NovelToon NovelToon

Lelaki Berkacamata

Tekad Tanpa Modal

Apa ungkapan yang cocok untuk kemauan yang kuat tapi terbentur keadaan yang tidak mendukung???

Modal dengkul ...!!! ya itulah istilah yang mungkin lebih cocok untuk Suyitno. Cowok kerempeng dipedalaman sebuah desa kaki gunung Muria Jawa tengah. Tanpa modal materi maupun pendidikan tinggi, nekat pergi ke Jakarta nebeng truk pengangkut barang yang sengaja datang ke desanya karena mengambil pesanan kayu.

Hanya pakaian melekat di badan, serta tas selempang lusuh mengantung dileher yang diberi oleh supir tadi dengan diisi uang seratus ribu, buat makan nanti katanya.

Suyitno turun di daerah Pulo gadung, seletah mengucapkan terima kasih dia pun melangkah tidak tentu arah. Mengikuti jalan yang terlalu banyak persimpangan dan lampu merah.

Suyitno tampak bingung dan kelelahan, perutnya juga sudah mulai keroncongan.

Cacing didalam sudah protes keras karena sekarang sudah lewat jam makan siang.Tapi Suyitno tidak tahu mau kemana, uang sebagai bekal pun cuma selembar merah pemberian supir tadi.

Dengan langkah yang payah Suyitno menyusuri jalan dan trotoar, lalu singgah di warung tenda pinggir jalan yang mungkin memberikan harga lebih murah dari pada warung yang berderet diruko atau rumah makan padang diseberang jalan persimpangan sebelah kiri jalan.

Suyitno masih bingung harus memesan apa, sampai pemilik warung menegurnya dan menawarkan pilihan.

"Mau pesan apa mas? rames apa mie rebus?"

Suyitno tampak ragu tapi perutnya sudah tidak bisa menunggu.

"Rames saja Bu, minumnya air putih saja" akhinya Suyitno menemukan pilihan yang mungkin terasa dia anggap lebih baik.

Suyitno pun makan dengan lahap, tidak kurang dari lima menit sudah tandas nasi dipiring.

Setelah minum dan membayar Suyitno keluar dari warung tenda tersebut, kembali melangkah mengikuti jalanan panjang yang tampak tidak berujung.

Hari sudah berganti menjadi gelap, Suyitno masih tidak tahu arah tujuan. Entah sudah seberapa jauh dia berjalan yang pasti kakinya sudah bergetar melawan lelah yang tidak tertahan lagi.

Mungkin sekarang sudah lebih jam sepuluh malam, dan Suyitno belum tahu mau mengistirahatkan tubuhnya dimana.

Dipersimpangan jalan yang sudah tidak terhitung telah dilewatinya, Suyitno terduduk tidak kuasa lagi menahan lelah tubuhnya.

Suyitno mencoba melebarkan matanya yang mulai mengabur, tanpa sadar perhalan-lahan matanya tertutup tidak bisa dia tahan.

Suyitno pingsan dipersimpangan jalan ibu kota, tanpa ada yang mengenal dan dia kenal. Pemuda kerempeng, lusuh tanpa bekal yang hanya bermodalkan nekad alias modal dengkul.

Tidak ada identitas yang sempat Suyitno bawa, karena dari awal dia tidak ada pikiran sejauh ini dalam perjalanan nekadnya.

Tas selempang dan bekal uang seratus ribu yang sudah berkurang untuk makan siangnya pun pemberian supir truk, jadi otomatis tidak ada barang berharga sama sekali yang ada bersamanya.

Dari awal sang supir sudah menawarkan diri untuk mencarikan perkerjaan dipangakalan kayu sekedar batu loncatan agar ada pegangan selama belum dapat yang dirasa cocok.

Tapi Suyitno menolak, karena tidak mau merepotkan, sudah mendapat tumpangan dan makan gratis selama perjalanan saja dia sudah sangat bersyukur. Suyitno pergi dari kampung pun cuma pamit sama ibunya, pergi tidak lama katanya. Ibunya sudah melarang tapi Suyitno tetap nekad.

Mungkin saat ini sudah lebih dari satu jam Suyitno pingsan tanpa ada yang menghiraukan. Adakah yang akan menolong orang pingsan dijalan, memberi tumpangan sekedar untuk melepas lelah.

Mungkinkah masih ada hati dari orang-orang ibu kota yang katanya egois dan mementingkan diri sendiri. Hanya waktu dan takdir yang bisa menjawab segala permasalahan yang ada dan juga menimpa Suyitno.

*****

Pagi hari sekitar pukul enam lebih tiga puluh menit, disalah satu kamar sebuah rumah elit kawasan pondok indah.

Hangat selimut tebal nan wangi, aroma pewangi ruangan yang harum dan segar terasa sangat menenangkan. Sejuk pendingin ruangan yang tak terlalu menusuk menambah rasa nyaman.

Kamar yang sangat luas terasa lengang tanpa adanya tanda-tanda penghuninya. Dinding cat warna putih tanpa banyak ornamen yang menghiasi menambah rasa yang elegan.

Seorang pria paruh baya masuk tanpa menimbulkan suara. Apalagi pintunya memang tidak sepenuhnya tertutup dan terkunci.

Pria itu memang sengaja agar lebih mudah dalam memantau seseorang yang ada didalam kamar. Dengan seksama dan sangat teliti diperhatikan sesosok tubuh yang masih terlelap dengan nyaman.

Tangan pria itu terjulur memeriksa dahi orang yang terbaring.

Dia menarik tangan seletah yakin jika suhu tubuh orang tersebut sudah tidak terlalu panas seperti semalam. Dia yakin kalau sekarang orang tersebut sedang tidur, tidak lagi pingsan. Pria tersebut akhirnya keluar kamar lalu menuju ruang makan.

"Mbok, nanti jika anak yang dikamar tamu itu bangun suruh mandi dan sarapan." Perintah pria tersebut pada pembantunya.

"Ya tuan." Jawab pembantu itu cepat.

"Oh ya, baju gantinya ambil saja di kamar atas, kamar Alex" lanjutnya memberi instruksi.

Pembantu tersebut menyimak dengan teliti dan sedikit heran, perihal baju ganti.

Setau pembantu tersebut baju-baju Alek, anak majikannya itu memang masih banyak dan tersimpan rapi dikamarnya. Dilantai atas pojok kiri berseberangan dengan kamar tuan besarnya ini. Tapi tentu saja pembantu tersebut tak banyak bertanya, dia tidak mau mengusik dan membantah.

"Aku berangkat dulu, jangan lupa nanti disuruh sarapan dan ingat jangan biarkan dia pergi kemana-mana." Pria tersebut memberi penjelasan setelah selesai sarapan dan mewanti-wanti pembantunya.

"Ya tuan." Jawab pembantunya cepat.

Pri tersebut keluar rumah, di halaman depan supirnya sudah siap dengan membuka pintu penumpang. Setelah tuannya masuk dia pun segera memutar badan ke arah kemudi, masuk dan siap menjalankan tugas.

Didalam kamar, seseorang yang tidur dengan nyaman mulai mengerakan tubuhnya, menggeliat dan berusaha membuka mata yang terasa lengket.

Susah payah dia menyesuaikan penglihatan matanya dengan suasana kamar, dan dia terlonjak kaget sampai berdiri dengan bingungnya. Matanya mengamati sekitar kamar yang luas, mungkin seluas rumahnya.

Lebih bagus kamar ini tentunya dengan segala fasilitas dan dekorasi yang jauh lebih baik. Setelah puas mengamati kamar yang sangat asing dia meneliti tubuhnya yang terbalut piyama tidur yang lembut, tidak lagi memakai celana rombeng dan kaos oblong lusuh. Tas selempang dan sisa uang yang ada terlihat diatas nakas sebelah tempat tidur besar yang tadi ditiduri.

Dia bertambah kaget ketika ada seseorang yang masuk.

"Ehhh sudah bangun, silakan mandi den dan ini baju gantinya" kata perempuan separuh baya yang mungkin usianya sudah mendekati enam puluhanan.

Dengan bingung dia bertanya, "saya dimana dan..."

"Aden dirumah tuan Ali, semalam tuan yang membawa Aden kerumah ini" jawab pembantu itu cepat memotong kebingungan Suyitno sambil meletakan baju ganti disisi ranjang.

Ya... seseorang itu adalah Suyitno yang pingsan dipersimpangan jalan semalam tanpa dia tahu siapa dan bagaimana keadaannya, tiba-tiba begitu bangun sudah ada dikamar besar ini.

"Mandilah den, setelah itu keluar untuk sarapan." Pembantu itu memberikan instruksi sesuai perintah tuan besarnya.

Suyitno menurut, tapi dia bingung kemana harus melangkah untuk sekedar mandi.

Sepertinya pembantu itu paham akan kebingungan Suyitno.

"Itu kamar mandinya, pintu sebelah kiri, semua peralatan dan perlengkapan sudah ada didalam." Pembantu tersebut memberikan keterangan.

Suyitno mengangguk mengerti, melangkah ke kamar mandi dalam diam karena masih banyak rasa dan tanya dalam keadaan yang membuatnya bingung.

***maaf ada beberapa bab yang diulang kembali karena revisi dan penulis tidak bisa menghapus secara manual 🙏🙏🙏

Ternyata Dia

Hari menjelang malam, suasana rumah tetap sama tanpa banyak perubahan.

Hanya lampu-lampu yang menjadi pembeda antara waktu yang selalu berganti.

Ruang besar antara dapur dan ruang tamu yang menjadi ruang makan sekaligus ruang keluarga tampak sepi tanpa penghuni.

Suyitno pun masih betah duduk terpekur tanpa melakukan apapun.

Dari siang dia hanya tidur dikamar dan sore, disinilah dia pada akhirnya. Pikirannya entah kemana, mengingat apa yang terjadi padanya saat ini.

Ada dirumah besar yang asing tanpa tahu siapa pemiliknya, orang-orang asing dan tentunya penolongnya yang sama asing karena dia tak tahu apapun.

Langkah kaki terdengar mendekat, menandakan adanya seseorang yang memasuki ruangan tersebut, Suyitno mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

Sesosok lelaki paruh baya dengan setelan jas kerja yang masih tampak rapi dan elegan.

Badannya tinggi tegap meskipun usia tidak lagi muda, sekitar lima puluhan tahun.

Kulitnya tidak terlalu putih tapi jg tidak hitam, terlihat cerah dan bersih. Jangan lupakan wajahnya yang masih terlihat rupawan, memberi kesan wibawa seiring usianya.

"Seharian kau duduk disini?" pria tersebut bertanya sekaligus menyapa.

Suyitno tersadar dari pengamatannya, dan mengangguk ragu, tapi akhirnya menggeleng dengan cepat. Dia terlihat gugup dan tidak tahu harus berkata apa. Terasa dingin hawa yang terbawa bersama raut wajah sang pria tersebut.

"Tuan... makan malam sudah siap." Dari arah dapur pembantu datang memberi tahu tuannya.

"Sebentar mbok, aku mandi dulu." Jawab tuannya dan berjalan ke arah tangga menuju kamarnya dilantai atas.

Suyitno masih terdiam, menyimak segala hal. Tentang pria asing, situasi dan entah apalagi yang masih menyisakan banyak tanya dikepala dan hatinya.

Sekitar dua puluh menit, pria itu kembali dengan setelan baju rumahan. Kaos berlogo tiga strip didada sebelah kiri, celana jeans berbahan ringan dibawah lutut. Tampak lebih fress, dengan wajah yang terlihat segar sehabis mandi.

Pria itu berjalan menuju meja makan, melewati Suyitno. Setelah duduk dengan tenang dia menoleh pada Suyitno yang masih memperhatikan dari tempat duduknya.

"Ayo kemari dan duduk disini, kita makan" ajaknya pada Suyitno.

Suyitno menurut, tanpa banyak kata. Pria itu pun memulai makan dengan tenang, berbeda dengan Suyitno yang masih canggung dan bingung.

"Makanlah, setelah ini kita bisa berbincang dan ceritakan apa yang ingin kamu ceritakan."

"Tanyakan juga apa yang mungkin ingin kamu tanyakan," pria itu memberi instruksi dan penjelasan agar Suyitno segera memulai makan dengan benar.

Akhinya Suyitno pun menurut, berusaha makan tanpa menimbulkan suara. Dia tahu banyak hal yang harus dia ceritakan dan tanyakan setelah ini.

Sekitar tujuh menit acara makan selasai, setelah meneguk minumanya pria tersebut berdiri. Melangkah menuju sofa tempat duduk Suyitno yang tadi, sebelum makan. Duduk dengan tenang menunggu Suyitno selasai dan datang mendatanginya.

Suyitno duduk di sofa single tak jauh dari pria tersebut, duduk dengan gelisah dan gugup.

Hemmmm ....

pria tersersebut memecah kekakuan dengan hembusan nafas yang panjang.

"Siapa namamu?" pria itu akhirnya bertanya.

"Suyitno tuan" jawab Suyitno, dia memakai panggilan tuan, karena dia ingat jika pembantu rumah ini menyebut pria ini dengan sebutan tuan.

"Alex ..." pria itu tak melanjutkan kata-katanya, seperti ada yang menyekik tenggorokan ketika dirinya menyebut nama Alex.

Suyitno tentu bingung dengan apa yang terjadi, tapi dengan sigap dia berjalan kearah meja makan. Menuang air putih ke gelas dan dibawa ke depan pria tadi. Pria itupun mengerti dan menerima uluran gelas dan meminumnya dengan pelan. Setelah dirasa cukup dia meletakkan gelas dimeja yang da di samping, dia menatap Suyitno dengan mata sayu.

Entah apa yang ada dalam pikirannya, perlahan pria itu menggeleng dan memejamkan mata. Menata hati dan pikirannya serta mengembuskan nafas dengan berat.

Akhirnya mengalirkan segala cerita yang membuka duka beberapa bulan ini, terasa sangat menyakitkan tentunya.

*****

Enam bulan yang lalu.

Setelan jas kerja mahal warna hitam terlihat elegan membalut tubuh atletis seorang pria muda berumur dua lima tahun yang baru keluar dari kamar. Wajah tegas dan bersih berhias kaca mata bingkai hitam, rambut hitam tersisir rapi terbelah samping. Serta sepasang sepatu hitam fantovel mahal serasi dengan pakaian yang dia pakai.

Pemandangan yang sungguh sempurna bagi siapapun yang melihat.

Alex Abram itulah namanya.

Tuan muda dari rumah besar ini, anak tunggal dari pengusaha properti yang sedang maju dan meroket.

Dari arah kamar yang berbeda, keluar sosok pria paruh baya yang tak kalah elegan. Umur memang tak bisa ditipu, tapi penampilan dan gaya berpakaian cukup memperlihatkan bahwa dia juga bukan orang sembarangan.

Ali Abram, pengusaha properti yang sangat maju dan terus berkembang. Memulai usaha dari nol bersama sang istri, sayang sang istri meninggal karena keguguran untuk kehamilan yang kedua saat Alex berumur delapan tahun.

Usaha sedang maju-majunya tapi kehidupan dan umur memang hanya Tuhan yang tahu.

Jadilah tuan Ali duda dan membesarkan anaknya seorang diri tanpa berniat menikah lagi. Meskipun banyak perempuan-perempuan diluar sana yang tentunya sangat siap dan menawarkan diri menjadi istri serta mama sambung Alex, tapi tuan Ali tetap tak mau.

Baginya cukup merawat Alex seoarang diri, mempersiapkan Alex untuk menjadi penerus usaha serta mengembangkan usaha jauh lebih utama ketimbang pendamping hidup.

Seorang istri cukuplah satu, mama dari Alex.

Dia tak ingin merasakan cinta yang lain.

Mereka turun menuju meja makan, sarapan dengan tenang tanpa banyak mengeluarkan kata. Setelah selesai mereka pun serempak beranjak dari meja dan berjalan keluar menuju mobil yang sudah siap didepan.

"Nanti siang papa mau meninjau pembangunan hotel di Pekalongan, ada beberapa masalah yang harus papa selesaikan."

"Mungkin besok baru kembali, tolong kamu handel kerjaan kantor dan tamu yang datang"

ujar tuan Ali ditengah perjalanan.

"Ya pa" jawab Alex singkat.

Alex memang tidak banyak bicara, terkesan dingin dan misterius. Mungkin karena tak banyak kawan dan teman serta didikan papanya yang memang tidak banyak bicara, hilangnya sosok mama.

Bukankah yang sering terlihat banyak bicara sosok seorang mama? Bukankah yang sering memberi kenyamanan dan kehangatan juga sosok seorang mama?

Begitupun dengan Alex, tak banyak bicara.

Menjawab juga seperlunya, meskipun dengan papanya sendiri. Sangat dingin dan datar tanpa ekspresi.

Alex memang sudah ikut bekerja di kantor, selesai kuliah langsung menyibukkan diri membantu papanya.

Alex berpikir buat apa menyia-yiakan waktu muda toh nanti dirinya tetep akan disibukan dengan perusahaan yang dipimpin papanya.

Mengantikan posisi papanya dan mengembangkannya pula.

Dia tidak ingin mengecewakan papanya, satu-satunya orang tua yang dia punya.

Dia tidak mau papanya sedih hanya karena dirinya. Cukup melihat papanya tidak lagi bersedih saat melihat foto mamanya dikamar sudah cukup bagi Alex.

Setelah memakan waktu lebih dari setengah jam sampailah mereka di gedung perkantoran yang tinggi menjulang didaerah Sudirman.

Berjejer dan tampak angkuh, pada pohon-pohon dipingir jalan luar area gedung.

Alex dan tuan Ali melangkah dengan pelan tapi terlihat tegas, memasuki kantor dan sesekali menjawab salam dari para pegawai yang sudah datang. Mereka berpisah menuju ruangan masing-masing.

Tuan Ali masuk ruangan Presdir, tidak jauh dari pintu lift, sedang Alex masuk ruangan disebelahnya ruangan manager.

"Papa sudah dijalan, pulangnya minta antar supir kantor Lex" tuan Ali memberi kabar Alex. Tadi waktu tuan Ali berangkat, Alex sedang meting dengan beberapa staff jadi tidak sempat pamitan secara langsung.

"Ya pa" jawab Alex singkat, seperti biasa.

"Bekerjalah dengan semangat, papa yakin kamu bisa" imbuh papanya memberi semangat. Alex tersenyum dan menutup telpon ketika sambungan terputus.

Dengan menghembuskan nafas panjang Alex menyandarkan punggung disandaran kursi kerjanya.

Alex Abram Yang Lain

Sejuta pesona yang Alex miliki tidak mempengaruhi apapun dalam dirinya.

Kaya, yang kaya papanya.

Tampan, diluar sana banyak yang lebih tampan.

Sukses, jika bukan anak Ali Abram dia belum tentu diangap sukses.

Begitulah anggapan Alex terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu, jika diluar kantor dan tidak sedang bersama papanya dia menanggalkan semua identitas yang melekat sempurna.

Inilah sisi lain yang tidak diketahui orang, selain papa dan penghuni rumah yang lain beserta orang-orang kepercayaan papanya.

Keluar menghabiskan malam ke club atau sekedar nongkrong di kafe pun dia jalani.

Penampilan pun berubah, tidak akan ada yang sadar jika dia adalah Alex Abram. Sang pewaris dari Abram Company, perusahaan milik papanya.

Tanpa kaca mata, baju sporty ala anak gaul dan rambut yang sedikit acak-acakan. Kendaraan juga tidak pakai mobil tapi motor buntut Vespa papanya dimasa muda, motor bersejarah bagi papa dan mamanya.

Orang tidak akan mengenalinya, pun Alex tidak ingin dikenal.

Orang-orang diclub langganan hanya memangilnya Brow Hazel, bukan tanpa sebab. Matanya yang menyorot tajam kecoklatan agak kehijauan memang menjadi ciri khasnya, menurun dari mamanya. Alex pun memperkenalkan diri pertama kali dengan nama Hazel, entahlah dia cuma reflex tanpa banyak berfikir.

"Biasa mas." Pintanya pada bartender setelah sampai didepan meja bar.

"Yoa..." jawab bartender singkat. Dengan cekatan dan terampil bartender bernama Toni pun menunjukan keterampilannya meracik minuman.

Tequila dengan kwalitas tinggi, 'tentunya dengan harga yang tinggi juga' menjadi teman minumnya menghabiskan waktu malam seperti biasa. Tidak lama banyak gadis penghibur datang mendekat, sekedar basa-basi atau memang sengaja menggoda.

Alex hanya diam, tanpa sedikitpun menanggapi. Dia sudah biasa menghadapi ini mesti beralasan tidak punya uang untuk membayar, para penggoda itu tetap kekeh dan rela tidak dibayar. Namun Alex tetap menolak dengan menggeleng. Para gadis penggoda pun akhirnya pergi memcari mangsa lain dengan sedikit kecewa, melepas sesuatu yang menurut mereka istimewa.

Dulu Alex menangapi dan membayar jasa para wanita penghibur itu, kadang malah wanita-wanita tersebut yang menawarkan dirinya gratis. Tapi lama-kelamaan Alex bosan bermain, terlalu biasa pikirnya. Hanya sekedar menghabiskan malam melepas nafsu one night stand, sungguh tidak membawa dampak apapun selain pelepasan sesaat.

"Hai Brow, sudah lama?" Teriak Johan agar suaranya bisa bersaing dengan musik yang berdentum keras dari DJ di atas pangung. Johan adalah pemilik club yang sudah akrab dengan Alex sejak dua kali kunjungannya diclub ini.

"Lumayan." Jawab Alex singkat.

"Mau barang baru gak?" Tawar Johan.

"Apaan?" Tanya Alex lagi.

Johan berbisik ketelingga Alex agar tidak didengar orang lain, Alex pun mengerutkan dahi kemudian membelalakkan matanya. Alex juga berteriak sangking kagetnya mendengar jawaban dari Johan.

"Woi gila, dapat dari mana itu barang?!"

"Ishhh ... jangan teriak-teriak, gue cuma nawarin sama kamu!" Johan melotot kesal .

Alex terkekeh menanggapi sambil mengangkat bahu.

"Mau gak?!" Tanya Johan kesal merasa tawarannya tidak mendapat respon seperti yang diharapkan.

"Siapkan saja sesuka loe, gue terima beres."

"Awas gak sesuai yang lo bilang."

Setelahnya Alex pun keluar bersama Johan menuju parkiran. Masuk ke mobil Johan yang melesat pergi dari club tersebut.

Alex hanya menurut, mencoba peruntungan apa yang tadi disebut Johan.

Toh Alex berpikir sekali-kali keluar jalur tidak masalah,orang tidak mengenal dirinya juga.

Namun Alex tidak sadar bahwa petualangan yang baru akan dimulai adalah gerbang yang mengantarkanya pada takdir kematian.

Takdir dimana akan adanya Alex lain setelah dirinya. Takdir yang lain untuk Suyitno, anak kampung yang kerempeng tanpa status sosial yang jelas dan melarat.

*****

Enam bulan berlalu dengan cepat, secepat perkembangan ibu kota Jakarta yang tidak pernah istirahat. Laju pembangunan dan kehidupan para penghuni kota metropolitan memang tidak pernah surut. Terus melaju menggerus dan melibas apa yang dilewatinya.

Alex melangkah sedikit ragu dibelakang tuan Ali, sehingga sedikit membuat jarak diantara mereka berdua. Namun papanya melangkah lebih pelan, Sehingga dengan begitu mereka bisa berjalan saling beriringan.

"Kamu pasti bisa Lex, ingat semau hal yang sudah aku ajarkan." Papanya memberikan dukungan. Alex pun mengangguk meskipun masih ada keraguan dihatinya.

"Semua yang kamu pelajari dirumah bersama Mr Nanang dan Mis Lia bisa kamu terapkan disini, begitu juga apa yang sudah papa beritahu, itu adalah garis besarnya.Untuk hal yang lain tentang apapun bisa sambil jalan." Tuan Ali masih berusaha meyakinkan.

Alek diam menyimak, karena memang begitulah yang seharusnya. Tidak perlu banyak bertanya, tapi wajib menyimak dengan seksama. Mengamati banyak hal yang semuanya masih terasa baru dan sangat asing. Banyak hal yang sudah dia pelajari, harus cermat dan tepat. Guru privat yang mengajar dirumah pun mengajarkan hal yang sama, karena dia harus berkejaran dengan waktu.

Sekaranglah waktunya, Alex harus kembali.

Menjadi sosok Alex yang sama dengan Alex yang diharapkan tuan Ali, papanya.

Meskipun pada dasarnya diapun mempunyai harapan kehidupan kedepan yang lebih baik.

Tuan Ali masuk ruangannya, sedang Alex diminta berkeliling kantor lebih dulu untuk mengenal suasana. Meskipun asing, tapi karena tuan Ali sudah memberi tahu apa-apa yang perlu dan utama dikantor Alex pun berkeyakinan dia mampu melewati pengenalan tempat ini sendiri.

Setelah puas berkeliling dan sedikit berbasa-basi dengan beberapa karyawan Alex masuk ruang manager, dimana dia harus berkerja sebagaimana mestinya.

Tok tok tok

Pintu diketuk dari luar, tidak lama masuk Meilan. Sekertaris manager yang berperawakan sedikit oriental dan selalu rapi perfeksionis. Dengan map yang bertumpuk dia melangkah menuju meja Alex. Meilan tersenyum manis dan sedikit centil, sebelum menyerahkan map-map tersebut.

"Ini laporan-laporan selama bulan ini, untuk bulan-bulan kemaren kerjaan pak Alex sudah saya handel dan sudah beres."

"Bapak bisa cek diemail yang saya kirim setiap bulannya atas perintah pak Ali."

"Karena pak Alex sedang ada diluar negeri meninjau proyek disana dan tidak bisa kembali cepat."

"Saya turut senang pak Alex sudah kembali."

Ujar Meilan panjang dengan banyak senyum yang menurut Alex memang sengaja menggoda. Apalagi dengan pakaian, yang meskipun rapi tetap saja minim bahan menurut Alex.

Alex hanya mengangguk, membiarkan Meilan masih didepannya dengan segala tingkahnya yang mencari perhatian.

Alex memicingkan mata dengan dahi berkerut binggung menatap Meilan.

"Ada yang perlu ditanyakan atau bantuan pak?" tawar Meilan menggoda.

"Tidak." Alex menjawab cepat.

Meilan pun berjalan keluar ruangan sambil memberenggut dan menggerutu.

"Heran, lama keluar negeri tidak pulang-pulang tambah dingin aja."

"Terbiasa sama salju kali"

'Ehemmm'

Cukup dengan mendengar deheman dari arah belakang, Meilan pun berjalan lebih cepat keluar ruangan yang lebih mirip freesser menurutnya.

Alex menggeleng-gelengkan kepala mendapati sekretarisnya yang memang katanya menaruh hati padanya.

Meilan masih saja menggerutu tidak jelas, dengan mimik yang sangat dibuat-buat.

"Mana ada cowok normal tidak tertarik sama gue, body oke bohay, wajah cantik tralala begini. Luna Maya saja lewat kok, huuhhhh..."

Meilan pun masih mengoceh sendiri.

Ehemmm

Suara deheman segera menyadarkannya, dia kembali ke posisi duduk dengan baik dan tersenyum kikuk pada Presdir yang ternyata sudah berdiri memperhatikannya.

Pak Ali menggelengkan kepala berulang-ulang melihat kekonyolan sekertaris anaknya. Dia pastinya sudah tahu lama jika Meilan menaruh hati pada Alex, anaknya.

Sayangnya, Meilan adalah anak dari saudara almarhum istrinya jadi tuan Ali tidak ingin banyak menegur dengan segala tingkahnya.

Sudahlah, tidak mau ambil pusing pak Ali pun melangkah masuk keruangan Alex.

***maaf ada beberapa bab yang diulang kembali karena revisi dan penulis tidak bisa menghapus secara manual 🙏🙏🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!