti Maura. Yang menyarankan Danisha agar pura-pura amnesia saja, jadi Danisha bisa punya alasan resign, karena lupa dengan semua pekerjaannya.

 

Saran Yusha lebih parah. Danisha disuruh berpura-pura kayak kesurupan di kantor, setiap hari. Biar orang kantornya gerah dengan ulah Danisha, dan dia diperbolehkan resign dari kantor.

 

Hanya Aira yang tidak memberikan saran konyol seperti kedua temannya. Dia hanya diam menatap panjang wajah Danisha, yang memang terlihat sedang gelisah. Aira hanya tersenyum, ketika tatapan Danisha tak sengaja memergoki Aira menatapnya.

 

Diantara ketiga teman Danisha, Aira memang jarang memberikan saran yang gak masuk akal. Daripada berkata ngawur, Aira lebih memilih diam dan ikut menertawakan saran-saran konyol kedua temannya itu.

 

Namun entah mengapa, Danisha seperti penasaran dengan Aira, yang selalu tertangkap meliriknya secara diam-diam. Aira memang cerewet, apalagi ketika dia protes dengan kelakuan Yusha dan Maura yang sering lemot dan kekanak-kanakan.

 

Jam Danisha menunjukkan pukul 23.00 WIB. Maura dan Yusha sudah terlebih dahulu pulang ke rumah. Sedangkan Danisha masih ditemani Aira, sambil menyeruput Green Tea Latte yang tidak lagi sehangat sebelumnya.

 

“Danisha,”

 

Lamunan Danisha langsung buyar seketika mendengar panggilan Aira. Dia langsung menatap Aira.

 

“Kamu lagi ketakutan kan?,” tanya Aira.

 

Danisha kembali terdiam. Namun Danisha bingung, dalam benaknya, tumben Aira menanyakan seperti ini. Biasanya dia paling sewot ketika Danisha mengutarakan rasa takutnya.

 

“Kenapa kamu nanya gitu, Aira?”

 

“Malam ini aku boleh gak menginap di rumahmu. Kebetulan orangtuaku sedang ke luar kota,” ucap Aira.

 

Danisha mengangguk sambil tersenyum. Dia senang, ada teman di kamarnya. Meskipun tidak bisa menumpahkan rasa takutnya. Tapi dia bisa mengalihkan rasa takutnya dengan kehadiran Aira di sampingnya.

*****

 

 

 

 

 

 

III – Misteri Aira Terungkap

Danisha dan Aira akhirnya di bercerita di kamar Danisha hingga larut malam. Hal-hal lucu mereka bahas. Tentang kelakuan konyol mereka saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), cinta pertama Danisha yang akhirnya kandas ditikung sahabat sendiri, sampai kisah pilu broken home Aira.

 

Aira menangkap sorot mata Danisha yang seakan memendam segala cerita. Gelak tawa Danisha pun seakan tertahan keluar. Aira ingin sekali memancing apa yang membebani Danisha.

 

Namun sejak dulu, Aira tidak suka mengorek-ngorek informasi apapun , meskipun hubungan mereka sudah dekat. Kecuali jika Danisha atau teman-temannya bercerita terlebih dahulu.

 

Danisha akhirnya mulai bercerita tentang apa yang membebaninya. Dia mulai membeberkan satu persatu kegundahannya. Meskipun awalnya dia ragu, karena dia takut Aira sama seperti Maura dan Yusha, yang menolak mendengarkan cerita mistisnya.

 

“’Aku masih bingung mau cerita ke siapa, cuma aku tidak ada tempat lagi untuk berbagi. Mungkin kamu akan menolak mendengar ceritaku. Tapi pliss Aira, mohon jadi pendengarku saja, walau pun kamu enggan untuk meresponnya,” Danisha berharap penuh.

 

Aira hanya mengangguk dan tersenyum. Semua cerita tentang teror Genderuwo pun akhirnya tertumpah seiring dengan tetesan air mata Danisha.

 

Danisha bingung mau meresponnya seperti apa. Di satu sisi, dia tidak pernah melihat penampakan langsung Genderuwo itu. Namun di sisi lain, dia percaya jika sosok Genderuwo itu memang selalu mengikutinya.

 

Mata batin Danisha memang tidak terlalu tajam. Namun dia bisa melihat ada aura kegelapan di suatu tempat, atau selebat bayangan hitam dan putih di depan matanya. Aira yang sedari awal mendengarkan cerita Danisha, tiba-tiba angkat bicara.

 

Aira pun ingin memberitahu Danisha, tentang apa yang dirasakannya ketika dekat dengan Danisha.

 

“Sebelumnya, aku mau minta maaf ke kamu Danisha, karena selama ini aku selalu menyembunyikan apa yang aku rasakan,” Aira lalu memalingkan wajahnya.

 

“Maksud kamu apa, Aira?,” sekelumit pertanyaan langsung terbangun di benak Danisha.

 

“Aku sama seperti kamu. Bisa melihat hal-hal gaib. Namun mungkin, tuhan memberikan aku kelebihan dibandingkan kamu,”

Danisha pun langsung terkaget. Ternyata selama ini, dia tidak sendirian merasakan ketakutan akan hal-hal gaib.

 

“Dan cerita Genderuwo itu. Memang benar ada. Dan kamu sudah lama diikuti makhluk astral itu,”

 

“Apa... Kamu kenapa baru bilang sekarang Aira?,” Danisha terlihat kesal mendengar kejujuran Aira.

 

“Aku punya alasan lain, mengapa aku selama ini tidak cerita ke kamu,” alibi Aira semakin membuat Danisha penasaran.

 

Aira memang terlahir dari kelaurga yang mempunyai kemampuan lebih untuk melihat dunia lain. Namun hanya Aira yang punya tingkatan lebih tinggi dibandingkan saudaranya yang lain.

 

Dulunya, kakek Aira adalah pawang buaya gaib, yang pernah dipelihara turun temurun. Namun sepeninggalan kakeknya, tidak pernah ada lagi yang melihat penampakan buaya gaib itu.

 

Saat Aira kelas 2 SMP, dia bermimpi melihat buaya gaib itu. Dalam mimpinya buaya gaib datang bersama kakeknya, dan memberikan Aira sebuah batu berwarna biru. Kakeknya hanya berpesan, jika Aira terbangun di tidurnya, manfaatkan kemampuan yang sudah Tuhan berikan kepadanya sebaik mungkin.

 

Tak lama kemudian, Aira terbangun dengan keringat bercucuran. Nafasnya juga ngos-ngosan seperti berlari mengelilingi lapangan 10 putaran.

 

“Sejak saat itu, aku bisa melihat apa yang tidak orang lihat. Aku juga tidak menceritakan ke kedua orangtuaku, namun mereka sepertinya sudah tahu. Aku tidak tahu, darimana mereka tahu,”

 

Aira juga membahas tentang sosok Genderuwo yang selalu mengikuti Danisha. Dia pertama kali melihat sosok itu ketika pertama kali bertemu Danisha di hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS) SMA-nya.

 

Dia ingat betul. Saat Danisha datang telat di kegiatan MOS hari pertama dan dihukum berdiri di depan ratusan siswa baru. Di situlah Aira melihat sosok Genderuwo berdiri tepat di belakang Danisha.

 

Genderuwo itu langsung menatap tajam dengan marah ke arah Aira. Begitu juga sebaliknya, Aira pun tak takut dengan sangar sorotan mata merah bak api dari Genderuwo itu. Dengan bacaan ayat-ayat yang Aira hafal, Genderuwo itu tiba-tiba menghilang.

 

Sejak saat itu, Aira bertekat ingin dekat dengan Danisha, menjadikannya teman dan berusaha melindungi Danisha dari gangguan Genderuwo.

 

“Aku tidak mau membanggakan diri sendiri. Tapi setiap kita ketemu. Genderuwo itu menghilang. Namun ketika jauh jauh dari aku, Genderuwo itu kembali berada di belakang tubuh kamu,”

 

Äira pun masih bingung sampai sekarang. Kemampuan apa yang dimilikinya, sehingga Genderuwo itu takut jika dekat dengan Aira. Namun, tubuh Aira akan melemah, jika berinteraksi dengan Genderuwo itu. Karena makhluk astral itu mempunyai kekuatan lebih, dibandingkan jin-jin yang pernah dilihatnya.

 

Namun beberapa hari terakhir, Aira kembali melihat penampakan Genderuwo di belakang tubuh Danisha. Entah kenapa, sepertinya kekuatan Aira semakin melemah dan tidak membuat Genderuwo itu takut dengan dirinya.

 

“Dia mungkin saat ini semakin kuat. Aku tidak tahu kenapa. Tapi kemungkinan, karena kamu sudah tahu keberadaannya. Rasa takutmu itulah yang menjadi kekuatan dia untuk tetap bertahan mengikuti kamu,” ucap Aira.

 

Danisha hanya terdiam dan semakin ketakutan. Dia tidak bisa berkata apa-apa mendengar penjelasan Aira.

 

Aira juga menjelaskan mengapa selama ini dia menyembunyikan sosok Genderuwo itu. Selain bisa mengatasinya, Aira tidak ingin membuat Danisha takut, yang akan berdampak pada kekuatan Genderuwo itu.

 

“Tapi pada akhirnya kamu tahu sendiri dari orang lain. Ya, memang mungkin ini sudah waktunya kamu tahu, Danisha,”

 

“Jadi aku harus bagaimana Aira? Aku tidak bisa mengendalikan rasa takutku ini. Aku digelayuti perasaan cemas setiap kali aku menutup mataku saat tidur. Ada bayang-bayang Genderuwo itu di benakku,” lirih Danisha.

 

Aira sangat paham dengan reaksi Danisha. Menurutnya, sangat wajar Danisha menjadi cemas dan takut. Apalagi dia tidak punya siapa pun yang bisa membantunya, terlebih lagi ini sangat bersangkutan dengan hubungan sosial dengan lawan jenisnya.

 

Air mata Danisha semakin menjadi. Seperti hujan yang tak terbendung dengan isak tangis yang memecah keheningan malam.

 

Antara menyesal dan lega, itulah yang dirasakan Aira. Dia menyesal harus semakin membebani Danisha dengan kenyataan yang ada. Namun dia lega karena sudah memberitahu sahabatnya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

 

“Aku terus berusaha untuk membantu kamu. Namun, jika aku lagi menstruasi, semuanya hilang. Aku seperti manusia normal lainnya, dan itu juga bisa mengancamku. Semua yang aku lihat, bisa berbalik menggangguku tanpa aku ketahui,” ujar Aira.

 

Mereka lalu terdiam. Entah apa yang ada di pikiran Aira. Namun kegelisahan Danisha semakin menjadi. Ternyata benar apa yang disampaikan Ibu Suti dan Mba Rika. Genderuwo itu nyata dan tertarik dengan dirinya.

 

Namun, masih ada yang belum diceritakan ke Aira. Dia memilih kata-kata yang tepat, untuk menyampaikan ke Danisha, agar sahabatnya ini tidak semakin terpuruk.

 

Jam dinding berdetak kencang, menunjukkan pukul 05.00 WIB. Suara adzan Subuh pun berkumandang. Ada rasa lega di diri Aira, karena sudah memasuki waktu Subuh. Mereka pun bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu dan salat berjamaah.

 

Lantunan doa di dalam hati, dipanjatkan Danisha dengan iringai air mata yang sangat mendalam di atas sajadah. Aira yang melirik Danisha pun merasa ada yang harus dia lakukan untuk membantu sahabatnya ini.

 

Sehabis salat, mereka akhirnya berbaring di atas kasur dan menumpahkan segala rasa di dalam pelupuk matanya, membawa ke dalam dunia mimpi hingga terlelap dengan segala rasa yang campur aduk.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!