Pukul tiga sore. Sinar matahari di luar gudang tempatnya bekerja memancarkan cahaya oranye kusam, terhalang oleh lapisan tebal debu yang tak pernah hilang di kaca jendela kotor. Di dalam, udara lembap dan dingin bercampur bau apek kardus serta oli mesin yang menusuk hidung. Arya Satria, dalam balutan kaus oblong kusam dan celana jeans yang sudah pudar, menyandarkan punggungnya ke tumpukan karung goni berisi suku cadang bekas. Ia adalah manajer gudang, sebuah jabatan yang terdengar penting di atas kertas, tetapi yang sebenarnya hanyalah penjaga kuburan bagi ambisi-ambisi orang lain dan dirinya sendiri.
Usia tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun yang terasa seperti tiga abad yang membusuk. Sejak kematian Maya, dua belas tahun lalu, label pecundang itu seolah-olah dicetak dengan besi panas di dahinya, menjadi identitas yang tak terhapuskan. Setiap hari adalah siklus yang sama: datang, menghitung, menyusun, pulang. Tanpa tujuan. Tanpa arti. Hidupnya adalah antitesis dari impian liar yang pernah ia miliki di masa remajanya, saat ia dan Maya duduk di bangku sekolah, merencanakan masa depan yang cerah di bawah langit yang sama.
"Maya..." gumamnya lagi. Nama itu adalah pengkhianatan terbesarnya. Ia telah berjanji akan selalu melindungi gadis itu, tetapi pada malam api itu, ia adalah orang pertama yang melarikan diri. Pengecut. Ironi pahit, mengingat Maya selalu melihatnya sebagai pahlawan.
"Arya! Kau mau dibayar untuk melamun?!" suara serak Pak Jaya, manajer gudang yang lebih tua dan galak, menggelegar dari ujung lorong. Pria itu bertubuh gempal, keringat membanjiri kausnya yang dekil.
Arya segera menegakkan diri, menyingkirkan bayangan Maya dari kepalanya. "Belum, Pak. Saya sedang mengecek konsolidasi pengiriman Blok D."
"Omong kosong! Kau hanya menyandarkan pantatmu! Cepat selesaikan tumpukan arsip lama di gudang belakang itu! Sampah-sampah itu harus dibuang sebelum audit datang. Aku tak mau ada barang usang yang memberatkan inventaris!" perintah Pak Jaya, meludah di lantai semen yang retak. "Ingat, gajimu dibayar untuk bekerja, bukan meratapi nasib."
Kata-kata 'meratapi nasib' menusuk Arya. Itu adalah ringkasan yang sempurna. Ia mengangguk kaku, mengambil gerobak dorong tua, dan berjalan ke area belakang yang lebih gelap dan dingin. Area ini adalah labirin rak-rak besi tua yang menjulang tinggi, berisi barang-barang yang terlupakan dan tidak berharga.
Tumpukan arsip yang dimaksud Pak Jaya berada di sudut yang paling terpencil, di bawah lampu neon yang berkedip-kedip seolah menari di atas kuburan ambisi. Kardus-kardus itu berwarna cokelat kusam, berjamur, dan penuh sarang laba-laba. Arya mengeluarkan sarung tangan kerjanya yang compang-camping dan mulai memindahkan tumpukan kardus satu per satu ke atas gerobak.
Srak!
Saat tangannya menyentuh kardus paling atas—yang terikat tali rafia yang hampir putus—Arya merasakan ada sesuatu yang tipis dan kaku terselip di sela-sela lipatan kardus. Ia menariknya keluar. Itu adalah selembar kertas foto buram, terasa tua dan dingin di tangannya.
Arya Satria membeku di tempatnya.
Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul tulang rusuknya dengan irama liar yang tak pernah ia rasakan sejak malam kebakaran.
Itu adalah Maya.
Foto itu pasti diambil saat mereka SMA. Wajahnya yang ceria, senyum lebar yang selalu bisa meredakan badai di jiwa Arya. Rambut panjangnya yang terurai, diterpa angin. Di latar belakang, terlihat pagar besi berkarat yang Arya kenali—pinggiran gudang lama tempat mereka biasa bolos dan menghabiskan waktu, sebelum semua berubah menjadi abu.
Rasa bersalah menelan Arya hidup-hidup. Bagaimana foto ini bisa ada di sini? Di antara tumpukan arsip gudang yang seharusnya tidak ada hubungannya dengan masa lalunya? Arya membalik foto itu, berniat menyelamatkannya, menyimpannya sebagai penyesalan pribadinya.
Namun, yang tertulis di baliknya bukanlah puisi cinta remaja, melainkan sebuah simbol yang menggigit kesadarannya seperti sengatan listrik.
Dengan tinta merah yang samar, yang tampak seperti darah kering, sebuah simbol dilukis kasar: seekor naga hitam yang melilit pedang katana. Simbol itu terlihat seperti coretan tergesa-gesa, namun kekuatannya memancarkan ancaman yang nyata.
Di bawah simbol itu, ditulis tangan dengan huruf kapital yang tergesa-gesa: "Gudang Tua K-7."
Naga Hitam. Nama itu menghantam kesadaran Arya seperti tinju. Itu bukan sekadar rumor masa SMA. Itu adalah nama yang sering dibisikkan di antara preman jalanan di Kota Cakra Manggala, sebuah sindikat kriminal yang kabarnya mengendalikan perdagangan gelap, narkoba, dan premanisme.
Arya ingat betul. Beberapa bulan setelah kematian Maya, ia pernah mendengar bisikan samar bahwa kebakaran gudang itu bukan kecelakaan, melainkan "pembersihan" yang diatur oleh kelompok kriminal. Ia selalu menganggapnya sebagai teori konspirasi yang ia ciptakan sendiri untuk mengurangi rasa bersalahnya.
Tapi gambar ini... simbol ini... Alamat ini...
"Mereka berbohong..." bisik Arya, suaranya tercekat dan bergetar, tetapi penuh kemarahan. Ia mengingat laporan polisi yang dingin dan kaku: kecelakaan tragis akibat korsleting listrik.
Naga Hitam. Gudang Tua K-7. Foto Maya.
Koneksi itu bagaikan kunci yang membuka sel penjara amarahnya.
"Maya... kau dibunuh?" Pertanyaan itu terasa seperti pecahan kaca di tenggorokannya.
Ia menatap foto itu lagi. Kenangan brutal menyeruak: malam kebakaran dua belas tahun lalu. Api yang menjilat langit malam, suara sirine yang memekakkan telinga, dan bau asap yang menyesakkan. Ia ingat teriakannya sendiri, teriakan pengecut yang melarikan diri, alih-alih mencoba masuk kembali ke dalam gudang yang terbakar untuk menyelamatkan Maya. Ketakutan itu. Ketidakberdayaan itu. Rasa mual yang selalu ia rasakan setiap kali mengingatnya.
Tapi kini, selembar foto usang ini membongkar semua kebohongan itu. Ini bukan kecelakaan. Ini adalah eksekusi yang direncanakan, dan ia, Arya, telah meninggalkan korbannya pada malam itu.
Tangannya mencengkeram foto itu erat-erat hingga kertas itu hampir sobek. Rasa takut yang selama ini melumpuhkannya tiba-tiba terasa tak berarti dibandingkan dengan ledakan kebenaran ini.
"Tidak. Kali ini, tidak," katanya, suaranya rendah dan penuh tekad yang dingin. Ia tidak akan membiarkan Maya mati sia-sia dan namanya dicemari kebohongan. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi hantu masa lalu yang paling kelam. Bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi Naga Hitam sendirian.
Arya meremas kunci motor bututnya di saku. Gudang Tua K-7. Ia harus pergi ke sana. Sekarang. Ia harus tahu siapa yang harus ia benci.
Jalanan menuju Gudang Tua K-7 diselimuti malam yang sepi dan dingin. Arya memacu motor bututnya, mata sipitnya dipenuhi fokus yang tajam. Dia bukan lagi pria yang melarikan diri.
Arya akhirnya tiba. Gudang Tua K-7 tampak seperti kuburan yang berlumut, gerbang besinya berkarat dan menganga. Bau lembap dan busuk menyambutnya. Arya menyelinap masuk melalui celah gerbang yang rusak.
Kegelapan di dalam gudang hampir absolut. Hanya cahaya bulan yang menyusup melalui lubang atap yang memberi penerangan minim. Arya melihat bayangan: tumpukan palet, mesin tua, dan yang paling menonjol—coretan-coretan di dinding. Simbol Naga Hitam terlukis di mana-mana.
Kreek!
Suara derit sepatu menghentikan langkah Arya. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia menolaknya.
"Kau datang juga, pecundang," suara serak dan berat menggelegar dari bayangan.
Dua siluet besar melangkah maju. Jaket kulit hitam tebal dengan logo 'NH' di punggung mereka. Pria di depan, bertubuh besar dengan kepala plontos dan bekas luka melintang di alis kirinya, tersenyum sinis.
Pria Plontos: "Aku tahu kau. Arya Satria. Pengagum gadis kecil itu. Kau benar-benar bodoh datang ke sini."
Arya mencengkeram tinjunya. "Kalian Naga Hitam. Kalian yang membunuh Maya!"
Pria Plontos: (Tertawa keras, serak seperti geraman) "Membunuh? Itu istilah yang kasar. Kami hanya membersihkan kekacauan, dan si gadis kecil itu kebetulan ada di gudang Ayahnya saat terjadi insiden. Kerusakan sampingan yang manis."
Wajah Arya menegang. "Ayahnya? Jadi ini bukan kecelakaan karena korsleting?"
Pria Plontos: "Tentu saja tidak. Itu sandiwara yang bagus, kan? Sayang, kau yang paling tahu sandiwara. Kau lari malam itu, meninggalkan dia di dalam api. Pengecut."
Kata 'pengecut' itu menghantam Arya lebih keras daripada tinju. Itu adalah label yang ia bawa mati-matian, dan kini para pembunuh Maya mengkonfirmasinya, bahkan mengejeknya.
Arya maju selangkah. "Aku tidak peduli apa pun yang kalian inginkan, atau kenapa kalian melakukan ini. Kalian tidak akan lolos."
Pria Plontos: "Oh, kami akan lolos. Sama seperti kami lolos dua belas tahun lalu. Dan kau? Kau akan menjadi bunuh diri tragis. Sebuah akhiran yang cocok untuk pengecut yang tak bisa melindungi siapa pun."
Amukan Arya tak terbendung lagi. Ia meledak.
Arya: "Tutup mulutmu!"
Arya melemparkan dirinya maju. Itu adalah tindakan bunuh diri. Pukulan-pukulannya hanya melayang di udara atau memantul dari tubuh kekar anggota Naga Hitam.
Pergulatan itu singkat dan brutal. Arya merasakan sakit menusuk saat sebuah tinju keras menghantam perutnya, membuatnya tersentak. Ia diseret, kakinya tersandung puing-puing, menuju tangga darurat yang berkarat.
Pria Plontos: "Angkat dia! Kita berikan dia pemandangan yang bagus untuk detik-detik terakhirnya."
Mereka menyeret Arya menanjak ke atap gudang.
Angin malam di atap gudang mencambuk wajah Arya. Lampu-lampu kota di bawah tampak jauh dan dingin.
Anggota Naga Hitam itu mencengkeram lengannya kuat-kuat, menyeretnya ke tepi atap yang licin.
Pria Plontos: "Lihat, Arya Satria. Kota yang acuh tak acuh. Dan kau, di atas tempat penyesalanmu. Mati sendirian, tak berdaya, sama seperti dulu."
Kata-kata itu, "mati sendirian, tak berdaya," adalah paku terakhir yang menancap di peti mati penyesalannya.
Arya: "Aku... tidak akan... membiarkanmu... menang!"
Arya meronta, menggunakan sisa tenaga terakhirnya. Ia mencengkeram lengan anggota Naga Hitam yang paling dekat.
Dorongan keras.
Rasa sakit menusuk tulang rusuknya. Arya merasakan dirinya melayang di udara. Detik-detik itu terasa seperti keabadian.
Aku belum menyelamatkanmu, Maya. Aku tidak bisa mati sebagai pecundang lagi. Aku ingin kembali. Aku ingin mengubahnya!
Keinginan itu, untuk mengubah masa lalu, membanjiri setiap selnya, menjadi mantra terakhirnya sebelum kegelapan menelannya.
Sensasi jatuh itu berubah. Bukan lagi gravitasi. Melainkan distorsi. Kilatan cahaya putih yang menyakitkan. Suara hiss yang tinggi. Dinding-dinding realitas bergetar.
BUGH!
Suara benturan tumpul. Bukan aspal keras.
Arya membuka mata. Ia mencium aroma debu papan tulis. Ia mendengar tawa riang.
Seorang gadis dengan rambut panjang membungkuk di atasnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Maya: "Arya! Astaga, kamu tersandung meja dan jatuh. Kamu tidak apa-apa?"
Arya melihat tangannya—kecil, mulus, berbalut seragam SMA. Ia melihat kalender di dinding: September 2013.
Ia telah kembali.
Ia menatap Maya. Senyum kecil yang dingin muncul di bibirnya.
Arya: "Aku tidak apa-apa, Maya."
Arya: Aku tidak jatuh, aku dikirim kembali. Aku tidak akan lari lagi. Kali ini, aku akan menyelamatkanmu.
September 2013. SMA Bakti Jaya, Kota Cakra Manggala.
Arya segera bangkit dari lantai, meluruskan seragam putih-abu-abunya. Gerakannya cepat, tanpa kebingungan yang seharusnya dimiliki remaja 18 tahun.
Maya: (Matanya lebar, bingung dengan perubahan Arya) "Kamu benar-benar aneh, Arya. Kenapa kamu malah senyum? Tadi kamu jatuh keras sekali!"
Arya menoleh. Matanya, yang telah melihat neraka masa depan, kini menatap Maya dengan intensitas yang melucuti semua keceriaan remaja.
Arya: "Dengarkan aku, Maya. Kita tidak punya waktu. Sekarang, dengarkan dan jawab, jangan bertanya. Apakah Ayahmu belakangan ini gelisah tentang Gudang tempat dia bekerja?"
Maya tersentak mendengar nada suara Arya yang dingin dan mendominasi. Ini bukan Arya Satria yang biasanya melamun.
Maya: "Iya... Beberapa hari ini Ayah memang gelisah. Dia bilang ada orang-orang aneh yang datang menanyakan Blok C. Itu gudang yang paling terpencil."
Arya: "Preman? Mereka punya tato naga aneh?"
Pertanyaan Arya yang to the point membuat Maya membeku.
Maya: (Berbisik, takut) "Ayah bilang mereka 'bau oli dan punya tato aneh'. Bagaimana kamu tahu, Arya? Siapa mereka?"
Arya: "Mereka adalah Naga Hitam. Mereka nyata, dan mereka mengincar sesuatu di gudang itu. Dengarkan baik-baik. Ini bukan kecelakaan karena korsleting. Mereka yang membakar gudang itu untuk menutupi jejak."
Maya menggeleng, wajahnya pucat. Maya: "Tidak mungkin! Laporan polisi bilang—"
Arya: "Polisi berbohong. Mereka sudah di tangan Naga Hitam. Kau harus percaya padaku, Maya. Aku tahu ini gila, tapi ini demi hidupmu. Mulai sekarang, kau adalah bayanganku. Jangan pernah tinggalkan sisiku di sekolah. Jangan pernah pergi ke area industri lama. Kau janji?"
Maya: (Menelan ludah, melihat tekad baja di mata Arya) "Aku... aku janji. Tapi... apa yang harus kita lakukan? Kita hanya anak SMA!"
Arya: "Aku tidak lagi. Dan aku tahu harus ke mana mencari informasi."
Arya melihat jam dinding. 10:30 pagi. Ia punya waktu sampai jam tiga sore. Ia harus segera mencari Dion.
Arya: "Tetap di sini. Aku akan ke kamar mandi sebentar."
Arya bergegas keluar. Begitu berada di koridor, ia bergerak cepat menuju lokernya. Ia mencari ponsel lamanya—sebuah smartphone primitif yang terasa kuno di tangan pria yang terbiasa dengan teknologi masa depan.
Ia segera mencari kontak lama: 'Dion Balap'.
Ia menelepon. Suara Dion terdengar bising dari bengkel di seberang sana.
Dion: "Halo, siapa ini? Nomor asing!"
Arya: (Suaranya rendah, langsung menusuk) "Ini Arya. Arya Satria. Aku butuh bantuanmu, Dion. Soal Naga Hitam."
Bagian 2: Kontak Dunia Malam
Arya berdiri di sudut sepi koridor sekolah, menempelkan ponsel tuanya ke telinga. Di seberang sana, Dion, mantan ketua kelompok motor remajanya, terkejut mendengar suara Arya yang dingin dan mendominasi.
Dion: (Tertawa skeptis) "Arya si kutu buku? Kau tidak salah sambung? Kau mau tanya rumus Fisika? Aku tidak punya waktu."
Arya: "Aku serius, Dion. Ini tentang Naga Hitam. Aku tahu mereka sudah beroperasi di pinggiran Kota Cakra Manggala."
Suara tawa Dion langsung menghilang, digantikan oleh keheningan yang tegang.
Dion: (Berhati-hati) "Kau tahu? Kau tidak seharusnya tahu. Dan kenapa kau peduli? Itu bukan urusan kita. Mereka bukan Parade Malam. Mereka pembunuh, Ary. Kita tidak mau terlibat."
Arya: "Aku harus terlibat. Mereka sudah mulai mengusik orang-orang yang penting bagiku. Dan aku butuh tahu di mana markas mereka. Detail operasi mereka. Semuanya."
Dion: "Kau gila. Kau masih ingat siapa dirimu? Kau Arya yang lari saat ada masalah! Kenapa aku harus mempertaruhkan leherku untukmu?"
Arya menyadari, ia harus menghancurkan citra 'pecundang' masa lalu dan menggunakan pengetahuannya sebagai leverage.
Arya: (Suaranya direndahkan, penuh keyakinan yang menakutkan) "Aku tahu kau sedang dalam masalah besar, Dion. Motor barumu itu keren, tapi suku cadang impornya mencekikmu. Kau sedang berutang di beberapa bengkel, kan? Kau butuh sumber yang jauh lebih murah."
Dion terdiam lama di seberang sana. Informasi itu terlalu spesifik, terlalu akurat untuk sebuah tebakan.
Dion: "Bagaimana kau tahu soal utangku?"
Arya: "Aku tahu banyak hal yang akan terjadi, Dion. Yang tidak kau ketahui. Aku tahu dalam tiga bulan, kau akan bangkrut total karena utang suku cadang itu. Tapi aku tahu satu dealer di utara Cakra Manggala yang bisa memberimu harga 50% lebih murah. Dealer resmi, bukan barang curian."
Dion menarik napas tajam. Tawaran itu adalah penyelamat yang mustahil.
Dion: "Kau... kau menakutkanku, Ary. Oke. Deal. Aku akan tukar informasi dunia malamku dengan informasi dealer-mu. Sekarang, apa yang kau butuhkan?"
Arya: "Dua hal. Pertama, di mana tempat pertemuan mereka di area industri. Dan kedua, apakah mereka menggunakan informan di sekolah kita."
Dion: (Menghela napas, menyerah) "Tempat pertemuan mereka adalah sebuah klub malam bobrok. Namanya 'Sarana Biru'. Dekat dengan Gudang Tua K-7. Mereka sering berkumpul di sana. Dan soal anak sekolah... iya, ada. Hanya dengar namanya Beni. Anak pendiam di kelas sebelahmu. Katanya keluarganya punya utang besar pada mereka. Dia disuruh mencari sesuatu di gudang itu."
Mata Arya menyipit. Klub malam Sarana Biru. Gudang Tua K-7. Beni.
Arya: "Terima kasih, Dion. Informasi dealer itu akan kuberikan setelah kau mengkonfirmasi waktu pertemuan mereka yang berikutnya. Aku akan menghubungimu."
Arya memutuskan panggilan. Ia sudah mendapatkan tiga kepingan teka-teki yang krusial.
Ia kembali ke kelas, pandangannya langsung tertuju pada Beni, yang duduk menyendiri di bangkunya, tampak pucat dan gelisah. Arya tahu, ia harus mendekati Beni sebelum Naga Hitam menghancurkan anak itu dan mengacaukan rencananya.
Bagian 3: Pelacakan Informan dan Ancaman Daftar Hitam
Sisa jam pelajaran terasa panjang bagi Arya. Ia memandang ke bangku Beni, anak pendiam dari kelas sebelah, yang terlihat semakin pucat dan gelisah. Saat bel pulang sekolah berbunyi, Arya langsung bergerak.
Maya: "Arya, tunggu! Katanya kita pulang bersama?"
Arya: "Kau tunggu di gerbang. Aku harus bicara sebentar dengan seseorang." Arya melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Maya.
Arya mencegat Beni di koridor yang mulai sepi.
Arya: (Suaranya rendah dan mengancam) "Beni. Kita perlu bicara."
Beni tersentak kaget. Ia mencoba menghindar, tasnya hampir jatuh. Beni: "A-Arya? Ada apa? Aku harus buru-buru."
Arya: "Kau tidak bisa lari dari Naga Hitam, Beni. Dan kau tidak bisa lari dariku."
Beni membeku. Ia menatap Arya dengan mata ketakutan. Beni: "Aku tidak tahu kau bicara apa."
Arya: "Jangan bohong. Aku tahu keluargamu punya utang besar. Aku tahu kau disuruh mencari 'arsip' di Gudang Tua K-7. Kau adalah mata-mata mereka di sekolah."
Wajah Beni pucat pasi. Ia menyadari Arya tahu segalanya. Beni: (Gemetar) "Tolong jangan bilang siapa-siapa! Mereka akan menyakiti Ibuku!"
Arya: "Mereka akan menyakitimu jika kau terus patuh. Dengarkan. Aku bukan musuhmu. Aku bisa membantumu, tapi kau harus jujur. Arsip apa yang mereka cari?"
Beni menunduk, akhirnya menyerah pada ketakutan dan tekanan. Beni: (Terisak) "Aku... aku tidak tahu nama resminya. Ayahku bilang itu adalah 'Daftar Hitam'. Daftar klien rahasia lama dari sebuah perusahaan impor-ekspor. Dulu disimpan di Blok C. Kalau daftar itu jatuh ke Naga Hitam, mereka akan mengendalikan semua jalur perdagangan ilegal di Cakra Manggala."
Arya mencerna informasi itu dengan cepat. Daftar Hitam. Itu pasti alasan Maya dan ayahnya terbunuh.
Arya: "Dan Naga Hitam percaya Ayah Maya menyembunyikannya setelah perusahaan itu bangkrut?"
Beni: "Ya! Ayah Maya adalah manajer yang lama. Dia satu-satunya yang tahu semua rahasia gudang. Ayahku mengambil alih sementara... Naga Hitam membakar Blok D untuk menghancurkan barang bukti setelah mereka gagal menemukan daftar itu!"
Kepingan-kepingan itu menyatu: Pembakaran itu adalah operasi penutupan, bukan sekadar kecelakaan. Maya meninggal karena Ayahnya menolak menyerahkan dokumen, atau karena dia tahu terlalu banyak.
Arya: (Menarik napas, tekadnya mengeras) "Bagus. Kau sudah selesai dengan mereka, Beni. Aku akan urus sisanya."
Arya mengeluarkan selembar kertas kecil yang sudah ia siapkan: alamat dealer murah yang ia janjikan pada Dion.
Arya: "Ambil ini. Gunakan untuk melunasi utangmu, atau setidaknya membeli waktu. Tapi satu syarat: Jangan pernah bicara lagi tentang gudang. Jauhkan dirimu dari masalah."
Beni menerima kertas itu dengan tangan gemetar, menatap Arya seolah melihat malaikat pelindung dan iblis sekaligus.
Arya berbalik dan berjalan menuju gerbang, di mana Maya menunggu. Rencananya sudah jelas: ia harus mendapatkan Daftar Hitam sebelum Naga Hitam, dan ia harus menyusup ke sarang mereka, Sarana Biru.
Malam pertama setelah kembali ke tahun 2013 terasa seperti medan perang bagi Arya. Di kamar remajanya, ia bukan lagi manajer gudang yang sinis, melainkan seorang prajurit yang merencanakan infiltrasi.
Ia menatap jaket kulit hitam Parade Malam yang tergantung di belakang pintu. Itu adalah seragam masa lalunya, simbol kenakalan remaja yang kini harus ia gunakan sebagai penyamaran.
Ponsel lamanya berdering. Nama Maya muncul di layar.
Arya: (Mengangkat telepon, suaranya mantap) "Halo."
Maya: (Cemas) "Arya, kamu ke mana? Kamu bilang hanya sebentar! Ayahku baru saja pulang, dan dia terlihat sangat marah. Dia terus mondar-mandir dan berteriak di telepon. Ada yang tidak beres!"
Arya: "Tenang, Maya. Dengarkan aku baik-baik. Aku tahu Ayahmu sedang mendapat tekanan berat. Naga Hitam menginginkan sesuatu darinya. Kita harus lebih cepat."
Maya: "Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak boleh macam-macam, Arya! Kamu bukan gangster!"
Arya: "Aku tidak akan macam-macam. Aku hanya akan mencari informasi. Aku butuh kamu memberiku satu hal: Di mana Ayahmu menyimpan kunci cadangan gudang? Kunci Blok C."
Hening di seberang sana. Maya: "Kunci? Arya, kenapa kunci?"
Arya: "Karena jika Naga Hitam menganggap Ayahmu menyembunyikan 'Daftar Hitam' itu, mereka tidak akan lama lagi. Kita harus mendapatkannya duluan. Ayahmu tidak akan aman selama dokumen itu masih ada."
Maya: (Suaranya bergetar) "Di kotak P3K lama. Di bawah lemari kamar mandi. Tapi... ini berbahaya, Arya. Aku mohon, jangan pergi ke sana!"
Arya: "Aku akan kembali sebelum pagi. Kunci jendela kamar. Jangan buka untuk siapa pun, kecuali aku."
Arya memutuskan panggilan. Ia tahu ia baru saja menipu Maya, tetapi menyelamatkan hidupnya adalah prioritas.
Pukul sebelas malam. Arya bertemu Dion di sudut gelap di belakang bengkel motor. Dion tampak gugup.
Dion: "Kau gila, Ary. Aku tidak mau terlibat dalam masalahmu. Kau harusnya bersyukur bisa kembali ke kehidupanmu yang damai."
Arya: (Menyerahkan secarik kertas berisi alamat dealer motor) "Informasi ini akan menyelamatkan bisnismu, Dion. Sekarang, aku butuh informasimu."
Dion melihat alamat itu, matanya membelalak. Dion: "Ini... ini gila! Kau benar-benar tahu!"
Arya: "Sekarang, Sarana Biru. Jam berapa puncak keramaian mereka, dan bagaimana aku bisa masuk tanpa terdeteksi?"
Dion: "Jam satu malam. Itu adalah sarang ular paling berbahaya di pinggiran Cakra Manggala. Mereka tidak peduli dengan ID. Mereka hanya peduli dengan uang dan koneksi. Kau tidak punya keduanya."
Arya: "Aku punya jaket ini." Arya menepuk jaket kulitnya. "Aku akan berpura-pura menjadi kurir dari geng kecil yang ingin berafiliasi. Geng yang baru masuk ke kota. Aku hanya perlu masuk, mendengar, dan keluar."
Dion: "Mereka akan membunuhmu sebelum kau sampai di bar! Mereka mengenali semua preman di Cakra Manggala! Siapa yang akan jadi alibimu?"
Arya menatap mata Dion. Arya: "Kau. Kau akan mengantar dan menungguku di seberang jalan. Jika aku tidak keluar dalam satu jam, kau panggil polisi, sebutkan ada keributan besar. Jangan sebut namaku."
Dion: (Menggeleng panik) "Aku tidak bisa! Itu terlalu berbahaya!"
Arya: "Kau sudah berjanji, Dion. Dan ingat, kau berutang padaku lebih dari sekadar uang." Arya menatap tajam, menggunakan aura dingin yang ia kumpulkan dari masa depan yang penuh penyesalan.
Dion: (Menarik napas gemetar) "Sialan kau, Arya. Kau benar-benar berubah. Baiklah. Tapi kalau ada darah, aku kabur duluan."
Arya tersenyum tipis. "Itu sudah cukup bagiku."
Tepat pukul 00:45. Arya dan Dion mengendarai motor butut menuju area industri lama. Suara mesin motor membelah kesunyian malam di Kota Cakra Manggala.
Dion: "Itu dia. Sarana Biru. Bangunan jelek dengan neon biru berkedip di atap. Semoga berhasil, Prajurit Waktu. Aku akan menunggumu di seberang."
Arya mengenakan helmnya, membiarkan aura dingin membalutnya. Ia adalah pria berusia 30 tahun yang terjebak di tubuh remaja, menghadapi pembunuh kekasihnya. Ia tidak lagi memiliki rasa takut.
Arya turun dari motor. Ia berjalan menuju pintu baja tebal klub malam itu. Suara musik keras dari dalam terasa seperti denyut nadi kegelapan.
Di pintu, dua penjaga berbadan besar dan menyeramkan, salah satunya memiliki bekas luka bakar di leher, menghalangi jalannya.
Penjaga 1: (Tersenyum sinis) "Hei, bocah! Kau salah tempat. Ini bukan taman bermainmu."
Arya: (Berdiri tegak, menatap lurus, mengabaikan ketakutannya) "Aku bukan bocah. Aku kurir. Bos kami ingin berafiliasi. Dia ingin bicara dengan orang yang bertanggung jawab atas operasi Naga Hitam di Cakra Manggala."
Penjaga 2: (Tertawa keras) "Berafiliasi? Geng cilik mana lagi yang mau cari mati? Bos kami tidak punya waktu untuk kurir. Kembali ke ibumu, bocah."
Arya: (Maju selangkah, suaranya tegas) "Bos kami punya sesuatu yang bisa meledakkan operasi kalian di Cakra Manggala hanya dalam semalam. Katakan pada bos kalian, kami punya informasi tentang 'Daftar Hitam'."
Mendengar kata kunci itu, senyum di wajah Penjaga 1 langsung hilang. Tatapannya berubah tajam dan mematikan.
Penjaga 1: (Berbisik ke Penjaga 2) "Dia tahu soal Daftar Hitam." (Kemudian menatap Arya) "Masuk. Tapi jika kau berbohong, aku sendiri yang akan menguburmu di bawah lantai dansa."
Arya mengangguk kaku. Ia melangkah ke dalam Sarana Biru, menuju sarang Naga Hitam.
Arya melangkah ke dalam klub malam Sarana Biru. Atmosfer di dalamnya lebih pekat daripada gudang manapun di Kota Cakra Manggala. Musik house berdentum memekakkan telinga, bercampur dengan asap rokok yang tebal dan aroma alkohol murah. Cahaya neon biru redup menyelimuti ruangan, menciptakan siluet-siluet kasar dan menakutkan.
Kedua penjaga pintu yang menyeramkan mengawal Arya melewati lantai dansa yang penuh sesak oleh preman dan orang-orang berpakaian minim. Arya mempertahankan ekspresi dingin di wajahnya. Ia tahu, setiap detail kecil di ruangan ini bisa menjadi petunjuk bagi masa depan Maya.
Mereka menaiki tangga besi berkarat menuju balkon sempit di atas. Di sana, suasana sedikit lebih tenang. Di tengah sofa kulit yang sobek, duduk seorang pria paruh baya bertubuh besar. Ia mengenakan jaket kulit tebal dan di lehernya tergantung kalung emas tebal. Di punggung jaketnya, lambang Naga Hitam terlihat jelas, dijahit dengan benang perak mengilap. Pria itu, Komandan Jaya, adalah tangan kanan bos besar Naga Hitam di wilayah ini.
Di sampingnya duduk seorang wanita dengan pakaian mencolok, menghisap rokok dengan malas.
Komandan Jaya: (Melambaikan tangan dengan kasar) "Lepaskan dia. Jadi, kau kurir bocah yang mengganggu malamku? Kau menyebut Daftar Hitam."
Arya berdiri tegak, membiarkan kebisingan dari lantai dansa di bawah menjadi latar belakang yang intens.
Arya: "Aku tidak datang untuk mengganggu. Aku datang dengan tawaran berafiliasi. Bosku tahu kalian kesulitan menemukan Daftar Hitam yang dipegang mantan manajer Gudang Tua K-7."
Komandan Jaya menyipitkan mata, mengamati Arya dari atas ke bawah. Komandan Jaya: "Kesulitan? Kami sedang bernegosiasi. Dan negosiasi kami akan selesai dengan cara yang cepat, dalam api. Kau sudah lihat beritanya dua belas tahun lalu. Jadi, siapa bosmu? Geng cilik mana yang berani bicara soal Naga Hitam di Cakra Manggala?"
Arya: "Bosku adalah pemain baru, Komandan. Dia tidak punya nama di kota ini, tapi dia punya informasi. Ayah si gadis itu—mantan manajer—sudah mati. Tapi Daftar Hitam itu masih ada."
Komandan Jaya: (Tertawa sinis) "Kau pikir aku bodoh? Kami sudah menghancurkan gudang itu. Kami sudah cari. Dokumen itu sudah jadi abu, atau Ayahnya sudah pindahkan."
Arya: "Itulah masalahnya. Dia tidak memindahkannya. Dia menyembunyikannya di Gudang K-7. Di tempat yang paling tidak terduga. Kami punya petunjuk untuk menemukannya."
Keheningan melanda balkon. Komandan Jaya mematikan rokoknya dengan kasar.
Komandan Jaya: "Petunjuk apa?"
Arya: "Ayah si gadis itu paranoid. Dia tidak akan menyimpan dokumen sepenting itu di tumpukan arsip atau di brankas. Dia menyimpannya di tempat yang sangat pribadi. Dan kami tahu di mana petunjuk itu berada di rumahnya."
Ini adalah permainan berbahaya. Arya sedang mengarang cerita, mengambil risiko dengan menyebutkan detail yang ia ketahui dari pengakuan Beni.
Komandan Jaya: "Dan kenapa kau tidak mengambilnya sendiri, bocah?"
Arya: "Karena kami butuh perlindungan. Jika kami mengambilnya dan Naga Hitam tahu, kami akan mati. Kami ingin 50% dari saham perdangan ilegal yang bisa kalian kuasai berkat dokumen itu, dan perlindungan penuh di Cakra Manggala."
Komandan Jaya bersandar, wajahnya menunjukkan perhitungan yang cepat. Membunuh Arya mudah. Tapi jika ada kesempatan 50% Daftar Hitam itu ada, risikonya sepadan.
Komandan Jaya: "Oke. Anggap aku tertarik. Di mana petunjuk itu?"
Arya menatap tajam, suaranya mantap. Arya: "Aku tidak akan memberikannya di sini. Aku akan memberikannya besok. Tapi aku butuh janji. Kau akan hentikan semua tekanan pada keluarga mantan manajer. Termasuk informan kalian di sekolah. Aku ingin mereka bersih."
Komandan Jaya mengangkat alisnya, terkejut dengan keberanian Arya. Komandan Jaya: "Kau berani menetapkan syarat untukku? Baiklah. Aku suka gayamu, bocah. Besok malam, tempat yang sama. Bawa informasi, atau kau akan jadi makanan ikan di pelabuhan."
Arya tahu, ia hanya punya waktu 24 jam. Ia mengangguk kaku, berbalik, dan berjalan keluar dari Sarana Biru, meninggalkan Komandan Jaya dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Ia telah berhasil menyusup dan bertahan. Misi selanjutnya: Gudang Tua K-7.
Arya meledak keluar dari pintu baja Sarana Biru. Udara malam yang dingin di Kota Cakra Manggala menghantam paru-parunya yang tegang. Di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang remang-remang, Dion hampir menabrakkan motornya karena kaget melihat Arya keluar hidup-hidup.
Dion: (Berteriak panik) "Arya! Gila! Kau benar-benar keluar! Cepat naik!"
Arya melompat ke belakang motor. Arya: "Jangan ke rumahku. Ke rumah Maya. Cepat!"
Dion: (Memacu motornya, suaranya bergetar) "Apa lagi?! Kau mau kencan setelah keluar dari sarang Naga Hitam?!"
Arya: "Aku butuh kunci. Sekarang, jangan banyak tanya dan tancap gas!"
Motor itu melesat membelah jalanan sepi Cakra Manggala. Dalam sepuluh menit, mereka tiba di jalan buntu dekat kompleks perumahan Maya.
Arya: "Tunggu di sini. Beri aku lima menit. Jika aku tidak kembali, segera pergi."
Arya melompat turun dan berlari dalam bayang-bayang. Ia tahu rumah Maya seperti rumahnya sendiri. Ia ingat kebiasaan lama mereka: jendela dapur adalah satu-satunya yang kuncinya rusak.
Klik.
Dengan sedikit paksaan yang terampil—keterampilan yang ia pelajari di masa depan yang keras—jendela itu terbuka. Ia menyelinap masuk. Rumah itu gelap dan sunyi. Ia bisa mendengar dengkuran pelan Ayah Maya dari kamar atas.
Arya berjinjit ke kamar mandi. Ia meraba-raba di bawah lemari, tangannya menyentuh kotak P3K tua yang berdebu. Di baliknya, dinginnya logam terasa di ujung jarinya. Kunci cadangan Gudang K-7.
Srak!
Suara langkah kaki dari lantai atas. Ayah Maya terbangun.
Ayah Maya: (Suara serak) "Siapa di sana? Maya, itu kamu?"
Arya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Ia menahan napas, menghitung detak jantungnya sendiri dalam kegelapan.
Satu detik. Dua. Tiga.
Ayah Maya: (Menggerutu) "...Hanya tikus sialan." Terdengar suara pintu kamar ditutup lagi.
Arya menghela napas pelan. Ia melompat keluar jendela, mendarat tanpa suara, dan berlari kembali ke motor.
Arya: (Menunjukkan kunci) "Sudah dapat. Sekarang, antar aku ke Gudang Tua K-7. Area industri."
Dion: "Kau sudah gila, Arya! Naga Hitam ada di sana! Kau baru saja membohongi mereka!"
Arya: "Justru karena aku membohongi mereka, aku harus ke sana sekarang! Mereka memberiku 24 jam. Itu berarti aku hanya punya waktu beberapa jam sebelum mereka sadar aku hanya mengulur waktu. Cepat!"
Pukul 02:30 pagi. Gerbang besi berkarat Gudang Tua K-7 menjulang di depan mereka. Ini adalah tempat di mana Arya versi 30 tahun akan didorong jatuh.
Dion: "Sampai sini saja, Ary. Aku tidak akan masuk. Ini tempat terkutuk."
Arya: "Tunggu satu jam. Jika aku tidak keluar, panggil polisi. Katakan ada transaksi narkoba besar. Jangan sebut namaku."
Arya mengambil kunci itu dan berlari menuju gerbang samping. Suara KRRIIING yang keras dan berkarat terdengar saat ia membuka gembok tua itu.
Ia sekarang berada di dalam wilayah musuh. Mengandalkan ingatan masa depannya dan informasi dari Beni, ia berlari menuju Blok C.
Blok C adalah bangunan yang lebih kecil dan terpisah, berbau debu dan bahan kimia. Ia menggunakan kunci yang sama untuk membuka pintu baja tebal.
Di dalam gelap total. Arya menyalakan senter ponsel lamanya yang redup.
Arya: (Monolog internal) Beni bilang Ayah Maya paranoid. Dia tidak akan menyimpannya di brankas. Dia akan menyimpannya di tempat yang hanya dia yang tahu.
Arya memeriksa tumpukan arsip. Kosong. Ia memeriksa di balik lemari besi. Kosong.
Ia mengetuk-ngetuk lantai. Di bawah rak arsip terberat, satu ubin terdengar berbeda. Hollow.
Arya: "Gotcha!"
Dengan seluruh kekuatan tubuh remajanya, didorong oleh tekad pria dewasa, Arya mendorong rak besi itu. Suara logam berdecit memekakkan telinga. Di bawahnya, sebuah ubin yang longgar.
Arya mencongkel ubin itu. Di bawahnya, terbungkus plastik tahan air, ada sebuah buku besar bersampul kulit hitam. 'DAFTAR HITAM'.
Ia berhasil. Ia mendapatkan senjata terkuat melawan Naga Hitam.
KLAK!
Suara pintu baja Blok C yang dibuka dari luar.
DEG!
Jantung Arya serasa berhenti berdetak.
Cahaya senter yang jauh lebih terang menyapu ruangan. Terdengar langkah kaki berat dan suara serak yang sangat ia kenali.
"Kau yakin bocah tadi bohong, Bos?"
Pria Plontos : "Aku tidak suka caranya menatap. Dia tahu terlalu banyak. Periksa tempat ini. Bakar semuanya jika perlu. Aku ingin Daftar Hitam itu malam ini juga!"
Mereka kembali. Arya terjebak di dalam Blok C, memegang dokumen yang mereka cari, berhadapan dengan Pria Plontos—pembunuhnya dari masa depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!